Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Wednesday, 11 May 2011

Rekomendasi Penanggulangan Penyakit Hewan

 

 Rekomendasi Rakor Penanggulangan Penyakit Hewan Menular dan Kesmavet

 
 
Rapat koordinasi penanggulangan penyakit hewan menular dan kesmavet 1-3 Maret 2011 di Surakart6a  diikuti oleh Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Perbibitan, Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner, BBVet, Balai Karantina Pertanian, Pusvetma, BIB Lembang, BIB Singosari, BET Cipelang, BBPTU Sapi Perah Baturraden, BBalitvet, Fakultas Kedokteran Hewan UGM dan UNAIR, Dinas Peternakan atau yang membidangi fungsi peternakan Propinsi Jawa Timur, JawaTengah, dan DI Yogyakarta, Puskeswan, Lab Keswan / Kesmavet. Setelah mengikuti danmencermati pengarahan dan paparan dari berbagai narasumber, pendapat, saran masukan serta diskusi yang berkembang maupun paparan lainnya selama pertemuan maka disampaikan rekomendasi sebagai berikut :


1. Rencana Kerja Program Kesehatan Hewan tahun 2011 difokuskan pada :
a. Pengendalian dan Pemberantasan PHMS Prioritas Nasional (Rabies, Avian
Influenza, Brucellosis, Anthrax, Hog Cholera, Jembrana)
b. Pembinaan dan Koordinasi Peningkatan Pelayanan Kesehatan Hewan
c. Penguatan Puskeswan
d. Penanggulangan Gangguan Reproduksi (mendukung PSDS/K)
e. Pengawasan Obat Hewan
f. Penguatan Pengujian dan Penyidikan Veteriner


2. Pengendalian dan Pemberantasan PHMS harus diarahkan pada upaya pembebasan
penyakit secara bertahap per tahun per wilayah berdasarkan situasi epidemiologis
penyakit dan geografis wilayah. Untuk itu sangat diperlukan dukungan anggaran dan
komitmen semua pihak terkait, khususnya Direktorat Kesehatan Hewan, Balai Besar
Veteriner Wates Jogjakarta/BPPV, Dinas yang membidangi fungsi Peternakan dan
Kesehatan Hewan, serta Karantina Hewan.


3. Berdasarkan hasil surveilans beberapa penyakit hewan strategis yang berkaitan dengan
Program PSDS/K termasuk penyakit parasiter dan gangguan reproduksi ternyata masih
cukup tingginya angka kasus di lapangan. Hal tersebut dapat mengakibatkan kerugian
ekonomi yang sangat besar oleh karena itu pengendalian dan penanggulangannya
dilaksanakan lebih intensif dengan meningkatkan dukungan anggaran pelaksanaannya
baik di pusat maupun di daerah.


4. Direktorat Kesehatan Hewan perlu melakukan bimbingan analisis resiko kepada Provinsi
dan Kabupaten/Kota, dan UPT bidang perbibitan dalam rangka penyelenggaraan
Otoritas Veteriner antara lain pengaturan lalu lintas hewan dan pembebasan,
pengendalian dan penanggulangan penyakit dengan pendekatan perwilayahan (zoning).


5. Diperlukan inisiatif spesial/khusus dalam penanggulangan reproduksi (diklat sterility
control) secara terstruktur dan terencana yang merupakan salah satu faktor penting
dalam rangka mendukung Program PSDS/K yang diwujudkan dalam suatu rincian
kegiatan dan kebutuhan anggaran pada setiap Dinas Daerah, UPT Kesehatan Hewan
dan UPT Perbibitan baik Pusat maupun Daerah.


6. Untuk mendukung pelaksanaan Sistem Layanan Kesehatan Hewan dan keberhasilan
Program PSDS/K sangat memerlukan optimalisasi peran Puskeswan dengan
menerapkan metode PDSR sebagai ujung tombak kesehatan hewan di lapangan, sangat
memerlukan penganggaran dari Pusat dan Daerah.


7. UPT Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan yang bertanggung jawab
terhadap pelaksanaan Surveilans Penyakit Hewan seperti : BPPV/BBVet dan
PUSVETMA (khusus PMK) yang didukung oleh Dinas Peternakan dan Dinas yang
membidangi fungsi Peternakan dan Kesehatan Hewan untuk memprioritaskan kegiatan
surveilans yang sesuai kaidah epidemiologi di wilayah masing – masing, dan kerjasama
yang solid dengan BBALITVET dan BBPMSOH. Kegiatan – kegiatan pengendalian PHM
selama ini belum berdasarkan hasil kajian epidemiologi sehingga sangat minim upaya
pengukuran penyakit (disease measurement) yang dilakukan secara benar sehingga
tidak diketahui secara tepat sejauh mana status penyakit di daerah akibatnya tidak dapat
diukur secara valid derajat keberhasilan Program pengendalian PHM di suatu daerah.
Untuk itu Balai Besar Veteriner lebih meningkatkan kualitas surveilans yang benar –
benar dirancang dan dilaksanakan sesuai kaidah epidemiologi yang benar sehingga
hasil yang didapatkan bisa dipertanggung jawabkan dan mengedepankan pendekatan
epidemiologi analitik untuk setiap kegiatan surveilans.


8. Penanganan AI diprioritaskan di daerah padat penduduk dan unggas. Faktor – faktor
resiko terjadinya penularan pada manusia diminimalisasi seperti : Tempat penampungan
unggas, pasar – pasar tradisional yang menjual unggas hidup, tempat pemotongan
unggas tradisional, masih berkeliarannya unggas dipemukiman dan masih rendahnya
pemahaman masyarakat tentang penyakit AI dan resikonya.


9. Kejadian kasus Anthrax di Sragen dan Boyolali agar dijadikan perhatian dan terus
dilakukan koordinasi antara Pemerintah Pusat, Dinas Propinsi Kabupaten/Kota, BBVet,
dan masyarakat agar penyakit Anthrax dapat dikendalikan dan tidak menyebar ke daerah
lain dan sosialisasi terhadap masyarakat akan bahaya penyakit Anthrax. BBVet Wates
agar melakukan surveilans post vaksinasi Anhrax di Boyolali dan sekitarnya guna
mengetahui efektivitas vaksin.


10. Pemanasan global berdampak pada lingkungan, kesehatan manusia, dan kesehatan
hewan. Dampak pada kesehatan hewan antara lain munculnya penyakit baru (new
emerging disease) dan merebaknya penyakit hewan menular yang telah lama tidak
muncul (re-emerging disease) termasuk penyakit zoonosis. Untuk menghadapi situasi
yang crusial tersebut diperlukan penguatan Sistem Kesehatan Hewan.


11. Untuk mendukung program pemerintah dalam Swasembada daging sapi dan kerbau
BBVet meningkatkan kegiatan surveilans penyakit Brucellosis terutama di kantung –
kantung ternak sapi dan kerbau. Serta Dinas Provinsi, Kabupaten/Kota agar terus
mengupayakan penyelamatan sapi betina produktif. Sampai saat ini, status Brucellosis di
pulau Jawa terutama Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan DI Yogyakarta masih
ditemukan walau hanya pada sapi perah. Mulai tahun ini BBVet merencanakan kegiatan
surveilans dalam rangka pembebasan pulau Madura dari penyakit Brucellosis.


12. Dinas Peternakan dan Dinas yang membidangi fungsi Peternakan dan Kesehatan
Hewan memberikan advokasi pada pemerintah daerah untuk mengalokasikan anggaran
pelatihan ATR, bagi petugas di RPH, UPTD, dan dokter hewan Puskeswan.


13. Untuk mendukung Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan DIY mempertahankan bebas
rabies maka mutlak dibentuk immuno belt rabies di kabupaten Banyuwangi, Situbondo,
Brebes dan Cilacap (wilayah perbatasan).


14. Guna mendukung pencapaian status bebas Brucellosis di Jawa Tahun 2014 diharapkan
program kegiatan “test and slaughter” dapat berjalan lancar, untuk itu diharapkan Pusat,
Daerah dan stake holder (GKSI) dapat membantu dari segi pengadaan dana
kompensasi.


15. Dinas Peternakan dan Dinas yang membidangi fungsi Peternakan dan Kesehatan
Hewan Propinsi dan Kabupaten/Kota dan Lab. Tipe B dan Tipe C diminta secara aktif
dan rutin untuk mengirimkan laporan situasi PHM (formulir E1, E29, dan pelaporan
terjadinya wabah) di tingkatkan di daerah masing – masing kepada Direktorat Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan dan tembusan ke Balai Besar Veteriner Wates. Agar
engalokasian dana ke Daerah memiliki justifikasi yang kuat.


Sumber: Ditkeswan, DItjen PKH, Kemtan


Waspada! Ternyata Makanan Sehari-Hari Bisa Mengandung Radioaktif – Ini Fakta yang Tidak Pernah Diungkap!


Tanya Jawab terkait dengan bahan pangan yang mengandung bahan radioaktif.


Apa yang akan terjadi bila makanan yang mengandung bahan radioaktif terkonsumsi?

Bila bahan radioactive ada di dalam makanan atau air terkonsumsi, maka akan tertinggal di dalam tubuh dan memancarkan radiasi. Emisi dari pembangkit nuklir Fukushima, yaitu Iodine 131 telah ditemukan pada susu, sayuran, dan air, memilki waktu paruh 8 hari, sehingga akan kehilangan separuh radiasinya dalam 8 hari dst. Iodine 131 tidak akan tertinggal di dalam tanah dalam waktu yang lama. Sementara itu, cesium 137 mempunyai waktu paruh selama 30 tahun, sehingga akan tertinggal di tanah atau produk pertanian dalam waktu yang lebih lama. Akan tetapi bila cesium 137 terkonsumsi, maka sebagian besar akan dikeluarkan dari dalam tubuh.

Bagaimana bahan radioaktif ini masuk ke dalam tubuh?

Iodine 131 dan cesium 137 masuk ke dalam tubuh lewat oral/konsumsi bahan pangan dan pernafasan. Iodine 131 bisa menempel di rumput, yang menjadi pakan sapi dan masuk ke manusia lewat konsumsi susu atau diary product, atau terkonsentrasi dalam ikan yang menjadi konsumsi manusia. Cesium 137 bisa masuk ke dalam tubuh lewat oral, pernafasan, atau kontak dengan tubuh saat kita melewati daerah yang terkontaminasi oleh Cesium 137.

Bagaimana bahan radioaktif ini menempel pada bahan makanan?

Iodine dan Cesium dilepaskan dalam bentuk gas atau dust, lalu akan menempel pada permukaan tanaman yang berdaun lebar, seperti bayam, atau kobis. Mereka akan menempel di bagian permukaan, tetapi tidak mudah untuk masuk ke bagian dalam kubis atau bagian dalam tanaman. Direkomendasikan untuk mencucinya dengan air bersih, atau membuang bagian luar daun kobis, untuk menurunkan tingkat radiasinya.

Bagaimana pengaruh radioactif ini terhadap tubuh?

Anak-anak lebih sensitif terhadap pengaruh radioaktif dibandingkan dengan orang dewasa. Pada orang dewasa hanya sekitar 7 persen dari total Iodine yang masuk ke dalam tubuh akan disimpan dalam kelenjar tiroid, dan sisanya akan dikeluarkan oleh tubuh dalam waktu 24 jam. Sedangkan pada anak-anak Iodine akan tertinggal di dalam kelenjar tiroid sekitar 20 persen. Waktu paruh biologi Iodine di dalam tubuh: di dalam kelenjar tyroid 100 hari; tulang 14 hari; ginjal dan organ reproduktif: 7 hari.

Berbeda dengan Iodine, Cesium akan terdistribusi secara merata ke dalam jaringan dan organ tubuh. Sedikit lebih banyak akan menumpuk pada bagian otot. Akan tetapi Cesium hanya akan berada di dalam tubuh dalam waktu yang relatif singkat, dan akan dikeluarkan lewat urine.

Apakah radiasi di daerah Kanto membahayakan bagi kesehatan?

Meskipun radiasi didaerah Tokyo sudah dilaporkan hingga 20 kali dari biasanya, akan tetapi masih belum membahayakan. Di Shinjuku Ward dilaporkan 0.049 microsievert per jam pada jam 9 pagi, tanggal 18 Maret 2011. Jumlah itu masih jauh lebih kecil dibanding radiasi alami yang diterima oleh penduduk Jepang, yaitu sekitar 1.5 milisievert per tahun.

Provisional limit radiasi beberapa produk pangan

Bahan pangan

Iodine 131

Cesium 137

(Becquerel per kg)

(Becquerel per kg)

Bayam dan sayuran lain (selain yang berada di dalam tanah)

2000

-

Air minum, susu, dairy producy

300

200

Susu bayi, ASI

100

-

Sayuran, serealia, daging, ikan, telur

-

500

(sumber: Yomiuri on line)

Iodine 131 banyak digunakan di dalam dunia medis dan penelitian biologi, karena waktu paruhnya yang pendek dan emisi betanya yang berguna. Zat radioaktif ini banyak digunakan untuk mengetahui efektivitas suatu obat atau untuk keperluan imaging struktur organ atau jaringan.

Sumber : KBRI Tokyo

#Radioaktif 
#KeamananPangan 
#Radiasi 
#Iodine131 
#Cesium137

Tuesday, 10 May 2011

Bantuan untuk Petani yang Kurang Mampu

Bantuan Hibah Jepang bagi Republik Indonesia pada Putaran Kennedy Kedua (2KRSecond Kennedy Round) berupa ”Bantuan untuk Petani yang Kurang Mampu”

1.

Pada tanggal 12 Januari 2011, pemerintah Jepang telah menyetujui proyek pemanfaatan dana imbangan yang dikenal dengan nama Putaran Kennedy Dua (2KR) dalam bentuk bantuan hibah Jepang tahun 2011 berupa “Bantuan untuk Petani yang Kurang Mampu” sebesar 25 milyar rupiah atas permohonan dari pemerintah Indonesia.

2.

Pemerintah Indonesia secara konsisten terus mengupayakan kestabilan pasokan beras bagi rakyat dengan tujuan memperkokoh jaminan keamanan pangan. Bantuan hibah berupa “Bantuan untuk Petani yang Kurang Mampu” atau dikenal dengan Putaran Kennedy Dua (2KR) merupakan bantuan hibah Jepang untuk peningkatan produktifitas beras Indonesia dan membantu petani yang kurang mampu, yang mana pemerintah Indonesia membeli pupuk kalium dari luar negeri yang sulit didapatkan karena tidak dapat diproduksi di dalam negeri, dan menjualnya dengan harga murah kepada petani tersebut. Hasil penjualan pupuk ini akan diakumulasikan oleh pemerintah Indonesia dan dimanfaatkan sebagai bantuan untuk upaya-upaya mandiri bagi peningkatan pendapatan petani yang kurang mampu.

3.

Yang disetujui pada kesempatan ini adalah biaya-biaya yang diperlukan untuk proyek yang ditangani petani kurang mampu sebagai berikut.

(1)

Peningkatan produktifitas tanaman umbi-umbian (singkong, ketela rambat) melalui regularisasi sistim pengawasan produksi

(2)

Peningkatan pendapatan petani melalui produksi gandum di NTT, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan

(3)

Peningkatan pendapatan petani skala kecil melalui pengembangan hortikultura yang berkesinambungan

(4)

Pengembangan perusahaan susu skala kecil melalui pemanfaatan sumber daya daerah dan penerapan proses limbah yang sistematis di kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan

(5)

Proyek bantuan “Program produksi 1 juta ekor sapi” di propinsi NTB

(6)

Peningkatan pendapatan petani karet skala kecil melalui penggunaan hewan ternak untuk jarak tanam dan produksi pupuk organik di kabupaten Musi Rawas, propinsi Sumatera Selatan

(7)

Penguatan Pusat Latihan Pertanian dan Komunitas Pertanian

Dengan bantuan terhadap proyek-proyek di atas, diharapkan akan berkontribusi besar bagi pengentasan kemiskinan di Indonesia.

4.

Pemerintah Jepang akan membantu usaha-usaha yang dilakukan pemerintah Indonesia secara aktif dalam hal pasokan pangan yang stabil dan penanganan pengentasan kemisikinan.

Sumber : Kedutaan Besar Jepang di Jakarta

Pertemuan Teknis Surveillance PMK

 
Pertemuan Teknis Surveillance Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) Nasional diselenggarakan di Pusat Veterinaria Farma (PUSVETMA) Surabaya pada tanggal 4 April 2011, dihadiri oleh : Nara Sumber berasal dari Dewan Pakar Asosiasi Epidemiologi Veteriner Indonesia (AEVI) yakni, Prof. Drh. Setyawan Budiharta, MPH., Ph.D., Direktur Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan : Drh Pudjiatmoko, Ph.D dan Instansi terkait yang membidangi Peternakan dan Kesehatan Hewan, serta personil BPPV/BBVet yang membidangi Bagian Epidemiologi, yakni :

Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Medan, Drh. Gazwa Mettilia Hakim
Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Bukittinggi, Drh. Rina Hartini
Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Lampung, Drh. Syamsul Ma’arif dan Drh. Diyan Cahyaningsari
Balai Besar Veteriner Wates Jogjakarta, Drh. Akhmad Junaidi. MMA dan Drh. Samkhan, M.Pert.
Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Subang, Drh. Satriyo Setyo Utomo
Balai Besar Veteriner Maros, Drh. Tangguh Pitona, M.Si
Balai Besar Veteriner Denpasar, Drh. Gunawan Setiaji
Balai Pengujian Mutu dan Produk Peternakan, Drh. Suparno, MM., M.Si

Serta diikuti Dinas terkait lainnya yang membidangi Peternakan dan Kesehatan Hewan, dari Sumatra Utara, Riau. Kepri, Jambi, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTT, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Maluku Utara.

Dalam pertemuan tersebut telah ada kata kesepakatan antara penyelengga dan Dewan Pakar Epidemiologi dari Asosiasi Epidemiologi Veteriner Indonesia (AEVI), yakni kemampuan uji pada Surveillance PMK Nasional 2011 sadalah 2000 sampel, yang dilakukan sendiri oleh instansi PMK adalah 1.500 sampel dan untuk BPPV dan BBVet masing-masing 60 sampel.

Rencana sampel yang diambil secara Sampel Random sederhana adalah dari beberapa tempat / lokasi diseluruh Nusantara, yakni : Sumatera Utara (Medan, Deli Serdang, dan Simalungun), Riau (Siak, Bengkalis), Provinsi Aceh (Aceh Besar, Pidi), Jambi (Tanjung, Jabung Barat), Kepri (Batam, Tanjung Pinang), DKI Jakarta (Jakarta Barat), Jawa Tengah (Blora), Jawa Timur (Tuban, Malang), Bali (Denpasar), NTT (Kupang), Sulawesi Selatan (Maros), Sulawesi Utara (Menado, Minahasa, Bitung), Kalimantan Barat (Bengkayang, Pontianak, Sanggau), Kalimantan Timur (Bulongan-Tarakan) dan Maluku Utara (Ternate).

Tetapi karena adanya perkembangan informasi dari para peserta meeting, bahwa perlunya diperhatikan daerah-daerah berisiko tinggi, maka usulan-usulan para peserta akan dijadikan pegangan agar Surveillance tahun ini akan lebih mewakili, sehingga sangat memungkinkan jumlah daerah akan berkembang lebih banyak lagi, perkembangan daerah sebagai lokasi sampel segera akan dikirimkan ke E-mail masing-masing peserta dalam waktu yang tidak begitu lama.


Sumber : BBV Wates