Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Wednesday, 31 December 2008

Terungkap! Strategi Indonesia Lolos Standar Organik MAFF Jepang untuk Tembus Pasar Premium

Latar belakang

Indonesia telah mengembangkan sistem akreditasi dan sertifikasi pangan organik yang secara umum untuk menjamin produk pangan organik di Indonesia, dan secara khusus untuk memperoleh pengakuan sertifikasi pangan organik oleh negara lain.


Berdasarkan kerjasama antara Badan Standardisasi Nasional (BSN) dan Ministry of Agriculture, Fisheries dan Forestry (MAFF) Jepang, lembaga sertifikasi produk Indonesia yaitu PT. Mutu Agung Lestari telah ditetapkan oleh MAFF Jepang sebagai ROCB untuk produk plywood. Ini berarti sertifikat produk plywood Indonesia yang diterbitkan oleh PT. Mutu Agung Lestari diakui dan diterima oleh MAFF Jepang sebagai regulator.


Selaras dengan pendekatan tersebut, Pemerintah Indonesia bermaksud untuk mendapatkan pengakuan sistem akreditasi dan sertfifikasi pangan organik yang berlaku di Indonesia oleh Pemerintah Jepang. Sebagaimana diketahui peraturan di Jepang mensyaratkan semua produk makanan yang masuk ke Jepang wajib diberi label yang dibubuhkan berdasarkan lisensi lembaga sertifikasi yang diregistrasi MAFF Jepang. Pelabelan ini diatur dalam Japanese Agricultural Standard (JAS) Law No. 175 tahun 1950 - The Law Concerning Standardization and Proper Labelling of Agricultural and Forestry Product (revisi per 1 Maret 2006, tertera dalam article 19-8 hingga 19-10), yaitu ketentuan yang mengatur tentang pelabelan produk pertanian dan kehutanan. Aturan lain yang berkaitan dengan standardisasi produk pertanian dan kehutanan adalah aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah (No. 291 tahun 1951) dan yang dikeluarkan oleh MAFF Jepang (No. 62 tahun 1950).


Untuk mencapai maksud tersebut, Indonesia perlu mempunyai lembaga sertifikasi yang diregistrasi oleh pemerintah Jepang sebagai Registered Overseas Certifying Bodies (ROCB) yang dapat memberikan jaminan mutu pangan organik yang akan dipasarkan ke Jepang. Pelaksanaan pembentukan ROCB harus dilakukan secara komprehensif oleh berbagai pihak yang terkait di Indonesia dalam ruang lingkup perdagangan pangan organik ke Jepang.


Pada saat ini Indonesia telah ada 7 (tujuh) lembaga sertifikasi pangan organik (LSPO), yaitu: PT. Sucofindo Services; PT. Mutu Agung Lestari; Biocert; Inofice; Lesos; Persada; dan LSPO Sumbar. Namun mengingat untuk mendapatkan pengakuan sebagai ROCB untuk pangan organik perlu memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh MAFF, BSN mengadakan kunjungan kerja ke Jepang untuk menjajagi kemungkinan adanya MOU dengan pihak pemerintah Jepang, dalam hal ini dengan MAFF Jepang untuk adanya pengakuan sertifikasi pangan organik Indonesia.


Tujuan


Melakukan studi banding untuk mencari informasi tentang penerapan standar dan label pangan organik di Jepang, meliputi:
1. Peraturan tentang pangan organik,
2. Standar pangan organik,
3. Sertifikasi pangan organik,
4. Kemungkinan pengakuan (penerimaan) sertifikat yang dikeluarkan oleh Indonesia (apa persyaratannya dan apakah memerlukan MOU?)

Jadwal Pelaksanaan dan Agenda Kunjungan

1. Tanggal 10 November 208, melakukan persiapan dan kordinasi di Kedutaan Besar Republik Indonesia Tokyo, Jepang;

2. Tanggal 11 November 2008, melakukan kunjungan ke Ministry of Agriculture, Foresty and Fisheries of Japan (MAFF), di Tokyo.


Delegasi yang hadir

Pembahasan standar produk organik dengan pejabat MAFF Jepang dipimpin oleh Prof. Dr. Ir. Zaenal Bachruddin, M.Sc., Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, selaku Ketua Otoritas Kompeten Pangan Organik/OKPO. Sebagai anggota terdiri atas 2 (dua) orang wakil dari BSN, Drs. Suprapto, MPS, Kepala Pusat Sistem Penerapan Standar, dan Utomo, ST, Kepala Sub. Bidang Prasarana Penerapan Standar, serta 1 (satu) orang wakil dari Kedutaaan Besar Republik Indonesia di Jepang, Drh. Pudjiatmoko, Ph.D, Atase Pertanian.

Pelaksanaan Kerja Delri

Persiapan dan Koordinasi di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Tokyo, Jepang

Pertemuan ini dilaksanakan pada tanggal 10 November 2008 di ruang kerja Atase Pertanian, KBRI Tokyo, Jepang. Pertemuan ini dihadiri oleh Sdr. Tulus Budhianto, Atase Perdagangan; Sdr. Achmad Sigit Dwiwahjono, Atase Perindustrian; Drh. Pudjiatmoko, Ph.D, Atase Pertanian; serta tim kunjungan kerja.

Pada awal pertemuan, tim menjelaskan maksud kunjungan ke MAFF Jepang, yang bertujuan untuk menjajagi kemungkinan ekspor produk pangan organik Indonesia, dengan sertifikat pangan organik yang diterbitkan oleh lembaga sertifikasi pangan organik di Indonesia.

Dalam pertemuan diperoleh informasi bahwa produk pangan organik di Jepang mempunyai nilai jual yang lebih baik, dengan demikian produk pangan organik mempunnyai nilai tambah yang prospektif. Selain produk pangan organik, dibahas pula produk lain yang mempunyai potensi untuk dipasarkan ke Jepang antara lain produk pisang, nanas, pepaya, mangga serta produk lainnya. Dalam pertemuan dibahas pula kendala yang dihadapi untuk ekspor ke Jepang seperti pisang masih ada bintik-bintiknya, ukuran belum seragam, dan pasokan tidak bisa berkelanjutan (sustainable).

Pembahasan Standar Produk Organik dengan Pejabat Ministry of Agriculture, Foresty and Fisheries of Japan (MAFF)

Pembahasan Standar Produk Organik dilakukan pada tanggal 11 November 2008, dan tim kunjungan kerja diterima oleh pejabat MAFF Jepang Mr. Masato Shimazaki, Associate Director Labelling and Standard Division Food Safety and Consumer Affairs Bureau, yang didampingi oleh Ms. Norie Kato, Section Chief Labelling and Standard Division Food Safety and Consumer Affairs Bureau.

Pada awal pertemuan Mr. Masato Shimazaki, menjelaskan JAS Law No. 175 Tahun 1950 tentang standardisasi dan label yang sesuai untuk produk pertanian dan kehutanan. Di dalam undang-undang tersebut dijelaskan terdapat empat label atau tanda (mark) sistem standardisasi yang dikembangkan oleh Japanes Agriculture Standard (JAS), yaitu:

1. Label yang digunakan untuk produk makanan olahan (kiri atas);

2. Label yang digunakan untuk produk ayam kampung (kanan atas);

3. Label yang digunakan untuk produk pangan organik (kiri bawah);

4. Label yang digunakan untuk produk sapi gila (kanan bawah).

Untuk produk pertanian dan kehutanan, di Jepang berlaku standar JAS (Japanese Agricultural Standard). Penetapan standar JAS diharapkan dapat meningkatkan kualitas produk, membuat proses produksi lebih efisien, memberikan kontribusi terhadap transaksi yang sederhana dan adil, serta memfasiltasi konsumen dalam memilih secara rasional.

Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, Jepang masih mengimpor produk pangan organik dengan persyaratan antara lain harus membubuhkan tanda/label organik berdasarkan lisensi yang diberikan oleh lembaga sertifikasi pangan organik terregistrasi oleh MAFF. Ini berarti masih terbuka kemungkinan ekspor pangan organik dari Indonesia ke Jepang.

Kriteria registrasi lembaga sertifikasi pangan organik untuk dalam negeri Jepang adalah ISO/IEC Guide 65 dan kriteria lainnya yang ditetapkan MAFF. Untuk dapat menjadi Registered Overseas Certifying Bodies (ROCB) selain memenuhi ISO/IEC Guide 65, negara di tempat lembaga sertifikasi pangan organik berada harus mempunyai sistem nasional yang ekuivalen dengan sistem JAS. Jadi lembaga sertifikasi pangan organik Indonesia yang diakreditasi Komite Akreditasi Nasional (KAN) mempunyai peluang yang sangat besar untuk menjadi ROCB karena sistem akreditasi dan sertifikasi di Indonesia untuk pangan organik berdasarkan ISO/IEC Guide 65 dan telah memenuhi persyaratan internasional.

Terdapat 2 cara untuk dapat diakui sebagai ROCB: (1) Lembaga Sertifikasi Pangan Organik (LSPO) dapat langsung mengajukan aplikasi ke MAFF; atau (2) melalui ekuivalensi sistem nasional Indonesia dengan sistem JAS. Jika pendekatan ini dapat dicapai, maka produk pangan organik Indonesia yang menggunakan logo pangan organik jika diekspor ke Jepang, oleh importir Jepang langsung dibubuhi stiker label pangan organik JAS. Ini berarti MAFF mengakui sertifikat penilaian kesesuaian (conformity assessment) yang diterbitkan oleh lembaga sertifikasi pangan organik di Indonesia yang diakreditasi oleh KAN.

Terkait dengan prosedur permohonan menjadi ROCB, LSPO Indonesia mengajukan aplikasi dan memenuhi semua persyaratan yang ditetapkan oleh MAFF. Semua dokumen, baik melalui aplikasi langsung maupun melalui ekuivalensi sistem nasional harus dalam bahasa Jepang. Dalam kaitan ini MAFF belum melihat perlu adanya MOU (Memorandum of Understanding). MAFF memberi informasi bahwa tidak tersedia bantuan teknis untuk pembentukan ROCB di Indonesia untuk pangan organik. MAFF hanya bisa menjelaskan persyaratan atau hal-hal yang diperlukan oleh pihak Indonesia tetapi tidak dapat membantu bagaimana harus menyiapkan atau membentuk lembaga sertifikasi pangan organik.

Kesimpulan

MAFF dapat memberikan konfirmasi bahwa lembaga sertifikasi pangan organik (LSPO) Indonesia yang diakreditasi KAN berdasarkan ISO/IEC Guide 65, terbuka kemungkinan adanya pengakuan sebagai ROCB. LSPO dapat mengajukan aplikasi langsung secara individu atau melalui ekuivalensi sistem akreditasi dan sertifikasi Indonesia dengan sistem JAS.

Langkah tindak lanjut yang diperlukan

1. Kerjasama antara Departemen Pertanian selaku Otoritas Kompeten Pangan Organik dengan BSN, KAN dan instansi terkait perlu lebih diintesifkan.

2. BSN perlu memberikan insentif kepada LSPO berupa pelatihan untuk pendalaman persyaratan MAFF terkait dengan pengakuan LSPO Indonesia sebagai ROCB.

3. BSN perlu menyiapkan segala dokumen dalam bahasa Jepang untuk persiapan ekuivalensi/kesetaraan sistem akreditasi dan sertifikasi nasional dengan sistem JAS.

4. BSN tetap memelihara komunikasi dengan MAFF baik langsung maupun melalui KBRI Tokyo untuk persiapan permohonan LSPO Indonesia menjadi ROCB.

5. KAN harus segera melakukan survailen dan memantapkan pemenuhan 7 LSPO yang telah diverifikasi oleh OKPO dan telah diserahkan pengelolaan akreditasinya kepada KAN.


#organikindonesia 
#maffjapan 
#sertifikasiorganik 
#standarjas 
#ekspororganik

Rahasia SPS WTO Terungkap! Aturan Penting yang Mengguncang Perdagangan Internasional! (Bagian 1)

Apa yang disebut SPS ?

SPS merupakan singkatan dari Sanitary and Phytosanitary Measures yang artinya tindakan-tindakan yang dilakukan untuk melindungi kehidupan atau kesehatan manusia, hewan dan tumbuhan.
Perlindungan dimaksud meliputi 4 hal penting sebagai berikut:

1. Resiko yang ditimbulkan oleh masuknya, pembentukan atau penyebaran dari hama, penyakit, organism pembawa penyakit atau organism penyebab penyakit.

2. Resiko yang ditimbulkan oleh bahan tambahan makanan (food additives), pencemaran, racun atau organism penyebab penyakit yang terkandung dalam makanan, minuman atau bahan makanan.

3. Resiko terkena penyakit-penyakit yang dibawa oleh hewan, tumbuhan atau produk yang dibuat dari padanya.

4. Melakukan pencegahan dan membatasi bahaya lainnya di dalam wilayah negaranya dari masuknya, pembentukan atau penyebaran hama.

Ketentuan SPS ini berlaku secara global, karena ketentuan ini merupakan salah satu persetujuan (agreement) yang disepakati oleh seluruh negara anggota WTO pada pembentukan organisasi ini pada tahun 1994. Indonesia telah meratifikasi perjanjian tersebut dan mengundangkannya dalam hukum positif Indonesia. Regulasi ini tertuang dalam UU No. 7 tahun 1994 tentang pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization.

Selama produk yang diperdagangkan terkait dengan aturan SPS maka ketentuan ini digunakan sebagai dasar dalam persyaratan pemenuhan keberterimaan suatu produk. Seluruh anggota WTO, termasuk Indonesia sangat mungkin menggunakan ketentuan SPS dalam perdagangan antar Negara.

Isi dari perjanjian SPS-WTO pengaturan hal-hal sebagai berikut:

1. Ketentuan Umum
2. Hak dan Kewajiban
3. Harmonisasi
4. Kesepadanan
5. Analisis resiko dan penetapan tingkat perlindungan SPS
6. Adaptasi terhadap keadaan regional tranparansi
7. Prosedur pengendalian, Inspeksi dan pemberian persetujuan
8. Bantuan Teknis
9. Perlakuan Khusus dan Berbeda
10. Konsultasi dan penyelesaian perselisihan
11. Administrasi
12. Pelaksanaan
13. Ketentuan Penutup

Isu-isu SPS menjadi sangat penting belakangan ini. Dengan berangsur direduksinya hambatan berupa tariff, kuota serta subsidi dalam perdagangan internasional, maka isu-isu sentral dalam perdagangan saat ini bergerak pada yang disebut dengan hambatan non-tariff barrier. Hambatan ini diidentikan sebagai hambatan yang disebabkan oleh aspek-aspek teknis. Salah satu perjanjian di dalam WTO yang kental dengan aspek teknis tersebut adalah perjanjian tentang Sanitary and Phytosanitary Measures.

Amanah yang perlu diperhatikan oleh Negara anggota WTO sebagai rambu di dalam perdagangan menekankan 3 hal dalam perjanjian SPS yaitu sebagai berikut:
1. Tindakan SPS harus berlandaskan kajian disertai bukti ilmiah
2. Tindakan SPS harus transparan dan tidak boleh melanggar prinsip non diskriminasi
3. Tindakan SPS tidak dijadikan sebagai suatu hambatan terselubung di dalam perdagangan.

Saat ini terdapat tiga lembaga organisasi internasional yang menjadi rujukan dalam setiap tindakan SPS yang dikenal dengan three sisters adalah:
1. Codex Alimentarius Commission
2. International Plant Protection Convention
3. World Organization for Animal Health

Ruang lingkup justifikasi yang dikeluarkan oleh Codex Alimentarius Commission adalah mengatur regulasi teknis yang berkenaan dengan pangan, termasuk aspek keamanan pangan, standar, serta rekomendasi teknis lainnya. International Plant Protection Convention bertugas mengeluarkan standar-standar tentang perlindungan tanaman atau dikenal dengan International Standard for Phytosanitary Measerues (ISPM). Sedangkan World Organization for Animal Health berfungsi menetapkan peraturan (code-code) yang terkait dengan aspek kesehatan hewan.

Bila dilihat dari justifikasi yang dikeluarkan oleh ketiga lembaga diatas, tampaknya ketentuan SPS ini sangat kental nuansanya untuk perdagangan produk-produk pangan dan pertanian saja. Namun tidak sepenuhnya demikian. Pada prinsipnya, selama produk tersebut akan berdampak seperti pada alinea kedua di atas, sangat relevan ketentuan SPS diterapkan. Artinya tidak mesti hanya terbatas pada produk pangan dan pertanian saja.

Contohnya, pada kemasan kayu yang digunakan sebagai packing produk industri impor. Perhatian utama ketentuan SPS dalam hal ini bukan pada produk industri apa yang dikemas, namun pada bahan packing yang terbuat dari kayu. Maka dari itu perlu dilakukan memastikan bahwa tidak terdapat hama penyakit tertentu yang dapat terbawa pada media kayu yang digunakan sebagai kemasan produk industri tersebut.

Bersambung.

Sumber: 30 informasi umum seputar sanitary & Phytosanitary, SPS National Enquiry Point

#SPSWTO 
#KeamananPangan 
#KesehatanHewan 
#PerlindunganTanaman 
#PerdaganganGlobal

Tuesday, 30 December 2008

JICA’s Projects Implemented in Indonesia in FY 2007

JICA’s Grant Aid (10 projects)
• The Project for Water Supply in Gunungkidul Regency of Yogyakarta Special Territory (6.35)
• The Project for Expansion of Radio Broadcasting Coverage in the Remote Areas (3.57)
• The Project for Promotion of Sustainable Coastal Fisheries (10.70)
• The Project for Human Resource Development Scholarship (0.86)
• The Project for Human Resource Development Scholarship (1.25)
• The Project for Construction of Bridges in the Province of Nusa Tenggara Barat (3.86)
• The Project for Improvement of Animal Health Laboratories for Diagnosis of Avian Influenza and Other Major Diseases of Animals (17.81)
• The Project for Bridge Construction in the Province of Nusa Tenggara Timur (3.21)
• The Project for Rural Water Supply in the Province of Nusa Tenggara Barat and Nusa Tenggara Timur (2.45)
• The Grant Assistance for Underprivileged Farmers (4.20)

(Total of JICA’s Projects: 218 projects)
Notes:
1. This list shows Grant Aid projects expedited by JICA
2. Figures in parentheses are the grant in fiscal 2007 (unit: 100millions of yen).


Development Studies (10 projects)

• The Study on the Improvement of Farmers' Income: Processing and Rural Micro Finance
• Study on Arterial Road Network Development Plan for Sulawesi Island
• The Study for Development of Greater Surabaya Metropolitan Ports in the Republic of Indonesia
• The Feasibility Study for the Strategic Implementation of CNS/ATM (Communications, Navigation, Surveillance and Air Traffic Management) Systems in the Republic of Indonesia
• Study on the Improvement of Employment Services in the Republic of Indonesia
• The Study on Capacity Development for Jeneberang River Basin Management
• The Study on Natural Disaster Management Plan
• Study on Regional Water Supply Development Plan for Greater Yogyakarta
• The Study on Countermeasures for Sedimentation in Wonogiri
• Study on Development of Regional Railway System in Central Java Region

(Total of JICA’s Projects: 117 projects)
Note:
This list represents Development Studies that were reported by the Japanese government to the recipient countries and whose main studies were implemented.


Technical Cooperation Projects (Formerly Project-type Technical Cooperation) (67 projects)

• Industrial Property Rights Administration (extension)
• Project on Capacity Building for Public Private Partnership (PPP) Operation
• Strengthening Spatial Utilization Monitoring System
• The Project to Deliver Safe Drugs to People in Indonesia
• Sulawesi Capacity Development Project
• Micro Finance for African Region: Establishing Micro Finance Institution (MFI)
• Capacity Building for Poverty Reduction
• The Project on Building Administration and Enforcement Capacity Development for Seismic Resilience
• Project for Improvement on the Vaccination Program for Avian Influenza Control in Indonesia
• The Integrated Program for Junior Secondary Education Improvement
• Project for Tourism Product Development
• Aircraft Accident Investigation Project
• ICT Capability Strengthening for e-Local Government
• Project on "Building a Society with a Sense of Safety in Bali"
• Project on Enhancement of Civilian Police Activities (Phase 2)
• The Project on the Capacity Development of the Ministry of Communication and Information Technology concerning Digital Broadcasting Implementation Planning
• Project on Capacity Development for National Center of Indonesian Tsunami Early Warning System
• Tourism Marketing Planning
• The Forest Tree Improvement Project in the Republic Indonesia 2
• Improvement of Customs Administration Project
• Project for Dissemination of Appropriate Dairy Technology Utilizing Local Resources
• Competition Policy
• Local Educational Administration Improvement Program
• Reshaping Telecommunication Policy and Regulation In Comprehensive Market in Indonesia
• Industrial Property Rights Administration
• Project on Dissemination of Sustainable Marine culture Technology
• Improve drug supply management system and promote rational use of drugs
• Project on Human Resource Development for SMEs
• Project for Administration Improvement of Trade Related Regulations, Systems and Procedures
• Project for Shipping and Sea Transportation Improvement
• The Project for Research and Education Development on Information and Communication Technology in Sepuluh Nopember Institute of Technology
• The Project for Improving Higher Education Institutions through University-Industry-Community Links (Hi-Link) in Gadjah Mada University
• Strengthening in service teacher training of mathematics and science education at junior secondary level
• Central Jawa and DIY Earthquake Reconstruction Program Advisory Team
• Development Country Training Course of Artificial Insemination on Dairy Cattle
• Coal Mining Technology Enhancement Project (Flow Up)
• Project on Ensuring Maternal and Child Health Service with MCH Handbook Phase II
• Port Security Management Project
• International Training on Strengthening District Health Planning in the era of decentralization for improvement of the health status of children and mothers
• Enhancement of Marine and Fisheries Administration Under the Decentralization
• Capital Market Development Project
• International Training Course on Vocational Rehabilitation for Persons with Disabilities
• Improvement of Railway Safety Management - Phase 2
• Contingency Exercise on Airport Security
• Forest Fire Prevention Project by Initiative of people in Buffer Zone
• Development of Indonesian Ecolabel Program, Policy and Supporting tools
• Technical Cooperation Project for Modernization of Tax Administration
• Sub Sectoral Program on Mangrove
• Improvement of District Health Management Capacity in South Sulawesi Province Project
• The Project on Self-Sustainable Community Empowerment Network Formulation in Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Province
• Seminar on Decentralization and Role and Function of Parliament and its Secretariat in Japan
• Project on Improvement of Collection Management and Biodiversity Research Capacity of the Research Center for Biology, Indonesian Institute of Sciences in Indonesia
• Support Program for Reform of Indonesian National Police
• Enhancement of Civilian Police Activities for Bali Regional Project
• The project on Improvement of Mediation System
• Capacity building for balance of payments and international economic management
• Monetary Policy Improvement Project
• The Development of Appropriate Technology for Multi-Story Residential Building and Its Environmental Infrastructure for Low Income People in Indonesia
• The Project of Research Cooperation on the Center for Japanese Studies, University of Indonesia, Phase III
• Gunung Halimun-Salak National Park Management
• The Institutional Revitalization Project for Flood Management in Jabodetabek
• Freshwater Aquaculture Development Project in Indonesia
• Project for Empowerment of Water Users Association
• Institutional Support for Food Security
• Project for the promotion of the sustainable coastal fisheries
• Beef Cattle Development Project Utilizing Local Resources in the Eastern Part of Indonesia
• Project for developing the information systems of small area statistics

(Total of JICA’s Projects: 748 projects)
Note:
This list represents Technical Cooperation projects that were reported by the Japanese government to
the recipient countries and which were implemented.

JICA Partnership Program (9 projects)

• Development of a Model System for Participatory Community Waste Water Treatment in Densely Populated Area of Yogyakarta Special Province
• Empowerment of coastal Fishing Community in South Sulawesi, through Technology Transfer of community-based Set-net for Sustainable Fisheries
• A Training Program for Environmental Education Leader in Semarang City
• The Project for Enhancing the Capacity of Dairy Farming Center in Enrekang District
• Bali Mynah Conservation Project
• International Cooperation Project for the restoration of the earthquake-hit area of Java Island
• Training of Community Health Nurses Coordinator in Indonesia
• Capacity Development for water quality management
• Capacity Development for Public Health Improvement in Papua province
• NGO Training for Disaster Risk Reduction in Asia (Malaysia, Afghanistan, India, Indonesia, Cambodia, Sri Lanka, Nepal, Pakistan, Bangladesh, Philippines)

(Total of JICA’s Projects: 165 projects)
Note: -

Source: Japan International Cooperation Agency (JICA) Annual Report 2008

Wortel Mini Disukai Anak Sekolah

Di sebuah super market di Tokyo Metropolitan telah dipasarkan Wortel Mini atau baby carrot asal Amerika. Satu pak baby carrot seberat 220 gram ini dibandrol harga 119 yen. Sedangkan wortel biasa yang seberat 1000 gram dihargai 399 yen. Sehingga harga per kg baby carrot lebih mahal sekitar 35,58% dari pada harga wortel biasa.


 
 
 
 
 
 
 
 
 
Baby carrot berukuran mini sebesar kelingking dengan garis tengah rata-rata 1,8 cm dan beratnya rata-rata 7 gram per buah.


 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Sedangkan wortel biasa (sebelah kiri) yang dijual di supermarket tersebut beratnya rata-rata 205 gram. Babby carrot (sebelah kanan) berukuran sepertigapuluh dari pada wortel biasa.


 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Tekstur baby carrot lebih empuk dari pada wortel biasa. Bila diiris melintang setebal 1 mm kemudian diteropong dibawah sinar lampu terlihat baby carrot (sebelah kiri) kurang transparan dibanding wortel biasa. Baby carrot berwarna lebih merah dibanding wortel biasa.

 
 
 
Apabila baby carrot dimakan mentah rasanya manis seperti rasa ubi jalar mentah atau lebih manis dari pada rasa wortel biasa. Dengan rasanya manis-enak ini membuat baby carrot disukai oleh anak-anak baik dimakan mentah maupun dimasak.

Hal ini mengingatkan kita kepada semangat petani inovatif asal Fukushima yang selalu bercita-cita dapat memproduksi sayur-sayuran selain bermutu baik juga rasanya enak sehingga disukai oleh anak-anak (http://atanitokyo.blogspot.com/2008/12/mr-saito-yasuyuki-sang-petani-inovatif.html). Anak-anak suka makanan bergizi akan menjadi sehat, dikemudian hari ketika besar dapat meneruskan pembangunan pertanian di masa mendatang.

Dengan inspirasi dari petani inovatif ini, dimohon para pembaca ikhlas mau menyampaikan kepada penentu kebijakan Republik Indonesia tercinta bahwa anak-anak bangsa ini perlu diberikan makanan bergizi yang terbaik demi kesehatan mereka melalui program Pemerintah "Makan siang bersama bagi anak-anak Sekolah Dasar" yang masih dalam masa pertumbuhan. Berikan mereka makan siang empat sehat lima sempurna. Tanpa pandang bulu mereka semua memperoleh makanan yang bergizi dari kota sampai ke pelosok pedalaman. Tentu dengan suatu program yang dibudjetkan oleh pemerintah. Program ditangani lintas departemen, yang berhubungan dengan pendidikan, kesehatan, sosial, agama, pertanian dan perikanan.

Insya Allah anak-anak yang memperoleh makanan bergizi ini akan tumbuh menjadi anak bangsa yang sehat dan cerdas yang akan menggantikan generasi tua sekarang ini, menjadi pemimpin-pemimpin yang pintar-pintar, mampu meningkatkan kesejateraan rakyat.

Tentu banyak rintangan dan hambatan dalam memproduksi hasil pertanian yang disukai anak-anak, mari singsingkan lengan baju pompakan semangat petani melalui berpikir positif begitu mulianya apabila dapat menyumbangkan peran dalam menyehatkan generasi anak bangsa.

Sunday, 28 December 2008

Guide to Agricultural Investment in Indonesia (2)

Government Incentives


 
Import Duties

All investment projects of PMA as well as PMDN projects which are approved by the investment coordinating Board or by the Office of Investment in the respective districts, including existing PMA and PMDN companies expanding their projects to produce similar product(s) in excess of 30% of installed capacities or diversifying their products, will be granted the following facilities:

1. Relief from import duty so that the final tariffs become 5%. In the case of tariffs of import duty which are mentioned in the Indonesian Customs Tariff Book (BTBMI) being 5% or lower, the effective tariffs shall be those in BTBMI:

a. On the importation of capital goods namely machinery, equipments, spare parts and auxiliary equipments for and import period of 2 (two) years, started from the date of stipulation of the decisions on import duty relief.

b. On the importation of goods and materials or raw materials regardless of their types and composition, which are used as materials or components to produce finished goods for the purpose of 2 (two) years full production (accumulated production time).

2. Exemption from the transfer of ownership fee for ship registration deed / certificate made for the first time in Indonesia.

Tax Facilities

1. The government has introduced a tax bill No’s 16, 17, 18, 19 and 20 of 2000 and applied since January 2001. Based on this tax law, the domestic and foreign investors will be granted tax allowances in certain sector and / or area as follows:

a. An investment tax allowance in the form of taxable income reduction as much as 30% of the realized investment spread in 6 (six) years.

b. Accelerated depreciation and amortization.

c. A loss carried forward facility for period of no more than 10(ten) years.

d. A 10% income tax on dividends, and possibly being lower if stipulated in the provisions of an existing particular tax treaty.

2. The government has also introduced provisions No’s 146 of 2000 and 12 of 2000 of 2001 on the importation and or delivery of selected taxable goods, and or the provision of selected taxable services as well as the importation and or delivery of selected strategic goods which are exempted from for certain industries or sectors and or location of projects which are considered a national priority in terms of exports and the development of remote areas, the government will provide tax incentives.

Export Manufacturing

There are many incentives provided for exporting manufacture products. Some of these incentives are as follows:

1. Restitution (drawback) of import on the importation of goods and materials needed to manufacture the exported finishes products.

2. Exemption from value added tax and sales tax on luxury goods and materials purchased domestically, to be used in the manufacturing of the exported products.

3. The company can import raw materials required regardless of the availability of comparable domestic products.

Bonded Zones

The industries companies which are located in the bonded areas are provided with many intensives as follows:

1. Exemption from import duty, excise, income tax of Article 22, value added tax on luxury goods on the importation of capital goods and equipment including raw materials for the production process.

2. Allow to divert their products amounted to 50% of their export (in term of value) for the final products, and 100% of their exports (in term of value) for other than final products to the Indonesian customs area, through normal import procedure including payment of customs duties.

3. Allowed to sell scrap or waste to Indonesian custom area as long as it contains at the highest tolerance of 5% of the amount of the material used in the production process.

Allowed to lend their own machineries and equipments to their subcontractors located outside bonded zones for no longer than 2 (two) years in order to further process their own products.

Exemption of value added tax and sales tax on luxury goods on the delivery of products for further processing from bonded zones to their subcontractors outside the bonded zones or the other way around as well as among companies in these areas.

To be continued.

Source: Guide to Agricultural Investment and Trade Opportunities in Indonesia,Ministry of Agriculture, the Republic of Indonesia