Banyak orang bisa
berbahasa Inggris, Cina, Jerman, Prancis, bahkan Sunda. Namun, mengapa kita
tidak bisa bahasa Arab? Jawabannya adalah karena kita tidak memprioritaskan
bahasa Arab. Padahal, selama tujuh abad, orang-orang Barat mempelajari bahasa
Arab demi mengakses ilmu pengetahuan, termasuk karya Aristoteles. Mereka tidak
menerjemahkan langsung dari bahasa Yunani, melainkan dari karya-karya yang
telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Proses penerjemahan besar-besaran ini
berlangsung dari abad ke-13 hingga abad ke-16, yang menghasilkan ribuan buku
berbahasa Arab yang kemudian dialihbahasakan ke dalam bahasa Latin.
Lalu, bagaimana metode
termudah untuk belajar bahasa Arab? Jika Anda belajar bahasa Arab dalam konteks
memahami Al-Qur’an, maka Anda seperti mengayuh dua tiga pulau terlampaui. Salah
satu metodenya adalah metode yang sederhana namun efektif, seperti yang
diterapkan di sekolah berbasis adat yang dibangun oleh saudara kita. Di sekolah
ini, ditargetkan siswa kelas 5 SD sudah hafal Al-Qur’an. Metode yang digunakan
adalah menghafal ayat-ayat pendek sambil memahami artinya.
Sebagai contoh,
anak-anak diajarkan surat Al-Ikhlas: “Qul huwa Allahu ahad”, yang
diulang-ulang hingga mereka paham bahwa “ahad” berarti “satu”. Dengan begitu,
kosakata bahasa Arab mereka bertambah, dan pada saat yang sama mereka memahami
isi Al-Qur’an. Menghafal sambil memahami kata demi kata dari Al-Qur’an ibarat
menyelam sambil minum air — pemahaman terhadap isi Al-Qur’an diperoleh, dan
perbendaharaan kata dalam bahasa Arab juga meningkat.
Perintah
Memahami Al-Qur’an secara Perlahan
Al-Qur’an memang
diturunkan untuk dipahami kata demi kata. Allah memerintahkan agar membacanya
dengan tartil, yang berarti perlahan-lahan. Mengapa perlahan-lahan? Agar
dapat dipahami dengan baik. Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa seseorang tidak
boleh mengkhatamkan Al-Qur’an kurang dari tiga hari. Artinya, maksimal satu
hari membaca sepuluh juz. Orang Arab yang memahami bahasanya pun diminta
demikian agar tetap bisa merenungi isinya.
Ada seorang tetangga
yang mengatakan bahwa ia pernah mengkhatamkan Al-Qur’an sebanyak 313 kali
selama hidupnya. Tapi saat ditanya, “Apakah Bapak memahami isinya?” Ia
menjawab, “Tidak.” Padahal, memahami isi Al-Qur’an adalah kewajiban. Maka,
sarana untuk memahami Al-Qur’an juga menjadi wajib hukumnya. Salah satu cara
termudah untuk mulai memahami isi Al-Qur’an adalah dengan membaca
terjemahannya, atau menggunakan Al-Qur’an per kata.
Memahami
Al-Qur’an: Tidak Harus Satu Juz Sehari
Tidak apa-apa jika
tidak bisa menyelesaikan satu juz setiap hari. Bisa jadi hari ini hanya sempat
membaca empat halaman saja. Namun, yang lebih penting adalah memahami apa yang
dibaca. Itulah sebenarnya esensi dari membaca Al-Qur’an: memahami dan merenungi
maknanya.
Nabi SAW bersabda,
“Jika engkau lupa membaca hizbmu di malam hari, maka bacalah di antara waktu
subuh dan zuhur. Engkau tetap mendapatkan pahala sebagaimana biasa membaca di
malam hari.” Hizb di sini maksudnya adalah bagian dari Al-Qur’an yang
menjadi komitmen kita untuk dibaca setiap hari, dengan pemahaman. Orang Arab
bisa membaca dan langsung paham, namun orang non-Arab perlu alat bantu untuk
memahami, seperti terjemahan atau tafsir.
Waktu Terbaik
untuk Mengkaji Al-Qur’an
Waktu terbaik untuk
belajar dan mengkaji Al-Qur’an agar cepat paham adalah malam hari, terutama
saat shalat. Dalam shalat sunnah seperti tahajud, boleh memegang mushaf
Al-Qur’an. Kalau Anda tidak hafal, bacaan imam tidak jelas, Anda tidak paham,
lalu apa yang dinikmati? Maka, peganglah mushaf, bacalah, dan rasakan maknanya.
Dengan begitu, Anda sedang menikmati dan memahami bacaan Al-Qur’an.
Agar kita mudah
menikmati bacaan Al-Qur’an, tegakkan adab-adabnya. Sebagaimana dijelaskan oleh
Imam An-Nawawi dalam At-Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur'an, beberapa adab
membaca Al-Qur’an antara lain: bersiwak atau membersihkan mulut, berwudu,
menghadap kiblat, memakai pakaian terbaik, memilih tempat yang suci dan tenang,
serta menghadirkan hati seakan-akan Allah sedang berbicara langsung kepada
kita.
Meneladani
Nabi dalam Membaca Al-Qur’an
Suatu malam, Hudzaifah
radhiyallahu ‘anhu menjadi makmum dalam shalat malam Nabi SAW. Nabi membaca
surat Al-Baqarah sampai selesai, lalu dilanjutkan surat Ali ‘Imran, dan
kemudian surat An-Nisa’. Hudzaifah berkata, “Hampir-hampir aku berpikir buruk
(karena tidak kuat mengikuti).” Nabi membaca dengan tartil, dan setiap
ayat tentang neraka beliau berlindung kepada Allah, setiap ayat tentang surga
beliau memohon dimasukkan ke dalamnya, dan setiap ayat doa, beliau berdoa
dengan sungguh-sungguh.
Inilah bentuk
interaksi yang ideal dengan Al-Qur’an. Ketika membaca ayat tentang neraka, kita
menangis atau minimal merasa takut. Ketika membaca ayat tentang surga, kita
termotivasi dan berharap. Jika tidak bisa menangis, maka paksakan diri untuk
menangis, karena ini bentuk kepedulian terhadap makna.
Menjadikan
Al-Qur’an Sebagai Pelipur Lara dan Solusi Hidup
Untuk mudah menerima
ilmu dari Al-Qur’an, kondisikan jiwa agar siap. Misalnya, membaca doa sebelum
membaca Al-Qur’an, “Ya Allah, jadikanlah bacaan ini pelipur laraku dan solusi
kehidupanku.” Setelah membaca, lanjutkan dengan doa, “Allahummarhamna
bil-Qur’an” — “Ya Allah, rahmatilah hidup kami dengan Al-Qur’an.” Maka
Al-Qur’an menjadi bagian dari awal dan akhir hidup kita.
Jangan sepelekan doa.
Doa adalah senjata orang beriman. Kita belajar Al-Qur’an bukan sekadar tahu,
tetapi tahu dan berubah. Nabi SAW bahkan pernah berdoa: “Allahumma inni
a’udzubika min ‘ilmin laa yanfa’.” “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari
ilmu yang tidak bermanfaat.”
Ilmu yang
Bermanfaat Membawa Ketundukan
Ilmu yang bermanfaat
akan membuat hati tunduk. Allah berfirman, “Innamā yakhsyallāha min
‘ibādihil ‘ulamā’.” Hanya orang-orang berilmu yang benar-benar takut kepada
Allah. Ilmu yang tidak membuat tunduk bukanlah ilmu, melainkan hanya
pengetahuan. Orang yang mempelajari Al-Qur’an harus berubah — dari tahu menjadi
tunduk, dari paham menjadi amal.