Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Tuesday 12 May 2020

Asal-usul Coronavirus Penyebab COVID-19



Sejak laporan pertama COVID-19 di Wuhan, Provinsi Hubei, China, telah banyak didiskusikan tentang asal-usul virus penyebabnya yaitu, SARS-CoV-2.  SARS-CoV-2 merupakan coronavirus ketujuh yang diketahui menginfeksi manusia.  Coronavirus sebelumnya SARS-CoV, MERS-CoV, dan SARS-CoV-2 yang telah menyebabkan penyakit berat, sedangkan HKU1, NL63, OC43 dan 229E menyebabkan penyakit dengan gejala ringan.

CIRI-CIRI PENTING GENOM SARS-CoV-19

Genom adalah keseluruhan informasi genetik yang dimiliki organisme.  Dua ciri genom yang menonjol coronavirus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 yaitu : (1) SARS-CoV-2 bisa berikatan dengan reseptor ACE2 manusia, tempat masuknya virus; dan (2) ‘Protein Spike’ (S) SARS-CoV-2 memiliki ‘Tapak Pemotongan Polibasa Furin’ pada perbatasan S1 dan S2 (dua subunit ‘Protein Spike’) melalui penyisipan 12 nukleotida.

1. Mutasi domain pengikat-reseptor SARS-CoV-2
Domain pengikat-reseptor (RBD) pada ‘Protein Spike’ merupakan bagian yang paling mudah berubah-rubah dari genom coronavirus.  Enam asam amino RBD tersebut terbukti sangat penting untuk mengikat reseptor ACE2 yang berperan dalam menentukan sebaran (jenis) inang untuk coronavirus yang mirip-SARS-CoV.  Berdasar pada urutan asam amino (koordinat) pada SARS-CoV, 6 residu RBD tersebut adalah Y442, L472, N479, D480, T487 dan Y4911, sesuai dengan koordinat pada SARS-CoV-2 L455, F486, Q493, S494, N501 dan Y505.  Lima dari enam residu tersebut berbeda antara SARS-CoV-2 dan SARS-CoV.  Atas dasar studi struktur dan percobaan biokimia, SARS-CoV-2 memiliki RBD yang bisa berikatan dengan afinitas tinggi terhadap ACE2 manusia, musang, kucing dan spesies lain dengan homologi reseptor tinggi.

Dengan analisis di atas menunjukkan bahwa SARS-CoV-2 dapat mengikat ACE2 manusia sangat rekat, namun pada analisis komputasi diperkirakan interaksinya kurang ideal; urutan asam amino RBD SARS-CoV-2 berbeda dengan urutan asam amino RBD pada SARS-CoV yang menjadi pengikat reseptor optimal.  Dengan demikian, pengikatan afinitas tinggi dari Protein Spike SARS-CoV-2 pada ACE2-manusia kemungkinan besar merupakan hasil seleksi alam pada ACE2 manusia; atau pada ACE2-mirip-manusia yang menyebabkan munculnya pengikat reseptor optimal lain.  Hal ini merupakan bukti kuat bahwa SARS-CoV-2 bukan produk dari manipulasi yang disengaja (Kristian G. A. et al, 2020).

2. ‘Tapak Pemotongan Polibasa’ Furin dan Glycan berikatan-O’
Ciri penting kedua SARS-CoV-2 yakni adanya ‘Tapak Pemotongan Polibasa’ dengan urutan RRAR pada bagian persimpangan dua subunit ‘Protein Spike’ S1 dan S2 yang memungkinkan terjadi pemotongan yang efektif oleh furin dan protease lain sehingga bisa berperan dalam menentukan infektivitas virus dan jarak inang.  Selain itu, pada SARS-CoV-2 juga terdapat satu proline tersisip paling depan pada tapak ini; dengan demikian, urutan sisipannya menjadi PRRA.  Pergantian dengan proline ini diperkirakan menghasilkan penambahan ‘Glycan berikatan-O’ ke S673, T678 dan S686, yang mengapit ‘Tapak Pemotongan Polibasa’ dan unik bagi SARS-CoV-2.  ‘Tapak Pemotongan Polibasa’ tidak tampak dalam betacoronavirus yang berhubungan dengan 'garis keturunan B', meskipun betacoronavirus manusia lainnya, termasuk HKU1 ('garis keturunan A'), memiliki tapak-tapak tersebut dan prediksi ‘Glycan berikatan-O’. Mengingat tingkat variasi genetik pada ‘Protein Spike’, ada kemungkinan bahwa virus mirip-SARS-CoV-2 dengan ‘Tapak Pemotongan Polibasa’ sebagian atau penuh akan ditemukan pada spesies lain.

Kepentingan fungsi ‘Tapak Pemotongan Polibasa’ pada SARS-CoV-2 tidak diketahui.  ‘Tapak Pemotongan Polibasa’ penting untuk menentukan dampaknya pada penularan dan patogenesis pada hewan model.  Percobaan pada SARS-CoV telah menunjukkan bahwa penyisipan ‘Tapak pemotongan furin’ pada persimpangan S1 dan S2 meningkatkan fusi sel-sel tanpa mempengaruhi masuknya virus.  Selain itu, pemotongan Spike MERS-CoV memungkinkan mirip-MERS coronavirus dari kelelawar bisa menginfeksi sel manusia.  

Untuk referensi kita bandingkan dengan virus avian influenza (Flu Burung) yang mengalami replikasi virus dan penularan secara cepat pada populasi ayam yang padat sehingga menimbulkan ‘Tapak Pemotongan Polibasa’ pada Protein Hemagglutinin (HA), yang fungsinya mirip pada ‘Protein Spike’ coronavirus.  Akuisisi ‘Tapak Pemotongan Polibasa’ pada HA, dengan penyisipan atau rekombinasi telah mengubah virus avian influenza patogenesitas rendah atau low-pathogenicity avian influenza (LPAI) menjadi virus yang sangat pathogen atau High-pathogenicity avian influenza (HPAI).  Akuisisi ‘Tapak Pemotongan Polibasa’ pada Protein HA juga terbukti setelah melalui pasase virus berulang-kali pada kultur sel atau pada hewan (Ito, et al. 2001).

Fungsi prediksi ‘Glycan berikatan-O’ tidak jelas, namun virus dapat membuat 'domain mirip-mucin' yang melindungi epitop atau residu utama pada ‘Protein Spike’ SARS-CoV-2.  Beberapa virus menggunakan 'domain mirip-mucin' sebagai perisai glycan yang berperan dalam penghindaran kekebalan tubuh (Immune Evasion).  Immune Evasion merupakan strategi yang digunakan oleh mikroorganisme penyebab penyakit untuk menghindari respon imun inang untuk memaksimalkan kemungkinan mikroorganisme tersebut ditularkan ke inang lain.  Meskipun prediksi ‘Glikosilasi berikatan-O’ kuat, namun studi percobaan diperlukan untuk menentukan apakah Tapak ini digunakan pada SARS-CoV-2.  Glikosilasi berikatan-O’ merupakan proses perlekatan molekul gula ke atom oksigen serin (Ser) atau residu treonin (Thr) dalam protein.

TEORI ASAL-MULA SARS-CoV-2

Menurut Kristian G. A. et. al. (2020), mustahil SARS-CoV-2 muncul melalui manipulasi laboratorium berasal dari coronavirus mirip-SARS-CoV.  RBD SARS-CoV-2 bisa optimal mengikat ACE2 manusia dengan solusi efisien yang berbeda daripada yang diperkirakan sebelumnya.  Lebih lanjut, jika manipulasi genetik telah dilakukan, salah satu dari beberapa ‘sistem genetik terbalik’ yang tersedia untuk betacoronavirus mungkin digunakan.  Namun, data genetik menunjukkan bahwa SARS-CoV-2 tidak berasal dari “virus backbone” yang digunakan sebelumnya. Terdapat dua skenario yang dapat menjelaskan asal-mula SARS-CoV-2 yaitu: (1) seleksi alam pada inang hewan sebelum pemindahan zoonosis; dan (2) seleksi alam pada manusia setelah pemindahan zoonosis.

1. Seleksi alam pada inang hewan sebelum pemindahan zoonosis

Karena banyak kasus awal COVID-19 terkait dengan pasar Huanan di Wuhan, ada kemungkinan sumber hewan berada di tempat tersebut.  Mengingat kesamaan dari SARS-CoV-2 dengan coronavirus kelelawar, mirip-SARS-CoV, terdapat kemungkinan bahwa kelelawar berfungsi sebagai inang reservoir bagi nenek moyang virus tersebut.  Meskipun virus RaTG13 dari kelelawar Rhinolophus affinis, secara keseluruhan ~ 96% identik dengan SARS-CoV-2, Spike-nya menyimpang pada RBD, hal ini menunjukkan virus tersebut tidak bisa mengikat secara efisien pada ACE2 manusia.

Pada Trenggiling Jawa (Manis javanica) yang diimpor secara ilegal ke provinsi Guangdong ditemukan coronavirus mirip dengan SARS-CoV-2.  Meskipun seluruh genom virus kelelawar RaTG13 terdekat dengan SARS-CoV-2, namun beberapa coronavirus Trenggiling menunjukkan kemiripan yang kuat dengan SARS-CoV-2 pada RBD, termasuk keenam residu utama RBD.  Hal ini menunjukkan bahwa ‘Protein Spike’ SARS-CoV-2 bisa optimal mengikat ACE2-mirip-manusia adalah hasil dari seleksi alam.

Sejauh ini, baik betacoronavirus kelelawar atau betacoronavirus trenggiling tidak memiliki ‘Tapak Pemotongan Polibasa’.  Meskipun belum ada coronavirus hewan yang diidentifikasi sebagai nenek moyang langsung SARS-CoV-2, namun identifikasi keanekaragaman coronavirus pada kelelawar dan spesies lainnya perlu diupayakan secara masif.  Mutasi, penyisipan, dan penghilangan asam amino dapat terjadi pada persimpangan S1 dan S2 coronavirus, yang menunjukkan bahwa ‘Tapak Pemotongan Polibasa’ dapat timbul karena proses evolusi alami.  Virus prekursor dapat memperoleh ‘Tapak Pemotongan Polibasa’ dan mutasi pada ‘Protein Spike’ yang cocok untuk mengikat ACE2 manusia.  Pada inang hewan diperlukan kepadatan populasi yang tinggi sehingga terjadi seleksi alam secara efisien.  Dan didapat pengkodean gen ACE2-mirip-manusia secara nyata.

2. Seleksi alam pada manusia setelah pemindahan zoonosis

Ada kemungkinan, nenek moyang SARS-CoV-2 melompat ke manusia, memperoleh cirir genom yang dijelaskan di atas melalui adaptasi selama penularan dari manusia ke manusia yang tidak terdeteksi.  Setelah diperoleh, adaptasi ini akan memungkinkan pandemi tercetus dan menghasilkan kluster kasus yang cukup besar yang memicu harus dibangun sistem surveilans untuk mendeteksi kasus-kasus tersbut.

Semua sequence (urutan) genom SARS-CoV-2 sejauh ini memiliki ciri genom yang dijelaskan di atas dan karenanya memiliki nenek moyang bersama.  Keberadaan RBD dalam trenggiling yang sangat mirip dengan SARS-CoV-2 berarti dapat disimpulkan bahwa kemungkinan juga terjadi pada virus yang melompat ke manusia.  Hal ini meninggalkan penyisipan ‘Tapak Pemotongan Polibasa’ terjadi selama penularan dari manusia ke manusia.

Perkiraan waktu kemunculan nenek moyang terbaru SARS-CoV-2 yang dibuat dengan data sequence saat ini mengarahkan kemunculan virus tersebut pada akhir November 2019 hingga awal Desember 2019, sesai dengan kasus paling awal dikonfirmasi.  Oleh karena itu, skenario ini mengasumsikan periode penularan tidak dikenal pada manusia antara kejadian zoonosis awal dan akuisisi ‘Tapak Pemotongan Polibasa’.  Peluang yang cukup bisa muncul jika ada banyak kejadian zoonosis sebelumnya yang menghasilkan rantai pendek penularan dari manusia ke manusia melalui jangka waktu yang lama.  Hal ini berdasar pada situasi MERS-CoV, di mana semua kasus manusia adalah hasil dari lompatan berulang virus dari unta dromedaris, menghasilkan infeksi tunggal atau rantai penularan pendek hingga berakhir, tanpa adaptasi untuk penularan berkelanjutan.

Studi sampel manusia dari Bank Sampel dapat memberikan informasi tentang apakah penyebaran tersembunyi telah terjadi.  Studi serologis retrospektif dari sampel lama yang dikoleksi sebelumnya juga bisa menjadi data yang sangat informatif, dan beberapa studi seperti itu sebelumnya menunjukkan terdapat paparan rendah terhadap coronavirus mirip-SARS-CoV di wilayah tertentu di Tiongkok.  Namun, secara kritis, studi-studi ini tidak dapat membedakan apakah pajanan disebabkan oleh infeksi sebelumnya dengan SARS-CoV, SARS-CoV-2 atau coronavirus mirip-SARS-CoV lainnya.  Studi serologis lanjutan harus dilakukan untuk menentukan sejauh mana paparan manusia sebelumnya terhadap SARS-CoV-2.

3. Seleksi melalui pasase virus

Penelitian dasar telah malakukan pasase SARS-CoV-like coronavirus kelelawar pada kultur sel dan / atau model hewan telah berlangsung selama beberapa tahun dalam laboratorium BSL2 di dunia, dan ada infeksi SARS-CoV pada manusia terjadi dalam laboratorium yang didokumentasikan secara ilmiah.  Maka dari itu kita harus memeriksa kemungkinan lepasnya SARS-CoV-2 dari laboratorium SARS-CoV-2 yang tidak disengaja.

Secara teori, ada kemungkinan bahwa SARS-CoV-2 memperoleh mutasi RBD selama adaptasi dalam kultur sel, seperti yang telah diamati dalam studi SARS-CoV.  Namun, penemuan coronavirus mirip-SARS-CoV dari trenggiling dengan RBD yang hampir identik, memberikan penjelasan yang jauh lebih kuat dan lebih sederhana tentang bagaimana SARS-CoV-2 diperoleh melalui rekombinasi atau mutasi.

Akuisisi dari kedua ‘Tapak Pemotongan Polibasa’ dan prediksi ‘Glycan berikatan-O’ juga menyangkal skenario berbasis kultur.  ‘Tapak Pemotongan Polibasa’ baru hanya bisa diperoleh apabila telah melalui pasase virus yang berlangsung lama seperti yang terjadi pada virus avian influenza LPAI secara in vitro atau in vivo.  Lebih lanjut, generasi hipotetis SARS-CoV-2 melalui pasase virus pada kultur sel atau pasase pada hewan, diperlukan isolasi virus nenek moyang terlebih dahulu dengan kesamaan genetik yang sangat tinggi. Generasi selanjutnya ‘Tapak Pemotongan Polibasa’ membutuhkan pasase virus berulang pada kultur sel atau hewan dengan reseptor ACE2-mirip-manusia, tetapi kajian tahapan tersebut belum pernah dijelaskan sebelumnya.  Akhirnya, generasi prediksi ‘Glycan berikatan-O’ juga tidak mungkin terjadi karena perlu dilakukan pasase pada kultur sel dan keterlibatan sistem kekebalan tubuh.

KESIMPULAN

Pemahaman secara rinci virus hewan melompati batas spesies sehingga menginfeksi manusia akan membantu pencegahan kejadian zoonosis di kemudian hari.  Sebagai contoh, jika SARS-CoV-2 pra-adaptasi dalam spesies hewan lain, maka ada risiko muncul kembali kejadian di kemudian hari.  Sebaliknya, jika proses adaptasi terjadi pada manusia, bahkan jika pemindahan zoonosis berulang terjadi, virus-virus tidak mungkin ”memicu wabah” tanpa serangkaian mutasi yang sama.

Lebih banyak data ilmiah diperoleh akan memperkuat bukti untuk mendukung posisi satu hipotesis berada di atas hipotesis yang lain; mengumpulkan data Sequence virus terkait SARS-CoV yang berasal dari hewan akan menjadi cara paling pasti untuk mengungkapkan asal-mula virus ini.

DAFTAR PUSTAKA

1.            Alexander, D. J. & amp; Brown, I. H. Rev. Sci. Tech. 28, 19–38 (2009).
2.            Almazán, F. et al. Virus Res. 189, 262–270 (2014).
3.            Bagdonaite, I. & Wandall, H. H. Glycobiology 28, 443–467 (2018).
4.            Chan, C.-M. et al. Exp. Biol. Med. 233, 1527–1536 (2008).
5.            Corman, V. M., Muth, D., Niemeyer, D. & Drosten, C. Adv. Virus Res. 100, 163–188 (2018).
6.            Cui, J., Li, F. & Shi, Z.-L. Nat. Rev. Microbiol. 17, 181–192 (2019.
7.            Dong, E., Du, H. & Gardner, L. Lancet Infect. Dis. https://doi.org/10.1016/S1473-3099(20)30120-1 (2020).
8.            Dudas, G., Carvalho, L. M., Rambaut, A. & Bedford, T. eLife 7, e31257 (2018).
9.            Follis, K. E., York, J. & Nunberg, J. H. Virology 350, 358–369 (2006).
10.       Ge, X.-Y. et al. Nature 503, 535–538 (2013).
11.       Gorbalenya, A. E. et al. bioRxiv https://doi.org/10.1101/2020.02.07.937862. (2020).
12.       Huang, C. et al. Lancet https://doi.org/10.1016/S0140-6736(20)30183-5 (2020).
13.       Ito, T. et al. J. Virol. 75, 4439–4443 (2001).
14.       Jiang, S. et al. Lancet https://doi.org/10.1016/S0140-6736(20)30419-0 (2020).
15.       Kristian G. A. et al, 2020. Nature Medicine volume 26, pages 450–452 (2020).
16.       Letko,M.,Marzi,A&Munster,V.Nat.Microbiol https://doi.org/10.1038/s41564-020-0688-y (2020).
17.       Lim, P. L. et al. N. Engl. J. Med. 350, 1740–1745 (2004).
18.       Liu, P., Chen, W. & Chen, J.-P. Viruses 11, 979 (2019).
19.       Menachery, V. D. et al. J. Virol. https://doi.org/10.1128/JVI.01774-19 (2019).
20.       Nao, N. et al. MBio 8, e02298-16 (2017).
21.       Rambaut, A. Virological.org http://virological.org/t/356 (2020).
22.       Sheahan, T. et al. J. Virol. 82, 2274–2285 (2008).
23.       Walls, A. C. et al. bioRxiv https://doi.org/10.1101/2020.02.19.956581 (2020).
24.       Wan, Y., Shang, J., Graham, R., Baric, R. S. & Li, F. J. Virol. https://doi.org/10.1128/JVI.00127-20 (2020).
25.       Wang, N. et al. Virol. Sin. 33, 104–107 (2018).
26.       Wong, M. C., et al. bioRxiv https://doi.org/10.1101/2020.02.07.939207 (2020).
27.       Wrapp, D. et al. Science https://doi.org/10.1126/science.abb2507 (2020).
28.       Wu, F. et al. Nature https://doi.org/10.1038/s41586-020-2008-3 (2020).
29.       Yamada, Y. & Liu, D. X. J. Virol. 83, 8744–8758 (2009).
30.       Zhang, T., Wu, Q. & Zhang, Z. bioRxiv https://doi.org/10.1101/2020.02. 19.950253 (2020).
31.        Zhou, P. et al. Nature https://doi.org/10.1038/s41586-020-2012-7 (2020).

No comments: