Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Monday 20 April 2020

Mengenal African Swine Fever (ASF) di Indonesia



I. SIFAT ALAMI PENYAKIT

1.1. Pendahuluan
Penyakit African Swine Fever (ASF) atau Demam Babi Afrika adalah penyakit viral yang menyerang ternak babi dan babi liar (family: Suidae). Penyakit ini dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang tinggi karena morbiditas yang bisa mencapai 100%, mortalitas yang tinggi (60%-100%) bersifat sangat menular, dapat mengganggu stabilitas perdagangan (domestik maupun internasional) karena larangan ekspor-impor dan pelarangan lalu lintas antar daerah di suatu negara, pengendalian penyakit yang harus dilakukan dengan depopulasi karena belum ditemukan vaksin penyakit ini, dan juga menyebabkan epidemi yang terjadi secara terus menerus.

Penyakit ini sangat sulit untuk dikendalikan karena sifat virus ASF yang sangat tahan terhadap lingkungan. Virus ASF dapat bertahan selama beberapa hari di dalam feses, dapat bertahan beberapa bulan di kandang yang terkontaminasi, dapat bertahan sampai 18 bulan di dalam darah, dapat bertahan selama 140 hari di dalam produk olahan daging babi, serta dapat bertahan di dalam karkas selama bertahuntahun. Virus ASF dapat menular secara langsung maupun tidak langsung terutama melalui peralatan atau alat yang terkontaminasi.

Kondisi peternakan babi yang hampir sebagian besar (85-95%) masih bersifat konvensional dengan keadaan biosekuriti yang minim menyebabkan upaya pencegahan dan lokalisasi penyakit menjadi jauh lebih berat dan kompleks. Hal ini mempertegas pentingnya pencegahan penyakit ini untuk tidak masuk ke wilayah Indonesia melalui penyusunan Kiatvetindo ASF.

Kiatvetindo ASF adalah rencana kontingensi atau kesiapsiagaan darurat yang meliputi semua kegiatan yang dapat diambil untuk memastikan bahwa penularan penyakit ASF dapat dikenali dan dikendalikan sebelum mencapai fase epidemi, dan untuk memantau kemajuan dalam program eliminasi.

Strategi pencegahan penyakit ASF ini meliputi karantina, biosekuriti peternakan, dan strategi lain yang dapat digunakan untuk meminimalisir risiko penularan penyakit ASF. Selain itu upaya deteksi dini, respon cepat untuk pencegahan penyebaran dan biosekuriti pada tingkat peternakan menjadi hal utama dalam upaya pengendalian penyakit ini. Selain itu didalam Kiatvetindo ini juga dijelaskan tentang pentingnya depopulasi sebagai salah satu strategi pengendalian dan pemberantasan penyakit ASF karena ketiadaan vaksin untuk penyakit ini.

1.2. Etiologi

Virus ASF diklasifikasikan dalam Asfivirus, anggota satu-satunya dari family Asfaviridae. ASF juga satu-satunya virus DNA yang ditransmisikan oleh Artropoda. Virulensi isolat virus bervariasi dari rendah hingga tinggi.

1.3. Hewan Peka

Hewan yang peka terhadap penyakit ASF adalah ternak babi dan babi liar (tidak berpengaruh pada umur dan jenis kelamin. seluruh babi liar Afrika rentan terhadap penyakit ini namun tidak menunjukkan gejala klinis, dan dianggap sebagai reservoir penyakit ini. Babi liar Eropa (Susscrofa) juga terbukti rentan terhadap penyakit ini dengan tingkat fatalitas yang sama dengan babi domestik. Selain itu, babi liar di Amerika Selatan dan Karibia juga mempunyai kerentanan yang tinggi terhadap penyakit ini. Manusia tidak rentan terhadap penyakit ini.

1.4. Penyebaran di dunia dan kejadian di Indonesia dan
status di Indonesia

Penyakit ASF mulai dilaporkan terjadi di Afrika bagian selatan pada tahun 1900-1905 yang selanjutnya menyebar ke Afrika bagian tengah dan utara, terutama negara-negara di sub-sahara. Pada tahun 1957, ASF dilaporkan terjadi di Eropa bagian barat, tepatnya di Portugal yang selanjutnya menyebar ke timur ke Eropa tengah hingga menyebar ke Rusia pada tahun 2008. Pada Agustus 2018, penyakit ini dilaporkan telah menyebar ke China.  Sejak terdeteksinya ASF di China, penyakit ini kemudian ditemukan di Mongolia (Januari 2019), Vietnam (Februari 2019), Kamboja (Maret 2019), Hongkong (SAR-PRC) (Mei 2019), Korea Utara (Mei 2019), Laos (Juni 2019), Myanmar (Agustus 2019), dan yang terbaru adalah Filipina dan Timor Leste (September 2019).

1.5. Kriteria Diagnosis
1.5.1. Definisi kasus:

1. Kasus Terduga (Suspect) ASF
Setiap babi yang menunjukkan demam, anoreksia, lesu, kemerahan pada kulit dan kematian dengan tingkat mortalitas di atas 5% atau kematian mendadak di atas 30% dengan atau tanpa gejala klinis menciri (Sindrom Prioritas DMB).

2. Kasus Terduga Kuat (Probable) ASF
Setiap babi yang memenuhi kriteria kasus terduga ASF dan menunjukkan perubahan patologi sebagai berikut:
- pembengkakan limpoglandula gastrohepatika (gastrohepatic
lymph nodes),
- pembengkakan limpa disertai warna kehitaman dan rapuh

3. Kasus Terkonfirmasi (Confirmed) ASF
Setiap babi yang memenuhi kriteria kasus terduga ASF yang darinya telah diisolasi dan diidentifikasi virus ASF atau padanya telah dideteksi komponen genetik virus ASF dengan metode PCR di Laboratorium yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

1.5.2. Tanda klinis (perakut, akut, subakut dan kronis):
Perakut
- Mati tanpa gejala klinis/sudden death
Akut
- Demam sampai dengan 42°C
- Hiperemia atau sianosis ektremitas, terutama telinga dan moncong
- Hilangnya selera makan
- Tidak mampu berdiri dan konvulsi
- Inkoordinasi

Kronis
- Demam sementara / berulang
- Stunting / kurus
- Pneumonia
- Bisul/ulcer pada kulit
- Infeksi sekunder
- Kematian lebih banyak pada babi muda

1.5.1. Patologi Anatomi dan Histopatologi
Patologi Anatomi
Bentuk akut
- Pembesaran dan hemoragi limfoglandula yang sering menyerupai pembekuan darah pada limfoglandula gastrohepatik, ginjal, usus halus, dan limfoglandula submandibular,
- Pembesaran limpa (2-3 kali dari ukuran normal) yang dapat berupa nekrotik, gelap, lunak, dan mudah hancur,
- Hemoragi pada hampir semua organ, dan sering terlihat membran serosa dan ginjal seperti titik darah, jantung, kandung kemih, paru-paru dan kantung kemih,
- Udema septa pada paru-paru yang menghasilkan septa interlobular utama,
- Cairan pada ruangan tubuh.

Bentuk subakut
- Hemoragi pada limfoglandula dan ginjal,
- Pembesaran limpa tapi tidak terjadi penyumbatan,
- Konsolidasi lobular bagian kranial lobus paru-paru,
- Hemoragi garis intestinal, limfoglandula dan ginjal
Bentuk kronis
- Pembesaran limfoglandula
- Peradangan perikardium fibrinosa (pericarditis fibrinous) dan pleurisy
- Perlekatan lobular pada paru-paru yang dapat berkembang menjadi nekrosis lobular
- Paru-paru mengecil, keras dan ada nodular putih
- Radang sendi (arthritis)
- Ulser kulit (cutaneous ulcers)
- Kondisi tubuh yang buruk

Histopatologi
Nekrosis yang meluas dari jaringan limfatik sangat umum, terutama limfoglandula dengan karioreksis dan dapat disertai dengan pendarahan atau hemoragi. Nekrosis jauh lebih parah dan lebih sering dibandingkan dengan penyakit classical swine fever (CSF). Terjadinya peradangan pembuluh darah atau vasculitis yang disertai dengan degenerasi pada endotelium dan degerasi fibrinoid dari dinding arteri pada semua organ. Terdapat inflamasi pada otak, sumsum tulang belakang (spinal cord) dan syaraf spinal namun tidak disertai nanah, dengan nekrosa pada membran sel mononuclear di sekeliling pembuluh yang terkena.

1.6. Uji laboratorium
Spesimen atau sampel dari hewan yang diduga tertular penyakit ASF harus dikirimkan ke laboratorium Balai Besar Veteriner/ Balai Veteriner untuk konfirmasi diagnosis.
- Deteksi dan karakterisasi agen
Uji Real Time PCR, isolasi virus, ELISA antigen, PCR konvensional, sequencing
- Uji serologi
Uji ELISA, uji Imunoperoksidase
1.7. Spesimen yang dibutuhkan
a) Sampel yang dibutuhkan untuk identifikasi agen
-   Sampel darah dari hewan hidup terduga dengan anti koagulan
-  Jaringan dari hewan mati yang diambil secara aseptis dan tanpa pengawet (tonsil, limpa, limpoglandula dari gastrohepatika dan mesenterika, paru-paru, ginjal, dan usus halus)
b) Uji Serologi: serum darah hewan terduga
c) Uji Histopatologi: berbagai jaringan dalam larutan PBS

1.8. Cara pengiriman specimen

Sampel darah dan spesimen jaringan tanpa pengawet harus didinginkan dan ditransportasikan dengan gel beku.

1.9. Diagnosa Laboratorium
1. Deteksi antigen
a. qPCR : menggunakan sampel darah EDTA/jaringan, mendeteksi Genome virus memerlukan waktu <1 hari="" i="">
b. Isolasi : menggunakan sampel darah EDTA/jaringan, mengisolasi virus memerlukan waktu 1-2 minggu.
c. ELISA : menggunakan sampel darah EDTA/jaringan, mendeteksi antigen memerlukan waktu 1 hari
2. Karakteristik Antigen
PCR dan DNA Sequencing mengunakan sampel darah EDTA/jaringan/isolasi virus mengetahui Genome virus memerlukan waktu selama 2-3 hari
3. Serologi
a. ELISA menggunakan sampel serum darah mendeteksi antibodi memerlukan waktu 1 hari
b. Uji Imunoperoksidase menggunakan serum darah mendeteksi antibodi memerlukan waktu 1 hari

1.10. Diagnosa banding
- CSF
- Penyakit Aujeszky’s
- Erysipelas
- Salmonellosis
- Keracunan, termasuk warfarin
- Pasteurellosis/pneumonia
- Aborsi, mumifikasi, stillbirths
- Mulberry heart disease
- Isoimmune thrombocytopenia purpura
- Viral encephalomyelitis

1.11. Imunitas dan resistensi

Resistensi dan immunitas
Virus ASF merupakan virus DNA besar yang mengkode 165 gen pada partikel virus yang berlapis yang terdiri atas 50 protein.

Imunitas bawaan
Populasi babi yang belum pernah terpapar virus ASF, termasuk populasi babi Australia, sangat rentan terhadap penyakit ini. Pada populasi babi domestik yang telah terpapar virus ASF mempunyai resistensi yang lebih besar terhadap efek patogenitas dari virulensi virus ini. Resistensi tersebut tidak dipengaruhi oleh faktor genetik, namun berhubungan dengan faktor epidemiologi di daerah asal babi tersebut. Sekitar 40% populasi babi yang disurvei di Mozambik menunjukkan tingkatan imunitas bawaan yang sangat bervariasi.

Imunitas dapatan
Variasi yang besar pada gejala klinis dan patologis di beberapa wilayah di dunia lebih disebabkan oleh adanya variasi virulensi strain virus yang berbeda, dibandingkan dengan perbedaan status imunitas populasi babi. Hewan yang selamat dari virus ini terlindungi dari ancaman virus yang homolog atau sejenis, namun dapat sangat rentan terhadap ancaman virus yang heterolog. Virus ASF telat mengembangkan beberapa mekanisme pertahanan yang dapat menghindari respon imun dari inang. Awalnya, virus bereplikasi pada makrofag, dan mengganggu ekspresi gen yang diketahui mempunyai peran dalam merangsang imunitas bawaan dan imunitas yang didapat. Selain itu, beberapa protein virus diketahui berfungsi menghambat respon imun inang.

1.12. Vaksinasi dan/atau penanganan hewan yang terinfeksi
Walaupun upaya telah dilakukan untuk mengembangkan vaksin yang sesuai, saat ini belum ada vaksin komersial yang dapat digunakan untuk melawan penyakit ASF. Hal ini disebabkan oleh kompleksitas respon imun terhadap virus ini. Vaksin inaktif telah berhasil memproduksi respon antibodi, namun tingkat perlindungannya tidak cukup untuk menghadapi paparan virus. Strain virus hidup yang dilemahkan menghasilkan perlindungan yang kuat terhadap virus ASF homolog, namun penggunaannya belum dilakukan karena dianggap belum aman. Tidak ada pengobatan yang efektif untuk hewan yang terinfeksi. Perawatan paliatif dapat meringankan tanda yang ditimbulkan, namun tidak dapat mencegah penyebaran infeksi dan malah membuat deteksi hewan terinfeksi menjadi semakin sulit.

1.13. Epidemiologi
a. 4 tipe siklus ASF:
- Siklus silvatik: pada celeng/babi liar dan caplak
- Siklus caplak-babi: pada caplak dan babi domestik
- Siklus domestik: pada babi domestik dan produk babi
- Siklus domestik-silvatik:penularan daging babi domestik ke liar.

b. Masa Inkubasi: 5-15 hari (namun bisa sampai 20 hari)

c. Persistensi virus dan cara transmisi
- Dapat hidup pada pH 4-10
- Inaktif dengan Kresol (Kresol adalah senyawa organik yang merupakan methylphenol)l, NaOH 2%, Formalin 1%, Sodium Carbonate 4% (anhidrat) dan 10% (kristal), iodofor, asam fosfor, deterjen non-ionik, pelarut lemak termasuk kloroform.
- Virus dapat hidup sampai beberapa bulan pada media protein seperti pada daging mentah dan daging beku..

d. Penularan
- Melalui kontak langsung dengan hewan yang membawa virus.  Virus dapat ditularkan melalui semen.
- Melalui kontak tidak langsung dengan sekresi dan ekskresi (feses dan urine) babi terinfeksi atau produknya. Selain itu juga dapat menular melalui vektor (caplak), pakan, kendaraan, dan alat yang terkontaminasi virus.

e. Vektor
Caplak Ornithodorus spp., Phacochoerus spp., Potamochoerus spp., Hylochoerus meinertzhageni. Namun nyamuk dan lalat yang kontak dengan babi pada masa viremia dapat menjadi penyebar mekanis ASF.

1.14. Cara dan Risiko Masuknya ASF
1. Untuk mengetahui risiko masukknya ASF ke Indonesia, hal pertama yang harus dipahami adalah karakteristik virus ASF terutama dalam ketahanan virus ASF yang bisa bertahan dilingkungan dan dalam produk babi olahan yang masih bisa dapat ditemukan virus ASF yang aktif.

2. Salah satu hal penting dalam memahami risiko masukknya ASF dari suatu Negara ke Negara lain dan juga dari suatu daerah ke daerah lain adalah rantai nilai perdagangan (value chain) dari perdagangan ternak babi hidup, daging babi, produk babi dan produk lainnya yang berkaitan dengan ternak babi (sperma, bahan genetik atau bahan lainnya) serta manajemen peternakan secara umum di Indonesia.

Kemampuan virus ASF yang infeksius untuk bisa bertahan.
1. Sangat tahan terhadap suhu rendah. Panas tidak aktif pada suhu 56 oC selama 70 menit; pada suhu 60 oC selama 20 menit.
2. Inaktif pada pH <3 atau=""> 11,5 dalam medium bebas serum.  Serum meningkatkan daya tahan virus, mis., Pada pH 13,4 — resistensi bertahan hingga 21 jam tanpa serum, dan 7 hari dengan serum.
3. Rentan terhadap eter dan kloroform.  Tidak aktif oleh 8/1000 natrium hidroksida (30 menit), hipoklorit — 2,3 persen klor (30 menit), 3/1000 formalin (30 menit), 3 persen orto-fenilfenol (30 menit) dan senyawa yodium.
4. Tetap hidup dalam waktu lama dalam darah, kotoran, dan jaringan; terutama produk babi yang tidak dimasak atau kurang matang yang terinfeksi. Dapat mengalikan dalam vektor (Ornithodoros sp.).

Risiko ketahanan virus ASF pada berbagai media (Sumber : EFSA Journal 2014;12(4):3628. Scientific Opinion on African Swine Fever):
1.   Kemungkinan bertahan sangat tinggi pada daging babi beku
2.   Kemungkinan bertahan tinggi pada daging babi chilled; Babi liar; Babi domestik; Lemak kulit babi; Kendaraan pengangkut hewan terkontaminasi di bagian dalam
3.   Kemungkinan bertahan sedang pada Daging babi asap; Daging babi asin, terfermentasi, kering (+/- bumbu), contohnya pepperoni, salami dll; Daging babi asin dan kering; kendaraan pengangkut hewan terkontaminasi di bagian luar; Orang yang terlibat dalam pemeliharaan babi; Slurry; Pakan ternak; Litter; Fomites.
4.   Kemungkinan bertahan rendah pada orang yang tidak terlibat dalam pemeliharaan babi; Caplak.
5.   Kemungkinan bertahan sangat rendah pada sayur-sayuran; Tanaman; Pes (rodensia); Hewan peliharaan; Hay dan straw; serangga penghisap darah.
6.   Diabaikan pada daging yang dimasak 70°C selama 30 menit.

Dengan memahami hal tersebut, potensi tinggi masuknya infeksi ASF ke ke suatu wilayah yang masih bebas di Indonesia adalah melalui daging babi dan produk daging babi, bahan genetik babi, dan masuknya babi hidup yang terinfeksi.

Sumber:
Kiat Vetindo, Ditjen PKH 2019

x

No comments: