Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Sunday, 11 August 2024

Senyawa Ciplukan Sebagai Anti Diabetes


Studi Molekuler Docking Senyawa Ciplukan Sebagai Anti Diabetes

 

ABSTRAK

Diabetes Melitus adalah penyakit kronis serius di Indonesia yang disebabkan oleh pankreas tidak menghasilkan cukup insulin atau ketika tubuh tidak dapat secara efektif menggunakan insulin. Salah satu tanaman yang berpotensi sebagai antidiabetes yaitu ciplukan (Physalis Angulata Linn.). Tujuan dari penelitian ini yaitu ingin mengetahui nilai energi bebas ikatan (ΔG) senyawa-senyawa yang berasal dari tanaman ciplukan (Physalis Angulata Linn.) pada reseptor PPAR-𝛾. Pada penelitian ini digunakan metode molecular docking menggunakan AutoDock 4.2.6. Hasil docking menunjukkan nilai energi bebas ikatan (ΔG) senyawa aktif dari tanaman ciplukan (Physalis angulata Linn.) terhadap reseptor PPAR-𝛾 yaitu 4,7-didehydrophysalin B memiliki nilai energi bebas ikatan (ΔG) -6,39 kcal/mol, Physagulin-F memiliki nilai energi bebas ikatan (ΔG) -10,10 kcal/mol, Physordinose B memiliki nilai energi bebas ikatan (ΔG) -5,92 kcal/mol, dan rutin memiliki nilai energi bebas ikatan (ΔG) -6,97 kcal/mol. Nilai energi bebas ikatan (ΔG) senyawa aktif terbaik dari tanaman ciplukan (Physalis angulata Linn.) terhadap reseptor PPAR-𝛾 yaitu Physagulin-F dengan nilai energi bebas ikatan (ΔG) - 10,10 kcal/mol dan dapat berinteraksi lebih baik dibanding obat antidiabetes Thiazolinedione yang memiliki nilai energi bebas ikatan (ΔG) -7,99 kcal/mol.

Kata Kunci: Antidiabetes, PPAR-𝛾, Ciplukan, Molecular Docking

 

PENDAHULUAN

 

Diabetes Melitus adalah penyakit kronis serius yang terjadi karena pankreas tidak menghasilkan cukup insulin (hormon yang mengatur gula darah atau glukosa), atau ketika tubuh tidak dapat secara efektif menggunakan insulin yang dihasilkannya. Diabetes Melitus adalah masalah kesehatan masyarakat yang penting, menjadi salah satu dari empat penyakit tidak menular prioritas yang menjadi target tindak lanjut oleh para pemimpin dunia. Jumlah kasus dan prevalensi diabetes terus meningkat selama beberapa dekade terakhir (WHO Global Report, 2016).

 

Tanaman ciplukan (Physalis Angulata Linn.) berasal dari kawasan tropis Amerika Latin. Tanaman ciplukan di Indonesia dimanfaatkan untuk obat alami sebagai analgetik, peluruh air seni, penetral racun, pereda batuk, dan mengaktifkan fungsi kelenjar-kelenjar tubuh (Hariana, 2011).

 

Penelitian yang telah dilakukan oleh Permana (2013) dengan judul Aktivitas Antidiabetes Buah Ciplukan (Physalis Angulata Linn.) pada Tikus Model Diabetes Melitus Tipe2 menunjukkan bahwa pemberian ekstrak etanol buah ciplukan selama 3 minggu secara signifikan menurunkan konsentrasi glukosa darah (54,5%). Senyawa aktif Physagulin-F yang diperoleh dari isolasi buah ciplukan secara signifikan dapat mereduksi kadar glukosa darah pada tikus yang diinduksi dengan Streptozotocin (Pujari dan Mamidala, 2015). Selain itu, kandungan senyawa aktif lain yang terdapat pada tanaman ciplukan antara lain flavonoid rutin yang diisolasi dari daun pelindung (calyxe) dan 4,7-didehydrophysalin B diperoleh dari akar (radix) tumbuhan Ciplukan (Physalis angulata) (Castorena et al, 2013).

 

Saat ini metode Molecular Docking sudah digunakan dalam mendesain obat-obatan maupun antiviral, dan digunakan sebagai tahap seleksi awal dari banyak substrat. Molecular docking merupakan salah satu metode yang dapat memprediksi interaksi antar molekul yaitu anatara suatu senyawa uji dengan reseptor biologis.

 

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan studi molecular docking senyawa dari buah, daun pelindung dan akar ciplukan (Physalis angulata) sebagai antidiabetes pada reseptor PPAR-𝛾.

 

METODE PENELITIAN

 

Metode penelitian mencakup percobaan laboratorium, percobaan lapangan, dan survei lapangan yang dirancang sesuai dengan tujuan atau jenis penelitian, seperti: eksploratif, deskriptif, koreksional, kausal, komparatif, eksperimen, tindakan (action research), pemodelan, analisis suatu teori, atau kombinasi dari berbagai jenis penelitian tersebut. Untuk penelitian yang menggunakan metode kualitatif, jelaskan pendekatan yang digunakan, proses pengumpulan dan analisis informasi. Untuk penulisan metode penelitian ditulis dengan sistematis dan jelas sesuai dengan prosedur kerja yang dilakukan selama penelitian tersebut dilakukan disertai analisis datanya.

 

ALAT

 

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini berupa perangkat keras dan perangkat lunak. Perangkat keras yang digunakan yaitu Notebook dengan spesifikasi Intel Celeron Processor N3350, memori 4 GB, DDR4, Storage 500 GB HDD, Operating System Windows 10 Home, dan Integrated Intel Graphics. Sedangkan perangkat lunak yang digunakan yaitu Chem office 2004 (ChemDraw dan Chem 3D Ultra), Discovery Studio 2016, Hyperchem 8.03, AutoDockTools-1.5.6.rc.3, Autodock 4.2.6, OpenBabel, Command Prompt.

 

BAHAN

 

Ligan uji yang digunakan adalah senyawa Physagulin-F yang diisolasi dari buah (fructus); solanose, physordinose B dan rutin dari daun pelindung (calyx); dan 4,7-didehydrophysalin B dari akar (radix) tumbuhan ciplukan (Physalis solaneaceus). Ligan pembanding yang digunakan yaitu ligan yang terdapat bersama reseptor PPAR-𝛾 (2PRG) yang diunduh dari Protein Data Bank yaitu Thiazolinedione yang merupakan obat antidiabetes.

 

METODE

 

1. Persiapan senyawa uji

ssStruktur 2 dimensi dan 3 dimensi senyawa uji dibangun menggunakan program Chem 3D Ultra 2004. Kemudian dilakukan optimasi geometri struktur senyawa uji melalui metode Semi Empirik (PM3) menggunakan program Hyperchem 8.03. Struktur senyawa uji hasil optimasi geometri kemudian dipreparasi dengan bantuan AutodockTools-1.5.6rc3 sehingga diperoleh file dalam bentuk pdbqt.

 

2. Persiapan reseptor

Reseptor yang digunakan yaitu xantin oksidase (Kode PDB: 2PRG) yang diperoleh dari Protein Data Bank dengan situs http://www.rcsb.org/pdb/. Struktur tiga dimensi dari PPAR-𝛾 terdiri dari tiga rantai. Rantai yang digunakan pada penelitian ini yaitu rantai C, sedangkan rantai A, rantai B dan molekul kecil lainnya dipisahkan dari reseptor. Makromolekul kemudian dipreparasi dengan penambahan atom hidrogen dan Kollman charges menggunakan AutodockTools1.5.6rc3 sehingga diperoleh file dalam bentuk pdbqt.

 

3. Validasi Program

Validasi program dilakukan dengan men-docking-kan senyawa ligan asli (Thiazolidinediones) pada reseptor PPAR-𝛾. Parameter yang digunakan dalam validasi program yaitu nilai Root Mean Square Deviation (RMSD). Program dinyatakan valid apabila nilai RMSD hasil redocking ≤ 2 Å (Kontoyianni et al., 2004).

 

4. Proses Docking

Pengaturan grid box parameter ligan senyawa uji dan reseptor dilakukan menggunakan AutodockTools-1.5.6rc3. Dimensi grid box yang digunakan yaitu sesuai ukuran ligan (fit to ligand). Koordinat grid box ditentukan berdasarkan koordinat ligan co-crystal dari file reseptor yang digunakan. Parameter yang digunakan yaitu Genetic algorithm dengan jumlah GA runs sebanyak 10 kali. Kemudian proses griding dan docking dijalankan melalui program Command Prompt. Proses docking dilakukan replikasi sebanyak 10 kali dengan 1 kali proses menghasilkan 10 pose. Hasil akhir docking diperoleh sebanyak 100 pose.

 

5. Analisa Data

Hasil docking dianalisis menggunakan Autodock 4.2.6. Penentuan konformasi ligan hasil docking (pose terbaik) dilakukan dengan memilih konformasi ligan yang memiliki energi ikatan paling rendah. Parameter yang dianalisa meliputi residu asam amino, ikatan hidrogen, konstanta inhibisi prediksi, dan energi bebas ikatan.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

 

Validasi metode docking dilakukan dengan metode redocking menggunakan ligan kokristal Thiazolidinediones yang terdapat pada reseptor PPAR-𝛾. Dasar yang digunakan untuk memberikan penilaian proses validasi adalah nilai Root Mean Square Deviation (RMSD). Metode yang digunakan dikatakan valid jika nilai RMSD yang diperoleh kurang dari 2 Ȧ (Kontoyianni et al., 2004). Berdasarkan hasil validasi ligan asli Thiazolidinediones diperoleh nilai RSMD 1,119 Ȧ pada kondisi ligan yang flexibel.


                                    Gambar 1. Hasil Validasi Docking Reseptor PPAR-γ


Pengujian ligan dari senyawa aktif tanaman ciplukan (Physalis angulata Linn.) yaitu 4,7-didehydrophysalin B, Physagulin-F, Physordinose B, dan rutin dan ligan pembanding yaitu Thiazolidinediones dilakukan melalui proses docking terhadap reseptor PPAR-γ. Proses docking ligan dan reseptor dilakukan pada kalkulasi sumbu x, y, z pada masing-masing koordinat: 50.806, - 38.214, 19.575 Ȧ dan resolusi grid 0.375 Ȧ pada kondisi ligand flexibel. Proses docking dilakukan menggunakan gridbox dengan ukuran sesuai ligan (fit to ligand).

 

Hasil docking senyawa aktif tanaman ciplukan (Physalis angulata Linn.) yaitu 4,7- didehydrophysalin B, Physagulin-F, Physordinose B, dan rutin serta ligan pembanding yaitu Thiazolidinedione menunjukkan bahwa nilai energi bebas ikatan terendah yaitu pada senyawa Physagulin-F seperti yang dapat dilihat pada tabel 1. Hasil penambatan ini juga berkorelasi dengan prediksi nilai konstanta inhibisinya dimana semakin kecil nilai energi bebas ikatan (ΔG) yang dihasilkan maka prediksi nilai konstanta inhibisinya makin kecil. Semakin kecil nilai energi bebas ikatan suatu hasil docking berarti komplek protein-ligan makin stabil sehingga ligan senyawa makin poten (Purnomo 2013). Jika dibandingkan Thiazolidinediones, Physagulin-F memiliki nilai energi bebas ikatan yang lebih rendah. Dengan demikian dapat diprediksi Physagulin-F memiliki afinitas yang lebih baik dibanding Thiazolidinedione.

Interaksi reseptor dengan ligan yang terbentuk setelah proses docking divisualisasikan dengan menggunakan software Discovery Studio 2016. Visualisasi yang dilakukan ditujukan pada kandidat ligand terbaik yaitu Physagulin-F yang memiliki nilai energi bebas ikatan yang lebih rendah dengan membandingkan dengan pose ligand asli dari co-crystal yaitu Thiazolidinediones untuk melihat pose kompleks ligand reseotor yang terbentuk di kantung aktif reseptor PPAR-𝛾. Visualisasi meliputi residu asam amino dan interaksi ikatan seperti yang dapat dilihat pada gambar 2.


             Gambar 2. Interaksi ikatan dan residu asam amino ligan uji dengan reseptor.

                                       (a) Physagulin-F;  dan (b) Thiazolidinediones


Dari hasil visualisasi residu asam amino reseptor PPAR-𝛾 yang berinteraksi dengan Thiazolidinedione dan ligand uji Physagulin-F dalam bentuk pose 3D dan 2D menunjukkan kesamaan jumlah residu asam amino yang berinteraksi dalam bentuk ikatan hidrogen antara residu asam amino reseptor PPAR-𝛾 yang berinteraksi dengan Thiazolidinedione dan ligand uji Physagulin. Sedangkan untuk interaksi hidrofobik yang terbentuk antara Thiazolidinedione dengan residu asam amino pada reseptor PPAR-𝛾 memiliki perbedaan jumlah residu yang berinteraksi dengan interaksi hidrofobik antara ligand uji Physagulin-F dengan residu asam amino pada reseptor PPAR-𝛾.

Interaksi hidrofobik mampu menstabilkan interaksi ligan-reseptor dengan menurunkan nilai energi bebas ikatan (ΔG). Hal ini dapat dilihat dari visualisasi hasil penambatan ligand uji Physagulin-F yang banyak memiliki fitur interaksi hidrofobik dengan residu asam amino yang ada pada sisi aktif enzim jika dibandingkan dengan Thiazolidinedione. Banyaknya fitur interaksi hidrofobik yang dimiliki oleh kompleks Physagulin-F dan reseptor PPAR-𝛾 berkorelasi juga dengan perolehan nilai energi bebas ikatan (ΔG) yang dihasilkan, dimana energi bebas ikatan (ΔG) untuk Physagulin-F lebih rendah jika dibandingkan dengan Thiazolidinedione sebagai ligand co-crystal dan pembanding. Dengan demikian dapat diprediksi Physagulin-F memiliki afinitas yang lebih baik dibanding Thiazolidinediones dan dapat dikembangkan sebagai kandidat senyawa aktif yang berpotensi sebagai obat antidiabetes.

 

KESIMPULAN

 

Nilai energi bebas ikatan (ΔG) senyawa aktif terbaik dari tanaman ciplukan (Physalis angulata Linn.) terhadap reseptor PPAR-𝛾 yaitu Physagulin-F dengan nilai energi bebas ikatan (ΔG) -10,10 kcal/mol dan dapat berinteraksi lebih baik dibanding obat antidiabetes Thiazolinedione yang memiliki nilai energi bebas ikatan (ΔG) -7,99 kcal/mol.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Castorena, A.P., Hernández, I.Z., Martínez, M., Maldonado, E. 2013. Chemical Study of Calyxes and Roots of Physalis solanaceus. Record of Natural Products, 3(7): 230-233.

 

Hariana, A. 2011. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya. Seri 1. Jakarta: Penebar Swadaya. Hal 89.

 

Kontoyianni, M., McClellan, dan Sokol. 2004. Evaluation of Docking Performance : Comparative Data on Docking Algorithm, Journal of Medicinal Chemistry, 47, 558- 565

 

Permana, R. B. 2013. Aktivitas Antidiabetes Buah Ciplukan (Physalis Angulata Linn.) pada Tikus Model Diabetes Melitus Tipe-2. Skripsi. Departemen Biokimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor.

 

Pujari, S., Mamidala, E. 2015. Anti-diabetic activity of Physagulin-F isolated from Physalis angulata fruits. The American Journal of Science And Medical Research, 1(1): 53-60.

 

Purnomo, H. 2013, Kimia Komputasi Uji In Silico Senyawa Anti Kanker. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. WHO. 2016. Global Report on Diabetes. Fact Sheet. Hal: 11.

 

SUMBER

 

Dina Pratiwi.  2021. Studi molecular docking senyawa dari tanaman ciplukan (Physalis angulata linn.) sebagai antidiabetes pada reseptor PPAR-𝛾 Jurnal Farmagazine Vol. VIII No.1 Februari 2021.  https://media.neliti.com/media/publications/456378-none-88d7a14c.pdf.

 

Thursday, 13 June 2024

Prinsip Genetika dalam Penyakit Umum

Sejarah genetika manusia, dan khususnya kedokteran genetika, sebagian besar merupakan sejarah yang dibangun atas analisis karakter gen tunggal. Sejarah tersebut telah memengaruhi pemikiran dalam komunitas perawatan kesehatan dan genetika tentang mekanisme genetika dan molekuler, tentang penyakit, serta tentang pendidikan dan konseling. Namun, kini, meningkatnya kemampuan untuk mengidentifikasi variasi genetika yang terkait dengan penyakit umum dan kompleks menantang komunitas untuk membangun sejarah tersebut dan menyempurnakan serta memperluas wawasan tradisional dengan cara yang terus meningkatkan hasil bagi pasien dan keluarga serta membantu menunjukkan manfaat perspektif genetika untuk semua perawatan kesehatan. Prinsip-prinsip berikut, yang harus selalu menjadi pekerjaan yang sedang berlangsung, dimaksudkan untuk memandu upaya pendidikan yang membahas perluasan genetika ke ranah penyakit kompleks umum.

 

Prinsip Genetika dalam Konteks Penyakit Umum

 

• Penyakit merupakan produk sampingan dari variasi genetik yang diperlukan untuk kelangsungan hidup spesies kita. Seperti halnya pada semua spesies, beberapa variasi merugikan bagi beberapa individu di beberapa lingkungan. Pada manusia, variasi yang tidak adaptif tersebut menjadi perhatian kita sebagai penyakit. Kesuburan manusia mungkin serendah 25 %, yang berarti bahwa sebagian besar penyakit manusia terjadi di dalam rahim. Oleh karena itu, banyak variasi yang tidak adaptif tidak pernah menjadi perhatian kita, karena tidak bertahan dari kerasnya seleksi intrauterin.

 

• Potensi variasi (mutasi) di bagian mana pun dari genom manusia merupakan penyebab sebagian besar variasi biologis manusia dan keragaman besar dalam ekspresi penyakit.

 

• Meskipun penyakit merupakan fungsi dari proses evolusi, evolusi merupakan fenomena spesies, bukan individu. Tanda keberhasilannya adalah populasi yang bereproduksi yang individu-individunya hanya penting dalam memenuhi keharusan evolusi.

 

• Penyakit kompleks bersifat non-mendelian; penyakit tersebut mungkin menunjukkan pengelompokan familial, tetapi tidak ada segregasi yang jelas. Pemisahan fenotipe merupakan perbedaan utama antara kelainan gen tunggal dan penyakit kompleks: meskipun gen penyakit kompleks terpisah, fenotipenya tidak.

 

• Sebutan "penyakit kompleks" lebih informatif daripada sebutan tradisional "multifaktorial," karena istilah yang terakhir berfokus pada gen agen penyebab dan lingkungan - tetapi tidak pada mekanisme. Istilah "kompleks" mengharuskan seseorang untuk berpikir tidak hanya tentang agen penyebab tetapi juga tentang mekanisme fisiologis, termasuk proses homeostatis, perkembangan, dan evolusi.

 

• Penyakit kompleks umumnya lebih sering terjadi daripada kelainan gen tunggal. Namun, seperti yang ditunjukkan oleh frekuensi penyakit sel sabit (sekitar 1 dari 400 orang Afrika-Amerika), kriteria tersebut tidak selalu mendefinisikan penyakit kompleks. Frekuensi kelainan gen tunggal yang meningkat umumnya disebabkan oleh pergeseran genetik atau keuntungan selektif.

 

• Baik kelainan gen tunggal maupun penyakit kompleks dicirikan oleh berbagai faktor genetik, perkembangan, dan lingkungan. Namun, pada kelainan gen tunggal, satu gen memiliki efek yang jelas dalam menghasilkan fenotipe yang dimaksud.

 

• Penyakit kompleks seperti kanker, penyakit jantung, diabetes, dan penyakit mental merupakan kontributor utama morbiditas dan mortalitas di negara maju dan berkembang. Gangguan gen tunggal jarang terjadi secara individual (umumnya), dan bahkan secara agregat merupakan beban penyakit dan kematian yang jauh lebih kecil daripada penyakit kompleks.

 

• Jika frekuensi yang tinggi umumnya menandakan adanya penyakit kompleks, apakah infeksi termasuk dalam kategori ini? Meskipun kebanyakan orang, termasuk sebagian besar profesional kesehatan, mungkin tidak segera mengenali dasar genetik untuk infeksi, ada banyak bukti bahwa genotipe dapat memengaruhi kerentanan dan resistensi terhadap infeksi. Mengingat bahwa infeksi merupakan konsekuensi dari kontes antara dua genotipe, dengan peluang untuk variasi di keduanya, infeksi tersebut menyerupai semua penyakit lain dalam potensi kerentanan dan resistensi.

 

• Karena efek satu gen yang meluas, gangguan gen tunggal dapat diekspresikan terlepas dari lingkungan, baik seluler maupun eksternal. Yang lain memerlukan rangsangan khusus, misalnya, fenilalanin dalam PKU, atau banyak agen untuk anemia hemolitik defisiensi G6PD. Sebaliknya, pada penyakit kompleks, ekspresi yang diharapkan dipengaruhi oleh produk dari beberapa gen yang berinteraksi dengan faktor lingkungan selama perkembangan, pematangan, dan penuaan.

 

• Penyakit kompleks berbeda dari kelainan gen tunggal secara kuantitatif karena beberapa produk gen bergabung untuk menghasilkan fenotipe pada penyakit kompleks. Pada penyakit kompleks, produk dari satu lokus mengesampingkan efek produk dari lokus lain. Modifikasi gen dan heterogenitas genetik membuat kelainan gen tunggal menjadi kompleks dengan sendirinya, tetapi tidak beraneka ragam seperti penyakit yang melibatkan beberapa gen dan beberapa variabel lingkungan.

 

• Meskipun penyakit gen tunggal dan kompleks berbeda secara kuantitatif sepanjang kontinum, keduanya tidak berbeda secara kualitatif; hubungan antara gen, protein, dan proses biologis sama pada kedua jenis penyakit.

 

• Pada kelainan gen tunggal, sering kali lebih mudah untuk membedakan hubungan antara gen dan fenotipe, dan kita mengetahui detail hubungan tersebut untuk banyak kelainan tersebut. Hubungan antara gen, produk gen, dan fenotipe kurang mudah dibedakan pada kelainan kompleks, dan kita hanya mengetahui sedikit detail untuk beberapa penyakit tersebut. • Penetrasi yang berkurang adalah aturan untuk penyakit kompleks, yaitu, penyakit tidak selalu diekspresikan bahkan di hadapan gen terkait. Namun, gagasan penetrasi itu sendiri akan kurang berguna saat kita mempelajari lebih lanjut tentang gen, produk gen, dan mekanisme homeostatis yang mendasari penyakit tertentu.

 

• Variasi yang terkait dengan penyakit umum dan kompleks terjadi pada gen polimorfik, yang kemungkinan besar lebih tua, dalam istilah evolusi, daripada yang terkait dengan kelainan gen tunggal yang lebih langka. Penelitian dalam biologi molekuler menunjukkan konservasi evolusi gen penting, misalnya, yang terkait dengan perkembangan. Pemahaman tentang konservasi evolusi membantu kita memahami kendala pada perkembangan manusia.

 

• Kelainan gen tunggal umumnya mengganggu homeostasis secara signifikan di awal perkembangan dan, oleh karena itu, sering kali berada di bawah tekanan selektif yang berat. Penyakit kompleks juga mengganggu homeostasis secara signifikan, tetapi efeknya lebih bertahap, sering kali berpuncak pada timbulnya di kemudian hari, terkadang setelah individu yang terkena telah bereproduksi. Oleh karena itu, penyakit kompleks umumnya berada di bawah tekanan selektif yang tidak terlalu berat, meskipun asal-usul penyakit kompleks pada individu mana pun mungkin memiliki sejarah yang sangat panjang, bahkan sejak kehidupan intrauterin.

 

• Perbedaan paling menonjol antara kelainan gen tunggal dan kompleks adalah sejauh mana produk gen tunggal mengganggu homeostasis. Jika suatu produk gen sangat kurang atau tidak berfungsi sehingga menyebabkan kerusakan parah pada sistem tempat produk tersebut berfungsi, penyakit tersebut umumnya jarang terjadi. Selain itu, penyakit tersebut hampir selalu muncul lebih awal dan akan resistan terhadap upaya untuk memberikan pengobatan khusus atau bahkan penanganan. Di sisi lain, pertimbangkan suatu produk gen yang menjalankan fungsinya secara memadai dalam beberapa atau bahkan sebagian besar keadaan, tetapi gagal ketika produk gen lain yang terintegrasi dengannya gagal berfungsi. Penyakit yang dihasilkan akan lebih sering terjadi, kemungkinan akan muncul kemudian, dan kemungkinan akan lebih dapat diobati. Perbedaannya terletak pada tingkat kerusakan homeostatis. Seorang ahli biologi populasi mungkin mengatakan ada perbedaan dalam tekanan seleksi. Lebih jauh, seorang ahli biologi populasi mungkin mengatakan bahwa hubungan antara peningkatan frekuensi dengan munculnya penyakit di kemudian hari merupakan bukti penurunan bobot kontribusi genetik terhadap penyakit seiring bertambahnya usia.

 

• Gangguan umum umumnya lebih dapat diobati daripada gangguan gen tunggal. Pada gangguan gen tunggal, kerusakan sering terjadi di awal perkembangan dan sering kali resistan karena tingkat keparahan dan meluasnya efeknya. Meskipun dampak penyakit umum sering kali cukup parah, penyakit tersebut umumnya berkembang secara bertahap, sepanjang rentang hidup, sering kali muncul pada usia paruh baya. Praktisi sering kali dapat memperbaiki gejala dengan memodifikasi faktor lingkungan yang berkontribusi, misalnya, melalui pola makan, olahraga, pengobatan, atau konseling. Beberapa penyakit umum juga dapat ditangani sejak dini, seperti pengangkatan lesi prakanker.

 

• Kita sering mendengar atau membaca frasa, "interaksi gen-lingkungan." Mengingat bahwa gen memberikan pengaruhnya hanya melalui spesifisitas produk yang ditentukannya, lebih tepat untuk merujuk pada interaksi antara produk gen - protein - dan pengalaman lingkungan. Protein memediasi mekanisme biokimia dan molekuler di setiap tingkat organisasi biologis, dari molekuler hingga organisme.

 

• Maka, dapat disimpulkan bahwa produk gen berada di pusat patogenesis; protein adalah tempat bertemunya model klinis dan model molekuler penyakit. Keunggulan ini sekarang terbukti dalam penggunaan kata-kata baru. Misalnya, repertoar protein dikenal sebagai proteom, sebuah kata yang menyatakan hubungannya dengan genom, sementara urusan memilah hubungan protein dengan fungsinya disebut proteomik.

 

• Dalam konteks penyakit, kita cenderung mengaitkan "lingkungan" hanya dengan hal-hal yang berada di luar individu, misalnya, mutagen, karsinogen, teratogen, patogen, dan zat-zat lain yang umum dialami. Namun, pertimbangan tentang gangguan umum dan kompleks memerlukan definisi yang lebih luas tentang "lingkungan," dimulai dengan lingkungan intraseluler dan berlanjut ke lingkungan yang diciptakan oleh interaksi individu dengan dunia luar. Lingkungan untuk produk gen tertentu, misalnya, dapat mencakup interaksinya dengan interaksi gen-gen lain. Pertimbangan tentang lingkungan juga memerlukan pengakuan atas riwayat perkembangan dan pengalaman unik setiap individu, yang mengakibatkan setiap orang terkena penyakit tertentu melalui serangkaian peristiwa yang unik. Oleh karena itu, diagnosis harus mencakup informasi dari tiga skala waktu: skala gen atau filogeni, skala perkembangan atau ontogeni, dan skala momen. Ekspresi penyakit akan mencerminkan unsur-unsur dari ketiganya.

 

• Penjelasan tentang sebab akibat umumnya lebih sulit pada kelainan umum dan kompleks dibandingkan dengan kelainan gen tunggal. Biasanya nama, sifat, atau jumlah gen yang terlibat, dan produknya, tidak akan diketahui, begitu pula cara produk gen tersebut berinteraksi, atau cara unik di mana pengalaman lingkungan telah memicu penyakit pada individu tertentu. Mengingat ketidakpastian tersebut, penentuan risiko dan kerentanan menjadi bermasalah. Risiko penyakit yang diturunkan oleh produk gen yang sama dapat berbeda dari satu keluarga ke keluarga lainnya, dan bahkan di antara anggota keluarga yang sama, karena heterogenitas gen, perkembangan, dan pengalaman mungkin ada dalam keluarga tersebut. Misalnya, suatu penyakit dapat melibatkan lima gen, yang mana tiga di antaranya dapat menyebabkan penyakit. Setiap anggota keluarga tertentu dapat mewarisi set gen yang berbeda dari orang tua yang berbeda. Selain itu, faktor lingkungan yang tidak diketahui dapat memicu penyakit pada beberapa anggota keluarga sementara anggota keluarga lain yang memiliki gen yang sama tetap tidak terpengaruh.

 

• Konselor genetik dan penyedia layanan kesehatan primer akan semakin tertantang untuk menjelaskan ketidakpastian yang disebabkan oleh variasi genetik dan pemahaman kita yang tidak lengkap tentang manifestasi dan implikasinya. Konseling untuk hidup dengan ketidakpastian, yang umumnya diperlukan dalam layanan kesehatan, kemungkinan besar memerlukan penyempurnaan tingkat baru.

 

• Dalam kasus-kasus di mana penemuan gen memungkinkan pengujian kerentanan untuk penyakit yang kompleks, penyedia layanan harus membantu pasien membuat keputusan yang tepat tentang pengujian genetik. Itu akan memerlukan diskusi yang jelas tentang penyebab yang kompleks, tentang arti kerentanan, dan tentang nilai prediktif terbatas dari hasil positif atau negatif.

 

• Pemahaman yang lebih baik tentang kontribusi genetik dan lingkungan terhadap penyakit yang kompleks harus mengalihkan fokus layanan kesehatan dari nama penyakit itu sendiri ke individualitas genetik dan ke individualitas pengalaman, kebiasaan, dan kondisi lingkungan pasien tertentu. Pendekatan terhadap layanan kesehatan ini harus membuat penyedia layanan kesehatan lebih mungkin mencari keadaan biologis dan lingkungan yang menyebabkan seseorang menunjukkan penyakit tertentu pada saat tertentu dalam riwayat perkembangannya.

 

• Fokus pada komponen genetik, perkembangan, dan lingkungan dari penyakit, dan kombinasi uniknya pada individu tertentu, pasti akan mengharuskan perawatan kesehatan lebih menekankan pencegahan daripada yang dilakukannya saat ini. Memang, setelah menetapkan kerentanan genetik terhadap penyakit yang kompleks, penyedia layanan tidak akan punya alternatif lain kecuali pencegahan untuk membantu pasien menghindari faktor lingkungan yang dapat memicu penyakit atau menerapkan cara pemeriksaan diri yang dapat mendeteksi indikasi awal penyakit.

 

• Saat kita mulai memahami kontribusi lingkungan terhadap penyakit yang kompleks, kita dapat, melalui pendidikan dan tindakan politik, mulai menghilangkannya atau setidaknya mengurangi dampaknya. Dengan demikian, kita akan menciptakan lingkungan tempat kontribusi utama yang tersisa terhadap penyakit adalah yang diakibatkan oleh varian dalam genom manusia. Faktanya, itulah tujuan pencegahan penyakit yang mengurangi variasi nongenetik, dan itu adalah lintasan perawatan kesehatan yang diinformasikan oleh perspektif genetik.

 

SUMBER

Barton Childs, M.D. and Joseph D. McInerney, M.A., M.S. 2006. Adapted from “A Framework for Genetics and Complex Disease,” with permission of the Foundation for Genetic Education and Counseling.