Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Friday, 15 November 2019

Reformasi Kelembagaan Pengelolaan Irigasi


Ada tiga faktor yang saling mempengaruhi yang akan menentukan arah pengelolaan irigasi dimasa yang akan datang yaitu produk hukum berupa undang undang dan peraturan pemerintah, kearifan lokal yang dipraktekkan oleh masya­rakat setempat, dan perkembangan teknologi.

(1) Memperjuangkan Kewenangan Melalui Produk Hukum
Menurut Schlager dan Ostrom(1999) pengelolaan air dari perspektif kelembagaan dapat diartikan sebagai kewenangan membuat keputusan dalam pemanfaatan sumber daya air. Pengelolaan air merupakan salah satu tipe hak atas air yang dapat bersifat kumulatip. Termasuk dalam hak atas air (water rights) misalnya hak untuk akses, yaitu hak untuk masuk dalam suatu kawasan sumberdaya, hak pemanfaatan, yaitu hak untuk mamanfaatkan satuan dari sumberdaya, hak mengenyampingkan (exclusion right), yaitu hak untuk menentu­kan siapa yang boleh dan tidak boleh masuk kawasan dan memanfaatkan sumberdaya, hak transfer yaitu hak untuk menjual atau menyewakan sumberdaya. Hak untuk akses dan pemanfaatan adalah hak pada tingkat operasional sedangkan tiga hak lainnya adalah hak kolektif.
Tatkala krisis ekonomi yang terjadi sejak 1997 mulai berkepanjangan dirasakan bahwa kemampuan pemerintah dalam membiayai operasi dan pemeliharaan sistem irigasi yang menjadi tanggung jawabnya semakin terbatas. Hal ini antara lain terjadi karena meluasnya sistem irigasi berbasis masyarakat yang terkooptasi menjadi sistem irigasi berbasis pemerintah.
Apa sebenarnya permasalahan yang timbul dengan adanya intervensi pemerintah dalam memperbaiki sistem irigasi masyarakat pada masa lampau? Permasalahan utamanya terletak pada kerangka pengelolaan, yaitu rancangbangun yang melandasi pola pengelolaan berbasis pemerintah tersebut. Dalam prakteknya pola ini menghendaki adanya keputusan yang cenderung sentralistik, dalam mengatur pola tanam dan pembagian air. Keputusan yang dibuat diatur melalui operasi bangunan-bangunan air seperti pintu air yang ada dalam suatu sistem irigasi.
Kerangka fisik yang baru dari suatu sistem irigasi dengan demikian menghendaki kerangka pengelolaan tertentu yang berbeda dengan kerangka pengelolaan semula dan sebagai akibat lebih lanjut adalah meningkatnya ketergantungan masyarakat tani setempat terhadap pemerintah dalam pengelolaan irigasi, termasuk pembiayaan operasi dan pemeliharaan (Pasandaran, 2004).
Mencermati perkembangan tersebut sebenarnya PP 77 tahun 2001, yang memberikan kewenangan penuh bagi masyarakat untuk mengelola sistem irigasi dapatlah dianggap sebagai suatu terobosan kelembagaan dalam rangka memulihkan citra irigasi berbasis masyarakat.
Namun demikian upaya mewujudkan pengelolaan irigasi berbasis masyarakat yang mandiri di masa datang hendaknya dilihat dalam kerangka dinamika evolusioner dengan menyegarkan kembali (reinvigoration) secara penuh kekuatan melekat yang menjadi cirinya, misalnya ciri-ciri keterbukaan, musyawa­rah, partisipatif, dan saling mempercayai. Semua ciri tersebut adalah bagian dari kapital sosial yang diperlukan bagi terwujudnya tatanan pemerintahan yang baik (Good Governance) dalam mengelola sumberdaya air. Membangun kembali elemen kapital sosial tersebut berarti juga memperkuat prinsip "subsidiarity" atau ketangguhan lokal untuk menjaga goncangan-goncangan yang berasal dari luar.
Pertarungan kepentingan politik lebih lanjut dalam era reformasi dan desentralisasi menghasilkan Undang Undang no 7 tahun 2004 tentang sumberdaya air yang tidak memberikan kewenangan kepada petani untuk mengelola irigasi secara menyeluruh. Pada tingkat "judicial review" oleh Mahkamah Konstitusi dipersoalkan apakah undang undang tersebut mampu menterjemahkan aspirasi yang terdapat dalam UUD 1945? Dalam hal memenuhi amanat pasal 33 ayat 3 apakah pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya air yang diatur melalui undang-undang ini mampu memberi peluang bagi sebesar besarnya kemakmuran rakyat?
Mengingat cukup banyak undang-undang yang dihasilkan dimasa lampau menjadi tidak efektif dalam pelaksanaannya, salah satu cara untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah menyoroti apakah suatu produk hukum merupakan perwujudan dari prinsip atau kerangka dasar yang dapat diterima oleh masyarakat pada umumnya atau kelompok masyarakat yang terkait dengan masalah yang diatur. Sebelum menjawab secara langsung tentang apa relevansi undang-undang ini dari sudut pandang tersebut, terlebih dahulu digambarkan kontekstualisasi politik penyusunan undang-undang yang menyangkut sumberdaya air di Indonesia.
Ada dua undang-undang yang mendahului yaitu "Algemeen Water Reglement" (AWR) pada tahun 1936 (Staatsblad, 489), dan UU No. 11 tahun 1974 yang perlu diperhatikan mengingat kedua produk hukum ini turut memberi warna
terhadap UU No. 7, 2004.
AWR pada hakekatnya adalah produk hukum yang memberi landasan bagi pengelolaan sumberdaya air khususnya irigasi, mengingat irigasi adalah salah satu instrumen kebijakan yang dituangkan dalam politik etika (Ethiesche Politiek) yang di sampaikan Ratu Wilhelmina tatkala membuka lembaran abad 20 pada tahun 1900 di depan perlemen Belanda (Tweede Kamer). Setelah mengalami ujicoba pembangunan irigasi dalam skala besar selama kurang lebih 50 tahun sejak pertengahan abad 19 dan mengalami evaluasi oleh berbagai komisi, antara lain komisi Van Deventer, barulah formalisasi kebijakan dilakukan.
Demikian pula AWR disusun berdasarkan suatu proses yang memakan waktu, terutama menyangkut prinsip pengelolaan yang digunakan misalnya apakah prinsip yang mengutamakan otonomi masyarakat dalam pengelolaan irigasi ataukah prinsip yang didominasi oleh pengaturan pemerintah (Hasselman, 1914). Walaupun kebijakan pembangunan irigasi dimaksudkan untuk memper­baiki kesejahteraan masyarakat pribumi, upaya pembangunan tersebut tidak lepas dari kepentingan ekonomi pemerintah jajahan yaitu mendukung komoditas ekspor seperti tanaman tebu. Oleh karena itu dibangun suatu prinsip pengelolaan bahwa pengaturan irigasi pada jaringan utama dikuasai oleh pemerintah, sedangkan pada tingkat tersier dikelola oleh masyarakat tani. Termasuk dalam prinsip pengelolaan adalah rencana tata tanam (cultuur plan) yang perlu mendapat persetujuan representasi lembaga-lembaga pemerintah yang duduk dalam panitia irigasi. Ujicoba terhadap prinsip tersebut berlangsung cukup lama, termasuk desentralisasi pengelolaan ke tingkat provinsi (Van der Giessen,1946). Dapatlah disimpulkan bahwa AWR dan kemudian disusul dengan Provinciale Water Reglement (PWR) merupakan formalisasi terhadap peraturan yang telah dipraktekkan.
Berpangkal tolak dari irigasi, upaya membangun kesejahteraan masya­rakat kemudian dikembangkan oleh Blomestijn pada tahun 1946 dengan mengusulkan pembangunan dalam lingkup yang lebih luas seperti pembangunan waduk guna memenuhi kebutuhan air untuk berbagai keperluan seperti tenaga listrik, air minum, dan keperluan lainnya. Rencana tersebut diwujudkan dalam pemerintahan Presiden Sukarno dengan pembangunan waduk Jatiluhur, karena bagi Bung Karno, seperti yang diucapkannya dalam upacara peletakan batu pertama Fakultas Pertanian Universitas Indonesia di Bogor pada tahun 1952, bahwa masalah pangan adalah hidup atau matinya bangsa Indonesia.
Tatkala revolusi hijau mulai bergulir dengan ditemukannya varitas padi unggul yang responsif terhadap pupuk dan air pada tahun 1960 an terbersit harapan bagi Indonesia untuk mencapai swasembada beras. Komitmen untuk swa sembada beras dituangkan sejak Repelita pertama dengan memberikan porsi anggaran pembangunan yang besar pada sektor pertanian dan pengairan.
UU No. 11 tahun 1974 tentang Pengairan pada hakekatnya memberi lingkup yang lebih luas dari AWR dan memberi kewenangan kepada Pemerintah dalam berbagai dimensi pembangunan dan pengelolaan dibidang pengairan termasuk didalamnya irigasi, pengendalian banjir, pengembangan air tanah dan pengusahaan air untuk berbagai keperluan dan memberikan landasan hukum pada pelaksanaan berbagai program pembangunan yang sedang berjalan termasuk didalamnya perbaikan dan perluasan irigasi. Upaya pembangunan tersebut khususnya perbaikan dan perluasan irigasi memberikan sumbangan yang besar bagi pencapaian swasembada beras pada tahun 1984 bersama sama dengan teknologi pertanian, dan kebijakan insentif harga yang memadai.
Setelah tahun 1984 muncul masalah-masalah baru, seperti semakin mahalnya biaya investasi dan semakin seringnya terjadi gejala-gejala yang disebabkan oleh semakin rusaknya sumber daya alam yang tersedia yang disebabkan oleh semakin tingginya tekanan terhadap sumberdaya lahan dan air dan yang juga dipicu oleh kebijakan pembangunan sektoral yang tidak seirama. Masalah yang muncul dipermukaan adalah efisiensi pemanfaatan sumberdaya air dan munculnya gejala seperti banjir dan kekeringan yang frekuensinya semakin tinggi. Barulah disadari bahwa pendekatan sektoral yang selama ini dianut tidak memadai, karena masalah banjir ataupun kekeringan tidak dapat dipecahkan oleh satu sektor pembangunan saja, demikian pula tidak dapat dipecahkan dengan mengandalkan pendekatan prasarana saja. Setelah adanya oil shock tahun 1987 diuji coba berbagai pendekatan kelembagaan, namun itu semua dianggap kurang efektif karena terbelenggu oleh pendekatan sektoral.
UU No. 7 tahun 2004 menempatkan konservasi sebagai upaya kebijakan utama untuk memulihkan kinerja sumberdaya alam termasuk air, dan menempatkan pendekatan keterpaduan melalui Dewan Sumberdaya Air pada berbagai jenjang wilayah, termasuk Wilayah Sungai, sebagai upaya strategis untuk memecahkan masalah tersebut diatas. Inilah kekuatan tetapi sekaligus merupakan tantangan besar dari undang-undang baru ini. Karena berbeda dengan dua undang-undang terdahulu yang telah mengalami proses pematangan sebelum diundangkan, undang-undang baru ini semata mata didasarkan pada keberanian moral termasuk didalamnya komitmen politik.
Suatu kerangka dasar yang memberikan inspirasi bagi pelaksanaan pengelolaan terpadu sumberdaya air yang memuat berbagai asas seperti aturan keterwakilan dalam berbagai jenjang dewan sumberdaya air, keadilan dalam alokasi dan distribusi air, kemitraan dalam proses dialog antar pemangku kepentingan, dan pelayanan yang bertanggung jawab (accountability), perlu dibangun terlebih dahulu. Namun demikian apabila undang-undang ini dilaksanakan secara arif dengan berpijak pada kerangka dasar tersebut dan menempatkan Dewan Sumberdaya Air sebagai kekuatan pendukung, masalah yang dipersoalkan seperti ancaman dominasi sektor swasta dan dominasi pemerin­tah dalam menetapkan batas kewenangan dalam pengelolaan irigasi dapatlah dihindarkan melalui pendekatan keterpaduan. Apabila pendekatan keterpaduan tersebut efektif dilaksanakan, amanat pasal 33 ayat 3 UUD 1945 mudah-mudahan dapat dirasakan oleh generasi yang akan datang.

(2) Mengintegrasikan Kearifan Lokal dalam Perumusan dan Pelaksanaan Kebijakan
Tanah dan Air adalah identitas kultural bagi banyak suku bangsa di dunia termasuk suku-suku bangsa di Indonesia. Tanah dapat diwariskan sebagai milik individu ataupun kelompok sedangkan air dalam suatu wilayah pada umumnya dipandang sebagai warisan bersama (common heritage resources). Dalam praktek irigasi di pedesaan dikenal berbagai kearifan lokal yang memungkinkan terjadinya interaksi antar individu, antar kelompok dalam suatu sistem irigasi, dan antar kelompok masyarakat dalam sistem irigasi yang berbeda dalam suatu Daerah Aliran Sungai (DAS). Dalam sistem interaksi tersebut penggunaan air antar individu ataupun antar kelompok dapat dipertukarkan pada suatu musim ataupun antar musim berdasarkan prinsip kepercayaan timbal balik (mutual trust) dan ada sanksi yang dilaksanakan berdasarkan norma yang berlaku setempat. Pengawasan terhadap proses yang berlaku dilakukan secara kolektif dan transparan dan pengambilan keputusan yang dilakukan bersama didorong oleh rasa tanggung jawab bahwa sumberdaya air adalah kepentingan bersama yang perlu dipelihara dengan baik.
Prinsip lain yang sangat penting dalam pengelolaan irigasi adalah asas keadilan dalam pembagian air. Banyak contoh irigasi yang dibangun masyarakat setempat mewariskan rancangbangun pembangunan dan pengelolaan irigasi yang mencerminkan keadilan pembagian air yang dihubungkan dengan antara lain luasnya lahan yang diairi. Pembagian air proporsional secara konsisten dilakukan pada berbagai jenjang sistem irigasi. Pembagian air dengan sistem bifurkasi dan proporsional merefleksikan asas keadilan berdasarkan kesamaan dalam memperoleh kesempatan atau menurut kategori Rawls (1971) dalam bukunya yang berjudul A Theory of Justice disebut sebagai ''principle of equality of opportunity" Contoh yang baik untuk ditampilkan adalah irigasi subak di Bali yang rancang bangunnya memudahkan pengawasan bagi setiap anggota subak.Prinsip keputusan yang demokratis pada tingkat karama subak memperkuat pandangan bahwa sistem subak dikelola sebagai suatu "self governing system" (Ostrom,1999) Berbeda dengan irigasi besar di kawasan Asia lainnya seperti Cina dan India terjadi apa yang disebut oleh Karl Wittfogel (1957) sebagai "oriental despotism" yaitu polarisasi kekuasaan melalui penguasaan atas sumberdaya air, gejala tersebut sampai sekarang ini tidak nampak di Indonesia (lihat Geertz, 1980 ).
Keterkaitan melalui proses interaksi tidak saja terjadi antar sistem irigasi saja tetapi dengan unit-unit kegiatan lainnya yang terkait dengan air baik lahan kering di hulu maupun lahan pantai di hilir yang memungkinkan terjadinya suatu sistem pengelolaan yang bersifat "Policentric Governance' yang dicirikan oleh interaksi harmonis berbagai lembaga yang ada dalam suatu Daerah Aliran Sungai (Cardenas, 2002).
Uraian tersebut sesungguhnya mencerminkan praktek pengelolaan yang bersifat "good governance", suatu modal budaya yang terdapat tidak saja di Bali tetapi juga pada sistem irigasi yang dibangun petani di kawasan pedesaan Jawa dan Sumatra. Pendekatan skolastik dalam upaya memperbaiki irigasi desa dan subak pada masa Orde Baru dalam banyak hal mengabaikan prinsip-prinsip tersebut yaitu memperbaiki irigasi masyarakat tani dengan rancangbangun yang standar yang diturunkan dari "Dutch School of Thought" yang berbasis hukum AWR yang pada hakekatnya mengutamakan prinsip kegunaan dan kepentingan (the classical principle of utility, lihat Rawls,1970).
UU No. 7 tahun 2004 memberikan ruang gerak bagi masyarakat petani untuk membangun sistem irigasinya sendiri dan juga mengakui hak-hak tradisional seperti hak ulayat, suatu langkah yang lebih maju dibandingkan dengan UU 11 tahun 1974. Walaupun hal ini merupakan "necessary condition" namun perlu dimunculkan 'sufficient condition". UU tersebut perlu diterjemahkan lebih lanjut berupa peraturan yang hendaknya dapat menjadi pemicu bagi pemulihan kembali dan pemanfaatan nilai-nilai budaya luhur yang terkandung dalam pengelolaan sumberdaya air khususnya dan sumberdaya alam pada umumnya yang diwariskan dari generasi kegenerasi.
Apabila harapan tersebut dapat diwujudkan, yang mungkin terjadi dalam jangka panjang, visi terwujudnya kesejahteraan rakyat yang seluas-luasnya dapat terpenuhi karena munculnya peluang yang lebih luas bagi pembangunan ekonomi yang berlanjut adil dan terpelihara serta berkembangnya nilai-nilai luhur budaya bangsa.
Undang undang no. 7 tahun 2004 memberikan landasan hukum yang cakupannya lebih luas dibandingkan dengan dua undang-undang sebelumnya namun demikian terbentang tantangan yang jauh lebih besar dalam menghadapi permasalahan pembangunan dan pengelolaan sumberdaya air dimasa sekarang dan yang akan datang.yang memerlukan kemampuan pemahaman yang lebih jernih dan dalam untuk mengetahui hakekat permasalahan yang dihadapi dan dalam menentukan agenda dan langkah pembangunan yang tepat untuk mewujudkan amanat oleh UUD 1945.

(3) Perkembangan Teknologi
Teknologi irigasi dapat dipandang sebagai suatu kerangka fisik yang melandasi perkembangan kelembagaan pengelolaan irigasi. Oleh karena itu perkembangan teknologi irigasi terkait erat dengan fase-fase perkembangan kelembagaan pengelolaan irigasi. Teknologi penyadapan air dengan pengambilan bebas dari sungai (free intake diversion system) dilengkapi dengan cross regulator yang sederhana dan sementara untuk memasukkan air ke blok persawahan mungkin merupakan inovasi awal yang dilakukan oleh masyarakat petani.
Perkembangan lebih lanjut adalah teknologi yang menggunakan pembagian proporsional dengan bangunan-bagi bercabang (bifurcation structure). Teknologi pembagian air proporsional secara utuh dipraktekkan pada irigasi Subak di Bali. Sedangkan teknologi free intake dengan cross regulator yang sederhana banyak dipraktekkan pada irigasi berbasis masyarakat di pulau Jawa. Karena sifatnya yang otonom dan transparan, teknologi ini merupakan penciri dari irigasi berbasis masyarakat. Irigasi yang dibangun dengan teknologi ini umumnya berskala kecil, sesuai dengan ciri kelompok masyarakat seperti yang terdapat di pulau Jawa umumnya berbasis desa. Karena itu sistem irigasi seperti ini biasanya disebut irigasi desa atau irigasi pedesaan.
Pada jaman kolonial Belanda mulai dibangun irigasi yang membendung sungai dengan berbagi kelengkapan pengaturan air. Horst (1998) membangun dua kategori teknologi yang dipraktekkan yaitu yang disebut teknologi buka dan tutup yaitu yang menggunakan pintu air yang dapat dibuka dan ditutup sedangkan kategori yang kedua adalah teknologi yang dapat mengatur air secara bertahap (gradually adjustable system). Sistem irigasi yang dibangun dengan menggunakan teknologi ini umumnya berskala lebih besar dari pada irigasi berbasis masyarakat dan memerlukan hirarki pengelolaan pada berbagai jenjang yang mendorong munculnya pengelolaan yang bersifat sentralistik. Inilah ciri-ciri dari irigasi berbasis pemerintah yang diintroduksi oleh pemerintah kolonial yang dimaksudkan baik untuk mengurangi kemiskinan yang terjadi pada masyarakat pribumi maupun untuk menjaga kepentingan komoditi ekspor yang memerlukan dukungan irigasi seperti tanaman tebu.
Perkembangan yang menggunakan teknologi yang lebih maju yaitu yang menggunakan peralatan otomatik untuk mengatur air dan yang menggunakan bantuan komputer untuk mengatur presisi suplai air. Sumber air yang dimanfaat­kan dapat berupa air permukaan dan air tanah secara sendiri sendiri atau bersama (Conjunctive use). Seperti yang telah dibahas sebelumnya pengelolaaan air yang berbasis pasar mungkin saja akan menggunakan teknologi seperti dalam kategori tersebut apabila komoditas yang diusahakan memberikan keuntungan yang besar dan diperlukan efisiensi yang tinggi serta pemberian air yang tepat waktu.
Pada masa yang akan datang, disamping irigasi berbasis pemerintah dan irigasi berbasis masyarakat pengelolaan irigasi berbasis pasar sebagai respons permintaan pasar terhadap komoditas yang bernilai tinggi diharapkan akan semakin meluas baik sebagai segmen sistem irigasi yang sudah ada maupun sebagai sistem irigasi yang berdiri sendiri. Sistem irigasi tersebut diharapkan akan memperkuat daya saing sesuatu komoditas dalam persaingan pasar global sedangkan sistem irigasi lainnya diharapkan memperkuat ketangguhan kinerjanya dengan memanfaatkan kearifan lokal dan sumberdaya setempat sehingga beban pengeluaran untuk operasi dan pemeliharaan, demikian pula rehabilitasi, turut dipikul oleh masyarakat setempat.
Oleh karena persaingan dalam memanfaatkan air akan semakin luas sejalan dengan pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan penduduk, dan perkembangan teknologi, maka konsep keterpaduan dalam lingkup yang luas dalam pengelolaan sumberdaya air menjadi semakin relevan.

Sumber :
Effendi Pasandaran, 2006. Reformasi Irigasi dalam Kerangka Pengelolaan Terpadu Sumberdaya Air.  Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 3 No. 3, September 2005 : 217-235.

Tuesday, 12 November 2019

Sentimen Pengamat Ekonomi Terendah

 

Sentimen Pengamat Ekonomi Jepang pada Oktober Turun ke Level Terendah dalam 8 Tahun setelah Kenaikan Pajak
 

Sentimen bisnis di kalangan pekerja yang pekerjaannya sensitif terhadap tren ekonomi menurun ke level terendah dalam delapan tahun pada bulan Oktober akibat penurunan penjualan setelah kenaikan pajak konsumsi di awal bulan tersebut, menurut data pemerintah yang dirilis pada hari Senin.

 

Indeks difusi kepercayaan di antara "pengamat ekonomi" seperti pengemudi taksi dan staf restoran turun 10,0 poin dari September menjadi 36,7, level terendah sejak Mei 2011 ketika konsumsi masih melemah pasca gempa bumi besar dan tsunami yang melanda wilayah timur laut Jepang pada Maret tahun tersebut.

 

Besarnya penurunan ini adalah yang paling tajam sejak April 2014, ketika indeks turun 15,7 poin setelah penyesuaian musiman menyusul kenaikan pajak konsumsi dari 5 persen menjadi 8 persen. Tarif pajak kemudian dinaikkan lagi menjadi 10 persen pada Oktober tahun ini.

 

Sentimen bisnis, yang turun untuk pertama kalinya dalam tiga bulan, juga melemah akibat dampak serangkaian bencana alam yang melanda Jepang pada Oktober, termasuk Topan Hagibis, menurut seorang pejabat pemerintah.

 

Angka di bawah 50 menunjukkan bahwa lebih banyak responden melaporkan kondisi yang memburuk dibandingkan yang melaporkan perbaikan dalam tiga bulan terakhir.

 

Meskipun indeks turun tajam, Kantor Kabinet mempertahankan penilaiannya bahwa "Ekonomi menunjukkan pergerakan lemah dalam pemulihannya," dengan pejabat tersebut menggambarkan dampak kenaikan pajak dan bencana sebagai "faktor sementara."

 

Dalam survei tersebut, seorang pegawai di toko peralatan rumah tangga di wilayah Koshinetsu, Jepang tengah, mengatakan jumlah pelanggan menurun setelah periode peningkatan permintaan menjelang kenaikan pajak.

 

Sementara itu, indeks difusi yang mengukur prospek ekonomi dalam beberapa bulan mendatang naik 6,8 poin menjadi 43,7 karena banyak responden memperkirakan dampak negatif dari kenaikan tarif pajak kemungkinan akan berkurang dalam waktu dekat.

 

Seorang pekerja di sebuah department store di wilayah Kanto selatan, Jepang timur, mengatakan bahwa pemulihan ekonomi kemungkinan akan terjadi lebih cepat dibandingkan setelah kenaikan pajak sebelumnya, karena musim belanja akhir tahun semakin dekat.

 

Survei ini melibatkan 2.050 orang dari tanggal 25 hingga 31 Oktober, dengan 1.830 orang atau 89,3 persen memberikan tanggapan.

 

SUMBER

The Mainichi, 12 November 2019

Monday, 11 November 2019

Penobatan Kaisar Naruhito

 

Kaisar Naruhito dan Permaisuri Masako Tersenyum Bahagia Saat Disambut Meriah di Parade Tokyo

 

Sebuah parade untuk merayakan penobatan Kaisar Naruhito sebagai bagian dari upacara nasional berlangsung pada sore hari tanggal 10 November. Rute parade dimulai dari Istana Kekaisaran di Distrik Chiyoda, Tokyo, hingga Istana Kekaisaran Akasaka di Distrik Minato, dengan panjang lintasan sekitar 4,6 kilometer.

 

Baik Kaisar Naruhito maupun Permaisuri Masako menaiki mobil dengan atap terbuka, menyapa masyarakat yang berkumpul untuk menyaksikan parade pertama di era Reiwa dengan senyuman dan lambaian tangan.

 

Untuk acara tersebut, pemerintah memesan sedan Toyota hybrid Century yang kemudian dimodifikasi untuk keperluan parade. Pasangan Kekaisaran memasuki mobil di Istana Kekaisaran sekitar pukul 3 sore. Kaisar mengenakan jas potong ekor dengan medali tingkat tertinggi di dadanya, sementara Permaisuri tampil anggun dalam gaun putih panjang, tiara, dan medali.

 

Saat iring-iringan kendaraan meninggalkan istana, departemen musik Badan Rumah Tangga Kekaisaran memainkan mars baru yang diciptakan khusus untuk acara ini. Konvoi dipimpin oleh tim sepeda motor dari Departemen Kepolisian Metropolitan Tokyo (MPD). Setelah kendaraan yang membawa Sekretaris Kabinet Yoshihide Suga, Perdana Menteri Shinzo Abe, dan pejabat lainnya, mobil atap terbuka yang membawa Pasangan Kekaisaran bergerak perlahan dengan kecepatan sekitar 10 kilometer per jam. Di belakang mereka, mobil yang membawa Putra Mahkota Akishino dan Putri Mahkota Kiko turut mengikuti. Secara keseluruhan, ada 46 kendaraan dalam konvoi ini, termasuk kendaraan pengamanan, dengan panjang iring-iringan sekitar 400 meter.

 

Di dekat Jembatan Nijubashi, pasukan Kehormatan Pasukan Bela Diri Darat Jepang menyambut dengan penghormatan senjata. Setelah berbelok ke kanan di persimpangan dekat Jembatan Nijubashi, konvoi bergerak menuju Sakuradamon, tempat markas besar MPD, dan gerbang depan Gedung Parlemen Nasional.

 

Dalam parade serupa yang merayakan penobatan Kaisar Emeritus Akihito pada November 1990, konvoi bergerak menuju bukit Miyakezaka dari gerbang depan Gedung Parlemen. Namun, kali ini rute diubah dengan mengambil belokan kiri menuju distrik Hirakawacho untuk meminimalkan waktu konvoi melintasi jalan layang dan memperpanjang waktu tampilan dari trotoar terdekat.

 

Banyak warga berkumpul di sepanjang Jalan Aoyama-dori, yang berada di dekat Kompleks Istana Akasaka. Ketika mobil yang membawa Pasangan Kekaisaran mendekat, kerumunan bersorak, melambaikan tangan, dan mengibarkan bendera kecil Matahari Terbit. Selain iringan musik dari band Pasukan Bela Diri dan MPD, band dari organisasi lain seperti Departemen Pemadam Kebakaran Tokyo turut memainkan mars, menciptakan suasana spektakuler. Iring-iringan memakan waktu sekitar 30 menit untuk tiba di Istana Kekaisaran Akasaka, tempat tinggal Pasangan Kekaisaran.

 

Pemerintah Jepang awalnya berencana mengadakan parade ini pada 22 Oktober, bersamaan dengan upacara penobatan Kaisar. Namun, karena pertimbangan atas kerusakan besar yang dialami di berbagai wilayah aibat Topan Hagibis, topan ke-19 musim ini, parade tersebut ditunda.

 

SUMBER

The Mainichi Shinbun, 10 November 2019
(Oleh Hiroyuki Takashima, Departemen Berita Kota)

Shinzo Abe dan Xi Jinping Bertemu

 

Shinzo Abe dan Xi Jinping Kemungkinan Bertemu Sebelum Pembicaraan Tiga Pihak

 

Pengaturan tengah dilakukan agar Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe bertemu dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping pada akhir Desember di Beijing, sebagaimana diketahui.

 

Sebelum menghadiri pertemuan trilateral dengan para pemimpin Tiongkok dan Korea Selatan di Chengdu, Provinsi Sichuan, Abe berencana mengunjungi Beijing untuk bertemu dengan Xi.

 

Kunjungan Abe bertujuan untuk mengonfirmasi kerja sama dengan Presiden Tiongkok tersebut, yang dijadwalkan melakukan kunjungan kenegaraan ke Tokyo pada bulan April.

 

Abe diperkirakan akan mengunjungi Tiongkok dari tanggal 23 hingga 25 Desember. Setelah bertemu dengan Xi pada tanggal 23 Desember, Abe dijadwalkan mengunjungi Chengdu untuk menghadiri pertemuan puncak trilateral yang dipimpin oleh Perdana Menteri Tiongkok Li Keqiang pada tanggal 24 Desember.

 

Kunjungan Abe ke Tiongkok ini akan menjadi yang pertama sejak kunjungannya ke Beijing pada Oktober tahun lalu, dan pertemuannya dengan Xi akan menjadi yang pertama sejak Abe memimpin pertemuan puncak G20 di Osaka pada bulan Juni.

 

Dalam pertemuan mendatang, Abe diperkirakan akan membahas situasi di Korea Utara, hubungan AS-Tiongkok, serta hubungan Jepang-Tiongkok.

 

Presiden Korea Selatan Moon Jae-in juga dijadwalkan menghadiri pembicaraan trilateral tersebut. Namun, apakah Abe dan Moon akan mengadakan pembicaraan bilateral masih belum dapat dipastikan.

 

SUMBER

The Washington Post. Diterbitkan pada 10 November 2019, pukul 16.34 SGT

'Trilateral+X' Jepang-China-Korea


 

Kemungkinan Kerja Sama 'Trilateral+X' Jepang-China-Korea

 

Pertemuan Menteri Luar Negeri Trilateral antara Jepang, Republik Rakyat Tiongkok, dan Republik Korea diadakan di Gubei Water Town, Tiongkok, pada 21 Agustus. Pertemuan ini diadakan untuk pertama kalinya dalam 3 tahun sejak pertemuan terakhir yang diadakan pada Agustus 2016 di Tokyo. Pertemuan tingkat puncak trilateral juga diadakan di Tokyo pada Mei tahun lalu, setelah periode kosong dua setengah tahun, dan pertemuan tahun ini akan diselenggarakan oleh Tiongkok pada bulan Desember. Pertemuan tingkat puncak atau tingkat menteri dari ketiga negara ini telah beberapa kali ditunda karena perselisihan politik antara dua atau ketiga negara tersebut.

 

Di tengah ketegangan antara Jepang dan Korea saat ini, sangat menarik bahwa Pertemuan Puncak Trilateral direncanakan untuk diadakan. Kerangka trilateral antara Jepang, Tiongkok, dan Korea dimulai ketika para pemimpin ketiga negara pertama kali berkumpul untuk pertemuan sarapan bersama dalam rangkaian ASEAN Plus Three (APT) Summit pada tahun 1999. Menandai ulang tahun ke-20 tahun ini, kerangka trilateral yang telah 'matang' ini sangat layak mendapatkan perhatian dari perspektif kerja sama dan integrasi regional tentang bagaimana kerangka trilateral ini harus lebih ditingkatkan.

 

Di antara Jepang, Tiongkok, dan Korea, lebih dari 70 kerangka kerja antar-pemerintah trilateral telah diinstitusionalisasi — termasuk 21 pertemuan tingkat menteri, pejabat senior (SOM), dan Direktur Jenderal (DGM) — dan kerja sama praktis di bidang-bidang seperti lingkungan hidup, ekonomi dan perdagangan, pertanian, pendidikan, energi nuklir, atau manajemen bencana telah dibahas dalam kerangka-kerangka ini. Di bidang lingkungan hidup, khususnya, telah menunjukkan kemajuan yang luar biasa. Misalnya, Pertemuan Menteri Lingkungan Hidup Tripartit (TEMM) telah diadakan setiap tahun sejak 1999. Secara sekilas, kerja sama trilateral telah mencapai kemajuan besar, meskipun banyak kerja sama di antara ketiga negara tersebut masih berupa konsultasi semata, dibandingkan dengan koordinasi nyata yang dilakukan dalam kerangka APT, seperti Inisiatif Chiang Mai. Kerja sama dalam mekanisme keamanan di antara Jepang, Tiongkok, dan Korea pun belum terwujud.

 

Sementara itu, Pernyataan Bersama dari Pertemuan Puncak Trilateral Jepang-China-Korea ke-7 yang diadakan di Tokyo pada bulan Mei lalu mencatat bahwa kerja sama trilateral akan dicari melalui konsep baru yang disebut 'Trilateral+X.' Pada Pertemuan Menteri Luar Negeri Trilateral Agustus tahun ini, diadopsi "Concept Paper on 'Trilateral+X' Cooperation" yang membahas kemungkinan kerja sama, terutama di bidang ekonomi dan pengurangan kemiskinan, dengan ketiga negara dan negara/negara lain serta bidang-bidang lainnya, berdasarkan prinsip win-win. Oleh karena itu, kerja sama trilateral diharapkan dapat ditingkatkan lebih lanjut berdasarkan konsep ini. Jika Jepang, Tiongkok, dan Korea bekerja sama untuk mempercepat negosiasi RCEP berdasarkan prinsip ini, misalnya, hal itu akan membantu mempercepat proses negosiasi untuk diselesaikan.

 

Dengan demikian, Jepang, Tiongkok, dan Korea memiliki kemungkinan untuk lebih meningkatkan hubungan trilateral yang praktis dan kooperatif melalui 'Trilateral+X.' Yang penting dilakukan di setiap negara untuk mencapai hal tersebut adalah berbagi visi bersama tentang masa depan kawasan ini. Di Asia Timur, terdapat visi untuk membentuk Komunitas Asia Timur, yang disebutkan sebagai tujuan masa depan di APT atau East Asia Summit (EAS). Di antara Jepang, Tiongkok, dan Korea juga, kerja sama trilateral diakui akan memainkan peran aktif untuk Komunitas Asia Timur, dalam kesepakatan seperti "Trilateral Cooperation VISION 2020" yang disepakati pada Pertemuan Puncak Trilateral tahun 2010. Oleh karena itu, sangat penting bagi Jepang, Tiongkok, dan Korea untuk lebih mempromosikan kerja sama fungsional dengan mengarah pada Komunitas Asia Timur, dengan kerangka baru 'Trilateral+X' dalam pikiran.

 

SUMBER:

"CEAC Commentary" No.119 "Possibility of Japan-China-Korea 'Trilateral+X' Cooperation", Oleh KIKUCHI Yona, Peneliti Senior, The Japan Forum on International Relations.