Ringkasan Eksekutif
Pada tahun 2025, dua negara dengan
konteks pendidikan yang sangat berbeda—Indonesia dan Jepang—menghadapi fenomena
yang sama: penurunan prestasi akademik siswa pada jenjang sekolah lanjutan,
terutama pada aspek literasi, numerasi, dan penalaran ilmiah.
Di Indonesia, hasil Tes
Kemampuan Akademik (TKA) 2025 jenjang SMA menunjukkan kondisi darurat
literasi dan numerasi, dengan nilai Matematika dan Bahasa Inggris yang sangat
rendah. Sementara di Jepang, Tes Prestasi Nasional 2025 juga mencatat
penurunan signifikan pada Bahasa Jepang, Matematika, dan Sains, bahkan mencapai
titik terendah sejak reformasi format tes tahun 2019.
Temuan ini menegaskan bahwa
penurunan capaian akademik bukan persoalan lokal semata, melainkan tantangan
global yang dipengaruhi oleh perubahan pedagogi, dampak pascapandemi,
transisi sistem asesmen, serta melemahnya penguatan kompetensi dasar.
Latar Belakang Masalah
Prestasi akademik merupakan
indikator penting kualitas sistem pendidikan. Penurunan capaian secara
nasional, apalagi terjadi di lebih dari satu negara, perlu dibaca sebagai alarm
kebijakan, bukan sekadar fluktuasi nilai ujian.
Tahun 2025
menghadirkan bukti kuat bahwa:
- Sistem
pendidikan Indonesia belum pulih sepenuhnya dari krisis pembelajaran.
- Sistem
pendidikan Jepang, meski matang dan stabil, juga menghadapi tantangan baru
dalam penguatan keterampilan dasar di era digital.
Temuan
Utama dari Indonesia (TKA 2025)
Hasil TKA 2025
jenjang SMA/sederajat menunjukkan gambaran yang mengkhawatirkan:
- Matematika
wajib:
rata-rata 36,10
- Bahasa
Inggris wajib:
24,93
- Bahasa
Indonesia wajib:
55,38
Nilai rendah ini menandakan:
- Lemahnya literasi dan numerasi dasar,
bukan sekadar kesulitan teknis soal.
- Pembelajaran masih berorientasi hafalan,
bukan pemahaman konsep dan penalaran.
- Budaya numerasi yang rapuh, dengan
Matematika dipersepsikan sebagai pelajaran “menakutkan”.
- Dampak panjang pandemi Covid-19,
terutama pada mata pelajaran yang menuntut latihan berkelanjutan.
- Ketimpangan kesiapan guru dan sekolah
dalam mengimplementasikan kurikulum berbasis kompetensi.
Walaupun TKA
tidak menentukan kelulusan, hasil ini menjadi cermin kompetensi nasional
yang menunjukkan bahwa sistem pembelajaran belum sepenuhnya mendukung tumbuhnya
daya pikir kritis siswa.
Temuan
Utama dari Jepang (Tes Prestasi Nasional 2025)
Jepang juga
mengalami penurunan nilai akademik pada 2025:
- Bahasa Jepang (SMP): turun
menjadi 54,6%, terendah sejak 2019
- Matematika
(SMP): turun
menjadi 48,8%
- Sains (SD): turun tajam menjadi 57,3%
Beberapa
faktor kunci yang diidentifikasi:
- Kesulitan siswa dalam tugas menulis,
terutama yang menuntut ekspresi ide dan penalaran.
- Penurunan konsistensi latihan dasar,
terutama dalam matematika.
- Transisi
ke Computer-Based Testing (CBT)
yang mengubah cara siswa berinteraksi dengan soal.
- Variasi tingkat kesulitan tes antar tahun,
yang menyulitkan perbandingan langsung.
Meskipun
sistem pendidikan Jepang relatif kuat, hasil ini menunjukkan bahwa transformasi
digital dan perubahan pola belajar juga membawa tantangan baru bagi
penguasaan kompetensi dasar.
Analisis Perbandingan
Indonesia–Jepang
Meski konteks berbeda, terdapat benang
merah penyebab penurunan prestasi di kedua negara:
|
Aspek |
Indonesia |
Jepang |
|
Literasi & Numerasi |
Lemah dan timpang |
Menurun, terutama menulis &
matematika |
|
Dampak Pandemi |
Sangat signifikan |
Masih terasa |
|
Metode Pembelajaran |
Dominan hafalan |
Kurang
adaptif pada keterampilan ekspresif |
|
Asesmen |
Transisi kompetensi |
Transisi digital (CBT) |
|
Budaya Belajar |
Kepercayaan diri rendah |
Tekanan
akademik & adaptasi format baru |
Kesamaan ini
menunjukkan bahwa penurunan prestasi bukan semata kualitas siswa,
melainkan refleksi dari ketidaksiapan sistem pembelajaran dalam menghadapi
perubahan zaman.
Implikasi
Kebijakan
Jika tidak
segera ditangani, penurunan literasi dan numerasi akan berdampak pada:
- Kesiapan lulusan memasuki dunia kerja.
- Daya
saing nasional.
- Ketimpangan sosial dan ekonomi jangka panjang.
Baik Indonesia maupun Jepang
menghadapi risiko lost generation of skills apabila penguatan kompetensi
dasar tidak menjadi prioritas utama.
Rekomendasi Kebijakan
- Fokus ulang pada kompetensi dasar
Literasi,
numerasi, dan penalaran harus menjadi fondasi semua mata pelajaran.
- Transformasi pedagogi, bukan sekadar kurikulum
Pembelajaran
harus kontekstual, dialogis, dan berbasis pemecahan masalah.
- Penguatan kapasitas guru secara berkelanjutan
Pelatihan
tidak hanya teknis, tetapi juga pedagogi reflektif.
- Pendampingan
transisi asesmen digital
CBT harus diiringi literasi digital
dan kesiapan mental siswa.
- Kolaborasi
sekolah–orang tua–Masyarakat
Budaya belajar tidak bisa dibangun
oleh sekolah saja.
Penutup
Penurunan prestasi akademik tahun
2025 di Indonesia dan Jepang adalah alarm keras bagi sistem pendidikan.
Ia bukan tanda kegagalan anak-anak, melainkan sinyal bahwa sistem belum
sepenuhnya berpihak pada proses belajar yang bermakna.
Jika data ini ditindaklanjuti
dengan kebijakan yang konsisten, reflektif, dan berorientasi jangka panjang,
maka krisis ini justru dapat menjadi titik balik reformasi pembelajaran.
Pendidikan tidak kekurangan siswa cerdas—yang dibutuhkan adalah sistem yang
memberi ruang bagi nalar, rasa ingin tahu, dan keberanian untuk berpikir.
#KrisisNumerasi
#Pendidikan2025
#ReformasiPendidikan
#KebijakanPendidikan

No comments:
Post a Comment