Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Sunday, 7 December 2025

Bahaya Sesium-137 Terungkap! Radioisotop ‘Hantu’ yang Mengancam Lingkungan & Kesehatan Kita

 


Sesium-137: Karakteristik Radioisotop, Perilaku Lingkungan, Kegunaan, dan Risiko Kesehatan

 

Abstrak

 

Sesium-137 (¹³⁷Cs) merupakan produk fisi nuklir berumur menengah yang berperan besar dalam kontaminasi lingkungan pasca kecelakaan reaktor dan uji senjata nuklir (Steinhauser et al., 2014). Waktu paruhnya yang panjang, volatilitas tinggi, sifat kimia yang mudah larut, serta emisi gama energik menjadikannya isu penting dalam radiologi lingkungan dan keamanan nuklir (Delacroix et al., 2002). Artikel ini meninjau karakteristik fisik-nuklir, mekanisme peluruhan, perilaku lingkungan, aplikasi industri, serta risiko kesehatan terkait paparan ¹³⁷Cs melalui telaah literatur sistematis.

 

1. Pendahuluan

 

Sesium-137 (¹³⁷Cs) adalah radioisotop antropogenik yang berasal dari fisi nuklir uranium-235 dan plutonium (Bunting, 1975). Isotop ini menjadi radionuklida global akibat jatuhan nuklir dan insiden besar seperti Chernobyl dan Fukushima (Yasunari et al., 2011; Steinhauser et al., 2014). Dengan waktu paruh 30,05 tahun, ia berkontribusi besar terhadap paparan radiasi jangka panjang di lingkungan (Delacroix et al., 2002).

 

2. Karakteristik Fisik dan Nuklir Sesium-137

 

Karakteristik inti dan data peluruhan ¹³⁷Cs telah dilaporkan secara rinci dalam kompilasi nuklir standar (Bunting, 1975; Delacroix et al., 2002). Peluruhan menuju ¹³⁷mBa dan emisi gama 661,7 keV menjadikan radionuklida ini mudah diidentifikasi dan sering dipakai sebagai sumber kalibrasi.

 

3. Fisika Peluruhan

 

Transisi gama 662 keV dari ¹³⁷mBa telah dikonfirmasi secara eksperimental dan menjadi dasar penggunaan ¹³⁷Cs sebagai standar spektrometri gama (Bunting, 1975). Proporsi 94,6% peluruhan menuju keadaan metastabil sejalan dengan model data peluruhan nuklir internasional (Delacroix et al., 2002).

 

4. Kegunaan Sesium-137

 

4.1 Bidang Industri

Penggunaan ¹³⁷Cs sebagai sumber radiasi industri mencakup pengukur ketebalan, logging sumur, dan kalibrasi, meski kini dibatasi karena sifat CsCl yang sangat larut (Okumura, 2003).

4.2 Bidang Medis

Aplikasi medis tradisional termasuk radioterapi dan brachytherapy, tetapi kini banyak digantikan oleh ⁶⁰Co (Delacroix et al., 2002).

4.3 Penelitian Lingkungan

¹³⁷Cs digunakan sebagai pelacak erosi, sedimentasi, dan sebagai tracer dalam studi transfer ekologis (Murakami et al., 2014; Paller et al., 2014; Negishi et al., 2017).

 

5. Perilaku Lingkungan Sesium-137

 

Volatilitas tinggi dan kelarutan CsCl menyebabkan penyebaran melalui atmosfer dan perairan (Steinhauser et al., 2014). Distribusi pasca-Fukushima terdokumentasi luas di tanah, laut, dan biota di Jepang (Yasunari et al., 2011; Otosaka & Kobayashi, 2013; Yamashiki et al., 2014). Mobilitas ¹³⁷Cs sangat dipengaruhi jenis tanah (Qin et al., 2012) dan dinamika ekosistem hutan (Nakanishi et al., 2014; Otosaka & Kobayashi, 2016).

Transport laut memperlihatkan peran arus mesoscale eddies dalam pergerakan isotop dari Fukushima ke Pasifik (Budyansky et al., 2014).

Pengukuran kontaminasi di berbagai kompartemen lingkungan juga dilaporkan di Amerika Utara (Smith et al., 2013) dan Eropa (Kirchner et al., 2015).

 

6. Risiko Kesehatan Sesium-137

 

¹³⁷Cs meniru perilaku biologis kalium dan berdistribusi pada jaringan lunak (Nikula et al., 1996). Data toksisitas eksperimental pada anjing dan hewan laboratorium menunjukkan hubungan jelas antara dosis dan kematian (Redman et al., 1972; Nikula et al., 1996).

Dampak ekologis pada biota sensitif juga tercatat, termasuk dampak multigenerasi pada kupu-kupu di Jepang (Nohara et al., 2014; Nohara et al., 2018).

Paparan manusia pasca-insiden Fukushima menunjukkan pola risiko yang berkaitan dengan paparan kronis tingkat rendah (Steinhauser et al., 2014).

 

7. Insiden Radiologis Penting Terkait Sesium-137

 

Insiden besar yang melibatkan ¹³⁷Cs menunjukkan dampak kesehatan signifikan, seperti:

  • Goiânia (1987): kasus paparan akut akibat CsCl (Delacroix et al., 2002).
  • Kontaminasi logam industri termasuk Acerinox Spanyol (1998) dan Tongchuan Tiongkok (2009) menunjukkan risiko sumber tua dan scrap metal (Okumura, 2003).
  • Pelepasan besar pada Fukushima Dai-ichi (2011) terdokumentasi secara luas (Yasunari et al., 2011; Steinhauser et al., 2014; Kirchner et al., 2015).

 

8. Metodologi

 

Sumber data utama mencakup jurnal ilmiah dan laporan internasional (Delacroix et al., 2002; Bunting, 1975). Data lingkungan diambil dari hasil penelitian ekologi pasca-Fukushima (Murakami et al., 2014; Paller et al., 2014; Negishi et al., 2017; Yamashiki et al., 2014).

 

9. Hasil

 

Tabel disusun berdasarkan kompilasi data nuklir (Bunting, 1975; Delacroix et al., 2002), penelitian toksikologi hewan (Redman et al., 1972; Nikula et al., 1996), dan studi lingkungan (Otosaka & Kobayashi, 2013; Qin et al., 2012; Nakanishi et al., 2014).

Tabel 1. Karakteristik Inti Sesium-137

Parameter

Nilai

Nomor atom

55

Waktu paruh

30,05 tahun

Energi beta

0,512 MeV

Energi gama

0,6617 MeV

Jalur peluruhan utama

β⁻ → ¹³⁷mBa

Aktivitas 1 gram

3,215 TBq

Kelarutan

Sangat tinggi (CsCl)

 

Tabel 2. Dampak Kesehatan Paparan ¹³⁷Cs

Spesies / Kondisi

Dosis

Hasil

Tikus

21,5 μCi/g

50% kematian dalam 30 hari

Anjing

3800 μCi/kg

Kematian dalam 33 hari

Manusia – paparan kronis

<100 Bq/kg

Peningkatan risiko kanker

Manusia – kecelakaan akut

>1 Gy (setara)

Sindrom radiasi akut

 

Tabel 3. Tren Mobilitas Sesium-137 dalam Lingkungan

Media Lingkungan

Mobilitas (skala 1–10)

Udara

9

Air permukaan

8

Tanah liat

3

Tanah berpasir

7

Biota

6

 

Data menunjukkan bahwa mobilitas tertinggi terjadi di udara dan air permukaan, sementara terendah pada tanah liat akibat daya adsorpsi yang kuat.

 

10. Pembahasan

 

Kajian perilaku lingkungan ¹³⁷Cs menunjukkan ketergantungan kuat pada karakteristik mineral tanah dan dinamika ekosistem (Qin et al., 2012; Nakanishi et al., 2014; Negishi et al., 2017). Data pergerakan laut dari Fukushima memberikan gambaran transport lintas-samudra (Budyansky et al., 2014).

Pengaruh biologis dilaporkan dalam studi toksikologi dan ekologi baik pada mamalia maupun serangga (Redman et al., 1972; Nikula et al., 1996; Nohara et al., 2014).

 

11. Kesimpulan

Studi ini menegaskan bahwa ¹³⁷Cs merupakan radionuklida kunci dalam radiologi lingkungan dan kesehatan. Pemahaman mendalam terhadap peluruhan, perilaku lingkungan, dan risiko kesehatan memerlukan integrasi data dari berbagai sumber ilmiah (Steinhauser et al., 2014; Yasunari et al., 2011; Bunting, 1975).

 

Daftar Pustaka

  1. Bunting, R. L. (1975). Nuclear Data Sheets for A = 137. Nuclear Data Sheets, 15(3), 335–369. https://doi.org/10.1016/0090-3752(75)90026-0 OSTI+1
  2. Delacroix, D., Guerre, J.-P., Leblanc, P., & Hickman, C. (2002). Radionuclide and Radiation Protection Data Handbook (2nd ed.). Nuclear Technology Publishing. SpringerLink+1
  3. Murakami, M., Ohte, N., Suzuki, T., Ishii, N., Igarashi, Y., & Tanoi, K. (2014). Biological proliferation of cesium-137 through the detrital food chain in a forest ecosystem in Japan. Scientific Reports, 4, 3599. https://doi.org/10.1038/srep03599 PMC+1
  4. Paller, M. H., Jannik, G. T., & Baker, R. A. (2014). Effective half-life of caesium-137 in various environmental media at the Savannah River Site. Journal of Environmental Radioactivity, 131, 81–88. https://doi.org/10.1016/j.jenvrad.2013.10.024 ScienceDirect+1
  5. Steinhauser, G., Brandl, A., & Johnson, T. E. (2014). Comparison of the Chernobyl and Fukushima nuclear accidents: A review of the environmental impacts. Science of the Total Environment, 470–471, 800–817. https://doi.org/10.1016/j.scitotenv.2013.10.029 CoLab+1
  6. Nikula, K. J., Boecker, B. B., & Griffith, W. C. (1996). Biological effects of ¹³⁷CsCl injected in beagle dogs of different ages. Radiation Research, 142(3), 347–361. https://doi.org/10.2307/3579554 OSTI
  7. Redman, H. C., McClellan, R. O., Jones, R. K., Boecker, B. B., Chiffelle, T. L., Pickrell, J. A., & Rypka, E. W. (1972). Toxicity of 137-CsCl in the beagle: Early biological effects. Radiation Research, 50(3), 629–648. doi:10.2307/3573559 Academic Dictionaries and Encyclopedias+1
  8. Okumura, T. (2003). The material flow of radioactive cesium-137 in the U.S., 2000. U.S. Environmental Protection Agency. (EPA Report) dent.ibnsina.edu.iq+1
  9. Yasunari, T. J., Stohl, A., Hayano, R. S., Burkhart, J. F., Eckhardt, S., & Yamamoto, M. (2011). Cesium-137 deposition and contamination of Japanese soils due to the Fukushima nuclear accident. Proceedings of the National Academy of Sciences, 108(49), 19530–19534. https://doi.org/10.1073/pnas.1112058108 PMC+1
  10. Nohara, C., Hiyama, A., Taira, W., Tanahara, A., & Otaki, J. M. (2014). Ingestion of radioactively contaminated diets for two generations in the pale grass blue butterfly. BMC Evolutionary Biology, 14, 193. https://doi.org/10.1186/s12862-014-0193-7 u-ryukyu.repo.nii.ac.jp
  11. Nohara, C., Hiyama, A., Taira, W., Tanahara, A., Takatsuji, T., & Otaki, J. M. (2018). Robustness and radiation resistance of the pale grass blue butterfly from radioactively contaminated areas: a possible case of adaptive evolution. Journal of Heredity, 109(1), 31–... [halaman lengkap tergantung edisi] u-ryukyu.repo.nii.ac.jp
  12. Otosaka, S., & Kobayashi, T. (2013). Sedimentation and remobilization of radiocesium in the coastal area of Ibaraki, 70 km south of the Fukushima Dai-ichi Nuclear Power Plant. Environmental Monitoring and Assessment, 185, 5419–5433. https://doi.org/10.1007/s10661-012-2982-7 ResearchMap+1
  13. Qin, H., Yokoyama, Y., Fan, Q., Iwatani, H., Tanaka, K., Sakaguchi, A., Kanai, Y., Zhu, J., Onda, Y., & Takahashi, Y. (2012). Investigation of cesium adsorption on soil and sediment samples from Fukushima Prefecture by sequential extraction and EXAFS technique. Geochemical Journal, 46, 297–302. https://doi.org/10.2343/geochemj.1.0241 ResearchMap
  14. Nakanishi, T., Matsunaga, T., Koarashi, J., & Atarashi-Andoh, M. (2014). ¹³⁷Cs vertical migration in a deciduous forest soil following the Fukushima Dai-ichi Nuclear Power Plant accident. Journal of Environmental Radioactivity, 128, 9–14. https://doi.org/10.1016/j.jenvrad.2013.09.005 SpringerLink+1
  15. Negishi, J. N., Sakai, M., Okada, K., Iwamoto, A., Gomi, T., & Miura, K. (2017). Cesium-137 contamination of river food webs in a gradient of initial fallout deposition in Fukushima, Japan. Landscape Ecology and Engineering, 14, 55–66. https://doi.org/10.1007/s11355-017-0324-4 ResearchMap
  16. Otosaka, S., & Kobayashi, T. (2016). Input and output budgets of radiocesium concerning the forest floor in a mountain forest of Fukushima released from the TEPCO’s Fukushima Dai-ichi nuclear power plant accident. Journal of Environmental Radioactivity, 161, 11–21. https://doi.org/10.1016/j.jenvrad.2016.05.006 ScienceDirect+1
  17. Yamashiki, Y., Onda, Y., Koarashi, J., Tsuji, H., Yukievich, N., & Okumura, T. (2014). Reservoir sediments as a long-term source of dissolved radiocaesium in water systems: A mass balance case study in an artificial reservoir in Fukushima, Japan. Science of the Total Environment, 497–498, 105–114. https://doi.org/10.1016/j.scitotenv.2014.08.095 OSTI+1
  18. Kirchner, G., Bossew, P., & De Cort, M. (2015). Radioactivity from Fukushima Dai-ichi in air over Europe; part 2: what can it tell us about the accident? Journal of Environmental Radioactivity, 150–151, 1–13. https://doi.org/10.1016/j.jenvrad.2015.05.010 PMC+1
  19. Smith, A. R., Thomas, K. J., Norman, E. B., Hurley, D. L., Lo, B. T., Chan, Y. D., Guillaumon, P. V., & Harvey, B. G. (2013). Measurements of fission products from the Fukushima Daiichi incident in filters, rainwater, and food in the San Francisco Bay area. arXiv preprint arXiv:1312.7314. arXiv
  20. Budyansky, M. V., Goryachev, V. A., Kaplunenko, D. D., Lobanov, V. B., Prants, S. V., Sergeev, A. F., Shlyk, N. V., & Uleysky, M. Y. (2014). Role of mesoscale eddies in transport of Fukushima-derived cesium isotopes in the ocean. arXiv preprint arXiv:1410.2359. arXiv

#Sesium137 
#Radioisotop 
#Radiasi 
#Lingkungan 
#Kesehatan

Alarm PPR di Asia Tenggara! Risiko Masuknya Penyakit Mematikan Kambing–Domba Lebih Tinggi dari Perkiraan!

 

Penilaian Risiko Kualitatif terhadap Pengenalan Peste des Petits Ruminants (PPR) di kawasan ASEAN

 

Ringkasan

 

Peste des petits ruminants (PPR) adalah penyakit hewan lintas batas yang ditandai dengan demam tinggi, keluarnya sekresi hidung, gangguan pernapasan, dan diare. Virus PPR sangat menular dan terutama menyebar melalui kontak dengan hewan terinfeksi, meskipun penularan tidak langsung juga dapat terjadi melalui pakan, air, dan peralatan yang terkontaminasi. PPR merupakan salah satu penyakit virus paling penting pada ruminansia kecil dan menyebabkan morbiditas serta mortalitas yang tinggi, terutama pada populasi naïf yang belum pernah terpapar virus PPR sebelumnya. PPR menimbulkan ancaman serius bagi populasi ruminansia kecil dan diperkirakan menyebabkan lebih dari 37 juta kematian pada domba dan kambing setiap tahun di negara endemik, dengan kerugian mencapai USD 1,48 miliar per tahun (Jones et al., 2016).

 

Wilayah Asia Tenggara pada umumnya masih bebas dari PPR. Namun, bukti serologis telah terdeteksi di Laos dan Vietnam, dan pernah dilaporkan adanya introduksi penyakit di Thailand akibat impor hewan hidup. Wilayah ini juga berbatasan dengan India, Bangladesh, dan Tiongkok, yang merupakan negara endemik PPR. PPR tetap menjadi ancaman signifikan bagi kawasan karena apabila penyakit ini masuk, dampaknya akan besar terhadap kesehatan dan produksi ruminansia kecil, serta dapat memengaruhi mata pencaharian peternak, perekonomian pedesaan, dan pasokan pangan. Mengingat pentingnya penyakit ini bagi kawasan, ASEAN Sectoral Working Group for Livestock (ASWGL) pada pertemuan tahun 2021 memutuskan untuk mengembangkan Strategi Kesiapsiagaan PPR Regional guna memperkuat kapasitas negara anggota dalam mencegah, mendeteksi, dan menanggulangi PPR, serta meningkatkan koordinasi dan pertukaran informasi di kawasan ASEAN.

 

Penilaian risiko ini dilakukan untuk mendukung pengembangan strategi kesiapsiagaan ASEAN tersebut. Tujuannya adalah menilai kemungkinan masuknya virus PPR (PPRV) ke negara-negara Anggota ASEAN untuk menentukan opsi mitigasi risiko demi melindungi populasi ruminansia kecil yang rentan serta mata pencaharian peternak di kawasan. Analisis risiko kualitatif ini mengikuti pedoman WOAH sebagaimana dijelaskan dalam Bab 2.1 Kode Kesehatan Hewan Terestrial WOAH (23) dan Handbook on Import Risk Analysis for Animals and Animal Products (24). Kami juga merujuk pada rekomendasi terkait impor hewan dan produknya yang tercantum dalam Bab 4.7 Kode Kesehatan Hewan Terestrial WOAH (25).

 

Dasar inferensi kami menggunakan data perdagangan resmi dan survei terhadap negara-negara Anggota ASEAN. Proses dimulai dengan merumuskan pertanyaan risiko dan mengembangkan jalur risiko (risk pathways) untuk masuknya PPR ke kawasan ASEAN melalui perdagangan formal maupun informal atas domba/kambing hidup, daging dan produk daging, semen, serta embrio, dengan berkonsultasi bersama perwakilan regional. Data perdagangan resmi dikumpulkan dari basis data FAOSTAT, dan informasi status PPR negara pengekspor berasal dari sistem informasi WAHIS milik WOAH. Data tambahan terkait praktik impor di negara ASEAN diperoleh melalui survei menggunakan kuesioner khusus. Menghubungkan data perdagangan dengan status PPR negara asal serta data survei memungkinkan kami membuat inferensi objektif tentang tingkat risiko berbagai aktivitas impor dari berbagai negara.

 

Hasil laporan ini menunjukkan bahwa kawasan ASEAN memiliki risiko yang tidak dapat diabaikan terkait masuknya PPR melalui perdagangan ruminansia kecil dan produknya, maupun melalui potensi introduksi penyakit dari negara tetangga. Namun, sebagian besar risiko dapat dikelola dengan mengubah sumber impor ruminansia kecil dan produknya, mewajibkan penyediaan sertifikat veteriner internasional, serta memperkuat fasilitas dan layanan karantina perbatasan, layanan veteriner, dan laboratorium melalui partisipasi dalam evaluasi PVS dan implementasi rekomendasinya.

 

Berdasarkan temuan penilaian risiko ini, kami memberikan rekomendasi berikut:

 

Rekomendasi Utama

 

1. Mengimpor dari negara berisiko rendah

Beli ruminansia kecil dan produknya dari negara/wilayah yang bersertifikat bebas PPR atau yang secara historis tidak pernah melaporkan PPR. Pastikan eksportir memilih peternakan yang tidak melaporkan kasus PPR sedikitnya dalam 21 hari terakhir.

 

2. Wajibkan penyediaan sertifikat veteriner internasional

Minta eksportir menyediakan sertifikat yang memenuhi persyaratan dalam Bab 4.7 Kode Kesehatan Hewan Terestrial WOAH (25), misalnya:

  • hewan tidak menunjukkan gejala klinis PPR dalam 21 hari terakhir,
  • donor semen/embrio berasal dari negara/wilayah bebas PPR selama 21 hari sebelum pengambilan,
  • daging berasal dari hewan yang tidak menunjukkan gejala PPR dalam 24 jam sebelum pemotongan.

Sertifikat ini juga menjamin bahwa hewan dipotong di rumah potong hewan yang disetujui dan menjalani pemeriksaan ante-mortem dan post-mortem, serta bahwa semen dan embrio dikumpulkan, diproses, dan disimpan sesuai standar WOAH.

 

3. Memastikan pengaturan pra-karantina sebelum ekspor

Wajibkan negara pengekspor menempatkan hewan di fasilitas pra-ekspor selama minimal 21 hari sebelum pengiriman dan menolak seluruh kiriman bila ada hewan yang menunjukkan gejala selama periode tersebut. Pastikan fasilitas memiliki SOP yang diikuti dengan baik dan bahwa dokter hewan terlatih dalam diagnosis PPR. Wajibkan pula pengujian hewan dengan uji diagnostik PPR yang memiliki sensitivitas tinggi.

 

4. Memperkuat fasilitas dan tenaga karantina

Tempatkan hewan di stasiun karantina selama minimal 21 hari, terutama jika tidak menjalani pra-ekspor yang memadai. Susun SOP pemeriksaan dan pengujian hewan di karantina dengan uji sensitif. Pastikan dokter hewan dan tenaga laboratorium terlatih dalam pengambilan sampel dan diagnosis PPR. Peningkatan kualitas laboratorium melalui evaluasi PVS sangat dianjurkan.

 

5. Memperkuat biosekuriti perbatasan

Latih petugas perbatasan dan karantina untuk melakukan pengawasan ketat terhadap perdagangan ilegal ruminansia kecil dan produknya. SOP harus memastikan bahwa hewan sitaan dieutanasi dan produk hewan mentah ilegal dimusnahkan.

 

Strategi manajemen risiko ini diharapkan dapat mengurangi risiko masuknya PPR ke negara-negara Anggota ASEAN, sekaligus memperkuat kapasitas mereka dalam menghadapi penyakit hewan lintas batas lainnya sambil tetap mempertahankan perdagangan ruminansia kecil dan produknya.

 

Nilai tambah akan diperoleh dari pengembangan lanjutan kajian ini. Meski dilakukan pada tingkat regional, proses dan jalur risiko dapat berbeda antarnegara. Kami berupaya memberikan detail nasional semaksimal mungkin sambil mempertahankan perspektif regional, namun penyempurnaan jalur risiko tetap diperlukan untuk implementasi pada tingkat negara. Selain itu, cakupan proyek ini belum mencakup penilaian paparan dan konsekuensi. Kajian ini dapat diperluas dengan memasukkan kedua komponen tersebut untuk menghasilkan estimasi risiko yang lebih komprehensif melalui integrasi penilaian masuk (entry), paparan (exposure), dan konsekuensi (consequence).


#PPR 

#ASEANBiosecurity 

#RiskAssessment 

#LivestockHealth 

#TransboundaryDisease


Saturday, 6 December 2025

Masjid Umayyah: Misteri Kuil Kuno Berubah Menjadi Permata Tauhid Dunia Islam

 


Masjid Umayyah: Jejak Tauhid di Tanah Para Nabi

 

Di jantung Kota Damaskus, Suriah, berdirilah sebuah bangunan yang menyimpan perjalanan panjang keagamaan manusia—Masjid Umayyah. Tidak hanya menjadi salah satu masjid tertua dan terbesar di dunia, masjid ini juga menjadi saksi bisu bagaimana cahaya tauhid hadir dan menuntun perubahan besar dalam sejarah peradaban. Perjalanan panjang tempat suci ini memperlihatkan bagaimana Allah menata skenario-Nya melalui lintasan zaman, bangsa, dan keyakinan.

 

Jejak Kuno dari Masa Aram hingga Romawi

Ribuan tahun sebelum muadzin menggemakan Allahu Akbar di atas menara Damaskus, lokasi Masjid Umayyah sudah menjadi pusat ibadah masyarakat kuno. Di masa Aram, tempat ini merupakan kuil untuk Hadad, dewa hujan yang diagungkan oleh suku-suku setempat.¹ Seiring bergulirnya kekuasaan Romawi, kuil tersebut berubah fungsi menjadi kuil Zeus, lalu Jupiter—melambangkan hadirnya pengaruh kekuasaan dan teologi baru di tanah Syam.²

Pada abad ke-4, ketika agama Kristen berkembang melalui Kekaisaran Romawi Timur, kuil itu kembali berubah menjadi gereja.³ Kompleks ini menjadi tempat ibadah penting, bagian dari dinamika spiritual yang terus bergerak mengikuti perubahan zaman.



 

Datangnya Islam dan Dimulainya Era Baru

Pada tahun 634 M, ketika pasukan Muslim memasuki Damaskus, sebuah babak baru pun dimulai. Tempat yang dulunya kuil dan gereja itu berubah menjadi masjid, namun masih tetap digunakan secara bersama oleh kaum Muslim dan Kristen—sebuah simbol toleransi dan koeksistensi yang mengagumkan.⁴

Hingga akhirnya pada tahun 706 M, Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik dari Dinasti Umayyah memulai pembangunan besar-besaran. Di atas fondasi gereja St. John the Baptist, beliau membangun sebuah masjid agung yang kelak menjadi ikon Islam awal dan permata arsitektur dunia.

Masjid Umayyah tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga pernyataan bahwa peradaban Islam hadir dengan keindahan, kebijaksanaan, dan peradaban yang unggul.

 


Keindahan Arsitektur yang Menyatukan Langit dan Bumi

Keagungan Masjid Umayyah nyata terlihat dari bentuk fisiknya. Masjid ini memiliki tiga menara yang menjulang, empat mihrab megah, serta tiga kubah besar yang mencerminkan kesinambungan gaya arsitektur Islam awal.⁵

Dindingnya dihiasi mosaik-mosaik emas yang begitu indah, menggambarkan pemandangan surga, pepohonan, dan kota-kota ideal. Tanpa gambar makhluk hidup, motif-motif ini menjadi simbol betapa masjid ini merupakan penghubung antara bumi dan langit—antara dunia dan akhirat.

Para sejarawan menilai bahwa desain masjid ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan arsitektur Islam di berbagai belahan dunia. Dari Andalusia hingga Asia Tengah, gema gaya Masjid Umayyah dapat ditemukan jejaknya.

 

Cobaan dan Kebangkitan Masjid Sepanjang Abad

Namun, sejarah besar tidak pernah terlepas dari cobaan. Masjid Umayyah mengalami beberapa kebakaran besar—pada tahun 1069, 1401, dan 1893—yang merusak sebagian bangunannya.⁶ Tetapi setiap kali musibah melanda, Allah selalu menghadirkan tangan-tangan pemelihara dari berbagai dinasti: Abbasiyah, Seljuk, hingga Ottoman.

Mereka merestorasi, memperindah, dan menjaga masjid ini, seolah memastikan bahwa cahaya yang terpancar dari tempat ini tetap terjaga bagi generasi setelahnya.

 


Pelajaran Dakwah dari Sebuah Bangunan Agung

Masjid Umayyah bukan sekadar bangunan tua. Ia adalah metafora perjalanan manusia menuju tauhid—dari penyembahan kepada berhala, menuju pemahaman wahyu, hingga kemudian bersujud hanya kepada Allah Swt.

Dalam masjid ini terdapat pelajaran dakwah yang mendalam:

  1. Hidayah Allah bergerak melalui sejarah, menjangkau siapa pun yang mencari kebenaran.
  2. Peradaban Islam dibangun dengan ilmu, seni, dan ketakwaan, bukan hanya kekuatan politik.
  3. Warisan umat harus dijaga, karena bangunan-bangunan suci bukan hanya batu—melainkan pengingat iman.
  4. Keindahan adalah bagian dari dakwah, sebagaimana para khalifah menghias masjid dengan kemegahan yang mengarahkan hati kepada kebesaran Allah.

Hingga hari ini, Masjid Umayyah berdiri sebagai pusat spiritual dan budaya Islam. Suaranya bergaung, memanggil jutaan hati untuk kembali merenungi perjalanan panjang manusia mencari Allah Swt.

 

REFERENSI

 

¹ Burns, R. (1999). Damascus: A History.

² Porter, A. (2010). Near Eastern Archaeology.

³ Healey, J.F. (2015). Aramaic Inscriptions and Documents.

⁴ Al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk.

⁵ Creswell, K.A.C. (1989). Early Muslim Architecture.

⁶ Allen, T. (2004). Historical Mosques of Syria.


#SejarahIslam 

#MasjidUmayyah 

#Damaskus 

#DakwahTauhid 

#PeradabanIslam

Friday, 5 December 2025

Deforestasi Bikin Bumi Kering? Fakta Mengejutkan Dampaknya pada Siklus Air Global!

 



Policy Brief

Dampak Deforestasi terhadap Siklus Hidrologi: Kajian Mekanisme dan Konsekuensi Ekologis

 


Ringkasan Eksekutif


Hutan hujan Amazon, sebagai ekosistem tropis terbesar di dunia, memainkan peran vital dalam menjaga stabilitas hidrologi dan iklim global. Laju deforestasi yang terus meningkat telah mengganggu proses-proses hidrologis fundamental, termasuk transpirasi, presipitasi, infiltrasi, dan penyimpanan air tanah. Bukti empiris menunjukkan bahwa Amazon berpotensi mendekati titik kritis ekologis (tipping point) pada tahun 2050 apabila kehilangan hutan terus berlanjut. Kebijakan pengelolaan hutan berkelanjutan dan restorasi ekosistem menjadi sangat penting untuk menjaga ketahanan air, keanekaragaman hayati, dan stabilitas sosial-ekonomi di tingkat regional dan global.

 

1. Peran Hutan dalam Siklus Hidrologi


Siklus hidrologi terdiri dari proses evaporasi, transpirasi, kondensasi, presipitasi, infiltrasi, aliran permukaan, dan penyimpanan air tanah. Vegetasi hutan memegang peran sentral melalui:

  • Transpirasi, yang menyumbang hingga 30–50% kelembapan atmosfer di kawasan tropis (Bonan, 2008).
  • Pendinginan evaporatif, yang menstabilkan suhu dan menjaga kelembapan lokal.
  • Peningkatan infiltrasi, melalui struktur akar dan serasah daun yang menjaga porositas tanah.
  • Pengaturan siklus presipitasi, terutama pada ekosistem besar seperti Amazon yang menghasilkan “flying rivers”.

Hanya 3% air di bumi yang tergolong air tawar, sehingga keberlangsungan mekanisme hidrologi ini sangat penting bagi keberlanjutan ekosistem dan kebutuhan manusia.

 

2. Dampak Deforestasi terhadap Siklus Hidrologi


a. Penurunan Transpirasi dan Evaporasi

Hilangnya pohon menurunkan pelepasan uap air ke atmosfer. Penelitian menunjukkan bahwa deforestasi Amazon dapat menurunkan curah hujan sebanyak 20–30% di wilayah tertentu (Spracklen et al., 2012). Penurunan ini memperburuk kekeringan dan mengurangi stabilitas iklim lokal.


b. Perubahan Pola Presipitasi

Ketika evaporasi-transpirasi menurun, pembentukan awan juga melemah. Model iklim memprediksi bahwa Amazon dapat berubah menjadi ekosistem semi-kering jika kehilangan hutan mencapai 40% (Nobre et al., 2016). Curah hujan juga menjadi lebih tidak teratur, meningkatkan frekuensi kejadian ekstrem.


c. Penurunan Infiltrasi dan Peningkatan Runoff

Deforestasi meningkatkan aliran permukaan hingga empat kali lipat, sementara kapasitas tanah menyerap air menurun signifikan (Bruijnzeel, 2004). Dampaknya meliputi erosi, sedimentasi sungai, banjir, serta penurunan kualitas air.


d. Degradasi Tanah dan Kontaminasi

Tanpa akar dan serasah, tanah kehilangan stabilitas dan unsur hara. Bahan kimia pertanian dan polutan lain lebih mudah terbawa ke sungai, memperburuk kondisi ekosistem air tawar dan mengancam kesehatan masyarakat.

 

3. Bukti Empiris dari Amazon


Amazon telah kehilangan sekitar 20% tutupan hutan dalam 50 tahun terakhir. Studi menunjukkan:

  • Sebagian besar wilayah Amazon kini mengalami musim kering yang lebih panjang (Marengo et al., 2018).
  • Flying rivers”, yaitu aliran uap air yang membawa kelembapan ke wilayah selatan Brasil, semakin melemah. Kondisi ini berkontribusi pada kekeringan ekstrem di São Paulo pada 2014–2015 (Nobre, 2014).
  • Jika tren deforestasi tidak dihentikan, Amazon diperkirakan mencapai tipping point pada tahun 2050, memicu transformasi cepat menjadi sabana kering (Lovejoy & Nobre, 2018).

Perubahan di Amazon memiliki efek teleconnections, memengaruhi curah hujan bahkan di kawasan yang jauh dari pusat deforestasi.

 

4. Upaya Restorasi dan Implikasi Kebijakan


Berbagai program global dan lokal menunjukkan hasil yang menjanjikan:

  • The Canopy Project dan inisiatif reforestasi global terbukti meningkatkan kelembapan lokal dan kualitas tanah.
  • Restorasi catchment di Cape Town menunjukkan peningkatan ketersediaan air tanah setelah vegetasi endemik dipulihkan.


Implikasi Kebijakan


Pemerintah nasional dan daerah perlu:

  1. Membatasi deforestasi melalui penegakan hukum, pemantauan satelit, dan pengawasan rantai pasok komoditas.
  2. Mendorong pengelolaan hutan berkelanjutan, termasuk agroforestri dan sertifikasi hutan.
  3. Melindungi daerah aliran sungai (DAS) sebagai pusat pengaturan hidrologi.
  4. Mempercepat restorasi ekosistem kritis, terutama wilayah yang memengaruhi siklus presipitasi regional.
  5. Mengintegrasikan sains hidrologi dalam perencanaan tata ruang, termasuk pembatasan alih fungsi lahan di kawasan resapan air.

 

5. Kesimpulan


Deforestasi memiliki dampak mendalam terhadap siklus hidrologi global. Pengurangan tutupan pohon mengganggu transpirasi, mengubah pola presipitasi, meningkatkan runoff, mempercepat erosi, dan memperburuk degradasi tanah. Jika tidak segera dikendalikan, deforestasi dapat menyebabkan perubahan iklim regional, krisis air, penurunan produktivitas pertanian, hilangnya biodiversitas, dan instabilitas sosial-ekonomi.


Perlindungan dan restorasi hutan adalah langkah mendesak untuk menjaga ketahanan iklim dan ketersediaan air di masa depan.

 

Daftar Pustaka

Bonan, G. B. (2008). Forests and climate change: Forcings, feedbacks, and the climate benefits of forests. Science, 320(5882), 1444–1449.

Bruijnzeel, L. A. (2004). Hydrological functions of tropical forests: Not seeing the soil for the trees? Agriculture, Ecosystems & Environment, 104(1), 185–228.

Lovejoy, T. E., & Nobre, C. A. (2018). Amazon tipping point. Science Advances, 4(2), eaat2340.

Marengo, J. A., et al. (2018). Changes in climate and land use over the Amazon region: Current and future variability and trends. Frontiers in Earth Science, 6, 228.

Nobre, C. A. (2014). The future climate of Amazonia. Scientific Report, INPE.

Nobre, C. A., Sampaio, G., Borma, L. S., et al. (2016). Land-use and climate change risks in the Amazon and the need of a novel sustainable development paradigm. PNAS, 113(39), 10759–10768.

Spracklen, D. V., Arnold, S. R., & Taylor, C. M. (2012). Observations of increased tropical rainfall preceded by air passage over forests. Nature, 489(7415), 282–285.

The Canopy Project. (2020). Global reforestation impact report. Earth Day Network.


#Deforestasi

#SiklusAir

#KrisisIklim

#RestorasiHutan

#KetahananAir