Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Thursday, 25 December 2025

Alarm Pendidikan 2025: Nilai Siswa Indonesia–Jepang Turun Bersamaan, Apa yang Salah dengan Sistem Belajar Kita?


Ringkasan Eksekutif


Pada tahun 2025, dua negara dengan konteks pendidikan yang sangat berbeda—Indonesia dan Jepang—menghadapi fenomena yang sama: penurunan prestasi akademik siswa pada jenjang sekolah lanjutan, terutama pada aspek literasi, numerasi, dan penalaran ilmiah.


Di Indonesia, hasil Tes Kemampuan Akademik (TKA) 2025 jenjang SMA menunjukkan kondisi darurat literasi dan numerasi, dengan nilai Matematika dan Bahasa Inggris yang sangat rendah. Sementara di Jepang, Tes Prestasi Nasional 2025 juga mencatat penurunan signifikan pada Bahasa Jepang, Matematika, dan Sains, bahkan mencapai titik terendah sejak reformasi format tes tahun 2019.


Temuan ini menegaskan bahwa penurunan capaian akademik bukan persoalan lokal semata, melainkan tantangan global yang dipengaruhi oleh perubahan pedagogi, dampak pascapandemi, transisi sistem asesmen, serta melemahnya penguatan kompetensi dasar.

 

Latar Belakang Masalah


Prestasi akademik merupakan indikator penting kualitas sistem pendidikan. Penurunan capaian secara nasional, apalagi terjadi di lebih dari satu negara, perlu dibaca sebagai alarm kebijakan, bukan sekadar fluktuasi nilai ujian.

Tahun 2025 menghadirkan bukti kuat bahwa:

  • Sistem pendidikan Indonesia belum pulih sepenuhnya dari krisis pembelajaran.
  • Sistem pendidikan Jepang, meski matang dan stabil, juga menghadapi tantangan baru dalam penguatan keterampilan dasar di era digital.

 

Temuan Utama dari Indonesia (TKA 2025)


Hasil TKA 2025 jenjang SMA/sederajat menunjukkan gambaran yang mengkhawatirkan:

  • Matematika wajib: rata-rata 36,10
  • Bahasa Inggris wajib: 24,93
  • Bahasa Indonesia wajib: 55,38

 

Nilai rendah ini menandakan:

  1. Lemahnya literasi dan numerasi dasar, bukan sekadar kesulitan teknis soal.
  2. Pembelajaran masih berorientasi hafalan, bukan pemahaman konsep dan penalaran.
  3. Budaya numerasi yang rapuh, dengan Matematika dipersepsikan sebagai pelajaran “menakutkan”.
  4. Dampak panjang pandemi Covid-19, terutama pada mata pelajaran yang menuntut latihan berkelanjutan.
  5. Ketimpangan kesiapan guru dan sekolah dalam mengimplementasikan kurikulum berbasis kompetensi.

Walaupun TKA tidak menentukan kelulusan, hasil ini menjadi cermin kompetensi nasional yang menunjukkan bahwa sistem pembelajaran belum sepenuhnya mendukung tumbuhnya daya pikir kritis siswa.

 

Temuan Utama dari Jepang (Tes Prestasi Nasional 2025)


Jepang juga mengalami penurunan nilai akademik pada 2025:

  • Bahasa Jepang (SMP): turun menjadi 54,6%, terendah sejak 2019
  • Matematika (SMP): turun menjadi 48,8%
  • Sains (SD): turun tajam menjadi 57,3%

Beberapa faktor kunci yang diidentifikasi:

  1. Kesulitan siswa dalam tugas menulis, terutama yang menuntut ekspresi ide dan penalaran.
  2. Penurunan konsistensi latihan dasar, terutama dalam matematika.
  3. Transisi ke Computer-Based Testing (CBT) yang mengubah cara siswa berinteraksi dengan soal.
  4. Variasi tingkat kesulitan tes antar tahun, yang menyulitkan perbandingan langsung.

Meskipun sistem pendidikan Jepang relatif kuat, hasil ini menunjukkan bahwa transformasi digital dan perubahan pola belajar juga membawa tantangan baru bagi penguasaan kompetensi dasar.

 

Analisis Perbandingan Indonesia–Jepang


Meski konteks berbeda, terdapat benang merah penyebab penurunan prestasi di kedua negara:

Aspek

Indonesia

Jepang

Literasi & Numerasi

Lemah dan timpang

Menurun, terutama menulis & matematika

Dampak Pandemi

Sangat signifikan

Masih terasa

Metode Pembelajaran

Dominan hafalan

Kurang adaptif pada keterampilan ekspresif

Asesmen

Transisi kompetensi

Transisi digital (CBT)

Budaya Belajar

Kepercayaan diri rendah

Tekanan akademik & adaptasi format baru

Kesamaan ini menunjukkan bahwa penurunan prestasi bukan semata kualitas siswa, melainkan refleksi dari ketidaksiapan sistem pembelajaran dalam menghadapi perubahan zaman.

 

Implikasi Kebijakan


Jika tidak segera ditangani, penurunan literasi dan numerasi akan berdampak pada:

  • Kesiapan lulusan memasuki dunia kerja.
  • Daya saing nasional.
  • Ketimpangan sosial dan ekonomi jangka panjang.

Baik Indonesia maupun Jepang menghadapi risiko lost generation of skills apabila penguatan kompetensi dasar tidak menjadi prioritas utama.

 

Rekomendasi Kebijakan


  1. Fokus ulang pada kompetensi dasar

Literasi, numerasi, dan penalaran harus menjadi fondasi semua mata pelajaran.

  1. Transformasi pedagogi, bukan sekadar kurikulum

Pembelajaran harus kontekstual, dialogis, dan berbasis pemecahan masalah.

  1. Penguatan kapasitas guru secara berkelanjutan

Pelatihan tidak hanya teknis, tetapi juga pedagogi reflektif.

  1. Pendampingan transisi asesmen digital

CBT harus diiringi literasi digital dan kesiapan mental siswa.

  1. Kolaborasi sekolah–orang tua–Masyarakat

Budaya belajar tidak bisa dibangun oleh sekolah saja.

 

Penutup


Penurunan prestasi akademik tahun 2025 di Indonesia dan Jepang adalah alarm keras bagi sistem pendidikan. Ia bukan tanda kegagalan anak-anak, melainkan sinyal bahwa sistem belum sepenuhnya berpihak pada proses belajar yang bermakna.


Jika data ini ditindaklanjuti dengan kebijakan yang konsisten, reflektif, dan berorientasi jangka panjang, maka krisis ini justru dapat menjadi titik balik reformasi pembelajaran. Pendidikan tidak kekurangan siswa cerdas—yang dibutuhkan adalah sistem yang memberi ruang bagi nalar, rasa ingin tahu, dan keberanian untuk berpikir.

 

#DaruratLiterasi
#KrisisNumerasi
#Pendidikan2025
#ReformasiPendidikan
#KebijakanPendidikan

No comments: