Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Wednesday, 29 October 2008

Southeast Asian Nations Endorse Rice Action Plan

The world’s biggest rice-exporting and -importing nations have collectively endorsed a new Rice Action Plan targeting many of the problems that triggered this year’s rice price crisis.

At a meeting of the ten-nation Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) in the Vietnamese capital Hanoi on October 24, 2008, ministers of agriculture unanimously endorsed a seven-point action plan presented by the International Rice Research Institute (IRRI). ASEAN includes two of the world’s largest rice exporters, Thailand and Vietnam, and several importing nations as well.

The endorsement came at the 30th annual meeting of the ASEAN Ministers of Agriculture and Forestry (AMAF). It was presented as part of a comprehensive food security strategy being developed for the region, home to more than 500 million rice consumers, including some of Asia’s poorest.

“The message is very clear,” IRRI’s director general, Robert S. Zeigler, said. “We have the scientific expertise, knowledge, and partnerships to grow the rice Asia needs and now—with this endorsement by these nations—we have strong political support. The only thing missing are the financial resources needed to implement this.”

Dr. Zeigler told the ministers that IRRI needs an additional US$15 million a year for the next ten years to adequately support the ASEAN Rice Action Plan. “At a time of trillion-dollar bailouts for the global financial sector, $15 million a year is barely the annual bonus of a former Wall Street executive,” Dr. Zeigler said.

The Rice Action Plan was developed by IRRI earlier this year during the rice price crisis in consultation with its partners around the region. It includes the following measures:

1. Bring about an agronomic revolution to reduce existing yield gaps.
Depending on production conditions, an unexploited yield gap of 1–2 t/ha currently exists in most farmers’ fields in the rice-growing areas of Asia. This yield gap can be reduced through the integrated use of stress-resistant varieties and better crop management practices. This requires funding support to programs aimed at improving farmers’ skills in practices such as land preparation, water and nutrient management, and the control of various pests, diseases, and weeds.

2. Accelerate the delivery of new postharvest technologies to reduce losses.
Postharvest includes the storing, drying, and processing of rice. Considerable losses occur in terms of both the quantity and quality of rice during postharvest operations because of the use of old and inefficient practices. The active promotion of exciting new technologies that are currently available for on-farm storage and drying will reduce losses considerably.

3. Accelerate the introduction and adoption of higher-yielding rice varieties.
New rice varieties are available today that can increase production, but farmers are not using them because the systems that introduce new varieties are under-resourced. Enhancing germplasm exchange, variety testing, and release pipelines can make current high-yielding stress-resistant varieties and hybrids more widely available to farmers in irrigated and rainfed lowland areas of Asia.

4. Strengthen and upgrade breeding pipelines for developing new varieties and hybrids.
Funding for the development of new rice varieties has declined steadily over the past decade or more. This must be reversed in order to develop the next generations of new rice varieties that will be required for productivity growth in sustainable agriculture. Several opportunities are available to accelerate the development of new rice varieties and hybrids with higher yield, better grain quality, and increased tolerance of abiotic stresses and with multiple resistances to insects and diseases through new molecular breeding approaches.

5. Accelerate research on the world’s thousands of rice varieties so scientists can use the vast reservoir of untapped genetic resources they contain.
Working with IRRI, the world’s nations have spent decades carefully collecting thousands of rice varieties. More than 100,000 rice types are now being carefully managed and used at IRRI and in Asian nations. However, only a small fraction of these vital genetic resources has been characterized in detail or used widely. New molecular methods have now opened the door for revealing the valuable genetic characteristics in each variety.

6. Develop a new generation of rice scientists and researchers for the public and private sectors.
Part of the current rice crisis reflects the lack of investment in science, including human capital investment. The education and training of young scientists and researchers are also vital concerns for the rice industry. Asia urgently needs to train a new generation of rice scientists and researchers to enable the region to exploit the latest developments in modern science more effectively.

7. Provide rice policy support.
Conducive policy environments are needed to achieve the fuller use of technology for rapid production growth in an efficient, equitable, and sustainable manner. Rice production is being affected by several dynamic economic factors and their potential impact can be manipulated through suitable policy reforms. The identification of policy constraints, the generation of alternative policy options, and policy advocacy are therefore essential.

Tuesday, 28 October 2008

Rahasia Ubi Jalar Siap Saji dengan Kemasan Plastik Vakum

Rasa ubi jalar tetap menjadi kesukaan makanan lidah orang Jepang, meskipun berbagai makanan internasional terdapat di restoran-restoran di Jepang. Di tengah super sibuknya orang Jepang ubi jalar dihadirkan di meja makan mereka dengan bentuk siap saji.

Perusahaan menyiapkan ubi rebus dikemas dalam plastik vakum sehingga tahan lama meskipun tanpa bahan pengawet, dengan penampilan yang menggoda rasa. Dalam bahasa Jepangnya Oishisou yang artinya kelihatannya enak sekali. Karena dalam kemasan vakum, ubi jalar siap saji ini awet bisa tahan sampai dua bulan.

Cara menyiapkannya sangat mudah, masukkan ubi yang masih dikemas dalam plastik ke dalam microwave 500 W selama 3 menit. Begitu terdengar bunyi kling...pada microwave, ubi hangat siap disantap dengan rasa asli ubi.

Ubi jalar siap saji ini dengan berat sekitar 350 gram, harganya dua kali lipat dari ubi jalar bakar yang dijual di supermarket atau biasa dijajakan keliling perumahan. Ubi jalar bakar dijual 100 yen per 350 gram, sedang ubi jalar siap saji dengan berat sama dihargai 200 yen.

Pelajaran yang bisa dipetik dari ubi jalar siap saji ini, selain kita berusaha memproduksi bahan baku sebaik mungkin, kita perlu terus-menerus melakukan inovasi pengolahan dan pengemasan agar dapat memanjakan atau membuat senang konsumen.

Monday, 27 October 2008

Bunga Indonesia dipamerkan pada IFEX Japan

Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (P2HP) Deptan mengkordinasi pengusaha bunga Indonesia mengikuti pameran bunga di Jepang pada pameran besar The 5th International Flower Expo (IFEX) Japan yang diselenggarakan di Makuhari Messe, Jepang mulai 30 Oktober samapai dengan 1 November 2008.

Perusahaan yang diikutsertakan oleh PPHP ini ada tiga yaitu PT. Ekakarya Grahaflora yang akan memameran produknya antara lain Phalaenopsis orchid, Anthorium, UD. Hagani Flora memamerkan Plumeria, Jatropha, Drocaena, dan CV. Wijaya the Art of Garden memamerkan Aglonema, Anthurium, Asplenium. Sedangkan CV. Arjuna Flora akan bekerjasama dengan mitra bisnisnya dari Jepang Agrimatsumoto memamerkan Sandersonia aurantiaca, Zephyrantes, Limonium sinuatum dan Limonium kaspea.

Partisipasi Indonesia pada pameran ini atas kerjasama Ditjen P2HP Deptan dengan KBRI Tokyo program kerja Atase Pertanian dan Atase Perdagangan. Rombongan akan dipimpin oleh Direktur Pemasaran Internasional Dr. Suryadi Abdul Munir yang akan di dampingi oleh Staf Direktorat Pemasaran Internasional Martinawati Irene Ratu Nauli.

Diperkirakan 860 exhibitor akan berpartisipasi dalam pameran ini, dan 32.000 buyer akan mengunjungi pameran ini. Merupakan kesempatan yang baik mengikuti pameran ini, diharapkan dengan ikut sertanya pameran ini ekspor bunga Indonesia ke Jepang maupun Negara di kawasan Asia akan semakin meningkat.

AMAF+3 Meeting di Vietnam

Wakil Menteri Pertanian dari Vietnam Nguyen Sinh Hung mengemukakan kepada negara-negara anggota ASEAN dan mitra-mitranya, Jepang, Cina dan Korea Selatan (RoK), untuk mendorong dan kerjasama untuk mempersempit kesenjangan dalam pembangunan pertanian.

Himbauan Hung ini dikemukakan pada saat pertemuan Menteri Pertanian dan Kehutanan yang ke delapan negara-negara ASEAN dan Menteri Pertanian dari Cina, Jepang dan RoK (AMAF +3), yang berlangsung di Hanoi Vietnam pada 24 Oktober.

Pertanian, pedesaan dan petani adalah faktor yang menentukan terjadinya pembangunan stabilitas politik dan pembangunan sosio-ekonomi negara-negara anggota ASEAN, kata Hung.

Beliau seterusnya berkata bahwa, krisis makanan dan keuangan, timbulnya bencana alam dan epidemi telah berdampak besar secara global, maka peranan pertanian telah menjadi semakin lebih penting sehingga negara-negara ASEAN +3 perlu untuk mengadopsi langkah-langkah kebijakan dan membuat investasi yang tepat untuk tercapainya target kesejahteraan sektor pertanian di Asia.

Mereka yang hadir dalam pertemuan AMAF +3 menyampaikan dukungan mereka untuk mempererat kerjasama antara negara-negara anggota dalam mengusahakan ketahanan pangan, pertanian dan kehutanan, dan mendorong lebih lanjut dalam koordinasi penanggulangan kemiskinan dan mempromosikan kegiatan pembangunan manusia.

Para Menteri peserta pertemuan sepakat untuk mempercepat pelaksanaan program Cadangan Beras Darurat Asia Timur (EAERR) dan memperpanjang proyek berjalan sampai 28 Februari 2010.

Pada 23 Oktober, para delegasi pada pertemuan yang ke 30 Menteri Pertanian dan Kehutanan (AMAF) se Asia Tenggara telah menyetujui kerangka program ASEAN terpadu ketahanan pangan dan merencanakan tindakan menangani isu-isu ketahanan pangan, yang dijadwalkan akan disampaikan dalam ASEAN Summit ke 14 pada bulan Desember tahun 2008 ini.

Pertemuan AMAF ke 31 dan AMAF +3 ke 9 akan diadakan di Brunei pada tahun depan.

Thursday, 16 October 2008

Arowana Indonesia Termahal di Tokyo Tower

Ikan Arowana berasal dari Indonesia harganya 2.500.000 yen (dua juta lima ratus ribu yen). Ikan jenis Super Red Arowana (Scleropages fornosus) yang panjangnya mencapai 90 cm ini dipelihara dan dipamerkan di Tokyo Tower Aquarium. Coba banyangkan jenis kendaraan apa yang bisa dapat ditukar dengan ikan asal Indonesia ini. Harga ikan Arowana yang sangat cantik tersebut kalau dikurskan ke yen pada saat ini sekitar 225 juta rupiah, kurang lebih sama harganya dengan Toyota Inova.

Klasifikasi Ilmiahnya:

Kingdom: Animalia
Phylum: Chordata
Class: Actinopterygii
Order: Osteoglossiformes
Family: Osteoglossidae
Subfamily : Heterotidinae
Arapaima
Heterotis
Subfamily : Osteoglossinae
Osteoglossum
Scleropages

Sedangkan ikan lain yang dipamerkan disana yaitu ikan Specckle-bellied Lungfish (Protopterus aethiopicus) asal Victoria, Afrika Selatan panjangnya 1500 cm dibandrol 1.000.000 (sejuta) yen.

Black Piranha (Serrasalmus rhombeus) atau disebut juga S. niger panjangnya 50 cm tertulis harganya 480.000 yen.

Jaguar cichlid (Parachromis managuensis) asal Nicaragua panjangnya 35 cm senilai 80.000 yen.

Synspilum” (Cichlasoma synspilum) asal Guatemala panjangnya 30 cm tertera diaquariumnya 50.000 yen.

Ikan asal Indonesia yang termahal Arowana ini perlu kita jaga keaslian dan kelestariaannya. Perlu beberapa gen tertentu ikan ini yang asli dicatat dan didaftarkan di Gene Bank sebagai tanda resmi bahwa ikan ini berasal dari Indonesia. Jangan hanya diakui asal dari Indonesia tetapi para pembudidaya yang berhasil dari negara lain. Semoga dengan usaha dan kerja keras kita dalam pengembangan tekhnologi budidaya ikan Arowana dapat mengambil banyak manfaat dikemudian hari.