Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Thursday, 9 January 2014

Pembangunan Ditkeswan Awal 2014




Perkembangan Pembangunan Direktorat Kesehatan Hewan Awal 2014


Kebijakan dan program kesehatan hewan bertujuan untuk melindungi masyarakat dan hewan dari ancaman penyakit hewan,melindungi lingkungan, dan memfasilitasi perdagangan. Dalam Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau, aspek kesehatan hewan memegang peranan penting khususnya dalam pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan produksi dan reproduksi dari hewan.
 
Dalam rangka mensukseskan program pembangunan peternakan, beberapa program kesehatan hewan yang penting diantaranya adalah: (1) Mempertahankan status bebas penyakit mulut dan kuku (PMK) dan BSE serta peningkatan status kesehatan hewan, (2) Penguatan pelayanan kesehatan hewan dan surveilans melalui Pusat Kesehatan Hewan dan Laboratorium Kesehatan Hewan (veteriner),(3) Pemberantasan penyakit hewan strategis secara bertahap, dan (4) peningkatan ketersediaan obat hewan yang bermutu.


Pelaksanaan pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan yang didalamnya terdapat komponen program mempertahankan status bebas penyakit hewan eksotik penting seperti PMK dan BSE memerlukan adanya kebijakan teknis yang ketat berdasarkan kaidah ilmiah dalam pelaksanaan pemasukan hewan dan produk hewan dari luar negeri ke Indonesia. Hal ini diterapkan dalam bentuk penyusunan persyaratan kesehatan hewan yang mengacu pada standar ilmiah dan berdasarkan kajian analisa resiko dan rekomendasi pemasukanhanya diberikan dari Negara ataupun peternakan tertentu yang telah memenuhi persyaratan teknis tersebut.


Program pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan memerlukan adanya infrastruktur pendukung sebagai pelaksana di lapang.Salah satu komponen penting dari infrastruktur dilapang ini adalah Pusat Kesehatan Hewan (PUSKESWAN) dalam memberikan pelayanan kesehatan hewan bagi peternak di seluruh Indonesia khususnya di basis-basis ternak baik secara aktif maupun pasif. Ke depan, peran dan fungsi dari Puskeswan akan dioptimalkan dengan upaya mengintegrasikan fungsi penyuluhan dan pelayanan peternakan dan kesehatan hewan ke dalam puskeswan serta adanya penambahan jumlah Puskeswan sebanyak 1500 unit dan SDM –nya sebanyak 1490 orang di seluruh Indonesia. Diharapkan nantinya semua Puskeswan akan memiliki sumberdaya manusia yang sudah menjadi pegawai negeri sipil.


Komponen penting lain dalam pelayanan kesehatan hewan adalah adanya laboratorium kesehatan hewan (veteriner) yang berkualitas. Saat ini Indonesia memiliki 8 (delapan) Balai Veteriner di bawah Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) yang berlokasi yang bertanggung jawab daam pengujian dan surveilans. Kedelapan Balai Veteriner ini telah diakui memiliki kualitas yang baik dalam pengujian dan pengelolaan laboratoriumnya, hal ini terbukti dengan kepemilikan ISO 17025:2008 dan ISO 9001:2008 di semua Balai Veteriner di maksud.Setiap Balai Veteriner telah ditetapkan menjadi laboratorium referensi nasional untuk penyakit-penyakit hewan menular strategis tertentu dengan keputusan Menteri Pertanian.Selain itu, Ditjen PKH juga memiliki Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH) yang bertanggungjawab dalam melakukan pengujian mutu dan sertifikasi obat hewan di Indonesia.  Selain memiliki ISO 17025:2008, BBPMSOH juga telah diakui di tingkat Regional yaitu dengan adanya sertifikasi dan akreditasi dari ASEAN sebagai laboratorium penguji vaksin hewan di tingkat Regional Asia Tenggara (ASEAN), khususnya untuk vaksin-vaksin sebagai berikut: Newcastle Disease (live), Newcastle Disease (inaktif), Marek (live), Infectious Laryngtracheitis (Live), Infectious Bronchitis (Live), Infectious Bronchitis (inaktif), Egg Drop Syndrome ‘76 (inaktif), Coryza (inaktif), dan Fowl Cholera (inaktif).


Tabel. Daftar UPT Lingkup Direktorat Jenderal Peternakan bidang Kesehatan Hewan dan lingkup akreditasinya


No
Nama UPT
ISO 17025:2008 (∑Metode Pengujian)
ISO 9001:2008
Referensi Nasional
1
Balai Veteriner Medan
38
Ya
CSF dan PRRS
2
Balai Veteriner Bukittinggi
36
Ya
Rabies
3
Balai Veteriner Lampung
23
Ya
ND dan IBD
4
Balai Veteriner Subang
20
Ya
AI
5
Balai Besar Veteriner Wates
33
Ya
Anthrax, AI, BSE, Salmonella
6
Balai Veteriner Banjarbaru
44
Ya
Surra dan IBR
7
Balai Besar Veteriner Denpasar
26
Ya
Jembrana, SE
8
Balai Besar Veteriner Maros
23
Ya
BVD, Brucellosis

Unit Pelaksana Teknis di Bawah Ditjen PKH di bidang kesehatan hewan adalah Pusvetma yang merupakan salah satu Badan Layanan Umum di Kementerian Pertanian dan bertanggungjawab dalam memproduksi vaksin dan antigen untuk pengujian penyakit hewan tertentu.Pusvetma telah memiliki ISO 17025:2008 dan ISO 9001:2008 serta telah mendapatkan sertifikasi Cara Pembuatan Obat Hewan yang Baik (CPOHB).  Produk Pusvetma adalah sebagai berikut: (1) Vaksin (Hogsivet, Lentovet, Komavet, JD Vet, Brucivet, Anthravet, Rabivet Supra 92, Septivet, Afluvet H5N1 Clade 2.3.2) dan (2) Antigen (RBT, ELISA Rabies, Pullorum, Mycoplasma, AI, ND).


Beberapa penyakit hewan yang penting antara lain yaitu: Avian Influenza (AI), Rabies dan Brucellosis. Ketiga penyakit ini merupakan beberapa penyakit yang menjadi prioritas dalam program pengendalian dan penanggulangan.Saat ini pemerintah telah menetapkan sebanyak 25 penyakit hewan sebagai penyakit hewan menular strategis (PHMS).


Avian Influenza merupakan salah satu PHMS yang menjadi prioritas dalam pengendalian dan penanggulangan.  Kasus pertama AI ditemukan pada tahun 2003 dan kemudian dengan adanya lalu lintas hewan dan produknya, AI menyebar ke wilayah lain di Indonesia. Saat ini hampir semua provinsi tertular AI dan hanya Maluku Utara yang merupakan daerah bebas AI di Indonesia.Sampai tahun 2012 di Indonesia hanya ditemukan clade 2.1.3, namun kemudian pada tahun 2012 ditemukan clade baru pada itik yaitu clade 2.3.2 yang bisa menyerang ayam juga. Kewaspadaan dan pelaksanaan program pengendalian dan penanggulangan perlu tetap diintensifkan untuk mencegah terjadinya kasus, sekaligus mengendalikan penyakit.Kewaspadaan juga harus diberikan kepada kemungkinan timbulnya H7N9 seperti yang terjadi di beberapa Negara pada tahun 2013.


Vaksinasi merupakan salah satu alat utama dalam program pengendalian dan penanggulangan AI di Indonesia, untuk pengendalian AI clade 2.1.3, Indonesia telah mampu memenuhi kebutuhan vaksin dengan produksi dalam negeri sejak tahun 2012. Pencapaian lainnya adalah ketika terjadi wabah AI clade 2.3.2, Pemerintah berhasil melakukan isolasi virus dengan cepat untuk kemudian dikembangkan menjadi seed untuk produksi vaksin.Saat ini vaksin untuk clade 2.3.2 telah diproduksi dalam negeri. Dalam rangka program pengendalian dan penanggulangan AI secara bertahap, Pemerintah telah mengembangkan Road map pembebasan AI dengan target Indonesia bebas AI pada tahun 2020 sejalan dengan target dari ASEAN.


Penyakit Hewan Menular Strategis yang menjadi prioritas lain adalah Rabies. Rabies ditemukan di 24 Provinsi di Indonesia, dan 9 (Sembilan) Provinsi dinyatakan sebagai daerah bebasbaik daerah yang memang secara historis bebas seperti  Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Nusa Tenggara Barat, Papua dan Papua Barat, maupun provinsi yang berhasil dibebaskan dengan program pemberantasan yaitu DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur.Saat ini wilayah bebas secara historis dalam tahapan pernyataan bebas secara formal dengan pembuktian ilmiah sesuai standar OIE, salah satu daerah bebas historis yang telah dinyatakan secara formal adalah Provinsi Bangka Belitung pada tahun 2013. Program pemberantasan Rabies secara bertahap dilaksanakan di Indonesia dan diharapkan bahwa Indonesia dapat mencapai status bebas pada tahun 2020 bersama dengan Negara-negara ASEAN lain. 


Dalam rangka pencapaian tersebut, kini telah disusun masterplan (road map) pemberantasan Rabies secara bertahap di Indonesia.  Pada tahun 2014, Provinsi Klimantan Barat direncanakan dapat dinyatakan bebas Rabies sesuai standar Internasional setelah dilakukan surveilans terstruktur oleh Balai Veteriner Banjarbaru. Adapun wilayah lain seperti Sulawesi Utara, Pulau Nias, Flores dan Lembata, serta Bali dalah tahap pengendalian secara intensif. Salah satu pencapaian yang penting terkait program pengendalian dan penanggulangan Rabies adalah penerapan konsep One Health dalam pemberantasan Rabies di Bali melalui Tata Laksana Kasus Gigita Hewan Terpadu (TAKGIT) dijadikan salah satu kisah sukses penerapan one health di ASEAN.


Salah satu PHMS penting dan sangat berpengaruh pada PSDSK adalah Brucellosis.Brucellosis endemic di sebagian wilayah Indonesia. Namun dengan program pengendalian dan penanggulangan serta dukungan surveilans yang baik, Indonesia berhasil membebaskan/menyatakan bebas beberapa wilayah di Indonesia dari Brucellosis, wilayah-wilayah tersebut adalah: Bali (2002), Lombok dan Sumbawa (2006), Regional II : Sumatra Barat, Jambi, Riau dan Kepulauan Riau (2009), Regional V : Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah (2009), dan Regional III : Lampung, Bangka-Belitung, Bengkulu, dan Sumatra Selatan (2011). Pada saat ini beberapa wilayah dalam tahapan pembebasan/surveilan pembebasan.Dalam rangka perencanaan yang lebih baik dan optimalisasi pelaksanaan program, telah disusun master plan (road map) pembebasan bertahap Brucellosis di Indonesia dengan target Indonesia bebas Brucellosis tahun 2025.Pada tahun 2014 ini, direncanakan beberapa daerah seperti Provinsi Sumatra Utara, Pulau Madura (Jawa Timur) dan Pulau Sumba (NTT) dapat dibebaskan dan dinyatakan dengan keputusan Menteri Pertanian.


Penyakit Hewan Menular Strategis lain yang menjadi prioritas dalam pengendalian dan penanggulangan adalah classical swine fever (CSF), saat ini merupakan salah satu masalah penting di sentra-sentra peternakan babi. Salah satu pencapaian penting dalam program pengendalian dan penanggulangan CSF adalah telah berhasilnya pengendalian CSF di Provinsi Sumatra Barat dan direncanakan bahwa pada tahun 2014 Provinsi Sumatra Barat dapat dinyatakan bebas dari CSF sesuai dengan standar OIE.


Program penting lainnya dalam pelaksanaan pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan adalah peningkatan ketersediaan obat hewan yang bermutu.Adanya BBPMSOH telah memberikan jaminan bahwa obat yang beredar dan telah disertifikasi di Indonesia berkualitas dari segi mutunya. Mengingat adanya jaminan mutu tersebut, walau Indonesia masih mengimpor obat hewan, Indonesia juga telah mampu mengekspor obat hewan ke beberapa Negara lain.  Tercatat bahwa obat hewan Indonesia berhasil diekspor ke 15 negara untuk produk biologik, 14 negara untuk produk farmasetik dan 20 negara untuk produk premiks. Terdapat kecenderungan peningkatan volume (ton) dan nilai (USD) dari ekspor obat hewan ini dalam 5 (lima) tahun terakhir. 


Friday, 16 August 2013

Revealed! Purbalingga’s Massive Agricultural Power—From Food Surplus to Highland Horticulture and Top Export Commodities!


Purbalingga Regency is one of the 35 regencies in the Central Java Province. Located in its west side, geographical coordinates of Purbalingga are 7.10° – 7.29° S and 101.11° – 109.35° E. Purbalingga is about 77,764 hectare wide or 2.39 % from the total of the width of Central Java Province. Purbalingga is divided by 18 sub districts (third level autonomous region), 224 villages and 15 Kelurahan (fourth level autonomous region). Purbalingga is surrounded by Pemalang Regency in North, Banjarnegara Regency in the east and Banyumas Regency in the west and south.

In Purbalingga, the utmost use of land is in agricultural activities. It is about 43.273 hectare or 56.65% from the total width. The agriculture area is divided into several types of area: 18,311 hectare for the rice field, dry field for about 20,317 hectare, 4,532 hectare of mixed plantation, single plantation for about 16.4 hectare and 95.3 hectare of fishery.

Purbalingga area lay from the lowlands in the south with 42 meter height above sea level to highland in the north with 3.100 meter height. These unique differences cause wide climate variation and, as a result, promote diverse possibilities to develop various agriculture commodities.

Food crop commodities

Southern Purbalingga is lowlands and it is good to develop the food crop commodities such as grains and crops which are supported by its fertile soil; its nice climate and its sufficient water to irrigate the field. Food crops are mostly planted in sub districts of Bukateja, Kemangkon, Kalimanah, Padamara, and half of Kutasari and Bojongsari. Even in the higher area like sub district of Karanganyar, Kertanegara and Karangmoncol, the food crops could also grow well.

Rice

Rice is staple foods of almost all Indonesian people, including those living in Purbalingga. Paddy field has the widest land area for about 33,357 hectare. It produces in average 2.33 quintal per hectare and the total rice grains productions are 207,916 ton per year. Rice is also produced from different kind of irrigation technique, such as those produced from dry field. It is estimated that as many as 3,426 ton per year is acquired from 759 hectare. This rice grain production exceeds the need of house hold and industry which resulted in its success to produce surplus for about 30,000 ton per year.

Corn


The corn harvest area is about 9,841 hectare. The corn production in average is 31.81 quintal per hectare. The corn production in average is 31.81 quintal per hectare and the total corn production is about 31,302 ton per year. Ever since that corn is not a popular staple food in Purbalingga, people rarely consume it, rather, they use corn as cattle food. Given the fact, the chance to process corn into maize flour, popcorn and corn porridge is wide opened. Moreover, as corn’s production has not sufficiently met the needs of the consumption of household and industry, there might be wide possibilities to develop the capacity of its production in Purbalingga.

Cassava

The biggest cassava area is in sub districts of Pengadegan, Kejobong and Rembang. The total area is about 9,098 hectare. It produces in average 278.87 quintal per hectare with the total cassava production is about 253,716 ton per year. Cassava is mostly processed into tapioca flour and nearly half of them are consumed as or turned into traditional food.

Peanut

The total area is around 2,363 hectare. It produces in average 12.78 quintal per hectare, which is relatively smaller than other crops. It appears that because most of the farmers treat the peanut not as the primary crop, rather as an optional one. Peanut is the main goods of home industry, preferably snack and it’s by products can be utilized as cattle foods. The local peanut production has not met the market needs in Purabalingga.

Sweet Potato

The total area is 234 hectare. It produces in average 55.33 quintal per hectare. The total sweet potato production is 1,329 ton per year. Sweet potato is usually consumed as traditional food.

Soya bean

The total area is around 551 hectare. It produces in average 13.52 quintal per hectare and yielded 13.52 ton per year. Soya bean is processed into one of traditional foods with simple technology (tofu and tempe) and also the main goods of ketchup production. The soya bean production is still very low and the local production has not met the consumers need. Even worse, the production has not met the consumers need. Even worse, the production of tempe and tofu largely relies on imported white soya bean as its main goods. Given these circumstances, the possibilities to invest in soya bean plantation, either the white soya bean or the black one, is still wide open.

Horticulture

The horticulture crops are developed mostly in northern highland Purbalingga. The vegetables and fruits are planted in sub districts of Karangreja and half of that Mrebet.

Potato

The total area is 445 hectare. It produces in average 183.71 quintal per hectare with total potato production around 8,175 ton per year. Potato is the most wanted commodity due to its constant price and its higher margin. In addition to meet the need of local consumption, the potato is also traded in other regions, especially in big cities like Jakarta and Semarang.

Cabbage

The total area is 348 hectare. It produces in average 183.47 quintal per hectare with 6,524 ton total cabbage production per year. People use the cabbages as the main ingredient for vegetable soup. Cabbage produce experienced surplus and is traded to other regions.

Carrot

The total area is 198 hectare. It produces in average 194.04 quintal per hectare with 3,842 ton total carrot production per year.

Beans

The total area is 496 hectare. It produces in average 36.59 quintal per hectare and its total beans production is 1,815 ton per year.

Chili

The total area is 170 hectare. It produces in average 60.35 quintal per hectare and its total chili production is 1,026 ton per year.

Leek

The total area is 176 hectare. It produces in average 47.73 quintal per hectare with 840 ton total leek production per year.

Fruits

Half of Purbalingga area is really good to plant fruits. Several kinds of fruits are grown in Purbalingga, such as: orange, duku, durian, banana, and Salacca. The fruits are planted in the dry area surround sub districts of Kaligondang, Pengadegan, Kejobong and Bukateja.

Siem Orange

Siem orange is planted mostly in Bukateja. The siem orange total production is 127,203 quintal per year with 196,543 total productive crops.

Banana

Purbalingga has various types of banana. The banana total production is 89,884 quintal per year with 537,568 total productive crops.

Durian

The durian is grown in sub districts of Kemangkon, Kejobong and Pengadegan. With its specific taste, Purbalingga durian has its own merit if we compare with other regions’ durian. The durian total production is 52,226 quintal per year with 28,868 total productive crops.

Salacca

With total production crops, Salacca total production is 45,609 quintal per year. Purbalingga Salacca has similar taste with other regions’ produce.

Rambutan

As one of the exotic fruits which grow in tropical zone, rambutan is also well grown in Purbalingga. With 80,630 ton total production crops, rambutan total produce is 41,005 quintal per year.

Duku

Duku is one of Purbalingga prime fruits. Duku grows in specific region and not every region has duku as their specific fruit. With its unique taste, duku has been sold to big cities in Indonesia. The duku total produce is 33,604 quintal per year with 49,793 total productive crops.
Also, Purbalingga has small amount of produce of sour soup, mangosteen, pineapple, tan, mango, avocado and guava.

Plantation

Until recently, the plantation commodity in Purbalingga has not been well cultivated. The nature potency such as its fertile soil and its good climate has not been maximized. However, many peasants and the government have pioneered several kinds of plantation crops development, such as pepper, nilam, sugarcane, coconut, and Gambier jasmine.

Pepper

Purbalingga is the biggest exporter of pepper in Central Java. A percentage of 46% of pepper in Central Java market is produced in Purbalingga. Pepper is mostly cultivated in Pengadegan and Kejobong with 212.40 hectare total area and 307 ton total dry seed produce per year. The pepper plantation’s development is still open either in the on farm stage by increasing population and rising productivity or by means of processed goods. The pepper market chance in Indonesia or abroad is still wide opened.

Nilam

Nilam Commodity is needed by the market. Nilam is the main goods of perfume, soap and medicines. The total area is 607.10 hectare. The total production of dry nilam leaves are 5,039 ton per year. The export chance to international market is still open because the product is favoured mostly in Japan, India and Europe.

Dalam Coconut

Coconut tree is widely grown in almost every area of Purbalingga. People plant the coconut in every agricultural farm, plantation and village. Of 12,032 hectare of the total area, this sector can produce 12,366 ton copra per year. This coconut is the main goods of coconut oil production.

Deres Coconut

The half of the coconut produce in Pubalingga is aimed at producing the palm sugar. Of 5,168 hectare of the total area, Deres coconut produces 52,879 to of palm sugar per year. The development of deres coconut’s plantation is still open either in increasing the number of coconut trees or the implementation of modern technology in palm sugar processing in order to increase palm sugar productivity. Palm sugar industry also supports ketchup industry as the secondary industry of palm sugar commodity.

Sugarcane

As the main goods of sugar, the number of sugarcane crop in Indonesia is very low. Purbalingga, the sugarcane area is just 56 hectare with 215 to total production per year. The opportunity to invest more in Purbalingga is still open mostly for the dry sugarcane plantation. The sugarcane areas include sub districts of Kaligondang, Kemangkon, Mrebet and half of Bojongsari.

Gambier Jasmine

Gambier jasmine is planted in Bukateja with total area around 425.23 hectare and produces as many as 3.269 ton wet flower each year. This commodity promotes high economic value commodity but it needs specific soil and climate. For that reason, the Gambier jasmine can not well developed in other areas.

Source: Vision of Purbalingga, Drs. Triyono Budi Sasongko, M.Si.

#Purbalingga 
#Agriculture 
#Horticulture 
#Plantation 
#Agribusiness

Saturday, 29 June 2013

H7N9 Mengintai: Risiko Penyebaran Avian Influenza dari Pasar Unggas ke Manusia



Pada tanggal 31 Maret 2013 Otoritas Cina melaporkan identifikasi virus Avian Influenza A(H7N9) galur baru pada tiga orang yang memperlihatkan gejala flu-like di kota Sanghai dan Propinsi Anhui; semua orang yang terinfeksi virus ini meninggal.  Galur virus ini belum pernah diidentifikasikan sebelumnya baik yang berasal dari manusia maupun hewan.

Pada tanggal 30 Mei 2013 telah dikonfirmasi 132 kasus pada manusia,  telah menimbulkan 37 orang meninggal di 11 Propinsi, Anhui, Beijing, Fujian, Henan, Hunan, Jiangsu, Jiangxi, Shandong, Shanghai, Taiwan, dan Zheijiang.   Meskipun awal paparan virus pada setiap kasus tidak terindentifikasi dengan jelas, banyak diantara mereka orang yang terinfeksi virus AI ini telah dilaporkan pernah kontak dengan unggas melalui kunjungan ke pasar unggas, rumah potong unggas dan kegiatan transportasi unggas.

Guangdong merupakan provinsi dimana tidak terdapat kasus pada manusia meskipun ditemukan virus AI ini pada dua ekor ayam di dua pasar unggas.

Pada tanggal 30 Mei 2013  dilaporkan tidak ditemukan gejala klinis Avian Influenza A(H7N9) pada unggas ternak dan spesies hewan lain (unggas liar dan babi) yang berpotensi tertular virus tersebut.  

Otoritas Cina mendeteksi virus Avian Influenza A (H7N9) pada sampel yang berasal dari ayam, bebek, dan burung merpati dimana sebagian besar diperoleh dari pasar unggas hidup dan penjual unggas ini ada kaitanya dengan kasus pada manusia.  Dalam laporan menunjukan tidak ada satupun unggas memperlihatkan gejala klinis AI meskipun dalam uji positif virus AI ini.

 Kegiatan surveilans dilanjutkan dengan pengambilan sampel yang berasal dari unggas dan lingkungan pasar unggas hidup; unggas, unggas liar dan lingkungan peternakan.  

Pada tanggal 23 Mei 2013 dari sebanyak 197 389 sampel swab telah diuji oleh otoritas veteriner, terdapat 53 sampel positif ditemukan virus Avian Influenza A (H7N9).

Terdapat empat risiko penyebaran virus Avian Influenza A (H7N9).
1.        
      Risiko penyebaran virus Avian Influenza A (H7N9) dari peternakan terinfeksi ke peternakan belum terinfeksi di area di China

a.       Kemungkinan tertinggi penyebaran virus ini dalam area yang sudah tertular berhubungan dengan jalur risiko pada pasar unggas hidup, perdagangan unggas hidup, lalulintas unggas ilegal , dan muntahan.

b.      Kemungkinan sedang terjadi infeksi peternakan unggas dalam area tertular di Cina melalui lalulintas anak ayam umur sehari (DOC) dan ayam aduan.  Apakah DOC dapat terinfeksi, dan apakah virus dapat bertahan hidup pada temperatur inkubator tidak diketahui dengan jelas.

c.       Kemungkinan rendah terjadi penyebaran virus ini berhubungan dengan banyak jalur risiko yang berpotensi lainnya termasuk manusia sebagai sumber infeksi kepada unggas (catatan bahwa jaket dan alas kaki yang tertempel tanah dapat berperan sebagai alat pembawa virus sampai ke dalam kandang yang masih bebas dari virus AI ini) dan penularan melalui telur tetas, burung liar atau burung balap.  Ketidakpastian setiap jalur risiko ini bervariasi.

d.      Risiko penyebaran virus melalui produk hewan yang tidak diproses atau produk yang berasal dari hewan bervariasi dari risiko tingkat rendah sampai dengan diabaikan risikonya, tergantung pada tradisi budaya dan penggunaan.  Akan tetapi secara umum dianggap berisiko sangat rendah.

e.      Harap dicatat bahwa risiko penularan virus ke peternakan unggas melalui produk hewan yang sudah diproses dan telur tetas telah disimpulkan risikonya diabaikan dan tidak bermanfaat mempertimbangkannya terus sebagai jalur risiko dalam area yang tertular/wabah.

2.       Risiko penyebaran virus Avian Influenza A (H7N9) dari area tertular ke area dengan risiko sedang – tinggi.

a.       Kemungkinan tertinggi terjadi penyebaran virus ke unggas dalam wilayah ini berhubungan dengan pasar unggas hidup, lalulintas unggas hidup, dan lalulintas burung informal/ilegal.  

b.      Kemungkinan sedang terjadi penyebaran virus ini berhubungan dengan muntahan, burung liar, dan ayam aduan.  Kondisi cuaca (seperti musim panas/kering) dapat menurunkan waktu bertahan hidup virus Avian Influenza pada muntahan dan berpengaruh terhadap risiko penyebarannya.  Burung liar merupakan salah satu faktor risiko karena jalur perpindahannya melintasi antar negara karena pengaturan biosekuriti tidak dapat mencegah introduksi burung liar.  Tidak terdapat kepastian akan peran burung migratori dalam penularan virus ini, akan tetapi tidak terdapat perbedaan risiko penularan antara negara berrisiko tertular tinggi dangan negara yang berrisiko tertular sedang.  

c.       Kemungkinan rendah terjadi penyebaran virus ini melalui perdagangan produk asal unggas dan turunnya secara legal maupun ilegal, dan perdagangan hewan hidup spesies lain yang berpotensi tertular dianggap rendah. 

3.       Risiko penyebaran virus Avian Influenza A (H7N9) dari area tertular ke area dengan risiko rendah.

a.       Secara definisi, negara atau area tidak terinfeksi berisiko rendah tidak melakukan perdagangan secara langsung dengan negara tertular, atau negara atau area yang berisiko tinggi tertular.  Akan tetapi perdagangan ilegal unggas hidup, DOC, telur tetas, semen unggas, produk asal hewan dan turunannya dari peternakan di dalam area yang tertular tidak dapat dikecualikan, dan unggas terinfeksi bisa diperdagangkan dalam jalur perdagangan yang baik tanpa memperlihatkan gejala klinis.  Unggas hidup dan DOC dapat bisa dimasukan risiko rendah penyebaran virus, sedangkan risiko penyebaran virus ini melalui telur tetas dapat dikelompokan sebagai risiko yang dapat diabaikan.  Isiko penularan secara keseluruhan yang berhubungan dengan perdagangan unggas hidup atau produknya dinyatakan sebagai risiko yang dapat diabaikan.

b.      Kemungkinan penyebaran virus ini terkait dengan gerakan migrasi burung liar tidak dapat dikecualikan, dan dan moderat di negara-negara berisiko rendah.  Meskipun penyebaran segera tidak dapat dilihat selama musim migrasi saat ini, perbanyakan virus dapat cepat terjadi pada tempat pemberhentian burung2 liar yang jumlahnya banyak dan pada masa yang akan datang bisa menimbulkan penyebaran virus dalam jangkauan jarak yang jauh.

c.       Risiko virus ini menyebar melalui perdagangan sangat tergantung pada penerapan kerangka kerja regulasi di negara dengan risiko rendah tertular virus ini.

4.       Risiko manusia terpapar virus Avian Influenza A (H7N9) dari unggas berpotensi menginfeksi di dalam area yang terinfeksi di China 

a. Sampai saat ini, investigasi epidemiologi menunjukan bahwa paparan pada manusia berhubungan dengan kontak dengan spesies unggas hidup secara langsung maupun tidak langsung terutama dalam pasar unggas hidup atau transportasi unggas, atau kontak langsung dengan muntahan (contohnya pada krat/kemasan/tempat pemindahan unggas).

b.  Kemungkinan paparan virus ini pada manusia dinyatakan tingi di area tertular; sejumlah paparan virus dapat terjadi melalui udara atau partikel air yang dapat menimbulkan penyebaran virus dari unggas yang berpotensi terinfeksi terutama melalui oropharyngeal. 


Sumber : Addressing the avian influenza A (H7N9) emergency, FAO
               

#AvianInfluenza 
#H7N9 
#KesehatanHewan 
#Zoonosis 
#Biosekuriti