Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Sunday, 19 July 2020

Bidara




Bidara
atau widara (Ziziphus mauritiana) adalah sejenis pohon kecil penghasil buah  yang tumbuh di daerah kering. Tanaman ini dikenal pula dengan pelbagai nama daerah seperti widara (Sd. Jw) atau dipendekkan menjadi dara (Jw.); bukol (Md.); bĕkul (Bali); ko (Sawu); kok (Rote); kom, kon (Timor); bĕdara (Alor); bidara (Makasar, Bug.); rangg (Bima); serta kalangga (Sumba) [1].
 
Sebutan di negara-negara lain di antaranya: bidara, jujub, epal siam (Mal.); manzanitas (Fil.); zee-pen (Burma); putrea (Kamboja); than (Laos); phutsaa, ma tan (Thai); tao, tao nhuc (Vietnam) [2]. Dalam bahasa Inggris dikenal sebagai Jujube, Indian Jujube, Indian plum, atau Chinese Apple; serta Jujubier dalam bahasa Peramcis.

 
KLASIFIKASI ILMIAH
Kerajaan : Plantae       
Divisi : Magnoliophyta           
Kelas : Magnoliopsida              
Ordo : Rosales              
Famili : Rhamnaceae            
Genus : Ziziphus              
Spesies: Z. mautitiana            
Nama binomial: Ziziphus mauritiana  

 
PENGENALAN
 
Perdu atau pohon kecil biasanya bengkok, tinggi hingga 15 m dan gemang batang hingga 40 cm. Cabang-cabang menyebar dan acap menjuntai, dengan ranting-ranting tumbuh simpang siur dan berambut pendek. Selalu hijau atau semi menggugurkan daun.[2]
Daun-daun penumpu berupa duri, sendirian dan lurus (5–7 mm), atau berbentuk pasangan dimorfis, di mana yang kedua lebih pendek dan melengkung, kadang-kadang tanpa duri.[2]
 
Daun-daun tunggal terletak berseling. Helai daun bundar telur menjorong atau jorong lonjong, 2–9 cm x 1.5–5 cm; bertepi rata atau sedikit menginggit; gundul dan mengkilap di sisi atas, dan rapat berambut kempa keputihan di sisi bawahnya; dengan tiga tulang daun utama yang tampak jelas membujur sejajar; bertangkai pendek 8–15 mm.[2]

Perbungaan bernentuk payung menggarpu tumbuh di ketiak daun, panjang 1–2 cm, berisi 7–20 kuntum. Bunga-bunga berukuran kecil, bergaris tengah antara 2–3 mm, kekuningan, sedikit harum, bertangkai 3–8 mm; kelopak bertaju 5 bentuk delta (menyegitiga), berambut di luarnya dan gundul di sisi dalam; mahkota 5, agak seperti sudip, cekung dan melengkung.[2]
 
Buah batu berbentuk bulat hingga bulat telur, hingga 6 cm × 4 cm pada kultivar-kultivar yang dibudidayakan, tetapi kebanyakan berukuran jauh lebih kecil pada pohon-pohon yang meliar; berkulit halus atau kasar, mengkilap, tipis namun liat, kekuningan, kemerahan hingga kehitaman jika masak; daging buahnya putih, mengeripik, dengan banyak sari buah yang agak masam hingga manis rasanya, menjadi menepung pada buah yang matang penuh. Biji terlindung dalam tempurung yang berbingkul dan beralur tak teratur, berisi 1–2 inti biji yang coklat bentuk jorong.[2]
 
KEGUNAAN
 
Buah bidara kultivar unggul diperjual belikan sebagai buah segar, untuk dimakan langsung atau dijadikan minuman segar. Di beberapa tempat, buah ini juga dikeringkan, dijadikan manisan, atau disetup. Buah muda dimakan dengan garam atau dirujak.[2] Buah dari pohon yang meliar kecil-kecil dan agak pahit rasanya[1]. Buah bidara merupakan sumber karoten, vitamin A, dan C dan Lemak.[4]
 
Daun-daunnya yang muda dapat dijadikan sayuran. Daunnya yang tua untuk pakan ternak.[2] Rebusan daunnya diminum sebagai jamu. Daun-daun ini membusa seperti sabun apabila diremas dengan air, dan digunakan untuk memandikan orang yang sakit demam.[1] Di Jakarta, daun-daun bidara digunakan untuk memandikan mayat.
Selain daun, buah, biji, kulit kayu, dan akarnya juga berkhasiat obat, untuk membantu pencernaan dan sebagai tapal obat luka. Di Jawa, kulit kayu ini digunakan untuk mengatasi gangguan pencernaan; dan di Malaysia, kulit kayu yang dihaluskan dipakai sebagai obat sakit perut.[2] Kulit kayu bidara diyakini memiliki khasiat sebagai tonikum, meski tidak terlalu kuat, dan dianjurkan untuk penyakit lambung dan usus. Kulit akarnya, dicampur dengan sedikit pucuk, pulasari, dan bawang putih, diminum untuk mengatasi kencing yang nyeri dan berdarah.[1]
 
Kayunya berwarna kemerahan, bertekstur halus, keras, dan tahan lama. Kayu ini dijadikan barang bubutan, perkakas rumah tangga, dan peralatan lain.[2] Di Bali, kayu bidara dimanfaatkan untuk gagang kapak, pisau, pahat, dan perkakas tukang kayu lainnya.[1] Berat jenis kayu bidara berkisar antara 0,54-1,08. Kayu terasnya yang bervariasi dalam warna kuning kecokelatan, merah pucat atau cokelat hingga cokelat gelap, tidak begitu jelas terbedakan dari kayu gamal. Kayu ini dapat dikeringkan dengan baik, tetapi kadang-kadang sedikit pecah. Di samping penggunaan di atas, kayu bidara juga cocok digunakan untuk konstruksi, furnitur dan almari, peti pengemas, venir dan kayu lapis.[4]
 
Bidara menghasilkan kayu bakar yang berkualitas baik; nilai kalori dari kayu gubalnya adalah 4.900 kkal/kg. Kayu ini juga baik dijadikan arang. Ranting-rantingnya yang menjuntai mudah dipangkas dan dipanen sebagai kayu bakar.[4]
Kulit kayu dan buah bidara juga menghasilkan bahan pewarna[2]. Bahan-bahan ini menghasilkan tanin dan pewarna coklat kemerahan atau keabuan dalam air[4]. Di India, pohon bidara juga digunakan dalam pemeliharaan kutu lak; ranting-rantingnya yang terbungkus kotoran kutu lak itu dipanen untuk menghasilkan sirlak (shellac)[2].
 
EKOLOGI DAN PENYEBARANNYA
 
Tanaman ini terutama tumbuh baik di wilayah yang memiliki musim kering yang jelas. Kualitas buahnya paling baik jika tumbuh pada lingkungan yang panas, kaya cahaya matahari, dan cukup kering; namun hendaknya mengalami musim hujan yang memadai untuk menumbuhkan ranting, daun dan bunga, serta untuk mempertahankan kelembaban tanah selama mematangkan buah. Bidara berkembang luas pada wilayah dengan curah hujan 300–500 mm pertahun. Untuk keperluan komersial, pohon bidara dapat dikembangkan hingga ketinggian 1.000 m dpl.; akan tetapi di atas ketinggian ini pertumbuhannya kurang baik.[4]
 
Tahan iklim kering dan penggenangan, bidara mudah beradaptasi dan kerap tumbuh meliar di lahan-lahan yang kurang terurus dan di tepi jalan. Tumbuh di pelbagai jenis tanah: laterit, tanah hitam yang berdrainase baik, tanah berpasir, tanah liat, tanah aluvial di sepanjang aliran sungai (Riparian).[5]
 
Bidara diperkirakan memiliki asal u sul dari Asia Tengah, dan menyebar alami di wilayah yang luas mulai dari Aljazair, Tunisia, Libia, Mesir, Uganda, dan Kenya di Afrika; Afganistan, Pakistan, India Utara, Nepal, Bangladesh, Tiongkok, Selatan, Vietnam, Thailand, Semenanjung Malaya, Indonesia, hingga Australia. Kini bidara telah ditanam di banyak negara di Afrika, dan juga di Madagaskar.[4] Namun yang mengembangkannya secara komersial hanyalah India, Tiongkok, dan sedikit di Thailand[2].
 
JENIS SERUPA
 
Bidara acap dipertukarkan identitasnya dengan bidara cina (Ziziphus zizyphus; sinonim Z. jujuba Miller, Z. vulgaris Lamk.). Bidara yang terakhir ini dibudidayakan di Tiongkok bagian utara.[2]
 
DALAM AGAMA ISLAM
 
Bidara atau Sidr (bahasa Arab), atau Lote tree (Bahas Inggris) memiliki kedudukan di dalam agama Islam. Pohon ini disebutkan di beberapa surah dalam Al-Qur'an, yaitu:
·         Sebagai Pohon bidara yang sedikit jumlahnya (sidrin qolil) (QS.34. Saba':16),
·         Sebagai Pohon bidara yang tak berduri (sidr makhdud) (QS.56. Al-Waqiah:28),
·         Sebagai Pohon bidara perbatasan akhir (sidratul muntaha) dan Pohon bidara yang diliputi (sidrata ma yaghsya) (QS.53. An-Najm: 13-16)
 
Pohon ini selain disebutkan di dalam Al-Qur'an juga terdapat anjuran penggunaannya di dalam hadits. Dia digunakan dalam berbagai prosesi ibadah, misalnya daunnya disunnahkan untuk digunakan ketika mandi wajib bagi wanita yang baru suci daripada haid.[7] Juga ketika memandikan jenazah dan menghilangkan najis dari tubuh mayat, jenazah disarankan dimandikan dengan air yang dicampur daun bidara.[8] Daun bidara juga kadang kala dipergunakan dalam proses ruqyah untuk mengobati orang yang kesurupan.
 
REFERENSI
 
1.   Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia, jil. 3: 1270. Yay. Sarana Wana Jaya, Jakarta. (sebagai Zizyphus Jujuba Lamk.)
2.    Latiff, A.M.. 1991. Ziziphus mauritiana Lamk. In: Verheij, E.W.M. and Coronel, R.E. (Editors). Plant Resources of South-East Asia No. 2: Edible fruits and nuts. Pudoc, Wageningen, The Netherlands, pp. 310-312
4. ICRAF AgroForestryTree Database. Ziziphus mauritiana. Diakses pada 30/09/2011.
7.   Dari ‘Aisyah bahwa Asma’ binti Syakal bertanya kepada Rasulullah tentang mandi haidh: “Salah seorang di antara kalian (wanita) mengambil air dan sidrahnya (daun pohon bidara) kemudian dia bersuci dan membaguskan bersucinya, kemudian dia menuangkan air di atas kepalanya lalu menggosok-gosokkannya dengan kuat sehingga air sampai pada kulit kepalanya, kemudian dia menyiramkan air ke seluruh badannya, lalu mengambil sepotong kain atau kapas yang diberi minyak wangi kasturi, kemudian dia bersuci dengannya. Maka Asma’ berkata: “Bagaimana aku bersuci dengannya?” Dia bersabda: “Maha Suci Allah” maka ‘Aisyah berkata kepada Asma’: “Engkau mengikuti (mengusap) bekas darah (dengan kain/kapas itu).” (HR. Muslim)
8. Telah berkata Ummu 'Athiyyah: Rasulullah Description: S.A.W. masuk (menengok) anak perempuannya yang wafat, lalu berkata: "Mandikanlah ia tiga kali, lima kali, atau lebih --kalau kau fikir perlu-- dengan air dan bidara, dan diakhir sekali campurlah dengan kapur barus. Maka apabila selesai, beritahukanlah kepadaku." Sesudah selesai lantas kami beritahukan kepadanya. Lalu ia berikan kepada kami kainnya, sambil berkata: "Pakaikanlah kain ini di badannya." (SR. Bukhari - Muslim)
 
Sumber : Wikipedia

Sunday, 12 July 2020

Sepuluh Komponen Kebugaran Jasmani Untuk Melawan COVID-19



Kita telah mengetahui dan sering mendengar istilah kebugaran jasmani. Tetapi kita belum tahu hakikat sebenarnya dari kebugaran jasmani. Hakikat dari kebugaran jasmani merupakan hal yang dibutuhkan tubuh agar mencapai tubuh yang bugar. Misalnya ketika mata mengantuk, maka kita berhak untuk mengistirahatkan tubuh terlebih dahulu.

Kebugaran jasmani menurut WHO organisasi kesehatan di seluruh dunia diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:

Sehat adalah fisik dan mental tubuh terbebas dari segala penyakit.

Bugar adalah kemampuan seseorang untuk melakukan kegiatan atau aktivitas sehari-hari secara maksimal, dan masih mempunyai cadangan energi tanpa mengalami kelelahan yag berlebihan.

Penggambaran tingkat kesehatan sesorang tidak hanya menjadi fungsi dari kebugaran jasmani, namun kebugaran jasmani juga memiliki fungsi untuk mengukur seseorang untuk melakukan kegiatan setiap harinya. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam kebugaran jasmani, yaitu:

Fisik : berkaitan dengan otot, tulang, dan bagian lemak.

Fungsi Organ : berkaitan dengan keefektifan kerja sistem jantung, pembuluh darah dan paru-paru atau sistem pernafasan.

Respon Otot : berkaitan dengan kecepatan, kelenturan, kelemahan, dan kekuatan otot.

Kebugaran jasmani yang dibutuhkan seseorang tentu berbeda-beda. Hal ini dikarenakan aktivitas semua orang tidak sama maka kebugaran jasmani akan bergantung pada sifat tantangan fisik yang dihadapi. Ada beberapa komponen penyusun dari kebugaran jasmani yang perlu Anda ketahui.  Terdapat 10 komponen kebugaran jasmani disertai dengan jenis latihan yang diperlukan ada;ah sebagai berikut.

1. Kekuatan (Streght)

Kekuatan merupakan kemampuan otot ketika digunakan untuk menerima beban sewaktu melakukan aktivitas atau melakukan kerja. Kekuatan otot , baik otot lengan ataupun otot kaki, dapat diperoleh dari latihan yang kontinyu dengan beban berat dan frekuensi sedikit. Latihan angkat beban dapat digunakan untuk melatih kekuatan otot lengan. Jika beban yang digunakan tersebut hanya dapat diangkat sekitar 10 kali saja. Contoh latihan untuk meningkatkan kekuatan sebagai berikut:

Squat jump : latihan ini dapat menambah kekuatan otot tungkai dan otot perut Anda.

Push up : latihan ini dapat menambah kekuatan otot lengan.

Sit up : selain dapat mengecilkan perut, latihan ini juga dapat membuat otot perut Anda menjadi semakin kuat.

Angkat beban : latihan ini digunakan untuk melatih kekuatan otot lengan. Lakukan latihan tersebut dengan frekuensi sedikit saja.

Back up : sama halnya seperti Sit up, back up dapat membantu meningkatkan kekuatan otot perut Anda.

2. Daya Tahan (Endurance)

Daya tahan adalah kemampuan seseorang dalam menggunakan sistem jantung, paru-paru atau sistem pernapasan, dan peredaran darahnya secara efektif dan efisien untuk menjalankan kerja secara terus menerus dan tidak pernah berhenti. Berkebalikan dengan latihan kekuatan, daya tahan dapat dilatih dengan beban yang tidak terlalu berat, namun dengan frekuensi yang lama dan dalam durasi waktu yang lama pula.

Contoh latihan untuk kebugaran jasmani bagian daya tahan antara lain adalah lari minimal 2 km, lari minimal 12 menit, lari multistage, angkat beban dengan berat yang ringan namun pengulangan dan jumlahnya diperbanyak serta lari naik turun bukit atau tanjakan dan turunan.

3. Daya Otot (Muscular Power)

Daya otot merupakan kemampuan seseorang untuk menggunakan kekuatan maksimum yang dikeluarkan dalam waktu yang sangat singkat. Selain itu, hal ini dapat juga dihubungkan dengan sistem anaerobik dalam proses pemenuhan sebuah energi. Daya otot dapat juga disebut daya ledak otot atau explosive power.

Latihan yang dapat menambah daya otot contohnya antara lain sebagai berikut:

Vertical jump yaitu gerakan meloncat ke atas, dapat melatih daya ledak otot tungkai.

Front jump yaitu gerakan meloncat ke depan, dapat juga melatih daya ledak otot tungkai.

Side jump yaitu gerakan meloncat ke samping, melatih explosive power dari otot tungkai.

4. Kecepatan (Speed)

Kecepatan atau speed merupakan kemampuan seseorang untuk mengerjakan gerakan secara kontinyu atau terus menerus dalam gerakan yang sama dengan waktu yang relatif singkat. Kecepatan sangat dibutuhkan dalam olahraga lari pendek 100 meter dan lari pendek 200 meter.

5. Daya Lentur (Flexibility)

Daya lentur atau flexibility merupakan tingkat penyesuaian seseorang pada segala aktifitas kerja secara efektif dan efisiens dengan cara penguluran tubuh yang baik. Jika seseorang memiliki kelenturan yang baik, maka orang tersebut akan dapat terhindar dari cidera.  Cidera bukan hanya dialami oleh seseorang yang berolahraga saja, tetapi juga dapat terjadi pada semua orang yang melakukan aktivitas fisik secara tiba-tiba. Misalnya saja mengambil gelas yang akan jatuh, jika orang itu lentur maka kecepatan dan ketepatan mengambil gelas tersebut tidak akan menimbulkan cidera. Contoh latihan atau olahraga untuk meningkatkan daya lentur antara lain adalah senam dan renang.

6. Kelincahan (Agility)

Kelincahan merupakan kemampuan seseorang merubah posisi pada area tertentu. Misalnya saja bergerak dari depan ke belakang lalu kembali ke depan, selain itu dari kiri ke kanan atau dari samping ke depan, hingga dari kiri ke tengah kemudian ke depan dan sebagainya. Olahraga yang sangat mengandalkan kelincahan adalah olahraga bulu tangkis. Atlet bulutangkis dituntut untuk dapat mengambil shuttlecock di manapun yang lawan arahkan asal masih masuk dalam garis lapangan. Sehingga atlet bulutangkis selain dituntut untuk memiliki teknik yang baik, kelincahan juga merupakan salah satu faktor yang paling penting.

7. Koordinasi (Coordination)

Koordinasi adalah kemampuan seseorang mengintegrasikan berbagai gerakan yang berbeda dan mampu mengkoordinasikan seluruh bagian tubuh dengan baik. Contoh latihan dari komponen kebugaran jasmani bagian koordinasi antara lain dengan cara memantulkan bola tenis ke tembok dengan tangan kanan kemudian menangkapnya lagi dengan tangan kiri begitu juga sebaliknya.

8. Keseimbangan (Balance)

Keseimbangan merupakan kemampuan seseorang mengendalikan tubuh sehingga gerakan-gerakan yang dilakukan dapat dimunculkan dengan baik dan benar. Senam merupakan salah satu cabang olahraga yang sangan mengandalkan balance atau keseimbangan ini. Contoh latihan untuk meningkatkan keseimbangan seperti berjalan di atas balok kayu selebar 10 cm yang memiliki ukuran panjang 10 meter, berdiri dengan satu kaki jinjit atau juga dengan sikap lilin.

9. Ketepatan (Accuracy)

Ketepatan merupakan kemampuan seseorang untuk mengendalikan gerak-gerak bebas tubuh terhadap suatu sasaran. Beberapa contoh olahraga yang membutuhkan keakuratan ini adalah memanah, bowling, sepak bola dan basket. Sepak bola membutuhkan ketepatan ketika menendang bola ke gawang lawan, begitu pun dengan bowling dan memanah yang memiliki target sasaran. Sedangkan bola basket membutuhkan ketepatan ketika memasukkan bola ke ring lawan. Contoh latihan untuk meningkatkan ketepatan diantaranya yaitu:

Melempar bola tenis ke tembok, sebelumnya tembok telah diberi sasaran atau diberi tanda terlebih dahulu.

Untuk lebih spesifik, langsung saja melatih ketepatan dengan memasukkan bola ke ring lawan untuk olahraga bola basket.

Untuk sepak bola dengan latihan menendang bola ke gawang yang dijaga oleh seorang penjaga gawang agar keakuratan lebih dapat diperhitungkan dan memiliki tantangan.

10. Reaksi (Reaction)

Reaksi merupakan kemampuan seseorang untuk segera bertindak  dan menanggapi rangsangan yang ditangkap oleh indera. Salah satu latihan yang dapat meningkatkan reaksi adalah olahraga tangkap bola.

Jika kita selalu melatih kebugaran tubuh, maka ada banyak hal yang dapat kita peroleh. Beberapa manfaat yaitu dapat meningkatkan sirkulasi darah dan kinerja jantung, dapat meningkatkan daya tahan dan kekuatan tubuh agar badan menjadi energik, memiliki respon dan reaksi tubuh yang tepat, mengurangi resiko kegemukan, terhindar dari cidera ketika beraktivitas dan sebagainya.

Selamat berolahraga, semoga selalu tetap sehat dan bugar!

Thursday, 9 July 2020

Cysticercosis



Definisi dan deskripsi penyakit:
Sistiserkosis hewan ternak dan liar disebabkan oleh tahap larva (metacestode) dari kestode keluarga Taeniidae (cacing pita), tahap dewasa di antaranya terjadi di usus manusia, anjing atau Canidae liar. Sistiserkosis sapi (terutama di Indonesia) otot) dan sistiserkosis babi (terutama di otot, sistem saraf pusat [SSP] dan hati) disebabkan oleh metacestode (cysticerci) dari cestodes manusia Taenia saginata dan T. solium, masing-masing. Cysticerci dari T. solium juga berkembang di SSP dan otot-otot manusia. Taenia asiatica adalah penyebab kurang luas dari sistiserkosis pada babi, dengan lokasi kista di hati dan jeroan dan cacing pita dewasa terjadi pada manusia. Sistiserkosis dan coenurosis domba dan kambing, dan kadang - kadang sapi, dengan kista terjadi di otot, otak, hati atau rongga peritoneum, disebabkan oleh T. ovis, T. multiceps dan T. hydatigena, dengan cacing pita dewasa terjadi di usus anjing dan anjing liar.

Kebanyakan infeksi cacing pita dewasa dan larva menyebabkan sedikit atau tidak ada penyakit. Pengecualian sangat parah, neurocysticercosis manusia yang berpotensi fatal (NCC) yang disebabkan oleh T. solium, dan kadang-kadang neurocoenurosis yang disebabkan oleh T. multiceps pada manusia. Parasit ini juga merupakan penyebab sesekali tanda-tanda otot atau mata pada manusia. 'Gid' yang disebabkan oleh T. multiceps pada ruminansia dapat memerlukan pembedahan atau pembantaian hewan. Coenurosis T. multiceps akut dan cysticercosis T. hydatigena pada domba dan kambing jarang tetapi bisa berakibat fatal. Cysticercosis menyebabkan kerugian ekonomi melalui kutukan daging dan jeroan yang terinfeksi.

Identifikasi agen:
Cacing pita Taenia dewasa rata, tersegmentasi dan besar, mencapai dari 20 hingga 50 cm (spesies pada anjing) hingga beberapa meter (spesies pada manusia). Di luar, scolex (kepala) memiliki empat pengisap otot dan mungkin memiliki rostellum, sering dipersenjatai dengan dua baris kait, panjang dan jumlah ini menjadi karakteristik jenis. Leher mengikuti scolex, dan ini diikuti oleh imatur dan kemudian oleh imatur segmen reproduksi, dan akhirnya segmen gravid diisi dengan telur. Struktur segmen, meskipun tidak dapat diandalkan, dapat membantu dalam identifikasi spesies. Taenia dewasa diakui pada postmortem atau melalui sebagian segmen atau telur dalam feses. Spesies Taenia tidak dapat dibedakan dengan struktur telur. Metacestode terdiri dari kandung kemih berisi cairan dengan satu atau lebih invaginasi protoscoleces. 'Cacing kandung kemih' ini masing-masing terdapat di dalam dinding kista di parasit-inang antarmuka. Struktur ini terdiri dari cysticercus atau coenurus. Metacestode sangat terlihat di pemeriksaan mayat dan inspeksi daging, tetapi infeksi ringan sering tidak terjawab. NCC dapat didiagnosis dengan teknik pencitraan.

Tes imunologi:
Infeksi Taenia manusia dewasa dapat dikenali dengan deteksi Taenia coproantigen dalam feses menggunakan uji immunosorbent terkait-enzim yang ditangkap oleh antigen (Ag-ELISA), tetapi tes ini tidak membedakan spesies. Tes komersial tersedia untuk mendeteksi sirkulasi antigen yang diturunkan parasit dalam serum sapi atau babi atau manusia dengan T. saginata atau T. Solium sistiserkosis. Penggunaan teknik berbasis DNA spesifik spesies tetap eksperimental.

Tes serologis:
Tes antibodi dalam serum saat ini tidak digunakan untuk diagnosis sistiserkosis pada hewan kecuali untuk tujuan epidemiologis. Tes tersedia untuk serologis diagnosis NCC pada manusia.

Persyaratan untuk vaksin:
Antigen vaksin yang sangat baik telah diidentifikasi untuk metacestodes, tetapi tidak untuk tahap dewasa T. ovis, T. multiceps, T. saginata dan T. solium.  Vaksin T. ovis terdaftar di Selandia Baru, tetapi tidak tersedia secara komersial. T. Solium vaksin sedang menjalani langkah-langkah menuju pendaftaran dan ketersediaan komersial. Kombinasi dari pengobatan vaksinasi dan oxfendazole (OFZ) sangat efektif dalam kontrol eksperimental alami penularan ke babi.

A.   PENDAHULUAN
Metacestodes (atau cestode larva) dari Taenia spp. cacing pita adalah penyebab sistiserkosis di berbagai peternakan dan hewan liar dan manusia. Cacing pita dewasa ditemukan di usus kecil inang karnivora definitif: manusia, anjing, dan anjing liar. Taenia saginata pada manusia menyebabkan sistiserkosis sapi, yang terjadi secara virtual di seluruh dunia, tetapi khususnya di Afrika, Amerika Latin, Kaukasia dan Asia Selatan / Tengah dan timur Negara-negara Mediterania. Infeksi terjadi di banyak negara di Eropa dan secara sporadis di Amerika Serikat, Kanada, Australia dan Selandia Baru.

Taenia solium manusia menyebabkan sistiserkosis babi dan human neurocysticercosis (NCC). Ini ditemukan terutama di Meksiko, Amerika Tengah dan Selatan, sub-Sahara Afrika, negara-negara non-Islam di Asia, termasuk India dan China (Republik Rakyat) di daerah dengan sanitasi buruk dan babi-babi pemulung bebas. Cysticerci dari T. asiatica manusia di Asia Tenggara terjadi di hati babi Anjing dan anjing liar adalah tuan rumah yang pasti dari metacestodes domba, kambing dan hewan pemamah biak lainnya, yang terjadi di sebagian besar dunia, meskipun T. multiceps telah menghilang dari Amerika Serikat, Australia dan Selandia Baru. Taenia ovis terjadi pada otot domba, T. multiceps di otak (kadang-kadang di otot) domba, kambing, kadang-kadang ruminansia lain dan jarang manusia, dan T. hydatigena ditemukan di rongga peritoneum dan pada hati ruminansia dan babi. Diagnosis pada hewan biasanya didasarkan pada identifikasi metacestode di inspeksi daging atau necropsy. Orang dewasa di host definitif diperoleh dengan menelan metacestode yang layak di daging dan jeroan yang belum dimasak atau dibekukan secara memadai untuk membunuh parasit. Segmen gravid dilepaskan oleh cacing pita dewasa. Ini melepaskan sekitar setengah telur mereka melalui situs membobol massa tinja. Sekitar 50% segmen T. saginata dan canen taeniid saat itu bermigrasi secara spontan keluar dari anus untuk jatuh ke tanah, sisa segmen dilewatkan bersama feses.
Segmen bermigrasi menumpahkan sebagian besar sisa telur mereka di tanah dan pembiakan atau di feses, masing-masing. Telur dapat disebarluaskan dari feses melalui sarana fisik atau inang pengangkut. Terutama lalat menelan telur dan mengangkut telur ini, sehingga telur disimpan pada intensitas tinggi dalam 150 m dari tinja dan pada intensitas rendah untuk 10 km (Lawson & Gemmell, 1990). Segmen Taenia solium, bagaimanapun, sering dilewatkan dalam rantai dan lalat tidak penting dalam penyebaran. Telur segera infektif ketika dilewatkan. Hewan diperoleh infeksi dari konsumsi makanan atau air yang terkontaminasi dengan telur lengket, konsumsi segmen atau feses mengandung telur. Ada kemungkinan bahwa babi juga memperoleh T. solium dengan coprophagy dari kotoran babi yang telah dimakan segmen. Manusia dapat terinfeksi T. solium melalui telur pada sayuran, air, dll terkontaminasi oleh feses, atau makanan yang terkontaminasi oleh tangan yang kotor, oleh penularan faeco-oral atau melalui retroperistalsis dan penetasan telur secara internal. Cluster penyakit di mana pembawa manusia ada. Diagnosis rutin taeniosis terus terutama didasarkan pada morfologi cacing pita dewasa dan adanya telur atau segmen dalam kotoran inang definitif yang terinfeksi.
Taenia spp. digolongkan dalam Kelompok Risiko 2 untuk infeksi pada manusia dan harus ditangani dengan tindakan yang sesuai dijelaskan dalam Bab 1.1.4 Keamanan hayati dan biosekuriti: Standar untuk mengelola risiko biologis pada hewan fasilitas laboratorium dan hewan. Tindakan pemeliharaan hayati harus ditentukan dengan analisis risiko seperti dijelaskan dalam Bab 1.1.4. 

B. TEKNIK DIAGNOSA

Identifikasi Agen

1.    Taenia saginata (Cacing pita sapi)
Orang dewasa itu besar, panjangnya 4-8 meter dan bisa bertahan bertahun-tahun, biasanya sendirian, di usus kecil manusia. Scolex (atau kepala) tidak memiliki rostellum atau kait. Fitur morfologis yang berguna disajikan dalam Tabel 1 (Khalil et al., 1994; Loos-Frank, 2000; Soulsby, 1982; Verster, 1969). Segmen gravid miliki > 14 cabang uterus. Mereka biasanya meninggalkan tuan rumah sendirian dan banyak bermigrasi secara spontan dari dubur.
Telur-telur tersebut adalah telur 'taeniid' yang khas yang tidak dapat dibedakan secara morfologis dari Taenia lain atau Echinococcus spp. telur. Telur taeniid berukuran sekitar 25–45 μm; mengandung onkosfer (atau embrio hexacanth) membawa tiga pasang kait; memiliki embriofor kental, coklat, lurik radial atau 'shell' terdiri dari blok; dan ada lapisan luar, oval, selaput, kulit telur yang sebenarnya hilang dari telur tinja.
Metacestodes (Cysticercus bovis) dari T. saginata biasanya terjadi pada otot lurik sapi (sapi campak), tetapi juga kerbau, dan berbagai cervidae. Kista yang layak berbentuk oval, berisi cairan, sekitar 0,5-1 × 0,5 cm, tembus cahaya dan mengandung skoleks putih tunggal yang secara morfologis mirip dengan skoleks cacing pita dewasa masa depan. Mereka terkandung dalam kapsul berserat tipis yang diproduksi inang. Kista sesekali ditemukan di hati, paru-paru, ginjal, lemak dan di tempat lain.

2.    Taenia solium (Cacing pita babi)
Taenia solium biasanya lebih kecil dari T. saginata yang 1-5 meter dan tampaknya bertahan untuk yang lebih pendek periode, dari beberapa bulan hingga 1 tahun. Scolex memiliki rostellum bersenjata yang membawa dua baris kait. Segmen gravid memiliki cabang rahim <14 biasanya="" dan="" dengan="" diikat="" inang="" meninggalkan="" o:p="" pasif="" secara="" spontan="" tetapi="" tidak="" tinja.="">
Metacestodes (C. cellulosae) terjadi pada otot dan sistem saraf pusat (SSP) babi (babi). campak), beruang dan anjing, dan pada otot, jaringan subkutan, SSP dan, jarang mata, dari manusia. Kista sangat mirip dengan T. saginata. Mereka memiliki skoleks bertuliskan rostellum dan kait mirip dengan orang dewasa. Kadang-kadang, di tangki otak manusia, kista dapat berkembang di ruang angkasa tersedia sebagai kista racemose hingga 10 cm atau lebih yang tidak memiliki skoleks.

3. Taenia asiatica
Terkait erat dengan tetapi secara genetik dapat dibedakan dari T. saginata, orang dewasa pada manusia memiliki ovarium, otot sfingter vagina dan kantung cirrus seperti yang dimiliki T. saginata, tetapi T. asiatica memiliki rostellum kecil dan tonjolan-tonjolan posterior pada beberapa segmen dan 16-32 tunas uterus dengan 57-99 ranting uterus aktif satu sisi. Segmen dilewatkan secara tunggal dan sering secara spontan.  Metacestodes (C. viscerotropica) kecil, sekitar 2 mm, dan memiliki rostellum dan dua baris kait primitif, orang-orang dari barisan luar menjadi banyak dan kecil. Mereka terjadi terutama di parenkim dan di permukaan hati babi peliharaan dan babi liar; mereka dapat ditemukan di mesenteries dan, jarang, dijelaskan pada sapi, kambing, dan monyet.

4. Taenia ovis
Dewasa di usus anjing dan anjing liar mencapai 1-2 meter panjangnya dan memiliki senjata rostellum; jumlah dan ukuran kait dapat membantu diferensiasi Taenia spp. (Tabel 1). Metacestodes (C. ovis) yang terjadi pada otot-otot (tulang dan jantung) domba dan kambing yang jarang mencapai 0,5-1,0 × 0,5 cm. Parasit serupa (T. ovis krabbei) terjadi pada gigi taring liar, anjing, dan otot rusa dan rusa di daerah utara.

5. Taenia hydatigena
Orang dewasa memiliki panjang hingga 1 meter atau lebih, ditemukan di usus anjing dan anjing liar, dan memiliki rostellum bersenjata (Tabel 1). Metacestodes (C. tenuicollis) bisa besar, dari 1 cm hingga 6-7 cm, dan skoleks memiliki leher yang panjang. Mereka ditemukan melekat pada omentum, mesenterium dan kadang-kadang menonjol dari permukaan hati, terutama domba, tetapi juga dari hewan peliharaan ruminansia dan babi liar lainnya. Serigala dan rusa / siklus rusa ada di garis lintang utara, di mana metacestode ditemukan di hati inang perantara; canids adalah host definitif.

6. Taenia multicep
Orang dewasa, yang panjangnya hingga satu meter di usus canid, memiliki rostellum bersenjata (Tabel 1). Metacestodes (Coenurus cerebralis) adalah kista putih besar yang diisi cairan yang mungkin memiliki beberapa ratus scoleces yang diinvaginasi di dinding dalam kelompok. Coenuri tumbuh hingga 5 cm atau lebih dalam ukuran di otak domba, otak dan jaringan intermuskular kambing, dan juga otak sapi, ruminansia liar dan kadang-kadang manusia. Kista menginduksi tanda-tanda neurologis bahwa pada domba disebut 'gid', 'kokoh', dll.

7. Diagnosis parasit dewasa pada manusia dan hewan
Semua parasit atau feses dari manusia dengan kemungkinan infeksi T. solium harus ditangani dengan tindakan pencegahan keamanan yang sesuai untuk mencegah infeksi yang tidak disengaja dengan telur. Taenia multiceps dan Echinocccus spp. juga menginfeksi manusia dan, seperti telur taeniid pada anjing tidak dapat dibedakan dengan tingkat spesies atau genus, di daerah di mana ini endemik, tindakan pencegahan keamanan yang sama berlaku.

Selain Taenia spp., Manusia dan karnivora anjing dapat terinfeksi oleh Diphyllobothrium dan Hymenolepis spp., sementara enam gen cestode lainnya kadang-kadang dicatat pada manusia.  Ini dijelaskan oleh Lloyd (2011) dan semua dapat dibedakan dari Taenia spp. oleh telur / morfologi proglottid. Namun baru-baru ini, T. taeniaeformis dengan telur taeniid yang tidak dapat dibedakan secara morfologis dicatat pada seorang anak. Pada canids, Echinococcus spp. telur tidak dapat dibedakan dari Taenia spp. telur, tetapi kehadiran yang pertama dapat ditentukan oleh ukuran cacing pita dan Echinococcus-antigen spesifik menangkap enzim assay immunosorbent terkait (Ag-ELISA) (Allan et al., 1992). Cacing lain di canids, Dipylidium, Diplopylidium, Mesocestoides dan Diphyllobothrium spp., Memiliki telur dan proglottid yang berbeda secara morfologis (Lloyd, 2011; Soulsby, 1982). Cestode dewasa dapat dikeluarkan dari manusia menggunakan anthelmintik diikuti oleh pencahar garam dan diidentifikasi berdasarkan morfologi skoleks dan proglottid. Alat deteksi diri digunakan di Meksiko (Flisser et al., 2011); staf medis di pusat-pusat kesehatan disediakan dengan segmen cacing pita yang diawetkan dalam botol dan manual pertanyaan untuk meminta pasien untuk mencoba mengidentifikasi pembawa. Pada hewan, pembersihan arecoline bermanfaat; sekali lagi, cacing pita yang ditemukan diidentifikasi secara morfologis. Arecoline tidak lagi tersedia sebagai anthelmintik, tetapi dapat diperoleh dari perusahaan pemasok bahan kimia. Karena memiliki efek samping, hewan tua, lemah dan hamil harus dikeluarkan dari perawatan.

Dosis 4 mg / kg harus menghasilkan pembersihan dalam waktu kurang dari 30 menit, asalkan makanan telah ditahan selama beberapa jam (mis. Berikan kepada anjing dengan perut kosong). Pijat berjalan dan perut kasus bandel atau enema untuk anjing sembelit dapat menghindari penggunaan dosis kedua (2 mg / kg), yang harus diberikan hanya dengan hemat. Untungnya, pembersihan arecoline digantikan dengan cepat oleh ELISA antigen copro untuk Echinococcus spp. dan mungkin di masa depan ini juga akan menjadi kasus untuk Taenia spp. Cacing pita dapat dipulihkan setelah perawatan anthelmintik, dan membutuhkan pembuangan yang tepat.

Verster (1969) dan Loos-Frank (2000) telah memberikan deskripsi diagnosis parasit dari semua Taenia spp. manusia dan hewan, inangnya dan distribusi geografis. Kunci untuk identifikasi adalah diberikan oleh Khalil et al. (1994). Loos-Frank (2000) memberikan metode untuk pemasangan, pemasangan, pembagian dan pewarnaan proglottid. Cacing, setelah relaksasi dalam air, bisa ternoda langsung, meski kecil cacing harus diperbaiki dalam etanol selama beberapa menit. Atau, cacing dapat diperbaiki dan disimpan 70% etanol mengandung 10% asam laktat, skoleks dan cacing disimpan secara terpisah. Rostellum, kait dan pengisap dari skoleces atau protoscoleces harus dipotong dan dipasang secara langsung di Berlese cairan (dibuat dengan melarutkan 15 g gum arabic dalam 20 ml air suling dan menambahkan 10 ml sirup glukosa dan 5 ml asam asetat, keseluruhannya kemudian jenuh dengan chloral hydrate, hingga 100 g). Noda adalah laktat asam carmine: 0,3 g carmine dilarutkan pada titik didih dalam 42 ml asam laktat dan 58 ml air suling, 5 ml larutan besi klorida 5% (FeCl2.4H2O) ditambahkan setelah pendinginan dan dapat digunakan lagi untuk menyegarkan solusi yang lebih lama. Spesimen dibiarkan tenggelam di dalam botol dan dibiarkan di beberapa noda untuk beberapa menit lagi agar noda bisa menembus. Spesimen kemudian dicuci dalam air keran berumur 1 hari sampai berwarna biru. Mereka kemudian difiksasi dalam 50-70% etanol dan didehidrasi dengan sedikit tekanan foil plastik menjaga ruasnya rata. Metil ester asam salisilat digunakan sebagai pembersih.

Ketika segmen pecah dari ujung cacing, beberapa telur dikeluarkan di usus dan bisa jadi ditemukan di kotoran. Sekitar 50% segmen T. saginata, T. asiatica dan anjing Taenia spp. dapat bermigrasi secara spontan dari anus dan ini cenderung diperhatikan (> 95% pada kasus T. saginata). Ketika segmen bermigrasi, telur lengket disimpan di daerah perianal dan mungkin dideteksi dengan aplikasi dan pemeriksaan selotip. Tanda-tanda ini jauh lebih kecil kemungkinannya untuk T. solium. Segmen ketiganya dapat ditemukan pada faeces, tetapi diteruskan secara intermiten. Telur dibatalkan massa tinja tetapi bagian yang bermigrasi membatalkan sekitar separuh telurnya di jalur di permukaan tinja (untuk dimakan oleh lalat) dan daerah sekitarnya dan di tanah setelah jatuh dari anus. Bahkan jika a segmen telah menumpahkan semua telurnya, dapat diidentifikasi sebagai cestode oleh banyak berkapur konsentris sel-sel yang terkandung dalam jaringannya. Kotoran, setelah dicampur untuk mengurangi agregasi, dapat diperiksa untuk telur. Berbagai teknik digunakan di seluruh dunia dan termasuk ekstraksi etil asetat dan pengapungan. Untuk yang terakhir, NaNO3 atau larutan gula Sheather (500 g gula, 6,6 ml fenol, 360 ml air), dengan gravitasi spesifik yang lebih tinggi, lebih unggul daripada NaCl jenuh sebagai media pengapungan untuk telur taeniid.

Flotasi dapat dilakukan di ruang flotasi kualitatif atau kuantitatif yang dipasarkan secara komersial atau oleh flotasi sentrifugal yang mencakup teknik Wisconsin yang dimodifikasi (tinja, diencerkan dalam air, adalah disaring dan disentrifugasi, pelet disuspensikan kembali dalam gula atau larutan Sheather dan disentrifugasi pada 300 g selama 4 menit). Telur yang menempel pada slip penutup kemudian dapat dideteksi. Pemeriksaan telur tinja akan kurang sensitif untuk T. solium dibandingkan spesies lainnya. Spesies tidak dapat ditentukan oleh telur morfologi. Cheesbrough (2005; 2006) melaporkan bahwa telur T. saginata dapat dibedakan dari T solium pada pewarnaan dengan Ziehl-Neelsen seperti yang digunakan untuk basil tahan asam: embriofor lurik dari T saginata adalah asam cepat (noda merah), bahwa T. solium tidak cepat asam. Probe DNA, rantai polimerase Reaksi (PCR) dan PCR restriksi fragmen panjang polimorfisme (RFLP), telah terbukti bermanfaat untuk diferensiasi meskipun sebagian besar digunakan secara eksperimental untuk membedakan telur feses dari T. solium, T. Saginata dan T. asiatica (Gasser & Chilton, 1995; Gonzalez et al., 2004). Sementara sama berlaku untuk diferensiasi pada anjing, pemeriksaan yang sama belum dilakukan untuk Taenia spp.

Ag-ELISA untuk mendeteksi Taenia coproantigen tersedia dari Cestode Diagnostics, Universitas Indonesia Salford2 dan dapat dikembangkan secara mandiri jika fasilitas laboratorium tersedia (Allan et al., 1992). Ag-ELISA ini dikembangkan secara eksperimental oleh Allan et al. (1992) untuk mendeteksi coproantigen pada anjing, dan jadi, dengan kontrol yang tepat, dapat digunakan untuk mendeteksi infeksi Taenia pada spesies ini. Tekniknya, namun, hanya Taenia-genus spesifik. Tes ini adalah fase padat, uji microwell dengan sumur yang dilapisi dengan poliklonal, antibodi khusus anti-Taenia (TSA). Berikut ini adalah teknik dasar (bersambung)

Referensi
Chapter 3.9.5 WHO/FAO/OIE Guidelines for the surveillance, prevention and control of taeniosis/cysticercosis Editor: K.D. Murrell Associate Editors: P. Dorny A. Flisser S. Geerts N.C. Kyvsgaard D. McManus T. Nash Z. Pawlowski


CYSTICERCOSIS







Cysticercosis adalah infeksi jaringan yang disebabkan oleh bentuk cacing pita babi yang masih muda. [6] [1] Orang-orang mungkin memiliki sedikit atau tanpa gejala selama bertahun-tahun. [3] [2] Dalam beberapa kasus, terutama di Asia, benjolan padat antara satu dan dua sentimeter dapat terbentuk di bawah kulit. [1] Setelah berbulan-bulan atau bertahun-tahun, benjolan-benjolan ini bisa terasa sakit dan bengkak, lalu sembuh. [3] [2] Bentuk spesifik yang disebut neurocysticercosis, yang mempengaruhi otak, dapat menyebabkan gejala neurologis. [2] Di negara-negara berkembang, ini adalah salah satu penyebab kejang yang paling umum. [2]

Cysticercosis biasanya didapat dengan memakan makanan atau minum air yang terkontaminasi oleh telur cacing pita dari kotoran manusia. [1] Di antara makanan, sayuran mentah merupakan sumber utama. [1] Telur cacing pita hadir dalam kotoran seseorang yang terinfeksi cacing dewasa, suatu kondisi yang dikenal sebagai taeniasis. [2] [7] Taeniasis, dalam arti sempit, adalah penyakit yang berbeda dan disebabkan oleh makan kista pada daging babi yang tidak dimasak dengan matang. [1] Orang yang hidup dengan seseorang dengan cacing pita babi memiliki risiko lebih besar terkena sistiserkosis. [7] Diagnosis dapat dibuat dengan aspirasi kista. [2] Mengambil gambar otak dengan computer tomography (CT) atau magnetic resonance imaging (MRI) paling berguna untuk diagnosis penyakit di otak. [2] Peningkatan jumlah jenis sel darah putih, yang disebut eosinofil, dalam cairan tulang belakang otak dan darah juga merupakan indikator. [2]

Infeksi dapat dicegah secara efektif dengan kebersihan pribadi dan sanitasi: [1] ini termasuk memasak daging babi dengan baik, toilet yang layak dan praktik sanitasi, dan akses yang lebih baik ke air bersih. [1] Memperlakukan mereka yang menderita taeniasis penting untuk mencegah penyebaran. [1] Mengobati penyakit ketika tidak melibatkan sistem saraf mungkin tidak diperlukan. [2] Perawatan mereka yang mengalami neurocysticercosis mungkin dengan obat praziquantel atau albendazole. [1] Ini mungkin diperlukan untuk jangka waktu yang lama. [1] Steroid, untuk anti-inflamasi selama perawatan, dan obat anti-kejang juga mungkin diperlukan. [1] Operasi terkadang dilakukan untuk mengangkat kista. [1]

Cacing pita babi sangat umum di Asia, Afrika Sub-Sahara, dan Amerika Latin. [2] Di beberapa daerah diyakini bahwa hingga 25% orang terkena dampaknya. [2] Di negara maju sangat jarang. [8] Di seluruh dunia pada 2015 itu menyebabkan sekitar 400 kematian. [5] Sistiserkosis juga menyerang babi dan sapi, tetapi jarang menimbulkan gejala karena sebagian besar tidak hidup cukup lama. [1] Penyakit ini telah terjadi pada manusia sepanjang sejarah. [8] Ini adalah salah satu penyakit tropis yang terabaikan. [9]

Tanda dan gejala
Otot
Cysticerci dapat berkembang di otot apa pun. Invasi otot dapat menyebabkan peradangan otot, disertai demam, eosinofilia, dan peningkatan ukuran, yang dimulai dengan pembengkakan otot dan kemudian berkembang menjadi atrofi dan jaringan parut. Dalam kebanyakan kasus, ini asimptomatik sejak cysticerci mati dan menjadi kalsifikasi. [10]

Sistem saraf
Istilah neurocysticercosis umumnya diterima untuk merujuk pada kista di parenkim otak. Ini muncul dengan kejang dan, lebih jarang, sakit kepala. [11] Cysticerca di parenkim otak biasanya berdiameter 5-20 mm. Pada ruang subarachnoid dan fisura, lesi dapat mencapai diameter 6 cm dan mengalami lobulasi. Mereka mungkin banyak dan mengancam jiwa. [12]

Kista yang terletak di dalam ventrikel otak dapat memblokir aliran cairan serebrospinal dan muncul dengan gejala peningkatan tekanan intrakranial. [13] Neurocysticercosis racemose mengacu pada kista di ruang subarachnoid. Ini kadang-kadang dapat tumbuh menjadi massa berlobus besar yang menyebabkan tekanan pada struktur sekitarnya. [14] Neurocysticercosis sumsum tulang belakang paling umum menyajikan gejala-gejala seperti nyeri punggung dan radiculopathy. [15]

Mata
Dalam beberapa kasus, cysticerci dapat ditemukan di bola mata, otot ekstraokular, dan di bawah konjungtiva (subconjunctiva). Tergantung pada lokasi, mereka dapat menyebabkan kesulitan penglihatan yang berfluktuasi dengan posisi mata, edema retina, pendarahan, penurunan penglihatan atau bahkan kehilangan penglihatan. [10]

Kulit
Kista subkutan adalah dalam bentuk nodul yang kuat dan bergerak, terutama terjadi pada batang dan ekstremitas. [16] Nodul subkutan terkadang terasa nyeri.


Penyebab
Siklus hidup Taenia solium
Penyebab sistiserkosis manusia adalah bentuk telur Taenia solium (sering disingkat T. solium dan juga disebut cacing pita babi), yang ditularkan melalui rute oral-fecal. Telur secara tidak sengaja tertelan dari air atau sayuran yang terkontaminasi. Telur memasuki usus tempat mereka berkembang menjadi larva. Larva memasuki aliran darah dan menyerang jaringan inang, di mana mereka berkembang menjadi larva yang disebut cysticerci. Larva cysticercus menyelesaikan pengembangan dalam waktu sekitar 2 bulan. Bentuk semitransparanen, putih opalescent, dan memanjang oval dan dapat mencapai panjang 0,6 hingga 1,8 cm. [10]
Diagnosa
Metode tradisional untuk menunjukkan telur cacing pita atau proglottid dalam sampel tinja hanya mendiagnosis taeniasis, pengangkutan tahap cacing pita dari siklus hidup. [7] Hanya sebagian kecil pasien dengan sistiserkosis yang akan mengalami cacing pita, sehingga penelitian feses tidak efektif untuk diagnosis. [17] Cysticercosis ofthalmic dapat didiagnosis dengan memvisualisasikan parasit di mata dengan fundoscopy.
Dalam kasus sistiserkosis manusia, diagnosis adalah masalah sensitif dan membutuhkan biopsi jaringan yang terinfeksi atau instrumen canggih. [18] Telur Taenia solium dan proglottid yang ditemukan dalam feses, ELISA, atau elektroforesis gel poliakrilamida hanya mendiagnosis taeniasis dan bukan sistiserkosis. Tes radiologis, seperti X-ray, CT scan yang menunjukkan "lesi otak yang meningkatkan cincin", dan MRI, juga dapat digunakan untuk mendeteksi penyakit. Sinar-X digunakan untuk mengidentifikasi larva yang terkalsifikasi dalam jaringan subkutan dan otot, dan CT scan dan MRI digunakan untuk menemukan lesi di otak. [19] [20]
Serologis
Antibodi terhadap cysticerci dapat didemonstrasikan dalam serum dengan uji enzim terkait immunoelectrotransfer blot (EITB) dan dalam CSF oleh ELISA. Uji imunoblot menggunakan lentil-lektin (aglutinin dari Lens culinaris) sangat sensitif dan spesifik. Namun, individu dengan lesi dan kalsifikasi intrakranial mungkin seronegatif. Dalam uji imunoblot CDC, antibodi spesifik sistiserkosis dapat bereaksi dengan antigen glikoprotein struktural dari kista larva Taenia solium. [7] Namun, ini terutama merupakan alat penelitian yang tidak tersedia secara luas dalam praktik klinis dan hampir tidak dapat diperoleh di rangkaian terbatas sumber daya.
Neurocysticercosis
Diagnosis neurocysticercosis terutama bersifat klinis, berdasarkan presentasi gejala dan temuan studi pencitraan yang sesuai.
Imaging
Neuroimaging dengan CT atau MRI adalah metode diagnosis yang paling berguna. CT scan menunjukkan kista terkalsifikasi dan tidak terkalsifikasi, serta membedakan kista aktif dan tidak aktif. Lesi kistik dapat menunjukkan peningkatan cincin dan lesi peningkatan fokus. Beberapa lesi kistik, terutama yang di ventrikel dan ruang subaraknoid mungkin tidak terlihat pada CT scan, karena cairan kista isodense dengan cairan serebrospinal (CSF). Dengan demikian diagnosis kista ekstraparenkimal biasanya bergantung pada tanda-tanda seperti hidrosefalus atau meninges basilar yang meningkat. Dalam kasus seperti CT scan dengan kontras intraventrikular atau MRI dapat digunakan. MRI lebih sensitif dalam mendeteksi kista intraventrikular. [21] [22]
CSF
Temuan CSF termasuk pleositosis, peningkatan kadar protein dan kadar glukosa tertekan; tetapi ini mungkin tidak selalu ada.
Pencegahan
Sistiserkosis dianggap sebagai "penyakit siap-alat" menurut WHO. [23] Satuan Tugas Internasional untuk Pemberantasan Penyakit pada tahun 1992 melaporkan bahwa sistiserkosis berpotensi diberantas. [24] Ini layak karena tidak ada tempat penampungan hewan selain manusia dan babi. Satu-satunya sumber infeksi Taenia solium untuk babi adalah dari manusia, inang yang pasti. Secara teoritis, memutus siklus hidup tampaknya mudah dengan melakukan strategi intervensi dari berbagai tahap dalam siklus hidup. [25]
Sebagai contoh, Kemoterapi masif orang yang terinfeksi, peningkatan sanitasi, dan pendidikan orang adalah cara utama untuk menghentikan siklus, di mana telur dari kotoran manusia ditransmisikan ke manusia lain dan / atau babi.
Memasak daging babi atau membekukannya dan memeriksa daging adalah cara yang efektif untuk menghentikan siklus hidup
Manajemen babi dengan merawat mereka atau memvaksinasi mereka adalah kemungkinan lain untuk campur tangan.
Pemisahan babi dari kotoran manusia dengan mengurungnya di kandang tertutup. Di negara-negara Eropa Barat pasca Perang Dunia II, industri babi berkembang pesat dan sebagian besar babi ditampung. [26] Ini adalah alasan utama untuk sistiserkosis babi yang sebagian besar dihilangkan dari wilayah tersebut. Ini tentu saja bukan jawaban cepat untuk masalah di negara-negara berkembang.
Babi
Strategi intervensi untuk memberantas sistiserkosis termasuk pengawasan babi dalam fokus penularan dan pengobatan kemoterapi masif manusia. [24] Pada kenyataannya, kontrol T. solium dengan intervensi tunggal, misalnya, dengan hanya memperlakukan populasi manusia tidak akan berhasil karena babi yang terinfeksi masih dapat melanjutkan siklus. Strategi yang diusulkan untuk pemberantasan adalah melakukan intervensi multilateral dengan memperlakukan populasi manusia dan babi. [27] Ini layak karena mengobati babi dengan oxfendazole telah terbukti efektif dan sekali dirawat, babi dilindungi dari infeksi lebih lanjut selama minimal 3 bulan. [28]
”Pengobatan”
Bahkan dengan perawatan bersamaan antara manusia dan babi, eliminasi total sulit dicapai. Dalam satu penelitian yang dilakukan di 12 desa di Peru, manusia dan babi diperlakukan dengan praziquantel dan oxfendazole, dengan cakupan lebih dari 75% pada manusia dan 90% pada babi [29] Hasilnya menunjukkan penurunan prevalensi dan kejadian di area intervensi; Namun efeknya tidak sepenuhnya menghilangkan T. solium. Alasan yang mungkin termasuk cakupan yang tidak lengkap dan infeksi ulang. [30] Meskipun T. solium dapat dihilangkan melalui perawatan masal populasi manusia dan babi, itu tidak berkelanjutan. [27] Selain itu, baik pembawa cacing pita manusia dan babi cenderung menyebarkan penyakit dari daerah endemik ke non-endemik yang mengakibatkan wabah cysticercosis secara berkala atau wabah di daerah baru. [31] [32]
Vaksin
Mengingat fakta bahwa babi adalah bagian dari siklus hidup, vaksinasi babi adalah intervensi lain yang layak untuk menghilangkan sistiserkosis. Studi penelitian telah berfokus pada vaksin terhadap parasit cestode, karena banyak jenis sel kekebalan yang ditemukan mampu menghancurkan cysticercus. [33] Banyak kandidat vaksin diekstraksi dari antigen cestoda yang berbeda seperti Taenia solium, T. crassiceps, T. saginata, T. ovis dan target oncosphere dan / atau cysticerci. Pada tahun 1983, Molinari et al. melaporkan kandidat vaksin pertama terhadap cysticercosis babi menggunakan antigen dari cysticercus cellulosae yang diambil dari infeksi alami. [34] Baru-baru ini, vaksin yang diekstraksi dari antigen 45W-4B hasil rekayasa genetika telah berhasil diuji pada babi dalam kondisi eksperimental. [35] Jenis vaksin ini dapat melindungi terhadap sistiserkosis pada jenis T. solium Cina dan Meksiko. Namun, belum diuji dalam kondisi lapangan endemik, yang penting karena kondisi realistis di lapangan sangat berbeda dari kondisi eksperimental, dan ini dapat menghasilkan perbedaan besar dalam kemungkinan infeksi dan reaksi kekebalan. [33]
Meskipun vaksin telah berhasil dihasilkan, kelayakan produksi dan penggunaannya pada babi yang tinggal di pedesaan masih merupakan tantangan. Jika vaksin harus disuntikkan, beban kerja dan biaya administrasi vaksin untuk babi akan tetap tinggi dan tidak realistis. [33] Insentif menggunakan vaksin oleh pemilik babi akan berkurang jika administrasi vaksin untuk babi membutuhkan waktu dengan menyuntikkan setiap babi di ternak mereka. Vaksin oral hipotetis diusulkan untuk lebih efektif dalam kasus ini karena dapat dengan mudah dikirim ke babi dengan makanan. [33]
Vaksin 3PVAC
Vaksin yang didasari oleh 3 peptida yang diproduksi secara sintetis (S3Pvac) telah membuktikan kemanjurannya dalam kondisi penularan alami. [36] Vaksin S3PVAC sejauh ini, dapat dianggap sebagai kandidat vaksin terbaik untuk digunakan di daerah endemis seperti Meksiko (20). S3Pvac terdiri dari tiga peptida pelindung: KETc12, KETc1 dan GK1, yang urutannya termasuk antigen asli yang hadir dalam berbagai tahap perkembangan T. solium dan parasit cestode lainnya. [33] [37]
Babi tidak terinfeksi dari desa-desa di Meksiko divaksinasi dengan S3Pvac dan vaksin mengurangi 98% jumlah cysticerci dan 50% jumlah prevalensi. [36] [38] Metode diagnostik melibatkan pemeriksaan necropsy dan lidah babi. Kondisi tantangan alami yang digunakan dalam penelitian ini membuktikan kemanjuran vaksin S3Pvac dalam pengendalian transmisi T. solium di Meksiko. [33] Vaksin S3Pvac dimiliki oleh Universitas Otonomi Nasional Meksiko dan metode produksi vaksin berskala tinggi telah dikembangkan. [33] Validasi vaksin dalam perjanjian dengan Sekretaris Kesehatan Hewan di Meksiko saat ini sedang dalam proses penyelesaian. [39] Diharapkan juga bahwa vaksin ini akan diterima dengan baik oleh pemilik babi karena mereka juga kehilangan pendapatan jika babi terinfeksi cysticercosis. [39] Vaksinasi babi terhadap sistiserkosis, jika berhasil, berpotensi dapat berdampak besar pada pengendalian penularan karena tidak ada peluang infeksi ulang begitu babi mendapat vaksinasi.
Lain-lain
Sistiserkosis juga dapat dicegah dengan pemeriksaan rutin terhadap daging dan kecaman terhadap daging yang sangat sedikit oleh pemerintah setempat dan dengan menghindari produk daging yang dimasak sebagian. Namun, di daerah-daerah di mana makanan langka, daging yang terinfeksi kista dapat dianggap sebagai limbah karena daging babi dapat menghasilkan protein berkualitas tinggi. [40] Kadang-kadang, babi yang terinfeksi dikonsumsi dalam wilayah tersebut atau dijual dengan harga murah kepada pedagang yang mengambil babi yang tidak diinspeksi di daerah perkotaan untuk dijual. [41]
Pengelolaan
Neurocysticercosis
Kista asimptomatik, seperti yang ditemukan secara kebetulan pada neuroimaging yang dilakukan karena alasan lain, mungkin tidak pernah mengarah pada penyakit simtomatik dan dalam banyak kasus tidak memerlukan terapi. Kista yang terkalsifikasi telah mati dan tersumbat. Terapi antiparasit lebih lanjut tidak akan bermanfaat.
Neurocysticercosis dapat muncul sebagai hidrosefalus dan kejang onset akut, sehingga terapi segera adalah penurunan tekanan intrakranial dan obat antikonvulsan. Setelah kejang dikendalikan, perawatan antihelminthic dapat dilakukan. Keputusan untuk mengobati dengan terapi antiparasit kompleks dan berdasarkan pada tahap dan jumlah kista yang ada, lokasi mereka, dan gejala spesifik orang tersebut. [42]
Dewasa Taenia solium mudah diobati dengan niclosamide, dan paling sering digunakan dalam taeniasis. Namun sistiserkosis adalah penyakit yang kompleks dan membutuhkan pengobatan yang cermat. Praziquantel (PZQ) adalah obat pilihan. Dalam neurocysticercosis praziquantel banyak digunakan. [43] Albendazole tampaknya lebih efektif dan merupakan obat yang aman untuk neurocysticercosis. [44] [45] Dalam situasi yang rumit, kombinasi praziquantel, albendazole, dan steroid (seperti kortikosteroid untuk mengurangi peradangan) direkomendasikan. [46] Di otak, kista biasanya dapat ditemukan di permukaan. Sebagian besar kasus kista otak ditemukan secara tidak sengaja, selama diagnosis untuk penyakit lainnya. Pengangkatan melalui pembedahan adalah satu-satunya pilihan pengangkatan total bahkan jika berhasil diobati dengan obat-obatan. [19]
Pengobatan antiparasit harus diberikan dalam kombinasi dengan kortikosteroid dan antikonvulsan untuk mengurangi peradangan di sekitar kista dan menurunkan risiko kejang. Ketika kortikosteroid diberikan dalam kombinasi dengan praziquantel, simetidin juga diberikan, karena kortikosteroid mengurangi aksi praziquantel dengan meningkatkan metabolisme lintasan pertama. Albendazole umumnya lebih disukai daripada praziquantel karena biayanya yang lebih rendah dan interaksi obat yang lebih sedikit. [44]
Intervensi bedah jauh lebih mungkin diperlukan dalam kasus-kasus neurokysticercosis intraventricular, racemose, atau spinal. Perawatan termasuk eksisi langsung kista ventrikel, prosedur shunting, dan pengangkatan kista melalui endoskopi.
Mata
Pada penyakit mata, pengangkatan secara bedah diperlukan untuk kista di dalam mata itu sendiri karena mengobati lesi intraokular dengan antelmintik akan menimbulkan reaksi inflamasi yang menyebabkan kerusakan permanen pada komponen struktural. Kista di luar dunia dapat diobati dengan anthelmintik dan steroid. Rekomendasi pengobatan untuk sistiserkosis subkutan meliputi pembedahan, praziquantel dan albendazole. [16]
Kulit
Secara umum, penyakit subkutan tidak membutuhkan terapi khusus. Kista yang menyakitkan atau mengganggu dapat diangkat melalui pembedahan.
Epidemiologi
Daerah
Daerah
Taenia solium ditemukan di seluruh dunia, tetapi lebih umum di mana babi adalah bagian dari makanan. Cysticercosis adalah yang paling umum di mana manusia hidup dalam kontak dekat dengan babi. Karena itu, prevalensi tinggi dilaporkan di Meksiko, Amerika Latin, Afrika Barat, Rusia, India, Pakistan, Cina Timur Laut, dan Asia Tenggara. [47] Di Eropa itu paling luas di antara orang-orang Slavik. [19] [48] Namun, ulasan epidemiologis di Eropa Barat dan Timur menunjukkan masih ada kesenjangan yang cukup besar dalam pemahaman kita tentang penyakit ini juga di wilayah ini. [49] [50]
Frekuensi telah menurun di negara maju karena inspeksi daging yang lebih ketat, kebersihan yang lebih baik, dan sanitasi fasilitas yang lebih baik.
Perkiraan infeksi
Di Amerika Latin, diperkirakan 75 juta orang tinggal di daerah endemis dan 400.000 orang menderita penyakit simtomatik. [51] Beberapa penelitian menunjukkan bahwa prevalensi sistiserkosis di Meksiko adalah antara 3,1 dan 3,9 persen. Studi lain telah menemukan seroprevalensi di wilayah Guatemala, Bolivia, dan Peru setinggi 20 persen pada manusia, dan 37 persen pada babi. [52] Di Etiopia, Kenya, dan Republik Demokratik Kongo sekitar 10% dari populasi terinfeksi, di Madagaskar 16%. Distribusi sistiserkosis bertepatan dengan distribusi T. solium. [53] Cysticercosis adalah penyebab paling umum dari epilepsi simtomatik di seluruh dunia. [54]
Angka prevalensi di Amerika Serikat menunjukkan imigran dari Meksiko, Amerika Tengah dan Selatan, dan Asia Tenggara merupakan sebagian besar kasus sistiserkosis dalam negeri. [55]
Pada tahun 1990 dan 1991, empat anggota komunitas Yahudi Ortodoks yang tidak berhubungan di New York City mengalami kejang berulang dan lesi otak, yang ditemukan disebabkan oleh T. solium. Semua keluarga memiliki pembantu rumah tangga dari negara-negara Amerika Latin dan diduga menjadi sumber infeksi. [56] [57]
Kematian
Di seluruh dunia pada 2010 ini menyebabkan sekitar 1.200 kematian, naik dari 700 pada 1990. [58] Perkiraan dari 2010 adalah bahwa hal itu berkontribusi setidaknya 50.000 kematian setiap tahun. [59]
Di AS selama 1990-2002, 221 kematian sistiserkosis diidentifikasi. Angka kematian tertinggi untuk pria Latin dan pria. Usia rata-rata saat meninggal adalah 40,5 tahun (kisaran 2-88). Sebagian besar pasien, 84,6%, lahir di luar negeri, dan 62% telah beremigrasi dari Meksiko. 33 orang kelahiran AS yang meninggal karena sistiserkosis mewakili 15% dari semua kematian terkait sistiserkosis. Angka kematian sistiserkosis tertinggi di California, yang menyumbang 60% dari semua kematian sistiserkosis. [60]
Sejarah
Scolex (kepala) dari Taenia solium
Referensi paling awal tentang cacing pita ditemukan dalam karya-karya orang Mesir kuno yang berasal dari hampir 2000 SM. [61] Penjelasan tentang babi yang dicampakkan dalam History of Animals yang ditulis oleh Aristoteles (384-322 SM) menunjukkan bahwa infeksi daging babi dengan cacing pita diketahui oleh orang Yunani kuno pada waktu itu. [61] Itu juga diketahui oleh orang Yahudi [62] dan kemudian oleh dokter Muslim awal dan telah diusulkan sebagai salah satu alasan babi dilarang oleh hukum diet Yahudi dan Islam. [63] Pemeriksaan baru-baru ini tentang sejarah evolusi inang dan parasit dan bukti DNA menunjukkan bahwa lebih dari 10.000 tahun yang lalu, nenek moyang manusia modern di Afrika menjadi terkena cacing pita ketika mereka mencari makanan atau memangsa antelop dan bovid, dan kemudian menularkan infeksi pada hewan domestik. seperti babi. [64]
Sistiserkosis dijelaskan oleh Johannes Udalric Rumler pada 1555; namun, hubungan antara cacing pita dan sistiserkosis belum diketahui pada saat itu. [65] Sekitar tahun 1850, Friedrich Küchenmeister memberi makan daging babi yang mengandung cysticerci dari T. solium kepada manusia yang menunggu eksekusi di penjara, dan setelah mereka dieksekusi, ia menemukan cacing pita dewasa yang sedang berkembang di usus mereka. [61] [65] Pada pertengahan abad ke-19, ditetapkan bahwa sistiserkosis disebabkan oleh konsumsi telur T. solium. [66]
References[edit]
1.     Jump up to:a b c d e f g h i j k l m n o p q "Taeniasis/Cysticercosis Fact sheet N°376". World Health Organization. February 2013. Archivedfrom the original on 15 March 2014. Retrieved 18 March 2014.
2.     Jump up to:a b c d e f g h i j k l m n García HH, Gonzalez AE, Evans CA, Gilman RH (August 2003). "Taenia solium cysticercosis". Lancet. 362 (9383): 547–56. doi:10.1016/S0140-6736(03)14117-7PMC 3103219PMID 12932389.
3.     Jump up to:a b c García HH, Evans CA, Nash TE, et al. (October 2002). "Current consensus guidelines for treatment of neurocysticercosis". Clin. Microbiol. Rev. 15 (4): 747–56. doi:10.1128/CMR.15.4.747-756.2002PMC 126865PMID 12364377.
6.     ^ Roberts, Larry S.; Janovy Jr., John (2009). Gerald D. Schmidt & Larry S. Roberts' Foundations of Parasitology (8th ed.). Boston: McGraw-Hill Higher Education. pp. 348–351. ISBN 978-0-07-302827-9.
7.     Jump up to:a b c d "CDC - Cysticercosis"Archived from the original on 2014-07-10.
8.     Jump up to:a b Bobes RJ, Fragoso G, Fleury A, et al. (April 2014). "Evolution, molecular epidemiology and perspectives on the research of taeniid parasites with special emphasis on Taenia solium". Infect. Genet. Evol. 23: 150–60. doi:10.1016/j.meegid.2014.02.005PMID 24560729.
9.     ^ "Neglected Tropical Diseases". cdc.gov. June 6, 2011. Archived from the original on 4 December 2014. Retrieved 28 November 2014.
10.  Jump up to:a b c Markell, E.K.; John, D.T.; Krotoski, W.A. (1999). Markell and Voge's medical parasitology (8th ed.). Saunders. ISBN 978-0-7216-7634-0.
11.  ^ Kerstein AH, Massey AD (2010). "Neurocysticercosis". Kansas Journal of Medicine. 3 (4): 52–4. doi:10.17161/kjm.v3i4.11320Archived from the original on 2011-07-19.
12.  ^ Fleury, A; Dessein, A; Preux, PM; Dumas, M; Tapia, G; Larralde, C; Sciutto, E (July 2004). "Symptomatic human neurocysticercosis--age, sex and exposure factors relating with disease heterogeneity". Journal of Neurology. 251 (7): 830–7. doi:10.1007/s00415-004-0437-9PMID 15258785.
13.  ^ Suri A, Goel RK, Ahmad FU, Vellimana AK, Sharma BS, Mahapatra AK (January 2008). "Transventricular, transaqueductal scope-in-scope endoscopic excision of fourth ventricular neurocysticercosis: a series of 13 cases and a review". J Neurosurg Pediatr. 1 (1): 35–9. doi:10.3171/PED-08/01/035PMID 18352801S2CID 207604470.
14.  ^ Hauptman JS, Hinrichs C, Mele C, Lee HJ (April 2005). "Radiologic manifestations of intraventricular and subarachnoid racemose neurocysticercosis". Emerg Radiol. 11 (3): 153–7. doi:10.1007/s10140-004-0383-yPMID 16028320.
15.  ^ Jang JW, Lee JK, Lee JH, Seo BR, Kim SH (Mar 2010). "Recurrent primary spinal subarachnoid neurocysticercosis". Spine. 35 (5): E172–5. doi:10.1097/BRS.0b013e3181b9d8b6PMID 20118838.
16.  Jump up to:a b Wortman PD (August 1991). "Subcutaneous cysticercosis". J. Am. Acad. Dermatol. 25 (2 Pt 2): 409–14. doi:10.1016/0190-9622(91)70217-pPMID 1894783.
17.  ^ HH Garcia; R Araoz; RH Gilman; J Valdez; AE Gonzalez; C Gavidia; ML Bravo; VC Tsang (1998). "Increased prevalence of cysticercosis and taeniasis among professional fried pork vendors and the general population of a village in the Peruvian highlands. Cysticercosis Working Group in Peru". Am. J. Trop. Med. Hyg. 59(6): 902–905. doi:10.4269/ajtmh.1998.59.902PMID 9886197.
18.  ^ Richards F, Jr; Schantz, PM (1991). "Laboratory diagnosis of cysticercosis". Clinics in Laboratory Medicine. 11 (4): 1011–28. doi:10.1016/S0272-2712(18)30532-8PMID 1802519.
19.  Jump up to:a b c Gutierrez, Yezid (2000). "26. Cysticercosis, Coenurosis, Sparganosis and proliferating Cestode larvae". Diagnostic Pathology of Parasitic Infections with Clinical Correlations (2nd ed.). Oxford University Press. pp. 635–652. ISBN 978-0-19-512143-8.
20.  ^ Webbe, G. (1994). "Human cysticercosis: Parasitology, pathology, clinical manifestations and available treatment". Pharmacology & Therapeutics. 64 (1): 175–200. doi:10.1016/0163-7258(94)90038-8PMID 7846114.
21.  ^ Robbani, I; Razdan, S; Pandita, KK (2004). "Diagnosis of intraventricular cysticercosis by magnetic resonance imaging: improved detection with three-dimensional spoiled gradient recalled echo sequences.\". Australasian Radiology. 48 (2): 237–9. doi:10.1111/j.1440-1673.2004.01279.xPMID 15230764S2CID 15316095.
22.  ^ Lucato, L.T.; Guedes, M.S.; Sato, J.R.; Bacheschi, L.A.; Machado, L.R.; Leite, C.C. (1 September 2007). "The Role of Conventional MR Imaging Sequences in the Evaluation of Neurocysticercosis: Impact on Characterization of the Scolex and Lesion Burden". American Journal of Neuroradiology. 28 (8): 1501–1504. doi:10.3174/ajnr.A0623PMID 17846200.
23.  ^ "Global Plan to Combat Neglected Tropical Diseases 2008–2015" (PDF). World Health Organization. 2007. Box 1. Selected neglected tropical diseases and zoonoses to be addressed within the Global Plan. p. 2. Archived (PDF) from the original on 2010-07-22.
24.  Jump up to:a b Centers for Disease Control (CDC) (September 1992). "Update: International Task Force for Disease Eradication, 1992". MMWR Morb. Mortal. Wkly. Rep. 41 (37): 691, 697–8. PMID 1518501Archived from the original on 2009-03-06.
25.  ^ Schantz, P. "Eradication of T. solium Cysticercosis" International Conference on Emerging Infectious Diseases 2002. CDC.ftp://ftp.cdc.gov/pub/infectious_diseases/iceid/2002/pdf/schantz.pdf
26.  ^ Jeremy N. Marchant-Forde (2008-11-26). The Welfare of Pigs. Springer Science & Business Media. pp. 333–. ISBN 978-1-4020-8909-1Archived from the original on 2017-04-07.
27.  Jump up to:a b Gonzalez AE, García HH, Gilman RH, Tsang VC (June 2003). "Control of Taenia solium". Acta Trop. 87 (1): 103–9. doi:10.1016/S0001-706X(03)00025-1PMID 12781384.
28.  ^ Gonzalez AE, Gavidia C, Falcon N, et al. (July 2001). "Protection of pigs with cysticercosis from further infections after treatment with oxfendazole". Am. J. Trop. Med. Hyg. 65 (1): 15–8. doi:10.4269/ajtmh.2001.65.15PMID 11504400.
29.  ^ Garcia, H.H., 2002. "Effectiveness of an interventional control program for human and porcine Taenia solium cysticercosis in field conditions." In: International Health. Johns Hopkins University, Baltimore, p. 250.
30.  ^ Gilman, R.H.; Garcia, H.H.; Gonzalez, A.E.; Dunleavy, M.; Verastegui, M. (1999). "Short cuts to development: methods to control the transmission of cysticercosis in developing countries". In García, H.H.; Martínez, M. (eds.). Taenia soliumtaeniasis/cysticercosis. Lima: Editorial Universo. pp. 313–326. ISBN 978-9972910203.
31.  ^ Margono SS, Subahar R, Hamid A, et al. (2001). "Cysticercosis in Indonesia: epidemiological aspects". Southeast Asian J. Trop. Med. Public Health. 32 (Suppl 2): 79–84. PMID 12041608.
32.  ^ Wandra T, Subahar R, Simanjuntak GM, et al. (2000). "Resurgence of cases of epileptic seizures and burns associated with cysticercosis in Assologaima, Jayawijaya, Irian Jaya, Indonesia, 1991–95". Trans. R. Soc. Trop. Med. Hyg. 94 (1): 46–50. doi:10.1016/s0035-9203(00)90433-4PMID 10748897.
33.  Jump up to:a b c d e f g Sciutto E, Fragoso G, de Aluja AS, Hernández M, Rosas G, Larralde C (2008). "Vaccines against cysticercosis". Curr Top Med Chem. 8 (5): 415–23. doi:10.2174/156802608783790839PMID 18393905.
34.  ^ Molinari JL, Meza R, Suárez B, Palacios S, Tato P, Retana A (June 1983). "Taenia solium: immunity in hogs to the Cysticercus". Exp. Parasitol. 55 (3): 340–57. doi:10.1016/0014-4894(83)90031-0PMID 6852171.
35.  ^ Luo X, Zheng Y, Hou J, Zhang S, Cai X (February 2009). "Protection against Asiatic Taenia solium induced by a recombinant 45W-4B protein". Clin. Vaccine Immunol. 16 (2): 230–2. doi:10.1128/CVI.00367-08PMC 2643551PMID 19091992.
36.  Jump up to:a b Huerta M, De Aluja AS, Fragoso G, Toledo A, Villalobos N, Hernandez M, Gevorkian G, Acero G, Diaz A, et al. (2001). "Synthetic peptide vaccine against Taenia solium pig cysticercosis: successful vaccination in a controlled field trial in rural Mexico". Vaccine. 20 (1–2): 262–6. doi:10.1016/S0264-410X(01)00249-3PMID 11567772.
38.  ^ Sciutto E, Morales J, Martinez JJ, Toledo A, Villalobos MN, Cruz-Revilla C, Meneses G, Hernandez M, Diaz A, et al. (2007). "Further evaluation of the synthetic peptide vaccine S3Pvac against Taenia solium cysticercosis in pigs in an endemic town of Mexico". Parasitology. 134 (Pt 1): 129–33. doi:10.1017/S0031182006001132PMID 16948875.
39.  Jump up to:a b E-mail interview with Edda Sciutto. Feb 26 2009.
40.  ^ CWGESA. 5th General Assembly of the Cysticercosis Working Group in Eastern and Southern Africa. 2007. CIRADhttp://pigtrop.cirad.fr/sp/recursos/publications/procedimientos/5th_general_assembly_of_the_cysticercosis_working_group_in_eastern_and_southern_africa
41.  ^ Morales J, Martínez JJ, Garcia-Castella J, et al. (March 2006). "Taenia solium: the complex interactions, of biological, social, geographical and commercial factors, involved in the transmission dynamics of pig cysticercosis in highly endemic areas". Ann Trop Med Parasitol. 100 (2): 123–35. doi:10.1179/136485906x86275PMID 16492360.
42.  ^ White AC (May 2009). "New developments in the management of neurocysticercosis". J. Infect. Dis. 199 (9): 1261–2. doi:10.1086/597758PMID 19358667.
43.  ^ Pawlowski ZS (2006). "Role of chemotherapy of taeniasis in prevention of neurocysticercosis". Parasitol. Int. 55 (Suppl): S105–9. doi:10.1016/j.parint.2005.11.017PMC 7108384PMID 16356763.
44.  Jump up to:a b Matthaiou DK, Panos G, Adamidi ES, Falagas ME (2008). Carabin H (ed.). "Albendazole versus Praziquantel in the Treatment of Neurocysticercosis: A Meta-analysis of Comparative Trials". PLOS Neglected Tropical Diseases. 2 (3): e194. doi:10.1371/journal.pntd.0000194PMC 2265431PMID 18335068.
45.  ^ Garcia HH; Pretell EJ; Gilman RH; Martinez SM; Moulton LH; Del Brutto OH; Herrera G; Evans CA; Gonzalez AE; Cysticercosis Working Group in Peru (2004). "A trial of antiparasitic treatment to reduce the rate of seizures due to cerebral cysticercosis"(PDF). N Engl J Med. 350 (3): 249–258. doi:10.1056/NEJMoa031294PMID 14724304.
46.  ^ "Taeniasis/Cysticercosis". World Health Organization. Archived from the original on 21 February 2014. Retrieved 6 February 2014.
47.  ^ Reeder, P.E.S. Palmer, M.M. (2001). Imaging of Tropical Diseases : With Epidemiological, Pathological, and Clinical Correlation (2 (revised) ed.). Heidelberg, Germany: Springer-Verlag. pp. 641–642. ISBN 978-3-540-56028-9Archived from the original on 2016-05-19.
48.  ^ Hansen, NJ; Hagelskjaer, LH; Christensen, T (1992). "Neurocysticercosis: a short review and presentation of a Scandinavian case". Scandinavian Journal of Infectious Diseases. 24 (3): 255–62. doi:10.3109/00365549209061330PMID 1509231.
49.  ^ Laranjo-González, M; Devleesschauwer, B; Trevisan, C; Allepuz, A; Sotiraki, S; Abraham, A; Afonso, MB; Blocher, J; Cardoso, L; Correia da Costa, JM; Dorny, P; Gabriël, S; Gomes, J; Gómez-Morales, MÁ; Jokelainen, P; Kaminski, M; Krt, B; Magnussen, P; Robertson, LJ; Schmidt, V; Schmutzhard, E; Smit, GSA; Šoba, B; Stensvold, CR; Starič, J; Troell, K; Rataj, AV; Vieira-Pinto, M; Vilhena, M; Wardrop, NA; Winkler, AS; Dermauw, V (2017). "Epidemiology of taeniosis/cysticercosis in Europe, a systematic review: Western Europe". Parasit Vectors. 10 (1): 349. doi:10.1186/s13071-017-2280-8PMC 5521153PMID 28732550.
50.  ^ Trevisan, C.; Sotiraki, S.; Laranjo-González, M.; Dermauw, V.; Wang, Z.; Kärssin, A.; Cvetkovikj, A.; Winkler, A.S.; Abraham, A.; Bobić, B.; Lassen, B.; Cretu, C.M.; Vasile, C.; Arvanitis, D.; Deksne, G.; Boro, I.; Kucsera, I.; Karamon, J.; Stefanovska, J.; Koudela, B.; Pavlova, M.J.; Varady, V.; Pavlak, M.; Šarkūnas, M.; Kaminski, M.; Djurković-Djaković, O.; Jokelainen, P.; Jan, D.S.; Schmidt, V.; Dakić, Z.; Gabriël, S.; Dorny, P.; Devleesschauwer, B. (2018). "Epidemiology of taeniosis/cysticercosis in Europe, a systematic review: eastern Europe". Parasit Vectors. 11 (1): 569. doi:10.1186/s13071-018-3153-5PMC 6208121PMID 30376899.
51.  ^ Bern C, Garcia HH, Evans C, et al. (November 1999). "Magnitude of the disease burden from neurocysticercosis in a developing country". Clin. Infect. Dis. 29 (5): 1203–9. doi:10.1086/313470PMC 2913118PMID 10524964.
52.  ^ Yeh J, Sheffield JS (April 2008). "Cysticercosis: A Zebra in the Neighborhood". Virtual Mentor. 10 (4): 220–3. doi:10.1001/virtualmentor.2008.10.4.cprl1-0804PMID 23206912. Archived from the original on 2009-02-19. Retrieved 2009-02-20.
53.  ^ "Taeniasis/Cysticercosis". Zoonoses. World Health Organization. Archived from the original on 2008-10-09.
54.  ^ "Relationship between epilepsy and tropical diseases. Commission on Tropical Diseases of the International League Against Epilepsy". Epilepsia. 35 (1): 89–93. 1994. doi:10.1111/j.1528-1157.1994.tb02916.xPMID 8112262.
55.  ^ Flisser A. (May 1988). "Neurocysticercosis in Mexico". Parasitology Today. 4 (5): 131–137. doi:10.1016/0169-4758(88)90187-1PMID 15463066.
56.  ^ Dworkin, Mark S. (2010). Outbreak Investigations Around the World: Case Studies in Infectious Disease. Jones and Bartlett Publishers. pp. 192–196. ISBN 978-0-7637-5143-2. Retrieved August 9, 2011.
57.  ^ Schantz, Peter M.; Moore, Anne C.; et al. (September 3, 1992). "Neurocysticercosis in an Orthodox Jewish Community in New York City". New England Journal of Medicine327 (10): 692–695. doi:10.1056/NEJM199209033271004PMID 1495521.
59.  ^ Román, G.; Sotelo, J.; Del Brutto, O.; Flisser, A.; Dumas, M.; Wadia, N.; Botero, D.; Cruz, M.; Garcia, H.; de Bittencourt, P. R.; Trelles, L.; Arriagada, C.; Lorenzana, P.; Nash, T. E.; Spina-França, A. (2000). "A proposal to declare neurocysticercosis an international reportable disease". Bulletin of the World Health Organization. 78 (3): 399–406. ISSN 0042-9686PMC 2560715PMID 10812740.
60.  ^ Sorvillo FJ, DeGiorgio C, Waterman SH (February 2007). "Deaths from cysticercosis, United States". Emerging Infect. Dis. 13 (2): 230–5. doi:10.3201/eid1302.060527PMC 2725874PMID 17479884.
61.  Jump up to:a b c Wadia, N.H.; Singh, G. (2002). "Taenia Solium: A Historical Note". In Singh, G.; Prabhakar, S. (eds.). Taenia SoliumCysticercosis: From Basic to Clinical Science. CABI Publishing. pp. 157–168. ISBN 978-0851996288.
62.  ^ Ancient Hebrew Medicine<"Archived copy"Archived from the original on 2011-02-26. Retrieved 2011-03-17.>
63.  ^ del Brutto, O.H.; Sotelo, J.; Román, G.C. (1998). Neurocysticercosis. Taylor and Francis. p. 3. ISBN 978-90-265-1513-2.
64.  ^ Becker H (May 2001). "Out of Africa: The Origins of the Tapeworms". Agricultural Research Magazine. 49 (5). Archived from the original on 2009-03-10.
65.  Jump up to:a b Cox FE (October 2002). "History of human parasitology". Clin. Microbiol. Rev. 15 (4): 595–612. doi:10.1128/CMR.15.4.595-612.2002PMC 126866PMID 12364371.
66.  ^ Küchenmeister, F. The Cysticercus cellulosus transformed within the organism of man into Taenia solium. Lancet 1861 i:39.