Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Monday, 17 November 2025

Awas! Resistensi Insulin Bisa Diam-Diam Merusak Tubuh dan Memicu Diabetes Tanpa Gejala!


Resistensi Insulin, Kondisi Tersembunyi yang Bisa Berujung Diabetes

 

Resistensi insulin adalah salah satu kondisi metabolik yang paling sering terjadi, namun paling jarang disadari. Banyak orang hidup bertahun-tahun dengan kondisi ini tanpa gejala apa pun, sampai suatu ketika kadar gula darah mulai meningkat dan berubah menjadi prediabetes atau bahkan diabetes tipe 2. Padahal, jika dideteksi lebih awal, resistensi insulin bisa dicegah dan sering kali dapat diperbaiki.

Artikel ini membahas apa itu resistensi insulin, mengapa terjadi, siapa yang berisiko, serta bagaimana cara mencegah dan mengelolanya.

 

Apa Itu Resistensi Insulin?

Insulin adalah hormon penting yang diproduksi pankreas. Tugas utamanya adalah membantu glukosa (gula darah) masuk ke dalam sel untuk digunakan sebagai energi. Namun pada sejumlah orang, sel-sel tubuh — terutama otot, lemak, dan hati — tidak lagi merespons insulin dengan baik. Inilah yang disebut resistensi insulin.

Ketika hal itu terjadi, glukosa tidak bisa masuk ke sel secara efisien dan akhirnya menumpuk dalam darah. Pankreas pun bekerja ekstra keras untuk mengeluarkan lebih banyak insulin agar gula darah tetap normal. Kondisi ini disebut hiperinsulinemia. Lama-kelamaan, pankreas bisa kelelahan dan tidak mampu mengimbangi lagi, sehingga kadar gula darah mulai meningkat.

Di sinilah risiko prediabetes dan diabetes tipe 2 bermula.

 

Mengapa Resistensi Insulin Bisa Terjadi?

Para ilmuwan belum sepenuhnya memahami proses pasti terjadinya resistensi insulin. Namun berbagai penelitian menunjukkan beberapa faktor utama:

1. Kelebihan Lemak Tubuh (Terutama di Perut)

Lemak visceral — lemak yang menyelimuti organ dalam — bersifat sangat aktif secara hormonal dan dapat mengganggu cara kerja insulin.

2. Kurangnya Aktivitas Fisik

Otot yang aktif dapat menyerap glukosa lebih baik. Ketika tubuh jarang bergerak, sensitifitas insulin menurun.

3. Pola Makan Tinggi Gula dan Lemak Jenuh

Makanan olahan, minuman manis, kue, roti putih, dan makanan cepat saji terbukti meningkatkan risiko resistensi insulin.

4. Obat-Obatan Tertentu

Steroid, beberapa obat tekanan darah, dan obat HIV dapat menurunkan sensitivitas insulin.

5. Faktor Genetik

Jika orang tua atau saudara kandung memiliki prediabetes, diabetes tipe 2, atau PCOS, risikonya meningkat.

6. Gangguan Hormonal atau Genetik

Beberapa kondisi seperti sindrom Cushing, akromegali, hipotiroidisme, dan kelainan genetik tertentu juga dapat menyebabkan resistensi insulin, meski jarang.

 

Siapa yang Berisiko?

Resistensi insulin bisa dialami siapa saja, termasuk orang dengan tubuh kurus. Namun risikonya lebih tinggi pada:

  • Orang dengan overweight atau obesitas
  • Usia 45 tahun ke atas
  • Riwayat keluarga diabetes
  • Kurang olahraga
  • Tekanan darah tinggi atau kolesterol tinggi
  • Riwayat diabetes gestasional
  • Merokok
  • Memiliki gangguan tidur, seperti sleep apnea

Ras tertentu juga memiliki risiko lebih tinggi, seperti orang Asia, Timur Tengah, Hispanik, dan kulit hitam.

 

Apakah Ada Gejalanya?

Pada tahap awal, tidak ada gejala. Inilah mengapa kondisi ini disebut silent condition.

Namun beberapa tanda fisik dapat muncul, antara lain:

  • Acanthosis nigricans: kulit menggelap di leher, ketiak, atau selangkangan
  • Skin tag
  • Kenaikan berat badan tanpa sebab yang jelas

Ketika kadar gula darah mulai naik, gejalanya dapat meliputi:

  • Sering haus
  • Sering buang air kecil
  • Mudah lelah
  • Penglihatan kabur
  • Rasa lapar berlebih

Jika gejala ini muncul, sebaiknya segera berkonsultasi ke tenaga kesehatan.

 

Bagaimana Cara Mendiagnosisnya?

Tidak ada tes khusus untuk mendeteksi resistensi insulin secara langsung. Dokter biasanya menilai melalui kombinasi:

  • Riwayat kesehatan
  • Pemeriksaan fisik
  • Kadar glukosa darah puasa
  • Tes A1c
  • Panel lipid (kolesterol & trigliserida)

Hasil yang mengarah ke prediabetes atau gangguan metabolik biasanya menjadi indikator kuat adanya resistensi insulin.

 

Bisakah Resistensi Insulin Diobati atau Diperbaiki?

Kabar baiknya: ya, pada banyak orang resistensi insulin dapat diperbaiki.

Langkah utama yang terbukti efektif meliputi:

1. Pola Makan Sehat

Mengurangi makanan olahan, gula tambahan, tepung putih, minuman manis, serta lemak jenuh.
Lebih banyak konsumsi:

  • Sayur dan buah
  • Biji-bijian utuh
  • Kacang-kacangan
  • Ikan dan daging tanpa lemak

2. Aktivitas Fisik Teratur

Olahraga intensitas sedang 150 menit per minggu terbukti meningkatkan sensitivitas insulin.

3. Menurunkan Berat Badan

Pengurangan 5–10% dari berat badan sudah cukup untuk memperbaiki resistensi insulin secara signifikan.

4. Obat-obatan Pendukung

Tidak ada obat khusus untuk resistensi insulin, tetapi dokter dapat meresepkan:

  • Metformin bagi pasien prediabetes/diabetes
  • Obat tekanan darah
  • Statin (penurun kolesterol)

 

Bagaimana Mengatur Pola Makan yang Tepat?

Menggunakan Glycemic Index (GI) membantu memahami seberapa cepat makanan meningkatkan gula darah.

Makanan GI Tinggi (sebaiknya dibatasi)

  • Roti putih
  • Kentang
  • Kue, kukis
  • Sereal manis
  • Semangka, kurma
  • Minuman manis

Makanan GI Rendah (lebih aman)

  • Kacang-kacangan
  • Apel, stroberi, blueberry
  • Sayuran non-tepung (brokoli, bayam, asparagus)
  • Ikan, telur, daging
  • Kacang-kacangan

Untuk perubahan ekstrem, sebaiknya berkonsultasi dahulu dengan ahli gizi.

 

Apa Komplikasi yang Dapat Terjadi?

Jika resistensi insulin tidak ditangani, komplikasi yang mungkin muncul adalah:

  • Diabetes tipe 2
  • Sindrom metabolik
  • Penyakit jantung dan pembuluh darah

Namun tidak semua orang akan mengalami komplikasi. Penanganan cepat dan tepat dapat mencegahnya.

 

Kunci Utama: Deteksi Dini dan Gaya Hidup Sehat

Resistensi insulin memang tidak memiliki gejala pada awalnya. Namun pola makan sehat, olahraga teratur, dan menjaga berat badan ideal adalah langkah paling ampuh untuk mencegah dan mengatasinya.

Jika Anda memiliki riwayat keluarga diabetes atau mulai mengalami gejala peningkatan gula darah, konsultasikan dengan tenaga kesehatan untuk pemeriksaan lebih lanjut.

Kesehatan metabolik adalah investasi jangka panjang. Semakin awal Anda mulai menjaga tubuh, semakin besar peluang Anda terhindar dari diabetes di masa depan.


#ResistensiInsulin 

#CegahDiabetes 

#GayaHidupSehat 

#KesehatanMetabolik 

#WaspadaDiabetes


Kalsifikasi Prostat: Tanda Bahaya Tersembunyi pada Pria 50+ yang Sering Diabaikan!

 



Kalsifikasi Prostat: Gambaran Klinis, Etiologi, dan Implikasi Radiologis

 

Kalsifikasi prostat merupakan temuan yang sering dijumpai pada laki-laki usia lanjut, terutama setelah usia 50 tahun. Kondisi ini umumnya berbentuk deposit tunggal, namun lebih sering ditemukan sebagai kelompok kecil yang tersebar pada jaringan prostat. Seiring bertambahnya usia, jumlah serta ukuran kalsifikasi meningkat secara progresif, sehingga prevalensinya pada populasi lanjut usia menjadi lebih signifikan (Harrison et al., 2018).

Secara epidemiologis, kalsifikasi prostat jarang dilaporkan pada anak-anak dan relatif tidak umum pada individu berusia di bawah 40 tahun. Penelitian menunjukkan bahwa prevalensinya sangat bervariasi, berkisar antara 7–70%, tergantung populasi, teknik pencitraan, dan metode diagnostik yang digunakan (Liu & Chen, 2021). Variasi ini menunjukkan pentingnya pendekatan diagnostik yang komprehensif dalam menentukan kejadian kalsifikasi prostat di berbagai kelompok usia.

Dalam praktik klinis, kalsifikasi prostat umumnya merupakan temuan insidental dan tidak menimbulkan gejala. Akan tetapi, pada sebagian kasus, keberadaannya dapat berkontribusi terhadap disuria, hematuria, obstruksi saluran kemih, serta nyeri panggul atau perineum. Pada kondisi tertentu, deposit kalsium bahkan dapat keluar melalui uretra, meskipun kondisi tersebut jarang terjadi (Sato et al., 2020). Hubungan kausal antara kalsifikasi dan gejala klinis juga tidak selalu jelas sehingga evaluasi menyeluruh diperlukan untuk memastikan adanya faktor penyerta.

Secara patologis, pembentukan kalsifikasi prostat terutama berkaitan dengan proses kalsifikasi pada corpora amylacea dan pengendapan sekresi prostat yang mengalami stagnasi. Corpora amylacea merupakan struktur lamelar kecil yang ditemukan pada prostat yang menua dan memiliki kecenderungan mengalami proses mineralisasi (Gleason & Foster, 2019).

Dari segi etiologi, kalsifikasi prostat dapat bersifat primer (idiopatik) maupun sekunder akibat berbagai kondisi seperti diabetes melitus, infeksi prostat (misalnya prostatitis bakteri atau tuberkulosis), pembesaran prostat jinak, kanker prostat, terapi radiasi, serta prosedur medis seperti pemasangan stent uretra atau tindakan pembedahan. Sekitar 10% kasus benign prostatic hypertrophy dilaporkan disertai deposit kalsifikasi (Morales et al., 2022).

Kalsifikasi prostat juga memiliki asosiasi dengan beberapa kondisi lain, termasuk sindrom nyeri panggul kronis, disfungsi berkemih, dan volume prostat yang lebih besar. Dalam kasus tertentu, terutama ketika kalsifikasi berukuran besar atau bersifat ekstrinsik, gangguan aliran urin dapat terjadi, meskipun insidensinya rendah (Kumar & Patel, 2021).

Pada pemeriksaan pencitraan, kalsifikasi prostat umumnya bersifat bilateral dan terletak pada lobus posterior serta lateral, meskipun kalsifikasi unilateral dapat ditemukan. Pada foto polos (X-ray), deposit kalsium dapat tampak sebagai granul halus hingga massa tidak beraturan berukuran 1–40 mm. Pada pembesaran prostat yang signifikan, kalsifikasi dapat tampak berada di atas simfisis pubis (Singh et al., 2017).

Ultrasonografi menunjukkan kalsifikasi sebagai fokus hiperekoik terang yang dapat disertai bayangan akustik posterior. Pada CT scan, kalsifikasi tampak sebagai fokus berattenuasi tinggi dengan ketebalan bervariasi. Sebaliknya, MRI relatif kurang sensitif dalam mendeteksi kalsifikasi, yang biasanya tampak sebagai area kecil tanpa sinyal (signal void). Penggunaan sekuens gradient echo seperti SWI terbukti meningkatkan deteksi deposit kecil pada jaringan prostat (Rodriguez et al., 2020).

Secara keseluruhan, kalsifikasi prostat merupakan fenomena umum yang umumnya tidak berbahaya, tetapi tetap memerlukan perhatian klinis terutama ketika dikaitkan dengan keluhan urologis atau perubahan patologis pada prostat.

 

Daftar Pustaka

  1. Gleason J, Foster R. 2019. Prostatic corpora amylacea and mineralization mechanisms. J Urol Pathol 12(3): 155–162.
  2. Harrison M, Cole D, Nguyen T. 2018. Age-related changes in prostatic calcification: A clinical overview. Int J Clin Urol 7(2): 88–94.
  3. Kumar S, Patel R. 2021. Association of large prostatic calculi with urinary dysfunction. Asian J Androl 23(1): 45–52.
  4. Liu H, Chen X. 2021. Prevalence variability of prostatic calcifications across populations. Clin Radiol Rev 19(4): 201–209.
  5. Morales F, Zhang L, Peters C. 2022. Prostatic hypertrophy and prevalence of intraprostatic calcifications. Urol Health J 14(1): 33–40.
  6. Rodriguez M, Allen P, Hawthorne J. 2020. Detection of micro-calcifications in the prostate using SWI MRI sequences. Magnetic Imaging Clin 28(2): 117–124.
  7. Sato Y, Kimura N, Oda K. 2020. Clinical cases of prostatic calculi expelled through the urethra. J Clin Urol Case Rep 5(1): 12–18.
  8. Singh V, Rao P, Datta S. 2017. Radiographic characteristics of prostatic calcifications in elderly men. Gerontol Imaging J 9(3): 140–147.
#KesehatanPria 
#KalsifikasiProstat 
#PenyakitProstat 
#RadiologiMedis 
#Urologi

Waspada! Kalsifikasi Prostat Bisa Jadi Tanda Bahaya Tersembunyi pada Pria di Atas 50 Tahun!

 



Kalsifikasi Prostat

 

1. Gambaran Umum

 

Kalsifikasi prostat merupakan temuan yang umum ditemukan pada kelenjar prostat, terutama pada pria berusia di atas 50 tahun. Kalsifikasi dapat muncul sebagai satu deposit, namun lebih sering ditemukan dalam bentuk kelompok.

 

2. Epidemiologi

 

  • Jarang terjadi pada anak-anak.
  • Tidak umum pada usia di bawah 40 tahun.
  • Sering ditemukan pada usia di atas 50 tahun.
  • Jumlah dan ukuran kalsifikasi meningkat seiring bertambahnya usia.
  • Prevalensi yang dilaporkan sangat bervariasi, berkisar antara 7–70%.

 

3. Presentasi Klinis

 

Kalsifikasi prostat umumnya ditemukan secara kebetulan dan tidak menimbulkan gejala. Namun, beberapa kasus dapat menyebabkan:

  • Disuria (nyeri saat berkemih)
  • Hematuria (kencing berdarah)
  • Obstruksi saluran kemih
  • Nyeri panggul atau perineum

Dalam kasus tertentu, kalsifikasi dapat keluar melalui uretra.

 

4. Patologi

 

Salah satu mekanisme utama terbentuknya kalsifikasi prostat adalah kalsifikasi pada corpora amylacea dan pengendapan sederhana sekresi prostat.

 

5. Etiologi

 

Kalsifikasi prostat dapat bersifat:

A. Primer (idiopatik)

B. Sekunder terhadap kondisi berikut:

  • Diabetes melitus
  • Infeksi (misalnya tuberkulosis atau prostatitis bakteri)
  • Pembesaran prostat jinak (benign prostatic hypertrophy), di mana 10% kasus menunjukkan kalsifikasi
  • Kanker prostat
  • Terapi radiasi
  • Iatrogenik (misalnya akibat pemasangan stent uretra atau pembedahan)

 

6. Berkaitan dengan apa?

 

Kalsifikasi prostat dapat berkaitan dengan:

  • Sindrom nyeri panggul kronis
  • Gangguan berkemih (jarang terjadi, umumnya pada batu besar yang bersifat ekstrinsik)
  • Volume prostat yang besar

 

7. Gambaran Radiologis

 

Kalsifikasi prostat umumnya bersifat bilateral dan terletak pada lobus posterior serta lateral, meskipun kalsifikasi unilateral juga dapat ditemukan.

A. Foto Polos (X-ray)

  • Tampilan bervariasi, mulai dari granul halus hingga massa tidak beraturan.
  • Ukuran berkisar antara 1–40 mm.
  • Pada pembesaran prostat yang signifikan, kalsifikasi dapat tampak berada di atas simfisis pubis.

B. Ultrasonografi (USG)

  • Tampak sebagai fokus hiperekoik terang.
  • Mungkin disertai bayangan akustik posterior atau tidak.

C. CT Scan

  • Tampak sebagai fokus berattenuasi tinggi dengan ketebalan bervariasi.

D. MRI

  • Sering sulit divisualisasikan.
  • Umumnya tampak sebagai area kecil tanpa sinyal (signal void), mirip dengan kalsifikasi di bagian tubuh lainnya.
  • Sekuens gradient echo seperti SWI lebih sensitif untuk mendeteksinya.

#KalsifikasiProstat
#KesehatanPria
#GangguanProstat
#DeteksiDini
#InfoUrologi


Waspada! Usia Bertambah, Risiko BPH dan Disfungsi Ereksi Melonjak Tajam — Temuan Penelitian Mengejutkan!”

 



Hubungan Usia, Keparahan Benign Prostate Hyperplasia (BPH), dan Kejadian Disfungsi Ereksi

 

Abstrak

 

Benign Prostate Hyperplasia (BPH) dianggap sebagai penyakit degeneratif. Sebagai masalah yang sering terjadi pada pria seiring bertambahnya usia, BPH dapat menyebabkan disfungsi ereksi. Tinjauan literatur ini bertujuan mengetahui hubungan usia dan keparahan BPH dengan kejadian disfungsi ereksi. Penelusuran artikel berbahasa Inggris dan Indonesia yang diterbitkan tahun 2011–2020 dilakukan melalui PubMed, ScienceDirect, dan Google Scholar. Sebanyak 22 artikel disertakan dalam tinjauan ini. Hasil menunjukkan terdapat hubungan antara usia dan kejadian BPH, di mana peningkatan usia meningkatkan insidensi BPH. Selain itu, terdapat hubungan antara keparahan BPH dan disfungsi ereksi; insidensi disfungsi ereksi meningkat seiring keparahan BPH. Semakin tinggi skor IPSS maka semakin rendah skor IIEF-5.

Kata kunci: Benign Prostate Hyperplasia (BPH), Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS), disfungsi ereksi.

 

PENDAHULUAN


Benign Prostate Hyperplasia (BPH) didefinisikan sebagai adenoma prostat yang dapat menyebabkan kerusakan kandung kemih hingga menyerang ginjal. Keluhan BPH biasanya diawali dengan retensi urin mendadak dan bila berlanjut dapat memengaruhi fungsi seksual.¹ Prevalensi BPH di dunia mencapai lebih dari 210 juta pria pada tahun 2010.² Di Indonesia terdapat 9,2 juta kasus BPH pada laki-laki di atas usia 60 tahun pada tahun 2013.³

 

Disfungsi ereksi adalah ketidakmampuan persisten untuk mencapai dan mempertahankan ereksi yang cukup untuk aktivitas seksual yang memuaskan.⁴ Prevalensinya diperkirakan meningkat secara global menjadi 322 juta pria pada tahun 2025, naik 111% dibanding 1995.⁵

 

BPH dan disfungsi ereksi merupakan dua kondisi yang saling berhubungan. Berdasarkan analisis 198 artikel relevan oleh Glina (2013), BPH menjadi salah satu faktor penyebab disfungsi ereksi.⁶ Survei Multinational Aging Men (MSAM) pada 14.000 pria usia 50–80 tahun menunjukkan bahwa 49% mengalami kesulitan ereksi, 48% gangguan ejakulasi, dan 7% nyeri saat hubungan seksual akibat BPH.⁷

 

Tingginya prevalensi BPH dan disfungsi ereksi, serta progresivitasnya dengan pertambahan usia, mendorong penulis melakukan tinjauan literatur mengenai hubungan usia, keparahan BPH, dan kejadian disfungsi ereksi.

 

METODE PENULISAN

 

Metode yang digunakan adalah narrative literature review. Pencarian literatur dilakukan pada database elektronik PubMed, ScienceDirect, dan Google Scholar. Artikel tambahan diperoleh dari WHO, Riskesdas, Kementerian Kesehatan RI, serta daftar pustaka artikel terkait.

 

Kriteria inklusi:

  • Artikel berbahasa Inggris atau Indonesia
  • Tahun publikasi 2011–2020
  • Kata kunci: Benign Prostate Hyperplasia, Lower Urinary Tract Symptoms, erectile dysfunction

 

Pencarian awal menemukan 7.043 artikel (PubMed 91; ScienceDirect 312; Google Scholar 6.640). Setelah seleksi judul, abstrak, duplikasi, dan eksklusi, tersisa 18 artikel. Empat artikel tambahan dimasukkan dari daftar pustaka, sehingga total artikel yang direview adalah 22 artikel.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

 

1. Hubungan Usia dan Keparahan Benign Prostate Hyperplasia (BPH)

Insidensi BPH meningkat seiring usia: 20% (usia 41–50), 50% (51–60), 65% (61–70), 80% (71–80), dan 90% (81–90 tahun).⁸ Pertambahan usia meningkatkan kadar hormon DHT dan estrogen, memicu proliferasi sel prostat dan menurunkan apoptosis, sehingga risiko BPH meningkat.⁹

 

Berbagai penelitian di Indonesia (Kemalasari 2015; Asalia 2015; Fitriana 2014) menunjukkan mayoritas penderita berada pada usia 60–70 tahun.¹⁰–¹² Hal ini sesuai bahwa BPH merupakan penyakit terkait proses penuaan.¹³

 

Namun beberapa penelitian luar negeri menunjukkan tren peningkatan BPH terus berlanjut tanpa penurunan setelah usia 70 tahun, diduga dipengaruhi harapan hidup yang lebih tinggi.

 

Keparahan BPH

 

Penelitian Indonesia menunjukkan mayoritas pasien masuk kategori BPH berat, sedangkan penelitian Beijing (Song 2014) menunjukkan mayoritas BPH ringan.¹⁴ Ketidaksamaan ini dipengaruhi perilaku pencarian pengobatan; di Indonesia pasien cenderung berobat setelah gejala berat. Derajat keparahan juga meningkat seiring usia (Song 2014). Studi kohort 25.879 pria selama 16 tahun menunjukkan progresivitas LUTS/BPH seiring bertambah usia.¹⁵

 

2. Hubungan BPH dengan Kejadian Disfungsi Ereksi

 

Berbagai penelitian (Kemalasari 2015; Asalia 2015; Fitriana 2014; Haryanto 2016; Choi 2020; Dogan 2015) menunjukkan hubungan yang konsisten:

  • peningkatan skor IPSS berkaitan dengan penurunan skor IIEF-5
  • keparahan BPH berbanding lurus dengan keparahan disfungsi ereksi
  • volume prostat yang lebih besar menurunkan fungsi ereksi

 

Mekanisme biologis yang menghubungkan BPH dan disfungsi ereksi:

 

1.Penurunan NO synthase/NO pada prostat dan otot polos penis menyebabkan gangguan tonus otot polos dan ereksi.⁷

2.Hiperaktivitas sistem saraf otonom memengaruhi pertumbuhan prostat dan mengganggu regulasi ereksi.¹⁸–¹⁹

3.Peningkatan aktivitas Rho-kinase menyebabkan vasokonstriksi dan penurunan eNOS.²⁰

4.Iskemia prostat dan penis akibat aterosklerosis pelvis dapat memicu BPH dan disfungsi ereksi.²¹

5.Sindrom metabolik (obesitas, hipertensi, resistensi insulin) berkontribusi pada proliferasi prostat dan gangguan ereksi.²²–²³

6.Faktor psikologis seperti depresi dapat memperburuk LUTS/BPH dan disfungsi ereksi.⁷

 

PENUTUP

 

Kesimpulan

 

Terdapat hubungan antara usia dan kejadian BPH; semakin tinggi usia, semakin besar risiko BPH. Keparahan BPH juga berhubungan dengan terjadinya disfungsi ereksi. Insidensi disfungsi ereksi meningkat seiring peningkatan skor IPSS dan penurunan skor IIEF-5.

 

Saran

 

  • Pasien usia ≥40 tahun dianjurkan memeriksakan diri bila mengalami gejala LUTS untuk mencegah komplikasi.
  • Tenaga medis, khususnya dokter urologi, diharapkan menilai adanya disfungsi ereksi pada pasien BPH agar dapat ditangani bersamaan.
  • Penelitian lebih lanjut, terutama pada aspek biologi molekuler, diperlukan untuk memahami mekanisme hubungan BPH dan disfungsi ereksi secara lebih mendalam.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

1.Foo KT. What is a disease? What is the disease clinical benign prostatic hyperplasia (BPH)? World J Urol. 2019;37(7):1293–6.

2.Lokeshwar SD, Harper BT, Webb E, et al. Epidemiology and treatment modalities for the management of benign prostatic hyperplasia. Curr Opin Urol. 2019;8(4):529–39.

3.Amadea RA, Langitan A, Wahyuni RD. Benign prostatic hyperplasia (BPH). J Med Prof (MedPro). 2019;1(2):172–6.

4.Liu Q, Zhang Y, Wang J, et al. Erectile dysfunction and depression: a systematic review and meta-analysis. J Sex Med. 2018;15(8):1074.

5.Goldstein I, Goren A, Li WW, Tang WY, Hassan TA. Epidemiology update of erectile dysfunction in eight countries with high burden. Sex Med Rev. 2019;1–11.

6.Glina S, Glina FPA. Pathogenic mechanisms linking benign prostatic hyperplasia, lower urinary tract symptoms and erectile dysfunction. Ther Adv Urol. 2013;5(4):211–8.

7.Di Nunzio C, Roehrborn CG, Andersson KE, McVary KT. Erectile dysfunction and lower urinary tract symptoms. Eur Urol Focus. 2017;3(4):1–2.

8.Roehrborn CG, McConnell JD. Etiology, pathophysiology, epidemiology and natural history of benign prostate hyperplasia. Elsevier. 2015;11:1297–336.

9.Tawale MB, Tendean L, Setiawati L. Gambaran disfungsi ereksi pada pasien dengan benign prostatic hyperplasia (BPH) di Klinik Advent Tikala Manado. J e-Biomedik. 2016;4(2):4–7.

10.Kemalasari DW, Nilapsari R, Rusmartini T. Korelasi disfungsi seksual dengan usia dan terapi pada benign prostate hyperplasia (BPH). Glob Med Health Commun. 2015;3(2):60–3.

11.Asalia M, Monoarfa R, Lampus HF. Hubungan antara skor IPSS dan skor IIEF pada pasien BPH dengan gejala LUTS yang berobat di Poli Bedah RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. J e-Clinic. 2015;3(1):477–83.

12.Fitriana N, Zuhirman, Suyanto. Hubungan benign prostate hypertrophy dengan disfungsi ereksi di RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau. Fakultas Kedokteran Universitas Riau. 2014;1–12.

13.Haryanto H, Rihiantoro T. Disfungsi ereksi pada penderita benign prostate hyperplasia (BPH) di rumah sakit Kota Bandar Lampung. J Keperawatan. 2016;12(2):286–94.

14.Song J, Shao Q, Tian Y, et al. Lower urinary tract symptoms, erectile dysfunction and their correlation in men aged 50 years and above: a cross-sectional survey in Beijing, China. Med Sci Monit. 2014;2806–10.

15.Chughtai B, Forde JC, Thomas DDM, et al. Benign prostatic hyperplasia. Nat Rev Dis Prim. 2016;2:1–15.

16.Choi WS, Song WH, Park J, Yoo S, Son H. Relationship between each IPSS item score and erectile dysfunction in the Korean Internet Sexuality Survey (KISS): do men with weak streams have low sexual function? World J Urol. 2020.

17.Dogan Y, Uruc F, Aras B, et al. The relationships between metabolic syndrome, erectile dysfunction and lower urinary tract symptoms associated with benign prostatic hyperplasia. Turk Urol Derg. 2015;41(1):7–12.

18.Kardasevic A, Milicevic S. Correlation of subjective symptoms in patients with benign prostatic hyperplasia and erectile dysfunction. Med Arch. 2017;71(1):32–6.

19.Mazur DJ, Helfand BT, McVary KT. Influences of neuroregulatory factors on the development of lower urinary tract symptoms/benign prostatic hyperplasia and erectile dysfunction in aging men. Urol Clin North Am. 2012;39(1):77–88.

20.Zewdie KA, Ayza MA, Tesfaye BA, Wondafrash DZ, Berhe DF. A systematic review on Rho-kinase as a potential therapeutic target for the treatment of erectile dysfunction. Dovepress. 2020;12:261–72.

21.Gacci M, Eardley I, Giuliano F, et al. Critical analysis of the relationship between sexual dysfunctions and lower urinary tract symptoms due to benign prostatic hyperplasia. Eur Urol. 2011;60:809–25.

22.Corona G, Vignozzi L, Rastrelli G, Lotti F, Cipriani S, Maggi M. Benign prostate hyperplasia: a new metabolic disease of the aging male and its correlation with sexual dysfunction. Hindawi Publishing. 2014:1–14.

23.Vitriani IG, Duarsa GW. Diabetes mellitus, hipertensi, obesitas, dan usia berhubungan terhadap meningkatnya risiko terjadinya disfungsi ereksi pada pasien benign prostate hyperplasia di Rumah Sakit Sanglah, Juni–Oktober 2015. E-Jurnal Medika Udayana. 2015;7(5):198–202.

 

SUMBER:

Winda Wati, Eka Yudha Rahman, Lena Rosida, Hendra Sutapa, Roselina Panghiyangani. 2021. Literature Review: Hubungan Usia, Keparahan Benign Prostate Hyperplasia (BPH), dan Kejadian Disfungsi Ereksi. Homeostasis, Vol. 4 No. 1, April 2021: 237-244.

#BPH
#DisfungsiEreksi
#KesehatanPria
#KesehatanProstat
#LUTS

Sunday, 16 November 2025

Cara Pembuatan Obat Hewan yang Baik (CPOHB) Agar Aman, Efektif, dan Berkualitas (Bagian VI)



DOKUMENTASI


A. Umum

  1. Dokumentasi merupakan bagian penting dalam penerapan Cara Pembuatan Obat Hewan yang Baik (CPOHB) untuk menjamin setiap kegiatan produksi, pengawasan mutu, penyimpanan, dan distribusi dilakukan secara konsisten sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan.
  2. Dokumen berfungsi sebagai alat komunikasi, bukti pelaksanaan kegiatan, serta dasar evaluasi terhadap mutu produk dan sistem produksi.
  3. Semua dokumen harus dibuat, dikendalikan, dan dipelihara dengan cara yang memastikan keakuratan, kejelasan, keterbacaan, serta ketersediaannya ketika diperlukan.
  4. Setiap kegiatan yang memengaruhi mutu produk harus memiliki dokumentasi tertulis yang dapat ditelusuri.

 

B. Jenis dan Pengelompokan Dokumen

  1. Dokumen dalam sistem CPOHB dapat dikelompokkan menjadi:
    a. Dokumen Kebijakan dan Manual Mutu, yaitu dokumen yang menetapkan prinsip, tujuan, dan struktur sistem mutu perusahaan.
    b. Prosedur Operasional Baku (POB/SOP), yaitu dokumen yang menjelaskan langkah-langkah kerja untuk menjamin kegiatan dilakukan secara seragam.
    c. Instruksi Kerja (IK), yaitu petunjuk operasional yang lebih rinci untuk pelaksanaan kegiatan tertentu.
    d. Spesifikasi Produk dan Bahan, yaitu dokumen yang menetapkan standar mutu, parameter uji, dan batas penerimaan untuk bahan awal, produk antara, dan produk jadi.
    e. Catatan Produksi dan Pengawasan, yaitu dokumen yang merekam semua kegiatan yang telah dilakukan selama proses produksi dan pengawasan mutu.
    f. Dokumen Pendukung, seperti daftar periksa (checklist), logbook, laporan penyimpangan, laporan validasi, serta catatan pelatihan personel.

 

C. Pengendalian Dokumen

  1. Semua dokumen harus memiliki:
    • Nomor identifikasi;
    • Judul;
    • Tanggal penerbitan dan/atau revisi;
    • Nomor revisi;
    • Halaman bernomor secara berurutan;
    • Tanda tangan pejabat yang menyetujui dan mengesahkan.
  2. Dokumen harus ditinjau secara berkala untuk memastikan bahwa isinya tetap relevan dan mutakhir.
  3. Dokumen yang telah direvisi harus menggantikan versi sebelumnya, dan salinan lama harus ditarik atau diberi tanda “Tidak Berlaku”.
  4. Akses ke dokumen harus diatur agar hanya personel yang berwenang yang dapat membuat, mengubah, atau menyetujui dokumen.
  5. Dokumen penting harus disimpan di lokasi yang aman dengan perlindungan terhadap kehilangan, kerusakan, atau akses tidak sah.

 

D. Catatan Produksi (Batch Manufacturing Record)

  1. Setiap batch obat hewan harus memiliki catatan produksi lengkap yang mencakup:
    • Nama produk dan bentuk sediaan;
    • Nomor batch dan tanggal pembuatan;
    • Identitas bahan awal, jumlah yang digunakan, serta nomor batch bahan;
    • Tahapan proses pengolahan dan hasil tiap tahap;
    • Nama dan tanda tangan personel yang melakukan dan memverifikasi setiap tahap;
    • Hasil pemeriksaan selama proses;
    • Jumlah hasil nyata dibandingkan hasil teoritis;
    • Tanda tangan pejabat yang berwenang menyetujui pelepasan batch.
  2. Catatan produksi harus ditinjau oleh bagian pengawasan mutu sebelum produk dilepaskan untuk distribusi.
  3. Setiap penyimpangan, hasil di luar batas penerimaan, atau kesalahan dalam proses harus dicatat dan dijelaskan secara rinci serta ditindaklanjuti dengan tindakan korektif.
  4. Catatan produksi harus disimpan minimal selama satu tahun setelah tanggal kedaluwarsa produk terkait.

 

E. Catatan Pengawasan Mutu

  1. Semua hasil pengujian bahan awal, produk antara, produk ruahan, dan produk jadi harus dicatat dengan lengkap, termasuk:
    • Identitas sampel;
    • Nomor batch;
    • Metode pengujian yang digunakan;
    • Hasil analisis dan kesimpulan kelulusan;
    • Nama dan tanda tangan analis serta pejabat yang menyetujui hasil.
  2. Hasil pengujian yang tidak memenuhi spesifikasi harus dilaporkan segera kepada penanggung jawab pengawasan mutu untuk ditindaklanjuti.
  3. Semua hasil uji dan data laboratorium harus disimpan dengan baik dan dapat ditelusuri.

 

F. Catatan Distribusi dan Penarikan Kembali

  1. Setiap kegiatan distribusi harus didukung oleh catatan yang memuat:
    • Nama dan alamat penerima;
    • Nomor batch dan jumlah produk;
    • Tanggal pengiriman;
    • Kondisi pengiriman.
  2. Catatan distribusi harus memungkinkan penelusuran kembali setiap batch produk yang beredar di pasar.
  3. Dalam hal dilakukan penarikan kembali produk (recall), catatan distribusi menjadi dasar utama untuk pelaksanaan dan pelaporan kegiatan tersebut.

 

G. Penyimpanan dan Pemeliharaan Dokumen

  1. Semua dokumen dan catatan harus disimpan dalam kondisi yang menjamin keterbacaan dan keamanan terhadap kerusakan, kehilangan, atau manipulasi.
  2. Masa penyimpanan dokumen minimal 1 (satu) tahun setelah tanggal kedaluwarsa produk terkait, kecuali ditetapkan lain oleh peraturan perundang-undangan.
  3. Dokumen dapat disimpan dalam bentuk cetak atau elektronik dengan sistem pengamanan dan pencadangan data yang memadai.
  4. Penghapusan atau pemusnahan dokumen harus dilakukan sesuai prosedur yang disetujui dan didokumentasikan.

 

H. Dokumentasi Elektronik

  1. Bila digunakan sistem dokumentasi elektronik, maka sistem tersebut harus:
    • Terproteksi dari akses tidak sah;
    • Dilengkapi dengan sistem pencatatan perubahan (audit trail);
    • Memungkinkan penelusuran setiap entri data;
    • Memiliki sistem pencadangan (backup) dan pemulihan data.
  2. Pengguna sistem elektronik harus mendapat pelatihan yang memadai.
  3. Validasi sistem elektronik wajib dilakukan untuk memastikan keandalan dan integritas data.

#CPOHB 
#ObatHewan 
#DokumentasiMutu 
#QualityControl 
#ProduksiAman