Pohon Anggur Vitis Vinivera L. ditanam dalam pot telah berbuah dipasarkan di Pocket Farm Doki-doki Ibaraki Prefecture dengan harga Rp 304.000,- per pot.
Penampilan dari Vitis Vinivera L. ini khas:
1.Buah seragam, dalam dompolan tubuh sempurna, dengan tangkai kuat.
2.Butiran buah berbentuk bulat besar, berwarna merah dan kulitnya agak keras.
3.Rasa buah manis dan segar.
Sunday, 2 December 2007
Sebatang pohon anggur di pot 304.000 rupiah
Posted by Drh.Pudjiatmoko,PhD at 19:55 4 comments
Labels: Pasar Produk Pertanian
Harga Pisang di Tokyo
Pada tanggal 1 Desember 2007 telah dipantau empat kemasan pisang yang dijual di toko pengecer di Jepang.
Di toko pengecer besar di wilayah Shinagawa-ku Tokyo, pisang Cavendish berukuran 180 gram per buah produk dari Negara Amerika Latin, kemasan seberat 750 gram dijual dengan harga 350 yen. Pisang Cavendish berukuran 160 gram per buah dari Negara Asia Tenggara kemasan seberat 900 gram berharga 350 yen. Sedangkan di toko pengecer kecil di wilayah Shinagawa-ku juga pisang Cavendish berukuran 170 gram per buah dari negara yang sama dengan kemasan seberat 750 gram dijual dengan harga murah hanya 100 yen.
Pisang monkey (60 gram per buah) asal dari Negara Asia Tenggara yang hanya seberat 550 gram dapat dijual dengan harga 220 yen.
Pisang yang dijual dipengecer kecil ini jauh lebih murah dari pada dipengecer besar. Sepertinya tidak terdapat keseragaman harga untuk buah produk impor ini di toko pengecer di kota Tokyo.
Pisang yang setengah matang dibungkus plastik transparan rapat sedangkan pisang yang sudah masak dibungkus plastik yang terdapat 3 lubang dengan garis tengah 0,8 cm.
Pisang organik yang telah memenuhi standar Jepang pada plastik kemasannya ditempeli label JAS seperti diatas
Pada bungkus plastik juga diberi label Vessel-ID dan PH-ID.
Pada pisang Monkey ditemple 2 buah lebel kertas nama perusahaan pada kulit pisang. Sedangkan label kertas nama pisang cavendish ditempel diatas plastik pembungkus. Sedangkan pisang Cavendish yang baru diimpor plastiknya sudah terdapat tulisan nama perusahaannya.
Selain label tersebut produk yang baru masuk juga diberikan label keterangan mengenai 5 macam kelebihan pisang tersebut yaitu pertama ditanam di daerah pegunungan yang ternama, kedua ditanam di daerah dengan ketinggian 500 m, ketiga berasal dari pulau yang banyak terdapat guano sehingga tidak menggunakan pupuk kimia, keempat pengairan menggunakan air yang bersih, kelima warna kulit bagus tanpa treatment bahan kimia.
Posted by Drh.Pudjiatmoko,PhD at 13:55 0 comments
Labels: Pasar Produk Pertanian
Seminar Teh Indonesia di KBRI Tokyo
Untuk memperkenalkan dan mempromosikan teh Indonesia KBRI bekerjasama dengan Perusahaan Java Tea telah melaksanakan Seminar Teh di Loby KBRI pada tanggal 18 November 2007. Seminar berlangsung dari pikul 13:00 sampai dengan pukul 17:00, dihadiri oleh 86 orang peserta yang berasal dari kota Tokyo dan sekitarnya.
Dalam seminar telah disampaikan tentang sejarah teh, cara minum teh dan cara menanam teh di perkebunan di Indonesia. Prof. Dr. Masashi Omori dari Otsuma Woman’s University, Department of Food Science menyampaikan khasiat teh untuk kesehatan badan kepada para peserta seminar.
Pada kesempatan itu juga diperagakan cara menghidangkan teh agar dapat diperoleh rasa yang paling enak. Disamping itu para peserta telah menyaksikan pertunjukan tarian Indonesia dan memperoleh kursus bahasa Indonesia cuma-cuma secara kilat, Seluruh peserta terlihat sangat antusias mengikuti program tersebut sampai seminar usai.
Gambar-gambar suasana seminar teh terdapat dibawah.
Profesor Omori sedang menjelaskan khasiat teh
Peragaan cara menghidangkan teh yang benar
Para peserta seminar antusias mengikuti seminar
Posted by Drh.Pudjiatmoko,PhD at 11:09 0 comments
Labels: Promosi Produk Pertanian
Friday, 19 October 2007
Penanganan Flu Burung
Avian influenza lazim disebut flu burung, yang ganas dapat muncul dengan tiba-tiba di kandang, dan banyak ayam yang mati tanpa gejala yang termonitor seperti depresi, lesu, bulu rontok dan panas. Kerabang telur yang diproduksi lembek dan segera diikuti pemberhentian produksi. Muka dan pial kebiruan, kaki kemerahan dan udem. Ayam mengalami diare dan terlihat sangat haus. Pernapasan terlihat berat. Terjadi perdarahan pada kulit yang tanpa bulu. Kematian bervariasi dari 50% sampai dengan 100%.
Pada flu burung bentuk yang kurang ganas, gejala pernapasan terlihat menonjol. Gejala klinis lain yang dapat terlihat depresi, menurun jumlah konsumsi makanan, batuk, bersin dan keluar cairan dari mata dan hidung.
Agen penyebab flu burung
Virus fowl plaque pertama kali diketahui pada tahun 1878 sebagai penyebab penyakit pada ayam di Italia. Pada tahun 1955 virus tersebut dimasukkan ke dalam virus influenza, anggota famili Orthomyxoviridae. Virus influenza yang telah membentuk famili tersebut dibagi menjadi influenza tipe A, B atau C berdasarkan perbedaan antigen nucleoprotein dan protein matrix yang terdapat pada partikel virus.
Partikel virus ini mempunyai lapisan luar yang mengandung glicoproptein yang berperan dalam aktivitas aglutinasi, disebut antigen hemagglutinin (HA) dan neuramidase (NA). Perbedaan kedua antigen itu digunakan untuk mengindentifikasi serotipe virus influenza dengan inisial huruf H (untuk antigen hemaglutinin) dan N (untuk antigen neuramidase), disertai angka dibelakangnya, salah satu contoh H5N1.
Virus avian influenza –yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan flu burung- termasuk dalam tipe A. Di antara virus influenza tipe A terdapat 15 jenis antigen hemaglutinin (H1 sampai dengan H15) dan 9 jenis antigen neuramidase (N1 sampai dengan N9). Virus influenza yang biasa menyerang ternak (kuda, babi dan unggas) termasuk kedalam tipe A, perlu dicatat bahwa virus tipe A merupakan tipe yang dapat menimbulkan wabah pada manusia. Tipe B dan C menyerang manusia, tetapi tidak menyerang ternak.
Keganasan flu burung
Berdasarkan pada gejala klinis yang ditimbulkan, virus flu burung diklasifikasi menjadi dua yaitu low pathologenic (LPAI) yang bersifat kurang ganas dan highly pathologenic (HPAI) yang bersifat ganas. Sebagian besar virus flu burung termasuk LPAI. Gejala yang ditimbulkan jenis virus ini ringan yaitu berupa gejala saluran pernapasan ringan, depresi, penurunan produksi telur pada ayam petelur.
Tetapi beberapa galur LPAI dapat mengalalmi mutasi dilapangan menjadi virus HPAI. Virus yang sangat ganas menyebabkan highly pathogenic avian influenza (HPAI) yang dapat menyebabkan kematian mencapai 100%. Diantaranya termasuk ke dalam subtipe H5 dan H7. Akan tetapi tidak semua virus dalam subtipe tersebut menyebabkan HPAI.
Tanda-tanda HPAI pada unggas adalah mati tiba-tiba tanpa gejala klinis atau bisa terlihat ayam lemas, terjadi penurunan produksi telur, kerabang telur melunak, pembengkakan dikepala, kebiruan pada pial kepala, kemerahan pada kaki, keluar ingus, batuk, bersin dan diare.
Aspek kekebalan
Pada umumnya zat kebal tubuh yang ditimbulkan karena imunisasi atau infeksi virus alami dapat menangkal serangan infeksi virus yang kedua. Prinsip serangan sistem kekebalan pada penyakit flu burung tertuju pada hemagglutinin virus. Gen virus flu burung ini mudah mengalami mutasi yang dapat membuat perubahan karakter virus.
Sebagai hasil mutasi gen terjadi perubahan komposisi asam amino hemaglutinin virus ini secara konstan, sehingga perlindungan penderita yang terinfeksi virus flu burung menurun secara perlahan-lahan. Keadaan ini disebut antigenic drift. Perubahan yang perlahan-lahan ini tidak merubah kedudukan ikatan antibodi dengan antigen. Mutasi asam amino individual semacam itu tidak menimbulkan wabah. Sehingga hanya kehilangan kekebalan sebagian pada suatu populasi dan beberapa infeksi yang terjadi hanya menimimbulkan gejala ringan.
Akan tetapi jika seluruh bagian hemaglutinin baru terdapat di dalam virus, dapat menimbulkan wabah yang luas ke seluruh dunia. Hal ini terjadi karena tidak ada lagi perlindungan kekebalan yang tersisa untuk melawan infeksi virus baru tersebut. Keadaan ini disebut antigenic shift. Pada suatu keadaan tertentu dapat terjadi dua strain virus menginfeksi sebuah sel. Pertukaran segmen gen antara virus asal manusia dan virus asal unggas dapat terjadi dan akan menghasilkan virus reassortant baru.
Pertukaran partikel RNA terjadi pada proses pembentukan nucleocapsid virus baru. Sehingga diperoleh virus dengan selubung luar protein berasal dari suatu virus dengan partikel RNA baru yang berbeda dengan induknya. Virus ini dapat sangat berbahaya. Salah satu pandemik yang diyakini sebagai hasil reassortment antara influenza manusia dan burung adalah terjadi pada tahun 1918 dan menelan korban 20 juta orang meninggal.
Babi dinilai oleh para ahli sebagai tempat reassortment gen virus flu burung. Oleh karena itu memberikan hewan mati terinfeksi kepada babi dapat memunimbulkan virus flu burung baru yang ganas. Untuk mencegah keadaan seperti ini maka dianjurkan agar ayam yang terinfeksi atau mati karena terinfeksi flu burung harus dimusnahkan dengan cara dikubur atau dibakar.
Robert Webster dari rumah sakit anak di Memphis, Amerika Serikat menyatakan virus flu dari manusia dapat menular ke babi dan virus flu burung dari unggas juga dapat menular ke babi. Pada tubuh babi kedua virus tersebut dapat bermutasi atau saling bertukar gen dan menjadi subtipe virus baru.
Pembentukan subtipe virus baru itu memungkinkan terjadinya penularan virus dari hewan ke manusia. Penularan dengan cara itu sangat mungkin terjadi di Cina karena lokasi peternakan ayam, babi dan permukinan manusia berdekatan. Di Indonesia perlu diatur agar peternakan ayam harus jauh dari peternakan babi untuk mencegah terjadinya reassortment gen virus flu burung dan flu manusia.
Pencegahan dan pengendalian penyakit
Usaha pencegahan penyakit yang paling terdepan adalah tindakan Biosekuriti di peternakan. Biosekuriti bertujuan untuk mencegah penyebaran penyakit ke dalam suatu peternakan. Tindakan biosekuriti harus dilaksanakan dengan ketat agar penyakit tidak menyebar pada suatu kelompok ayam dalam peternakan. Langkah yang perlu dilaksanakan dalam rangka mencegah atau mengurangi penyebaran virus adalah sebagai berikut:
1. Selalu menerapkan filosofi manajemen flock all-in all-out.
2. Menempatkan fasilitas kandang jauh dari saluran air yang biasa digunakan oleh unggas air liar, itik dan angsa.
3. Pagar peternakan harus ditutup rapat dan pada pintu masuk ditulis larangan masuk bagi orang yang tidak berkepentingan.
4. Hanya orang atau kendaraan berkepentingan yang diizinkan masuk peternakan. Pegawai dilarang mengunjungi peternakan lain atau pergi ke pasar burung. Mengurangi jumlah tamu kedalam peternakan seketat mungkin. Disediakan tempat parkir kendaraan yang terpisah jauh dari kawasan peternakan. Melakukan pencatatan keluar masuk kendaraan.
5. Ayam dijaga supaya tidak kontak atau menggunakan air yang mungkin sudah terkontaminasi dengan burung atau unggas liar. Mencegah burung liar masuk kedalam kandang dengan cara segera memperbaiki dinding kandang yang berlubang. Dilakukan pencegahan tikus masuk kedalam kandang.
6. Ayam bibit ditempatkan jauh dari lingkungan luar. Peternakan ayam jauh dari pemukiman dan peternakan lain.
7. Makanan ayam pada kandang terbuka akan menarik burung liar. Sehingga harus dihindari makanan tumpah dari tempatnya.
8. Ayam dikelompokkan dan ditempatkan dalam kandang yang terpisah berdasarkan umur.
9. Disediakan baju bersih dan peralatan yang sudah didesinfeksi bagi pegawai peternakan. Pekerja kandang mengenakan coverall, sarung tangan, masker, tutup kepala dan sepatu boot. Didepan pintu masuk kandang harus selalu disediakan bak desinfeksi alas kaki.
10. Pekerja kandang menangani atau masuk kandang ayam umur muda terlebih dahulu.
11. Jangan meminjamkan atau meminjam peralatan dari peternakan lain. Semua peralatan dan kendaraan harus didesinfeksi sebelum masuk atau keluar peternakan.
12. Melaksanakan penanganan sampah atau limbah dengan baik. Karena Avian Influenza dapat ditularkan melalui kotoran ayam. Sehingga perlu ditangani dengan baik.
13. Ayam yang sakit atau mati harus dikeluarkan dibakar diinsenerator, jangan sampai keluar peternakan. Diambil contoh ayam yang sakit atau mati, dikirim ke laboratorium untuk didiagnosa dengan teliti.
Vaksin yang digunakan selama ini dapat mencegah influenza pada beberapa spesies termasuk unggas. Akan tetapi perlu diketahui bahwa diantara 15 subtipe virus flu burung tidak terjadi proteksi silang. Karena tidak dapat diprediksi tipe mana yang akan menginfeksi ayam disuatu peternakan, vaksinasi dengan satu subtipe tidak menjamin dapat mencegah infeksi.
Program vaksinasi disertai tindak karantina yang ketat dapat mengendalikan penyakit bentuk ringan. Tetapi pada penyakit tipe ganas, tindak karantina yang ketat dan depopulasi cepat terhadap ayam-ayam yang tertular merupakan metoda yang efektif untuk menanggulangi flu burung. Semua ayam terinfeksi dan tertular dimusnahkan dengan cara dibakar, sehingga sumber bibit penyakit hilang dari peternakan di Indonesia.
Mengingat sifat virus flu burung yang mudah mutasi seperti diterangkan diatas, perlu pengendalian dan pemberantasan secara terencana dan terpadu untuk menghindari kemungkinan munculnya virus subtipe baru.
Berdasarkan sifat virus tersebut maka penangan virus harus hati-hati, dan diusahakan berada dalam suatu laboratorium yang aman dan terkontrol sehingga virus tersebut terkendali dengan baik dan tidak berbahaya. Dengan beberapa kendala tersebut diatas, perlu dilakukan monitoring perkembangan penyakit ini di lapangan dan penelitian pembuatan vaksin generasi baru menggunakan inovasi biologi molekuler.
Sumber:
Infovet edisi 116, tahun 2004.
(Drh. Pudjiatmoko, Ph.D. Ilmuwan dari Masyarakat Ilmuwan dan Tekhnolog Indonesia (MITI))
Posted by Drh.Pudjiatmoko,PhD at 07:00 1 comments
Labels: Avian Influenza
Tuesday, 28 August 2007
Cabinet Members (August 28, 2007)
Shinzo Abe (Prime Minister)
Hiroya Masuda (Internal Affairs and Communications Minister)
Kunio Hatoyama (Justice Minister)
Nobutaka Machimura (Foreign Minister)
Fukushiro Nukaga (Finance Minister)
Bunmei Ibuki (Education, Culture, Sports Science and Technology Minister)
Yoichi Masuzoe (Health, Labor and Welfare Minister)
Takehiko Endo (Agriculture, Forestry and Fisheries Minister)
Akira Amari (Economy, Trade, and Industry Minister)
Tetsuzo Fuyushima (Land, Infrastructure and Transport Minister)
Ichiro Kamoshita (Environment Minister)
Mashiko Komura (Defense Minister)
Kaoru Yasano (Chief Cabinet Secretary)
Shinya Izumi (National Public Safety Commission Chairman)
Fumio Kishida (State Minister in Charge of Okinawa and Affairs related to the Northern Territories)
Hiroko Ota (State Minister in Charge of economic and Fiscal Policy)
Yoko Kamikawa (State Minister in Charge of Population and Gender-equality Issues)
Posted by Drh.Pudjiatmoko,PhD at 15:34 0 comments
Labels: Pemerintahan
Wednesday, 25 July 2007
Young Japanese visibly staying away from fish consumption
Although Japanese are generally called the people of a fish diet, they had not eaten fish in such a large amount until the end of the World War II. The mainstay in the Japanese food life had been rice, sweet potatoes and vegetables. Probably they had been eating about one horse mackerel once a week at best. But fish consumption became active since 1960, partly helped by high economic growth starting around that time. Japanese fish consumption reached a peak in the period from 1998 to 2001, with the consumption starting to decline in 2002. At present, the generation of so-called “baby boomers” tends to eat fish, supporting the overall consumption volume.
However, the generation will diminish as aging of this generation advances, with fish consumption also falling off. On the other hand, the tendency of young people of not eating fish is deemed to continue, showing a clear contrast with the rest of world where consumption of fish began increasing.
On the trade front, Japan’s overall imports of fishery products in 2005 totaled 1.6 trillion yen, down 1.6% from previous year, while those in January – September 2006 only edged up 0.7%. The import volume of mainstay fresh, frozen and chilled products in 2005 dropped 4.4% to 2,29 million tons, with their import value staying at 1.17 trillions yen. The volume in January-September 2006 came to 1.46 million tons, with value also 1.3%. By contrast, import unit price are considered to have surged about 10%.
Japan’s export of fisheries product, which had generally stayed at a round 10% of imports volume, exceeded 20% in 2006, while domestic production volume did not grow. Here can see the trend in seafood trade is beginning to change in the same way as the consumption trend in the seafood trade is beginning to change (Isaribi no. 54, 2007)
Posted by Drh.Pudjiatmoko,PhD at 16:46 4 comments
Labels: Pasar Produk Pertanian
The 9th Japan International Seafood and Technology Expo
The 9th Japan International Seafood and Technology Expo diselenggarakan di East 4 • 5 Hall, Tokyo International Exhibition Center "Tokyo Big Sight" 18-20 Juli 2007. Sebagai penyelenggara expo ini adalah Japan Fisheries Association. Yang datang dalam expo besar ini adalah pengusaha ikan, pengusaha mesin pengolah ikan (exhitor), pembeli dan konsumen. Terdapat 22.493 pengunjung yang tercatat pada The 8th Japan International Seafood and Technology Expo.
Expo ini disponsori oleh The ministry of Health, Labour and Welfare, The Ministry of Economy, Trade and Industry,The Ministry of Agriculture, Forestry and Fisheries dan Japan Food Industry Center, Organization of Food Marketing Distribution Structure Improvement, National Cooperative association of squid processors dan berbagai organisasi swasta lainnya.
Setiap perusahaan memamerkan produknya dalam booth berukuran 9 m2 dengan ongkos sewa 250.000 yen. Untuk memperoleh kesempatan mengiklankan produk baru kepada para pelanggan yang prospektif, pada expo ini juga dilengkapi fasilitas “the Exhibitors and Exhibited Products Fliers Service”.
Fasilitas tersebut menawarkan pengiriman fliers exhibitor melalui PM (Promotion Mail) dan DM (Direct Mail) kepada Fishermen's federations and unions around the country, Fish stores, School lunch services, Take-out sushi shops, High-end Japanese cuisine restaurants, Japanese restaurants, Supermarkets, mass merchandisers, Department stores (those in charge of fisheries and gifts), Consumer cooperative associations, Select influential buyers who have visited the exposition in the past, Fisheries processing businesses, Sushi bars (including conveyor sushi bars), Izakaya taverns, Mid-range Japanese cuisine restaurants.
Perusahaan dari Indonesia yang mengikuti expo ini hanya satu perusahaan yaitu PT. Darma Samudera Fishing Industries (DSFI). DSFI menjajakan produk-produknya yaitu Red Snapper (Lutjanus Sangueinus), Malabar Snapper (Lutjanus altifrontalis), Grouper (Epinephelus Sp), Red mullet (parupeneus heptachantus), Baramundi ()Lates Calcalifer), Silver Jobfish (Pristipomoides filamentosus), Kingfish / Spanish Mackerel (Scomberomorus commersonii), Tuna (Thunnus albacares), Parrot fish (Scarrus Sp.), Octopus (Octopus vulgaris), Golden Threadfin (Nemiptherus Sp.), Blue Swimming Crab (portunus pelagicus), Logigo Squid (Logigo bleekeri), Cuttle fish (Sepia officinalis), oil fish (Lepidocybium Flavobrunneum), Seafood Mix.
Hasil analisis The 8th Japan International Seafood and Technology Expo oleh penyelenggara adalah sebagai berikut:
A. Exhibitor dan Pengunjung
1.Terdapat 295 perusahaan yang memamerkan produknya yang berasal dari 10 negara, kecuali Jepang yang memamerkan dalam satu suatu tempat.
2.Rata-rata terdapat 21,7 orang pengunjung pedagang ke satu booth perusahaan, sedangkan jumlah maksimum 400 orang.
3.Rata-rata tiket undangan dari setiap perusahaan.yang telah dikirimkan sebanyak 845,7 orang, sedangkan jumlah maksimum 10.000 orang.
B. Hasil expo yang diperoleh oleh exhibitor adalah sebagai berikut:
1.Sebanyak 53,8% memperoleh pelanggan baru.
2.Sebanyak 52,1% dijanjikan untuk memperoleh pesanan.
3.Sebanyak 48,7% melanjutkan hubungan bisnis dengan pelanggan lama.
4.Sebanyak 24,8% menerima permintaan pesanan atau sample.
5.Terdapat 23,1% memperoleh evaluasi yang baik.
6.Terdapat 21,4% memperoleh informasi tentang perdagangan
C. Kontrak bisnis dengan exhibitor yang telah diperoleh adalah sebagai berikut:
1.Sebanyak 46,2% melakukan kontrak bisnis dengan supermarket / mass retailer
2.Sebanyak 45,3% melakukan kontrak bisnis dengan Seafood Processing
3.Terdapat 43,5% melakukan kontrak bisnis dengan Sushi shop
4.Terdapat 36,8% melakukan kontrak bisnis seafood broker
5.Terdapat 35,9% melakukan kontrak bisnis dengan Trading Agency.
Posted by Drh.Pudjiatmoko,PhD at 12:51 1 comments
Labels: Promosi Produk Pertanian
Friday, 20 July 2007
Petani Jepang ke Palembang berdialog dengan Petani ASEAN
Tujuh petani Jepang yang telah datang pada acara tersebut yaitu Mr. Yochihide Morita dan Mrs. Ishako Morita dari Hiroshima, Mr. Keiichiro Mizuta berasal dari Nara, Mr. Toshiro Ichinose dari Kumamoto, Mr. Zengo Gomi dari Yamanashi, Mr. Takao Otake dan Mr. Yuichi Ishikawa dari Gunma. Mereka merupakan sebagian petani Jepang yang telah melatih petani muda Indonesia yang mengikuti program magang petani muda yang diselenggarakan oleh Departemen Pertanian.
Tujuh petani senior dari Jepang ini berantusias datang pada dialog ini karena mereka ingin lebih meningkatkan lagi hubungan bisnis dengan para alumni magang petani yang telah kembali ke Indonesia. Mereka merasa bangga banyak diantara alumni magang petani yang dulu pernah mereka latih sekarang telah menjadi petani sukses yang mampu mengekspor produk pertaniannya ke Jepang.
Sebagai contoh Sdr. Yudi Kurniawan seorang petani dari Malang Jawa Timur yang pernah magang di pertanian Mr. Takao Otake di Gunma, Jepang sekarang telah menjadi eksportir Teh Ashitaba ke Jepang. Teh tersebut terkenal di Jepang karena mengandung antioksidan dan berkhasiat menjadi anti kanker.
Selain itu mereka bahagia karena pada sehari sebelum acara diolog petani ASEAN mereka mendapat kesempatan menghadiri PENAS KTNA XII yang merupakan pertemuan besar Petani-Nelayan seluruh Indonesia yang dihadiri oleh 26.000 petani-nelayan dari 33 Propinsi.
Di lubuk hati mereka, jauh hari sebelum datang ke Indonesia mereka berharap dapat bertatap muka dengan Presiden RI Bapak Susilo Bambang Yudoyono Doktor Pertanian lulusan IPB, yang membuka acara PENAS KTNA XII.
Pada acara dialog petani ASEAN setiap negara menyampaikan permasalahan dan perkembangan pertanian di negaranya masing-masing dan memberikan pandangannya tentang rencana kerjasama petani di kawasan Asia Tenggara. Perwakilan dari Vietnam sangat berantusias memamerkan sertifikat standar internasional yang mereka kontongi sebagai persyaratan untuk ekspor produk pertaniannya termasuk sertifikat halal.
Petani Jepang mengharap kerjasama petani ASEAN dan Jepang dapat ditingkatkan lagi baik dalam bidang alih teknologi maupun agribisnis.
Perwakilan IRRI menyampaikan laporan perkembangan bantuan IRRI yang telah dilaksanakan dengan baik kepada beberapa negara di kawasan ASEAN termasuk Indonesia.
Dialog ini telah mencatat tiga hal yang telah dirumuskan bersama yaitu permasalahan yang sedang dihadapi oleh para petani di Asia Tenggara, cara pemecahan masalahnya dan langkah tindak lanjut yang diperlukan seperti yang tertulis pada 3 hal sebagai berikut:
1. Permasalahan yang sedang dihadapi oleh para petani ASEAN yaitu:
a.Harga produk pertanian yang tidak stabil,
b.Resiko tinggi dalam bercocok tanam,
c.Posisi tawar yang rendah terhadap pedagang,
d.Infrastruktur kurang memadai,
f.Akses memperoleh pinjaman bank yang rendah,
g.Limbah pertanian yang menumpuk,
h.Kurangnya minat pemuda menjadi petani .
a.Pengembangan sistem pertanian terpadu,
b.Peningkatkan pengetahuan dan tehnik bertani serta penyebarankannya,
c.Penentukan standar internasional makanan dan mengembangkan brand untuk dapat masuk akses pasar,
d.Kerjasama antar petani untuk meningkatkan posisi tawar,
e.Penigkatan peran pemerintah dalam pembangunan infrastruktur dan akses Bank,
f.Pengembangan istitusi dan organisasi pertanian,
g.Pengembangan pusat-pusat pelatiahan pertanian.
Acara yang telah berjalan dengan lancar penuh keakraban ini ditutup oleh Bapak Ir. Heri Suliyanto MBA, Kepala Pusat Pengembangan Pelatihan Pertanian, Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia, Departemen Pertanian RI.
Posted by Drh.Pudjiatmoko,PhD at 17:33 5 comments
Labels: Seminar Pertanian
Monday, 2 July 2007
Agricultural and Fisheries Trade Policies
Indonesia has taken significant steps to liberalize its trade, investment, and regulatory regimes in several key sectors during the period under review, although the scope of the liberalization has affected some sectors more than others.
Agriculture supports the largest segment of the Indonesian population and the poor, and has a primary role in achieving the objective of poverty alleviation. The two thirds of farming households in Indonesia who are net consumers of rice were adversely affected when the Government announced a seasonal import restriction on rice from January 2004, which has been extended repeatedly and effectively become permanent. Indonesia has removed a number of licensing restrictions affecting agriculture. Sanitary and phytosanitary and food quality regulations have led to import restrictions, particularly on animals and animal products and other food items requiring a halal certificate. In the forestry sector, the ban on log exports was reinstated in a bid to stem losses from the smuggling of illegally felled logs, which is thought to account for more than half of output from the sector. However, this may not adequately address environmental damage caused by illegal logging and may instead depress prices, thereby encouraging domestic processing of wood-based products.
The 2001 liberalization of the oil and gas sector has allowed foreign firms to enter the oil market, particularly in exploration and production; private companies are now allowed to open retail outlets for fuel. Pertamina's monopoly on importing and distributing fuel has been lifted, and refining, storage, and transport have been liberalized; Pertamina was scheduled to be privatized in 2006. An electricity law passed in September 2002 envisaged an end to the state electric company's monopoly on electricity distribution and the possibility for private companies, both local and foreign, to sell power directly to consumers within five years. In January 2005, however, the Constitutional Court announced that the law was unconstitutional and it was annulled.
Indonesia's average applied MFN tariffs for the manufacturing sector have been reduced, but certain industries (e.g. chemicals, fabricated metal products, motor vehicles, motor cycles, bicycles) continue to be subject to high rates. In the textiles and clothing sub sector, average MFN tariff protection has dropped to 10.3%. However, since 2002, under a decree concerning textile import arrangements, only companies that have production facilities using imported fabrics as inputs for finished products may obtain import licences. There are no limits on foreign ownership in the automotive sector and no local-content requirements or incentives. Tariff barriers have also been lowered, although they remain high by international standards.
The financial sector has undergone major restructuring and reform since the financial crisis in 1997-98. The Indonesian Bank Restructuring Agency (IBRA) oversaw substantial consolidation during its six years of operation, but a large portion of the banking system remains in government control. During the period under review, Indonesia has continued to make progress towards establishing a strong and competitive private banking sector although the two biggest state banks still have weak governance and large non-performing loans (NPLs). According to Bank Indonesia, total banking sector NPLs as a percentage of total loans rose to 9.3% in 2006 compared to 8.2% in 2003. Banks still dominate the financial system, accounting for 80% of financial assets but the strengthening of non-bank financial institutions (NBFIs) - such as insurance companies, finance companies and pension funds, while small for a country of Indonesia's size - has become a key policy imperative, as articulated in the 2006 financial sector policy reform package. The development of NBFIs promises to increase access to low-cost financial services and mobilize domestic savings and channel them into profitable investments.
Indonesia has been undertaking significant policy reform in the telecommunications sector. This has brought about increased private sector and foreign participation. The two main carriers, PT Telkom and PT Indosat, which are 65% and 16% state-owned, respectively, have been partially sold to private investors. Competitive licences have been awarded for the provision of GSM mobile services, Internet services, and other value-added services.
Given its size and island structure, Indonesia faces considerable challenges in establishing the extensive transport infrastructure essential for its economic and social development. Road development policy is focused on increasing road capacity and quality by strengthening main national road corridors and providing better access to less developed and remote areas. Ports are generally inefficient, imposing additional time and costs on domestic cargoes and exports. While the main airports function well, increased transport demand due to deregulation and the proliferation of low-cost airlines is putting pressure on capacity at medium and small-sized airports.
Agriculture (including animal husbandry, fishing, and forestry) accounted for almost 13% of GDP in 2006; it remains the most important sector in terms of employment, providing livelihoods for over 44% of the workforce, which indicates that labour productivity in agriculture is only one fifth of the level in the rest of the economy. The country has a vast range of mineral resources, which have been exploited intensively, enabling the mining sector to make an important contribution to exports. The manufacturing sector began to expand rapidly in the mid 1980s and by 2006 accounted for 28% of GDP. More recently, the services sector has grown, boosted by the travel and tourism industry; in 2006 it accounted for over 40% of GDP and employed nearly 38% of the working population.
2. Agriculture and Forestry
(i) Features
Agriculture represented 12.9% of Indonesia's GDP and 44.5% of the labour force in 2006, is home to the largest segment of the Indonesian population and the poor, and has a primary role in achieving the objective of poverty alleviation, rural development and employment creation. Agricultural trade accounts for 16.7% of exports and 11.5% of imports. Indonesia is the world's largest producer of coconuts, second largest producer of copra, palm kernels, palm oil, and natural rubber, and the third largest producer of rice. Production is concentrated in the islands of Java, Sumatera, and Sulawesi. Smallholder farms (with an average size of one hectare) occupy the largest share of cultivated land (87%) and grow mostly food crops, accounting for 90% of total rice and maize output. Large-scale farms, state- or privately owned, account for a small share of agricultural output, but the larger share of agricultural exports, such as rubber, palm oil, coffee, and cocoa. Agricultural GDP is dominated by food crops (52%); rice production dominates these crops with over 54 million tonnes in 2006.
Indonesia is a net exporter of agricultural products, with palm oil and rubber accounting for the majority of exports in volume terms. Indonesia is the world's second largest producer of crude palm oil; with exports worth around US$4.5 billion it has become Indonesia's most important cash crop. Indonesia is the world's second largest producer of rubber, exporting approximately 90% of its production with total rubber exports exceeding US$3 billion in 2005. It is also the world's third largest producer of cocoa with an estimated 13% share of the world market; both foreign and domestic investors are currently active in cocoa production. Imports are more diversified with high volumes of soybean and sugar; also, a high proportion of imports is in animal feed (oilseed cake) and raw material for exports (cotton). In 2003, Indonesia was the world's biggest importer of rice, importing 13.5% of world trade; it was the third biggest producer, after China and India, with 8% of world production. Due to the current rice import ban, apart from the quantities imported by BULOG to replenish Government stockpiles, only limited registered quantities of rice were imported during 2006.
(ii) Main developments
The Medium-Term Development Plan (MTDP) 2004-09 identifies the main constraints to growth in the agriculture sector as including: relatively high poverty and low welfare of farmers; inadequate incentives to invest in production increases; low level of technology transfer for the processing of products, resulting in low productivity; high dependence on rice consumption as the major food crop; and lack of basic infrastructure and poor access to markets and services. As part of the MTDP, the Government has initiated a plan for revitalization of the agriculture sector with the objective of achieving annual average growth of about 3.5% during 2004-09 and increased incomes and well-being of farmers. The plan calls for increasing investment in key infrastructure, in particular farm-to-market roads and irrigation; encouraging diversification into higher-value-added crops; improving agricultural research; and better ensuring that exports meet world standards.
With almost two thirds of poor household heads working in agriculture, increasing agricultural productivity is essential for broad-based poverty reduction. Historically, agriculture has performed well and contributed significantly to Indonesia's growth, bringing with it increases in employment and a reduction in poverty. It achieved this by focusing on the staple food crops rice, corn, sugar, and soybeans. However, with productivity gains of most food crops slowing down significantly, and with the majority of farmers operating less than half a hectare, these crops provide less potential for generating additional employment and income growth. According to the World Bank, total factor productivity growth in agriculture has been negative since the early 1990s, from annual gains of 2.5% in 1968-92 to annual contractions of 0.1% from 1993 to 2000.
(a) Border measures
Tariff protection and binding commitments
In the Uruguay Round, Indonesia bound 100% of all agricultural lines; the number of bound tariff lines increased to 1,500 compared with only 65 before the round. In general Indonesia's tariffs are applied at levels well below bound rates. The average bound tariff is 47% and the average applied tariff is 8.7%. The difference between bound and applied tariffs varies among sectors. There is little difference between bound and applied tariffs for beverages and spirits but in other sectors the applied tariff is about one tenth the bound rate.
Initially set at zero (under Indonesia's IMF commitment on food items), the tariffs on rice and sugar were raised when BULOG's monopoly over imports was eliminated. Tariffs on the various types of sugar have been reduced in conjunction with a plan to restructure the sugar processing industry, including the closure of inefficient state-owned sugar mills; in 2003 the Government switched from an ad valorem to a specific tariff in order to deal with under-invoicing practices in particular. In the case of rice, the tariff was set at a specific rate of Rp 430/kg in 2000 (with an ad valorem equivalent at around 30%). Although meant to be temporary, the tariffs on sugar and rice are still in effect.
Non-tariff border protection
During the period under review, Indonesia had removed a number of licensing restrictions affecting agriculture. Those remaining include alcoholic beverages ; these may eventually have to be eliminated unless Indonesia is granted special exemptions. Indonesia had granted sole import rights for rice, soybeans, sugar, wheat flour, and garlic to BULOG, the national food logistics agency, and sole import rights for cloves were granted to the BPPC, a cloves marketing agency. Indonesia notified the WTO that BULOG operates as a state-trading enterprise within the meaning of Article XVII of GATT. The purpose of establishing Perum Bulog as a state trading enterprise (STE), is to support domestic rice producers, to stabilize the price of rice at consumer and producer levels in implementing its statutory functions, the agency engages in domestic procurement, sales/distribution, import/export, and management of rice reserve stock holding.
Sanitary, phytosanitary, and food quality regulations have led to import restrictions, particularly on animals and animal products and other food items requiring a halal certificate.
(b) Domestic support measures
Indonesia maintains a number of domestic programmes that are classified as domestic supports under the Agreement on Agriculture. These include general services, programmes to promote agricultural development, stock holding and administered price systems for some commodities, and domestic food aid. Most of these programmes appear to fall under the Green Box, as notified to the WTO.
(iii) Selected items
The agriculture sector can be divided into five broad sub-sectors: food crops, cash crops, animal husbandry, fishing, and forestry. The predominant food crops are rice and other food staples such as maize, cassava, sweet potatoes, and soybeans, and have traditionally been cultivated on relatively small landholdings. Indonesia is also an important producer of a wide range of cash crops, including rubber, palm oil, copra, coffee, tea, cocoa, sugar, and tobacco. Most of these commodities are grown on commercial plantations and are destined primarily for export.
Rice
Rice is the most important food crop and the preferred staple of the great majority of Indonesians. It has always been the main focus of Indonesia's policy on agriculture and food security; at the heart of the policy has been the Government's endeavour to stabilize the price of rice by intervening in the market to defend a ceiling price for consumers and a floor price for producers, and by controlling trade (Box IV.1). Self-sufficiency was attained briefly in 1985 and again since 2004, but in the intervening years Indonesia became one of the world's largest rice importers. During the period under review, the Government has come under increasing pressure to deal with rice farmers' complaints of low prices, particularly during harvests, which they have tended to blame on the abundance of cheaper rice imports. In January 2004, the Government announce that rice imports would be banned for six months to protect farmers during the main harvest. The ban was subsequently extended and remains in place as strong harvests from 2004 to 2006 have reduced the need for imports. In 2005, Indonesia produced 54 million tonnes of un-husked rice, equivalent to 32.4 million tonnes husked. Domestic requirements are estimated to be approximately 32 million tonnes.
Maintaining stable rice prices is critically important for the poor, as rice constitutes 24% of their consumption. Two thirds of farming households in Indonesia are net consumers of rice, that is, they consume more rice than they produce. High rice prices were detrimental to the poor during the crisis in 1997/8 when the collapse of the rupiah led to a surge in the domestic price of trade able goods consumed by the poor, most importantly the price of rice. The Government restored relative macroeconomic stability in 2001, strengthening the rupiah and bringing down the price of rice as a result. During the period under review, mostly due to shortages as a result of the ban on rice imports, the price of rice surged about 30% above international prices, rising 55% between February 2005 and March 2006, far ahead of other domestic food prices and was considered to be the main factor in the increase in the poverty headcount in 2006 . In 2006, local rice cost over 40% more than rice imported from Viet Nam (Table IV.5).
had an explicit mandate to ensure price stability and was given monopoly import rights to enable it to achieve this. Growing inefficiency at Before the economic crisis, Indonesia had a good record for stabilizing rice prices: the real price of rice had been kept roughly at or near the world price for 20 years. During this period BULOGBULOG , together with the economic crisis led to the collapse of the rice stabilization scheme. At the end of the 1990s, BULOG lost its monopoly; import licences were granted to general importers with no quantity limits, and the private sector was responsible for over half of Indonesia's total rice imports.
The fertilizer subsidy comes indirectly in the form of a gas subsidy to the nitrogen/urea factories and in 2006 amounted to Rp 3,006 billion. The gas subsidy reduces factory prices enabling smallholder farmers (mostly food crop farmers) to obtain affordable fertilizer prices. The amount of gas subsidies is limited to the production needed by smallholder farmers. The Government determines the ceiling prices for the outlets where farmers obtain the fertilizer.
The Government also subsidizes some food crop seeds for rice, maize, and soybean. Two state-owned companies PT Sang Hyang Seri and PT Pertani were assigned as suppliers of subsidized seed for the period 1986-06 (regulated in the Minister of Finance Decree No. 100/PMK/2005). In 2006, the amount of the subsidy was Rp 165 billion, enabling farmers to pay lower prices. In 2007, the MOA plans to provide subsidized seeds directly to farmer, with a total subsidy value of roughly Rp 1.7 trillion.
To facilitate access to financial services, the Government provides subsidized credit to smallholder farmers. Farmers pay interest at 9% per annum, and the Government pays the difference between the commercial and the subsidized rates. With this scheme, smallholder farmer are expected to have more access to commercial bank financing as credit risks are shared among the Government, commercial banks and farmers.
To provide an incentive to rice farmers, the Government determines the rice procurement price (HPP), usually before the beginning of planting season (around October). In 2006, the procurement price was Rp 3,350 per kg or around US$365 per tonne.
The Government is facing difficulties in imposing high import tariffs on rice to protect its domestic farmers and rice industries. The specific import duty of Rp 430 per kg has been bound since 2000. However, illegal imports and the black market are two major challenges, due to the low price of rice outside the borders, rendering tariff protection and restrictive import policies less effective.
There was a brief period of free trade in rice between January 1999 and December 2003, initially with no tariff and then with a specific tariff of Rp 430/kg. From January 2004, the Government announced a seasonal import ban, which has been extended repeatedly so that is has effectively taken on the character of a permanent ban. BULOG became a state-owned enterprise and, while it claims to no longer have a mandate to stabilize prices, has responsibility for purchases and sales from BULOG stocks. The authorities indicate that BULOG has the capacity to absorb around 5% of total domestic rice production.
Fishing
In 1982, international recognition of the concept of the archipelago State permitted Indonesia to declare the waters separating the many islands to be an exclusive economic zone, thereby giving the country undisputed control over the vast marine fisheries resources of this area. These resources began to be developed in 1987, both through licences issued to foreign fishing fleets and the encouragement of private investment in the fishing industry. Particular emphasis was given to shrimp and tuna fisheries. Nevertheless, productivity in the sea-fishing industry has remained low while over-fishing in some areas has threatened to deplete fish stocks. Illegal fishing, by foreign and domestic operators, has also been a serious problem, causing both environmental damage and revenue losses estimated at about US$2 billion per year.
Fishing is also of great importance in the subsistence economy and fish provide an estimated two thirds of the animal protein in the Indonesian diet. However, there is a widening gap between supply and demand for fish. Many marine fisheries are in decline with the productivity of coastal reef fisheries threatened by the use of destructive fishing techniques and poaching. The fisheries in western Indonesia are operating at or above the maximum sustainable yields, leaving little room for further expansion in commercial fisheries.
Commercial effort is focused on high-value species such as prawns and tuna. Fishing in Indonesia accounted for 2.4% of constant-price GDP in 2004. The value of shrimp exports alone stood at US$824 million in 2004, with the total value of fish exports at around US$2 billion. As an archipelagic country, Indonesia has over 17,000 islands and 81,000 km of coastline, which provide an excellent resource for brackish-water shrimp farming to support the growth of shrimp exports. Japan is the largest export market for Indonesian shrimp, followed by the EC and the United States. One of the most critical challenges faced by the industry relates to quality standards imposed by developed country importers, including freedom from antibiotic contamination; Indonesian shrimp growers lack the capacity to comply. Other problems are the low productivity and high cost of production of domestic shrimps, which have caused difficulties in managing cheap shrimp imports from the likes of China, Thailand, and Viet Nam.
Posted by Drh.Pudjiatmoko,PhD at 05:59 0 comments
Labels: Kebijakan Pemerintah Indonesia
Thursday, 28 June 2007
Sistem irigasi pertanian di Niigata
Sekitar 3 km dari tempat tersebut tedapat sungai besar yang debit airnya cukup dan tidak berlebih. Air sungai dinaikan ke Tempat penampungan air menggunakan pompa berkekuatan besar. Tempat tersebut terlihat sekitar 3 km dari pertanian milik Mr.Nobutoshi Ikezu (Bangunan putih di bagian tengah pada gambar di atas).
Air dari tempat penampungan dialirkan menggunakan pipa-pipa air bawah tanah berdiameter 30 cm ke pertanian di sekitarnya.
Pada setiap pemilik sawah terdapat tempat pembukaan air irigasi tersebut. Pembagian air ini bergilir berselang sehari, yang berarti sehari keluar, sehari tutup. Penggunaannya sesuai dengan kebutuhan sawah setempat yang dapat diatur menggunakan tuas yang dapat dibuka tutup secara manual.
Dari pintu pengeluaran air tersebut dialirkan ke sawahnya melalui pipa yang berada di bawah permukaan sawahnya. Kalau di tanah air kita pada umumnya air dialirkan melalui permukaan sawah.
Sedangkan untuk mengatur ketinggian air dilakukan dengan cara menaikan dan menurunkan penutup pintu pembuangan air secara manual seperti yang terlihat pada gambar di atas.
Pembuangan air dari sawah masuk saluran irigasi yang terbuat dari beton sehingga air dengan mudah kembali ke sungai kecil, tanpa merembes terbuang ke bawah tanah. Pencegahan perembesan air dilakukan dengan sangat efisien.
Posted by Drh.Pudjiatmoko,PhD at 08:28 5 comments
Labels: Irigasi
Peresmian WFP School Feeding Campaign
WFP bekerjasama dengan Japan Advertising Council (JAC) telah melakukan pengambilan gambar di sebuah Sekolah Dasar di Lombok untuk pembuatan iklan layanan masyarakat yang akan dipublikasikan pada siaran TV, radio dan Billboard serta masmedia lain. Peresmian dilakukan di United Nation University (UNU) pada tanggal 25 Juni 2007 mulai jam 11:00 sampai dengan jam 12:00. Peresmian ini dihadiri para pejabat pemerintah, anggota corps diplomatic, dan wartawan.
Peresmian dibuka oleh Ms. Mihoko Tamamura Director WFP Japan Relation Office. Beliau menyampaikan ucapan terimakasih kepada JAC atas bantuannya dalam pembuatan iklan layanan masyarakat. Beliau menyampaikan moto dari iklan layanan masyarakat ini adalah “Sepotong biscuit merupakan tiket menuju masa depan”. WFP menyediakan biscuit untuk setiap siwa satu bungkus yang telah dikemas khusus dengan tulisan biscuit WFP gratis produksi PT. Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk.
Dengan memakan 50 gram biscuit seorang anak akan memperoleh 200 kcal dan 50% kebutuhan vitamin dan mineral selama satu hari. Pada tahun 2006 WFP telah memberikan makanan kepada 20,2 juta anak dari 71 negara dan akan berusaha mencapai 50 juta anak pada tahun 2008.
Pada sambutan singkat Dr. Pudjiatmoko Atase Pertanian KBRI Tokyo menyampaikan ucapan permohonan maaf atas ketidak hadiran Bapak Dubes, penyampaian salam kepada hadirin, ucapan terimakasih kepada penyelenggara program dan himbauan kepada para hadirin untuk mendukung dan membantu program WFP School Feeding Campaign.
Selanjutnya petugas pengambil gambar mempresentasikan pengambilan gambar untuk iklan School Feeding campaign di sebuah Sekolah Dasar di Lombok NTB dengan diselingi pemutaran film hasil karyanya. Mereka senang telah bekerja dengan lancar karena mendapat dukungan dan bantuan dari para guru dan murid sekolah setempat serta masyarakat di sekitarnya. Para murid menyambut baik dan berantusias untuk diambil gambarnya, sedangkan masyarakatnya tertib ketika dilakukan pengambilan gambar.
Pada gambar ditampilkan seorang anak sedang membaca buku pelajaran bahasa Indonesia dimana mejanya terbentuk dari 3 potong biscuit, sedangkan narasinya disampaikan oleh aktor Jepang yang terkenal Kazunari Ninomiya. Iklan Layanan Masyarakat ini akan ditayangkan dan disebarluaskan mulai bulan Juli 2007.
Sekilas mengenal World Food Programme
(WFP)
World Food Programme (WFP) adalah organisasi program bantuan bersama yang dibentuk oleh PBB tahun 1963 dan diawasi oeh FAO. WFP adalah sebuah lembaga kemanusiaan terbesar di dunia yang berkantor pusat di Roma, Italia. Selain itu, WFP juga memiliki perwakilan yang tersebar di 80 negara. WFP bekerja untuk membantu masyarakat yang tidak mampu memperoleh atau menghasilkan pangan bagi diri mereka sendiri dan keluarga mereka.
WFP bergerak untuk menghapuskan kelaparan dan malnutrisi, dengan tujuan utama menghilangkan kebutuhan akan bantuan pangan.
Strategi utama yang mendasari aktivitas WFP adalah menyediakan bantuan pangan dengan tujuan:
1. Menyelamatkan manusia yang merupakan pengungsi dan dalam situasi darurat lainnya;
2. Memperbaiki gizi dan kualitas hidup masyarakat yang paling rentan pada saat mendesak;
3. Membantu membangun aset dan memperbaiki taraf hidup masyarakat miskin khususnya melalui program padat karya.
Bantuan pangan WFP juga ditujukan untuk memerangi masalah kurang gizi, menurunkan tingkat kematian anak, memperbaiki kesehatan ibu hamil, dan memerangi berbagai penyakit termasuk HIV dan AIDS, serta Program padat karya membantu meningkatkan stabilitas lingkungan hidup dan ekonomi serta produksi agrikultur.
Pada tahun 2005, WFP mendistribusikan 4,2 juta ton bahan makanan kepada 96,7 juta orang di 85 negara (wikipedia.com), 35 juta orang mendapatkan bantuan melalui operasi darurat, termasuk korban konflik, bencana alam, dan kehancuran ekonomi di negara-negara seperti Afghanistan, Korea Utara, Pakistan, dan Niger. Pengeluaran secara langsung mencapai US$ 2,9 juta untuk menjalankan program perbaikan dan normalisasi.
Operasi WFP yang terbesar di tahin 2005 adalah operasi di Darfur, Sudan dimana program tersebut menyentuh 3,4 juta orang. Selain itu, WFP juga memiliki program bantuan pangan bagi anak-anak, program school-feeding di 74 negara, dan mendorong orang tua untuk menyekolahkan anak-anak mereka, terutama anak perempuan.
WFP memperoleh dana dari donasi pemerintah negara-negara di dunia, perusahaan, dan donor pribadi. Di tahun 2005, WFP memperoleh dana sejumlah US$ 2,8 juta dari kontribusi negara-negara. Seluruh dana sepenuhnya yang diperoleh berdasarkan sumbangan sukarela.
WFP meluncurkan usaha pengumpulan dana yang disebut Walk the World. Dalam satu hari di setiap tahun, ratusan ribu masyarakat di setiap daerah pembagian waktu berjalan dalam usaha mengakhiri kelaparan terhadap anak-anak. Di tahun 2005, lebih dari 200 ribu masyarakat berjalan kaki di 296 lokasi. Sedangkan di tahun 2006 terdapat sekitar 760 ribu masyarakat di 118 negara di seluruh dunia. Acara ini merupakan bagian dari kampanye untuk mencapai target Millenium Development Goals, yang menginginkan agar jumlah penduduk yang menderita kelaparan dan kemiskinan dapat dikurangi hingga separuhnya di tahun 2015.
Indonesia pernah keluar dari keanggotaan WFP di tahun 1996 karena krisis ekonomi dan konflik yang menimbulkan situasi rawan pangan serta memburuknya status gizi masyarakat. Namun pada tahun 1998, Indonesia kembali menjadi anggota WFP, ditandai dengan diperolehnya bantuan WFP dalam bentuk Emergency Operation yang kemudian disusul dengan program PRRO yaitu program penyaluran beras bersubsidi bagi masyarakat di Jakarta dan Surabaya. Selain itu WFP juga menyalurkan bantuan pangan bagi masyarakat pengungsi dan masyarakat yang baru kembali dari pengungsian guna mempercepat proses integrasi dan rekonsiliasi paska krisis.
Kantor pusat WFP terletak di kota Roma, Italia dengan alamat:
World Food Programme (WFP)
Via C.G.Viola 68
Parco dei Medici
00148 - Rome - Italy
Tel: +39-06-65131
Fax: +39-06-6513 2840
E-mail: wfpinfo@wfp.org
Posted by Drh.Pudjiatmoko,PhD at 07:16 0 comments
Labels: KETAHANAN PANGAN
Wednesday, 27 June 2007
ODA Jepang turun 11,7% pada tahun 2006
Menurut data Organization for Economic Coopretaion and Development, Jepang menyumbangkan net ODA sebesar $ 11,61 milyar pada tahun 2006, mengalami penurunan 11,7 % dari tahun 2005.
Negara dengan net ODA teratas adalah Amerika Serikat, yang telah menyumbangan $22,74 milyar, disusul Inggris dengan besar sumbangan $12,6 milyar.
Net ODA yaitu Gross ODA dikurangi pengembalian hutang yang diterima untuk pinjaman ODA yang telah lewat. Menurut Kementerian Luar Negeri Jepang, Gross ODA Jepang masih menempati urutan ke dua dengan jumlah $18 milyar pada tahun lalu, dibawah Amerika Serikat dengan jumlah $24 milyar.
Net ODA Jepang melewati Amerika Serikat pada tahun 1993 dan masih bertahan menjadi donatur terbesar didunia sampai tahun 2000, puncaknya sebesar $14,49 milyar pada tahun 1995.
Akhir-akhir ini Jepang telah mengurangi anggaran ODA untuk menanggulangi peti simpanan pemerintah kosong dan defisit fiskal yang semakin bertambah.
Sementara itu negara-negara Amerika dan Eropa sedang mencoba meningkatkan ODA untuk meredam kepentingan antara kemiskinan dan terorisme sedunia sejak serangan 11 September 2001, kata pejabat kementerian luar negeri Jepang.
Posted by Drh.Pudjiatmoko,PhD at 07:30 0 comments
Labels: Bantuan Teknis
Tuesday, 26 June 2007
WFP Welcomes the release of a new school Feeding PSA in Japan
Five biscuits supply 200 kilocalories and 50% of vitamins and minerals for a day
WFP News Release
World Food Programme (WFP) welcomed the release of new print, radio, and television public service announcement (PSA) promoting the agency’s school; feeding programme, made possible with support of the Japan Advertising Council.
The PSA showcases WFP’s micronutrient-enriched biscuits, fortified with 14 essential minerals and vitamins and used as an integral part of the agency’s school feeding programme. In the PSA, under the catch-phrase “a biscuit is a ticket to the future”, children’s desks are fabricated of WFP biscuits, illustrating how WFP’s school feeding programme is helping children get a chance to learn in the School.
“We are truly grateful to the Japan Advertising Council for their support of our school feeding initiatives,” said Ms. Mihoko Tamamura, Director WFP Japan Relations Office. “This PSA campaign will create an incredible impact in generating support among the people of Japan towards our efforts in wiping out child hunger from the world.”
The PSA was filmed in Lombok Indonesia, where malnutrition is widespread among school age children. Roughly half suffer from iron deficiency induced anaemia and marginal vitamin A deficiency, which often results in poor cognitive performance. Recent studies found that the prevalence of anaemia drop from 24% to 10% in the children receiving WFP’s biscuits. Cognitive performance also improved significantly.
One of the world’s largest advertising companies, Dentsu, designed and produced the new PSA. The TV and radio spots were narrated by the famous Japanese actor Kazunari Ninomiya, whose recent performance in Clint Eastwood’s Oscar-winning “Letters from Iwo Jima” won widespread acclaim…
The new PSA will be broadcast on TV and radio and appear in print media and on billboards from the beginning of July.
The Japan Advertising Council is dedicated to serving the common good through PSA campaigns. It is made up of over 1,300 voluntary corporate members, including media organizations, ad agencies, and other business enterprises from Japan. PSA produced by the council are printed and/ or aired free-of-charge by member media organizations.
WFP has been engaged in school feeding for more than 40 years and is the world’s largest provider of school meals in developing countries. In poor countries, free, nutritious school meals attract children to school, as well as enhance their performance by allowing them to concentrate on their lessons. In 2006, WLP provided 20.2 million children with school meals in 71 countries and aims to reach 50 million children by the end 2008.
WFP is the world’s largest humanitarian agency: on average, each year, we give food 90 million poor people to meet their nutrional needs, including 58 million hungry children, in 80 of the world’s poorest countries.
Posted by Drh.Pudjiatmoko,PhD at 07:47 0 comments
Labels: KETAHANAN PANGAN
Sunday, 24 June 2007
Tunas kelapa menjadi tanaman hias di Jepang
Disebuah toko serba ada di kota Yokohama telah dipasarkan tunas kelapa yang di tanam dalam pot putih untuk tanaman hias. Di stall tersebut telah terpajang sekitar 50 pot yang selalu diamati oleh pengunjung baik anak-anak maupun orang dewasa. Mereka heran melihat tanaman hias baru ini karena mereka belum pernah melihat sebelumnya. Tanaman ini hanya tumbuh di pulau-pulau paling selatan Jepang wilayah Okinawa.
Tunas kelapa ini ditanam di atas pot warna putih yang sangat kontras dengan warna kelapa. Indah nian bukan ?
Tunas kelapa yang bahasa latinnya Cocos nucifera atau Kokoyasi dalam bahasa Jepang ini dipasang harga 1.900 yen atau 142.500 rupiah per buah. Di zaman modern seperti sekarang ini selain kita dituntut dalam bidang teknologi, kita juga harus siap berlomba dan berani dalam mengaplikasikan ide-ide cemerlang dalam agribisnis. Pintar-pintar membidik segmen pasar !
Posted by Drh.Pudjiatmoko,PhD at 18:41 0 comments
Labels: Himbauan dunia pertanian
Penjajagan pengembangan ekspor melinjo ke Jepang
Pada tanggal 8-11 Juni 2007 Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Departemen Pertanian Dr. Ato Suprapto dan Ketua KTNA Ir. Winarno Tohir telah melakukan kunjungan ke Fukui Prefecture, Jepang guna melakukan penjajagan pengembangan ekspor melinjo ke Jepang.
Pada tahun 2005 Asosiasi Melinjo Indonesia (Asmelindo) telah melakukan kerjasama dengan Japan Asociation of Melinjo Indonesia (Jasmelind) dalam bidang pengolahan dan pemasaran melinjo. Kerjasama tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan peningkatan pendapatan petani. Jasmelindo telah melakukan penelitian tentang zat yang terkandung dalam melinjo.
Jasmelind telah mengembangkan saos, teh dan kecap yang berasal dari bahan baku melinjo. Pemasaran saos, kecap dan teh di Jepang akan dilakukan oleh Jasmelind, sedangkan untuk pasar Indonesia akan dilakukan oleh Asmelindo. Untuk menjamin suplai bahan baku, pihak Jasmelind meminta Asmelindo untuk memperluas sentra produksi melinjo bekerjasama dengan Ditjen Hortikultura. Untuk menyiapkan SDM dan kelembagaan petani melinjo, Badan Pengembangan SDM diminta untuk membantu pelatihan bagi para petani melinjo.
Pihak Jasmelind meminta Asmelindo mengurus hak Paten di Indonesia dan diharapkan pemerintah Indonesia dapat memfasilitasi hak paten tersebut. Pertemuan dengan Profesor Yamori ahli bidang kesehatan menyatakan bahwa melinjo mengandung polipenol yang mungkin berguna untuk kesehatan, untuk menguji hipotesa tersebut, Profesor Yamori menyarankan agar para peneliti Indonesia melakukan penelitian untuk melihat dampak melinjo terhadap kesehatan. Profesor Yamori sebagaibtenaga ahli WHO bidang kesehatan bersedia untuk membimbing ”Post Doctoral Research” yang dilakukan para peniliti Indonesia yang mendalami bidang teknologi pangan atau bidang kesehatan.
Pada tanggal 9 Juni 2007 rombongan melakukan kunjungan ke Educational Food Promotion in Fukui. Pada pameran tersebut dipamerkan saos, kecap dan teh yang berasal dari melinjo oleh Jasmelind. Pada stand Jasmelind dikunjungi oleh Gubernur dan Wakil Gubernur Fukui. Mereka terkesan dengan produk melinjo yang mengandung polipenol. Mereka juga terkesan bahwa pohon melinjo berasal dari Indonesia.
Posted by Drh.Pudjiatmoko,PhD at 08:00 0 comments
Thursday, 21 June 2007
Pengendalian Gulma Menggunakan Kertas
Herbisida adalah senyawa atau material yang disebarkan pada lahan pertanian untuk menekan atau memberantas tumbuhan yang menyebabkan penurunan hasil (gulma). Lahan pertanian biasanya ditanami sejenis tanaman pertanian. Namun demikian tumbuhan lain juga dapat tumbuh di lahan tersebut. Karena kompetisi dalam mendapatkan hara di tanah, perolehan cahaya matahari, dan atau keluarnya substansi alelopatik, tumbuhan lain ini tidak diinginkan keberadaannya. Herbisida digunakan sebagai salah satu sarana pengendalian tumbuhan "asing" ini
Tehnik baru untuk pengendalian atau mencegah pertumbuhan gulma pada lahan yang ditanami padi di sawah dengan cara menutupi tanah tempat bercocok tanam menggunakan kertas. Dengan penutupan tanah dengan kertas pada sawah tersebut dapat mencegah tumbuhnya gulma karena tidak terdapat sinar matahari yang masuk.
Cara penutupan kertas dan penanaman padi dilakukan dengan menggunakan mesin yang terintegrasi. Proses penutupan kertas diatas tanah dan penanaman padi dilakukan secara bersamaan. Kertas digulung dalam mesin dan dihamparkan terlebih dahulu, sementara pada mesin yang sama sudah disiapkan bibit padi yang siap ditancamkan pada saat begitu kertas dihamparkan.
Dengan cara demikian gulma tidak tumbuh sehingga dapat menghindari penggunaan herbisida, tidak menggunakan tenaga kerja untuk menyiangi dan dapat menghemat ongkos produksi dan dapat mendukung pertanian organik.
Gambar kertas yang tergulung sebelum dipasang pada mesin.
Kertas dalam mesin tanam dipasang di tempat penggulungan kertas di sebelah depan (kanan). Sedangkan tempat bibit yang siap ditanam terlihat berderet di sebelah belakang (kiri).
Hamparan tanaman padi milik seorang petani di Fukui Jepang, tidak terdapat gulma sedikitpun diatas tanahnya yang tertutup dengan kertas.
Posted by Drh.Pudjiatmoko,PhD at 22:26 1 comments
Labels: Teknologi Pertanian
Wednesday, 20 June 2007
Indonesian’s bird flu commission recommends more robust AI Vaccination campaign
“We have learned a lot in the past several years about controlling the virus and we must use what we have learned to improve and expand the Al program to ensure that communities across this vast archipelago are no longer at risk” said Bayu Krisnamurthi, Chief Executive of Indonesia’s National Coordinating Committee for Avian Influenza Control and Pandemic Influenza Preparedness(KOMNAS FBPI). Mr. Krisnamurthi said that while vaccination is occurring in many areas, as few as 25% are properly vaccinated in rural and backyard farms. He said the new recommendations would improve the effectiveness of the vaccination program.
Mr.Krisnamurthi said that at present, three vaccine strains should be used (inactivated homologous oil-based-emulsion H5N1, or heterologous H5N2 or H5N9). He called for an integrated vaccination program that clearly outlines every step of the process including selecting vaccine, logistics, and human resources. The effectiveness of vaccine is another crucial issue that will be addressed.
“It is vital that all vaccines used are approved by the Department of Agriculture and given to healthy poultry under the supervision of a veterinarian. A successful vaccination program must be well funded with qualified vaccinators and logistical support,” said Mr. Krisnamurthi.
All vaccines should be registered and authorized by the Ministry of Agriculture.
Other areas that need to be addressed include linking vaccination with bio-security, expanding vaccination programs to include chickens as well as well as other birds, and targeting vaccination campaigns in high-risk areas. He stressed that only healthy flocks should be vaccinated, under the guidance of a veterinarian.
The vaccine used and the vaccination process will have to be revaluated over time according to the development of the virus in the field, he said.
Following expert consultations, Mr. Krisnamurthi said it is clear that more work is needed in other areas as well, such as strengthening and expanding animal health services, restructuring the poultry industry from production through to retail sales. Experts pledged to continue to work with the Government of Indonesia and support KOMNAS FBPI to control the virus in poultry and reduce the threat of a pandemic.
“The ability of the H5N1 virus to cause human disease and death and the potential for the emergence of a major human influenza pandemic virus has dramatically increased official concerns,” said Laurence Gleeson, Regional Head of the Emergency Center for Transboundary Animal Diseases for the Food and Agriculture Organization.
The Avian influenza virus is a highly pathogenic virus that mainly affects birds. In rare cased, the disease can also infect humans. Experts fear that so called bird flu could change into a novel influenza virus that spreads easily between humans, with the potential to ignite a global influenza pandemic
There are steps that every Indonesian can take to lower than risk of contracting the H5N1 virus.
1.Do not touch sick or dying birds; if you do, immediately wash your hands and report to local authorities.
2.Wash your hands and utensils with soap and water before you eat or cook. Cook all poultry and eggs well.
3.Separate your birds and separate all new flocks for two weeks.
4.Go immediately to a health clinic if you have a fever with flu-like symptoms and have had contact with birds.
Source : KOMNAS FBI
Posted by Drh.Pudjiatmoko,PhD at 19:01 0 comments
Labels: Avian Influenza
Tuesday, 19 June 2007
Si merah manis mangga hadiah
Mangga Miyazaki yang diproduksi di Jepang telah dipublikasikan di TV Jepang pada tanggal 18 Juni 2007. Pada publikasi tersebut telah diceritakan kelezatan rasanya, kandungan gizinya sampai dengan bagaimana cara mengupasnya dalam suatu program yang menarik.
Setelah melihat tayangan tersebut ingin sekali mendapatkannya. Dalam waktu kurang dari satu jam telah dapat di peroleh di supermarket di wilayah Meguro-ku, Tokyo. Rasanya memang sangat manis, aromanya wangi meskipun wanginya tidak sekhas mangga Aromanis, bentuknya lonjong mencirikan bentuk asli buah mangga, warna kulitnya merah berbecak menarik, daging buahnya empuk dengan kandungan air yang cukup.
Sebuah mangga Miyazaki dikemas dalam satu kotak plastik seperti pada gambar diatas. Di supermarket tersebut mangga Miyazaki seberat 350 gram berharga 3.980 yen. Jadi harga per kilogramnya 11.371 yen atau 830.000 rupiah. Sedangkan harga mangga impor di Jepang bervariasi antara 820 yen sampai dengan 2.250 yen per kilogram.
Berat satu buah mangga impor berkisar 160 gram dan 450 gram, perbandingan besarnya dapat dilihat pada gambar diatas.
Tentu kita akan bertanya apakah mangga tersebut akan laku dijual dan mampu bersaing dengan mangga impor yang harganya lebih murah. Yang jelas mereka mempunyai segmen pasar untuk produk-produk bermutu meskipun dengan harga selangit. Biasanya dikirim sebagai omeyage atau hadiah. Ini pelajaran untuk kita, agar berlomba meningkatkan mutu poduk mangga kita sehingga mampu memasuki pasar Jepang yang mempunyai daya beli tinggi, diiringi standar mutu tinggi, dengan selera konsumen yang tinggi pula.
Posted by Drh.Pudjiatmoko,PhD at 08:24 3 comments
Labels: Pasar Produk Pertanian
Sunday, 17 June 2007
Neonicotinoid diduga penyebab kematian lebah madu
Para peneliti dari Pennsylvania State University, Amerika Serikat telah meneliti penyebab kematian lebah madu akibat suatu penyakit yang disebabkan oleh pestisida.
Penyakit tersebut telah mematikan puluhan koloni lebah dari ribuan koloni lebah di 35 negara bagian di Amerika Serikat. Kematian lebah akbibat penyakit ini mengancam kehidupan para peternak lebah, petani bunga dan petani buah apel, biji-bijian, serta jeruk, karena mereka mengandalkan lebah untuk penyerbukan bunga.
David Hackenberg dari Penn State, seorang peternak lebah yang melaporkan pertama kali tentang kerugian peternakannya. Dia mengalami kerugian 75 % dari peternakannya yang berjumlah 3.200 koloni.
Neonecotinoid adalah penyebab kematian lebah-lebah tersebut ditemukan dalam lebah yang mati akibat penyakit ini. Neonecotinoid merupakan salah satu tipe pestisida. Neonecotinoid tidak mengandung nekotin (zat adiktif yang terdapat dalam tembako). Dinamakan neonecotinoid karena targetnya pada sel syaraf dengan cara kerja mirip seperti nikotin (Sumber: Japan Time 17 Juni 2007).
Posted by Drh.Pudjiatmoko,PhD at 10:44 0 comments
Labels: Penyakit Hewan
Friday, 15 June 2007
Jepang konsentrasi pada bahan bakar bioethanol
Jepang sedang membidik bioethanol sebagai bahan bakar untuk mencegah ketergantungan energi yang diimpor dari luar negeri. Meskipun produksi biethanol di Jepang baru tahap awal, terdapat langkah-langkah penting baik umum maupun sektor swasta untuk menggunakan teknologi Jepang dalam rangka meningkatkan produksi bahan bakar berasal dari tumbuh-tumbuhan.
Para ahli mengatakan bahwa agar dapat bersaing dengan produk impor, produksi bioethanol dalam negeri perlu waktu bertahun-tahun. Akan tetapi mereka juga berkata bahwa Jepang akan terdepan dalam menerapkan teknologi fermentasi dan teknologi konservasi energi.
Pengembangan proses pembuatan bioethanol yang efisien dengan hasil besar akan membantu Jepang dalam menurunkan ketergantungan terhadap sumber energi dari luar negeri. Dan pada saat yang bersamaan dapat mengurangi pencemaran udara yang dipersyaratkan oleh Protokol Kyoto.
Bioethanol adalah alkohol yang dibuat dari fermentasi bahan organic seperti jagung, tebu, jerami gandum atau padi dalam suatu proses yang mirip dengan pembuatan bir. Hasil akhirnya dicampur dengan bensin untuk mengurangi polutan gas buang kendaraan termasuk diantaranya karbodioksida.
Emisi karbondioksida yang dihasilkan pembakaran bioethanol sama dengan pembakaran bensin. Akan tetapi dengan bioethanol, karbondioksida akan digunakan oleh tanaman tebu, jagung, padi, gandum dsb. ketika terjadi fotosintesis pada tumbuhan. Hal tersebut menyebabkan bioethanol menjadi sangat menarik dalam mencari jalan keluar dalam mengurangi emisi; yang dapat menurunkan emisi 6% dibawah 1990 seperti yang dipersyaratkan Protokol Kyoto. Akan tetapi para pembuat kebijakan dan para peneliti menyatakan masih terdapat kekurangan bioethanol.
Dua produsen bioethanol terbesar adalah Brazil dan Amerika Serikat, Brazil memproduksi bioethanol dari tebu, sedangkan Amerika Serikat dari Jagung. Peningkatan permintaan bioethanol akan menarik perhatian, dalam waktu dekat mereka akan kekurangan gula dan jagung untuk dikonsumsi sebagai bahan makanan.
Masalah besar lain adalah bahwa akan diperlukan jumlah besar bahan bakar fosil untuk membuat bioethanol dalam pabrik dan pengapalan bioethanol ke Jepang.
Honda Motor Co. telah bekerjasama dengan the Kyoto-based Research Institute of Innovative Technology for the Earth (RITE) untuk memproduksi bioethanol dengan bahan jerami padi dan sampah pertanian lain yang dapat diperoleh di Jepang. Jepang relative baru dalam masalah bahan bakar bioethanol ini, akan tetapi Honda yang beraliansi dengan RITE telah memulai pekerjaannya pada musim gugur tahun lalu, dan telah memperoleh hasil yang menjanjikan.
Sampai sekarang dalam proses fermentasi, bahan yang kurang murni akan mengganggu kerja yeast bacteria dalam merubah glukosa dalam jerami padi menjadi alkohol sehingga produk ethanol yang diperoleh sedikit. RITE telah mendapatkan solusi dengan cara menggantikan Yeast bacteria dengan Coryne bacteria hasil rekayasa genetika yang dapat bekerja dengan baik terhadap kondisi bahan yang kurang murni. Penemuan pertama kali oleh Honda dan RITE ini dapat meningkatkan produk ethanol 20 kali lebih banyak. Menurut Mr. Yoshikazu Fujisawa Pimpinan Senior Honda R&D dalam metode baru ini 1 kg jerami padi dapat menghasilkan sekitar 200 gram alkohol.
Pemerintah juga mendanai penelitian bagaimana cara merubah limbah pertanian menjadi bioethanol. Tahun lalu diperkirakan terdapat 6 pilot project yang menghasilkan 30 kiloliter ethanol. Satu diantara projek tersebut dilakukan oleh Mitsui Enginering & Shipbuilding Co. Perusahaan tersebut telah memproduksi ethanol dari limbah kayu di Okayama Prefecture sejak tahun 2005 menggunakan enzyme yang dikembangkan oleh Finland ‘S VTT Technical Research Center. Bahan baku lainnya termasuk gandum, sorghum dan tebu.
Pada awal bulan ini pemerintah juga telah meresmikan dua proyek baru di Hokkaido dan Niigata Prefecture. Proyek tersebut diharapkan setiap tahunnya dapat memproduksi 31.000 kiloliter bioethanol yang terbuat dari beras dan gandum selama lebih dari 5 tahun.
Masalah sangat sensitif apabila produk bahan makanan digunakan untuk keperluan selain sebagai makanan. Jepang adalah salah satu negara industri yang swasembada pangannya rendah, hanya dapat mencukupi sendiri 40% dari kebutuhan kalorinya. Maka dari itu, hal ini akan mendorong Jepang untuk memproduksi bahan bakar yang berasal dari bagian tanaman padi yang tidak dapat dimakan.
Posted by Drh.Pudjiatmoko,PhD at 12:02 1 comments
Labels: Bio-fuel