Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Thursday, 28 March 2024

Diplomasi Jepang di Era Multipolar

 

Diplomasi Jepang di Era Multipolar, Pro Amerika Namun Otonom


Dibandingkan dengan AS, Jepang adalah negara dengan posisi geopolitik, kekuatan nasional dengan karakteristik nasional yang berbeda. Oleh karena itu, persepsi regional dan internasional berbeda antara Jepang dan AS. Meskipun “pandangan dunia multipolar” dimiliki oleh negara-negara anggota UE, China, Rusia, dan negara-negara Asia Timur lainnya, namun media Jepang dan AS cenderung enggan menggunakan istilah ini.

 

Artikel ini bersumber dari kajian independen Prof. Watanabe Hirotaka (Profesor Universitas Teikyo), yang berjudul “Pro-American yet Autonomous in a multipolar era”, yang dimuat di YÅ«rashia Dainamizumu to Nihon, The Japan Forum on International Relations (JFIR) Commentary. No. 144. October 21, 2022.

 

Diprediksi persepsi tentang “hegemoni AS” semakin surut. Sejauh mana Jepang menganggap ini pada nilai nominal. Meskipun aliansi Jepang-AS merupakan landasan diplomasi Jepang, namun Jepang harus mempertimbangkan bahwa persepsi global tentang tatanan internasional berubah sebagai respons terhadap kebangkitan China.

 

Namun demikian, hanya sedikit orang yang percaya bahwa kebangkitan China akan mencapai kesetaraan dengan AS dalam hal kekuatan keseluruhan dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan.

 

Masih ada pandangan kuat bahwa AS adalah hegemoni global dan harus tetap menjadi polisi dunia meski pengaruhnya semakin berkurang. Meskipun demikian, kesenjangan antara kekuatan AS dan China semakin menyempit.

 

Hal itu terlihat ketika Jepang mempertimbangkan turbulensi yang signifikan di AS, seperti selama pemerintahan Trump. Dalam survei opini publik yang dilakukan oleh Dewan Eropa untuk Hubungan Luar Negeri (ECFR) pada akhir tahun 2020, segera setelah pembentukan pemerintahan Biden, lebih dari separuh orang Eropa merasakan krisis yang kuat tentang goncangan demokrasi Amerika.

 

Pada titik balik ini, penting untuk memikirkan kembali diplomasi Jepang dan dunia dari sudut pandang geopolitik. Ini karena, secara geopolitik, Jepang dapat terjebak di antara kekuatan AS dan China. Itu bisa dengan mudah menjadi variabel dependen dalam kerangka hubungan AS-China.

 

“Diplomasi Pro-AS namun otonom”

 

Sejauh mana Jepang bisa bertindak sebagai perantara atas hubungan yang rumit itu? Bisakah Jepang menunjukkan wawasan diplomatiknya?

 

Cita-cita diplomasi Jepang adalah memainkan peran independen sebagai jembatan antara kedua belah pihak. Pendapat ini sering mendapat tanggapan sebagai berikut: "itu masuk akal dalam teori tetapi tidak mungkin dicapai dalam praktik."

 

Ini tentu tidak akan mudah. Namun, haruskah Jepang menyerah, merendahkan diri, dan puas menjadi mitra junior AS karena sulit menjadi perantara atau jembatan? Ini menimbulkan masalah yang menyentuh jantung diplomasi Jepang. Ini mungkin masalah gaya hidup individu, tapi bagaimana dengan bangsa?

 

Bahkan jika itu mungkin tampak idealis, maka perlukah mempertimbangkan bagaimana Jepang dapat memainkan peran politik yang lebih penting di Asia dan secara global—untuk menggunakan ekspresi retoris, akankah dikatakan “diplomasi Pro-AS namun otonom.” Tidak ada yang lebih baik daripada memiliki teman yang mandiri dan dapat diandalkan.

 

Wajar jika negara merdeka memiliki perbedaan pendapat. Namun, jika hubungan kepercayaan dibangun, itu harus memungkinkan untuk bekerja sama pada satu tujuan dengan cerdik—itu adalah bukti sekutu yang kuat dan dapat diandalkan.

 

Skenario ini membutuhkan diplomasi Jepang yang semakin fleksibel. Selanjutnya, penting untuk mengasah wawasan yang memadai untuk meyakinkan negara-negara tetangga dan dunia untuk melakukan dan mengkomunikasikan wawasan ini secara efektif. Orang mungkin menyebutnya "diplomasi wawasan".


Ini tidak boleh terbatas pada diskusi pembangunan pertahanan atau perlombaan senjata. Realisme militer sedang bangkit, tetapi kehancuran di Ukraina menggambarkan tragedi hari ini sebagai akibatnya.


Yang kita butuhkan dalam diplomasi sekarang adalah realisme politik. Dalam konteks ini, meskipun pernyataan pejabat yang berpengalaman di lapangan sangat dihargai, harapan saat ini adalah munculnya pejabat negara dan politisi yang memiliki wawasan kebijakan luar negeri yang tinggi.

 

Jepang adalah negara tepercaya dan aman yang termasuk di antara negara-negara terkemuka dunia dalam hal kekuatan secara keseluruhan. Ini memiliki citra yang baik berdasarkan kredibilitas yang kuat dan ciri khas nasional.

 

Oleh karena itu, tidaklah gegabah atau sembrono bagi suatu negara untuk memiliki visi jangka panjang yang luas untuk stabilitas tatanan internasional (=pemerintahan global) dan dapat merespons dengan bebas.

 

Jika terlihat goyah dalam membuat komitmen positif dengan mengorbankan stabilitas, itu akan mengembalikan ekspektasi dunia terhadap Jepang.

 

“Saatnya Meningkatkan Diplomasi Jepang!” – Indo-Pasifik dan Asia Timur adalah pilihan lain, tetapi apakah tidak ada pilihan lain dalam bentuk diplomasi kredibilitas Eurasia?

 

Realitas Lokasi Geopolitik Jepang

 

Jepang adalah negara Pasifik dan bagian dari benua Eurasia. Jepang biasanya melihat Eurasia (benua Asia) berada di luar Laut Jepang.

 

Selain itu, ada kecenderungan yang kuat untuk melihat hubungan lebih dekat dengan Amerika Serikat (yang letaknya lebih jauh melintasi Samudra Pasifik) daripada dengan China dan Semenanjung Korea (yang letaknya tepat di seberang Laut Jepang).

 

Hal ini diyakini tidak wajar. Meskipun memiliki atribut geografis dan budaya Asia Timur, kebijakan luar negeri Jepang memiliki struktur yang bengkok. Di sisi lain secara politis dan diplomatis lebih dekat dengan Amerika Serikat, yang letaknya jauh di Samudera Pasifik.

 

Ini telah menjadi tradisi sejarah sejak kebijakan era Meiji “keluar dari Asia dan masuk ke Eropa”, tetapi berapa lama hal ini dapat berlanjut dalam menghadapi pertumbuhan luar biasa di China dan Asia Tenggara? Mari kita lihat Peta 1 berikut.

Peta memiliki arti yang berbeda tergantung pada bagaimana cara melihatnya. Peta diatas adalah "peta terbalik" terkenal yang diterbitkan oleh Prefektur Toyama. Meskipun Laut Jepang memisahkan Jepang dari benua Asia (Jepang dan Cina) dari sudut pandang strategi diplomatik, di peta ini lebih terlihat seperti "laut pedalaman" yang terjepit di antara benua dan Jepang.

 

Lebih alami untuk melihat Eurasia dan Jepang sebagai satu zona ekonomi dan kepabeanan. Peta ini menunjukkan Jepang dalam posisi geografis yang berbeda dari peta Mercator (proyeksi peta silinder yang dipopulerkan oleh kartografer Flandria Gerardus Mercator pada tahun 1569) yang sudah dikenal, yang memiliki Samudra Pasifik di tengah peta pada sumbu horizontal timur-barat.

 

Apalagi, Jepang diposisikan sebagai “negara penyangga” antara kekuatan kontinental (kekuatan darat) dan kekuatan maritim (kekuatan laut). Seperti yang terlihat dari benua yang menghadap Samudera Pasifik, Jepang adalah pemecah gelombang dan benteng.

Sebaliknya, sisi Pasifik adalah benteng dan pos terdepan melawan kemajuan benua. Dengan kata lain, Jepang adalah pemecah gelombang bermata dua dari sudut pandang benua dan Samudra Pasifik. Mari kita periksa Peta berikut.

Ini menunjukkan pengerahan pasukan pertahanan militer AS di seluruh dunia, seperti yang terlihat dari atas Kutub Utara. Mereka membentuk jaringan keamanan yang mengelilingi Samudra Arktik.

 

Penyebaran militer global AS mencakup Hawaii, Okinawa, Diego Garcia di Samudra Hindia, beberapa pangkalan militer di Eropa, ditambah Armada Keempat di Atlantik, Armada Keenam di Mediterania, Armada Ketiga dan Ketujuh di Pasifik Timur dan Barat, dan Armada Kelima di Samudera Hindia.

 

Dalam pengertian ini, Okinawa dan Guam menempati posisi penting dalam pertahanan Pasifik Barat dan benua Asia.

 

Pelabuhan militer dan pangkalan angkatan laut Rusia terletak di sisi lain Samudra Arktik. Posisi strategis Samudra Arktik ditentang secara diametris tergantung pada apakah hubungan AS-Rusia bermusuhan atau bersahabat.

 

Laut Jepang memiliki signifikansi geopolitik yang sama. Karena pemanasan global membuat Samudra Arktik lebih praktis, perkembangan baru dalam hubungan antara AS, China, Eropa, dan Rusia juga dimungkinkan.

 

SUMBER:

Pudjiatmoko. Diplomasi Jepang di Era Multipolar, Pro Amerika Namun Otonom. bicaranetwork.com. https://www.bicaranetwork.com/bicara/pr-2956457017/diplomasi-jepang-di-era-multipolar-pro-amerika-namun-otonom

Wednesday, 27 March 2024

C. Felis Menular ke Manusia ?

 

Mungkinkah Chlamydia Felis Dari Kucing Menginfeksi Manusia ?

 

Feline Chlamydiosis pada kucing disebabkan oleh infeksi Chlamydia felis. Infeksi Chlamydia felis merupakan penyakit menular yang biasanya menyerang kucing muda. Penyakit ini menyebabkan gangguan kelainan pada mata dan saluran pernapasan bagian atas. Meskipun dapat diobati, pemilik kucing perlu mewaspadai penyakit menular ini.

 

Ciri-ciri agen penyebab

 

Proposal nomenklatur baru-baru ini mengklasifikasikan semua ada 11 spesies Chlamydiaceae dalam satu genus Chlamydia (Sachse et al., 2015). Spesies yang paling sering menginfeksi kucing yaitu Chlamydia felis. Chlamydia felis, khas dari genus Chlamydia merupakan bakteri coccoid berbentuk batang Gram-negatif; dinding selnya tidak mengandung peptidoglikan. Sebagai parasit intraseluler obligat, bakteri ini tidak memiliki kemampuan untuk bereplikasi secara otonom.

 

Ketika meninginfeksi sel inang, organisme menempel pada reseptor asam sialat sel. Bakteri ini memiliki pola replikasi yang unik di dalam sel, yang melibatkan badan retikulat dan badan elementer. Yang terakhir merupakan bentuk menular dari mikroorganisme yang dilepaskan setelah sel inang mengalami lisis. Beberapa isolat C. felis tampaknya mengandung plasmid yang ada hubungannya dengan patogenitasnya.

 

Epidemiologi

 

Karena C. felis memiliki viabilitas rendah atau kelangsungan hidup yang rendah di luar inang, sehingga penularannya memerlukan kontak dekat antar kucing memalui transfer cairan yang keluar dari mata. Infeksi sering terjadi di tempat-tempat banyak kucing, khususnya di tempat pembibitan kucing dan penanmpungan kucing. Penelitian lain telah menemukan tingginya prevalensi C. felis pada kucing liar dengan gejala konjungtivitis.

 

Satu studi pada kucing di Slovakia (Halanova dkk., 2019) menemukan bahwa risiko infeksi C. felis secara signifikan lebih besar pada kucing dengan konjungtivitis dan/atau gejala klinis saluran pernapasan atas (30,4% positif dengan PCR) daripada kucing sehat (4,2% ). Selain itu, kucing dari tempat penampungan (31% positif dengan PCR) dan kucing liar jalanan (35,7%) secara signifikan lebih berisiko terinfeksi daripada kucing yang hanya di dalam ruangan (0%).

 

C. felis paling sering dikaitkan dengan konjungtivitis pada kucing dan dapat diisolasi hingga 30% dari kucing yang terkena, terutama pada kucing dengan konjungtivitis kronis dan penyakit mata yang parah (Wills dkk., 1988).

 

Survei serologi menunjukkan bahwa 10% atau lebih hewan peliharaan yang tidak divaksinasi memiliki antibodi. Studi dengan PCR pada kucing dengan tanda penyakit mata atau saluran pernapasan bagian atas menunjukkan prevalensi 12-20%. Prevalensi pada kucing tanpa tanda klinis rendah, dengan PCR menunjukkan kurang dari 2-3% (Fernandez dkk., 2017).

 

Patogenesis

 

Jaringan mukosa merupakan target Chlamydia spp. dan target utama C. felis adalah konjungtiva. Masa inkubasi umumnya 2 - 5 hari. Bakteri ini terutama menyebabkan penyakit mata. Gejala klinisnya meliputi konjungtivitis, dengan keluar cairan dari mata, hiperemia membran nictitating, kemosis dan blepharospasm. Chlamydia spp. terus-menerus menginfeksi sel epitel mata, sistem saluran pernapasan, gastrointestinal dan/atau sistem reproduksi. Organisme Chlamydia dapat diisolasi dari vagina dan rektum kucing, tetapi tidak jelas apakah transmisi memalui kelamin terjadi walaupun ada bukti tidak langsung bahwa Chlamydia dapat menyebabkan keguguran.

 

Pelepasan Chlamydia dari konjungtiva berhenti sekitar 60 hari setelah infeksi, meskipun beberapa dapat terus terinfeksi secara terus-menerus (O’Dair dkk., 1994). C. felis telah diisolasi dari konjungtiva kucing yang tidak diobati hingga 215 hari setelah infeksi secara eksperimen.

 

Imunitas pasif

 

Kucing yang terinfeksi mengembangkan antibodi dan anak kucing tampaknya dapat dilindungi pada awalnya selama satu sampai dua bulan setelah lahir dengan antibodi yang diturunkan dari induknya (Wills, 1986).

 

Imunitas aktif

 

Sifat dari respon kekebalan protektif terhadap infeksi Chlamydia tidak pasti. Namun respon kekebalan seluler diyakini berperan penting dalam perlindungan (Longbottom and Livingstone, 2006). MOMP dan POMP adalah target penting untuk respon kekebalan protektif pada spesies lain dan telah terbukti ada pada kucing.

 

Tanda-tanda klinis

 

Pada mulanya gejala penyakit terlihat satu mata, tetapi umumnya berkembang menjadi kedua mata. Dapat terjadi konjungtivitis parah dengan hiperemia ekstrem pada membran nictitating, blepharospasm, dan ketidaknyamanan mata. Cairan yang keluar dari mata awalnya cair tetapi kemudian menjadi mukoid atau mukopurulen. Kemosis konjungtiva adalah ciri khas Feline chlamydiosis. Infeksi Chlamydia umumnya kurang menunjukan gejala pernapasan. Komplikasi pada mata seperti adhesi konjungtiva, dapat terjadi tetapi keratitis dan ulkus kornea umumnya tidak berhubungan dengan infeksi. Demam sementara, kurang nafsu makan, dan penurunan berat badan dapat terjadi segera setelah infeksi, meskipun sebagian besar kucing tetap sehat dan nafsu makan baik.

 

Diagnosis deteksi langsung

 

Dimungkinkan untuk mengidentifikasi infeksi dengan biakan, tetapi teknik PCR sekarang merupakan pilihan yang lebih disukai untuk mendiagnosis infeksi Chlamydia. Teknik seperti itu sangat sensitif dan menghindari masalah dengan kelangsungan hidup organisme yang buruk. Swab mata umumnya digunakan sebagai sampel, meskipun sebuah studi baru-baru ini tidak menemukan perbedaan yang signifikan dalam kemampuan untuk mendeteksi C. felis dengan PCR dari swab mata, orofaringeal, hidung dan lidah. Hal ini menunjukkan bahwa situs lain pengambilan sampel dapat digunakan (Schulz dkk., 2015).

 

Selain itu, organisme juga dapat dideteksi pada swab vagina, janin yang diaborsi, dan swab rektal, meskipun ini jarang digunakan untuk diagnosis. Karena organisme bersifat intraseluler, perlu untuk mendapatkan swab berkualitas baik yang mengandung sel. Telah ditunjukkan bahwa proxymetacaine anestesi topikal tampaknya tidak mempengaruhi amplifikasi PCR DNA Chlamydia dari swab mata (Segarra dkk., 2011).

 

Teknik lain untuk mendemonstrasikan organisme kurang sensitif dan kurang dapat diandalkan dibandingkan PCR. Tes antigen Chlamydia berdasarkan pendeteksian antigen spesifik kelompok menggunakan ELISA atau teknik serupa tersedia. Juga, apusan konjungtiva dapat diwarnai Giemsa untuk memeriksa inklusi, tetapi inklusi Chlamydia mudah dibingungkan dengan inklusi basofilik lainnya (Streeten and Streeten, 1985).

 

Diagnosis deteksi tidak langsung

 

Pada kucing yang tidak divaksinasi, deteksi antibodi dapat memastikan diagnosis infeksi C. felis. Teknik imunofluoresensi (IF) dan ELISA digunakan untuk menentukan titer antibodi. Beberapa reaktivitas silang dengan bakteri lain terjadi, dan titer IF rendah (≤32) umumnya dianggap negatif. Infeksi aktif atau baru yang terjadi dikaitkan dengan titer tinggi, seringkali ≥512. Serologi dapat sangat berguna untuk menentukan apakah infeksi endemik dalam suatu kelompok. Ini juga dapat bermanfaat dalam menyelidiki kasus dengan gejala klinis mata kronis. Titer yang tinggi menunjukkan bahwa Chlamydia mungkin merupakan faktor etiologi, sedangkan titer yang rendah mengurangi kemungkinan keterlibatan Chlamydia.

 

Pengobatan

 

Infeksi Chlamydia pada kucing dapat diobati sangat efektif dengan antibiotik. Antibiotik sistemik lebih efektif daripada pengobatan topikal.

 

Tetrasiklin umumnya dianggap sebagai antibiotik pilihan untuk infeksi Chlamydia. Doksisiklin memiliki keuntungan karena hanya memerlukan dosis harian tunggal dan paling sering digunakan dengan dosis harian 10 mg/kg secara oral, walaupun 5 mg/kg secara oral dua kali sehari dapat digunakan jika muntah terjadi dengan dosis satu hari. Pemberian preparat hyclate doksisiklin harus selalu diikuti dengan makanan atau air minum karena kemungkinan dapat menyebabkan esofagitis pada kucing dengan menelan yang tidak sempurna. Studi telah menunjukkan bahwa pengobatan harus dipertahankan selama 4 minggu untuk memastikan eliminasi organisme (Dean dkk., 2005).

 

Pada beberapa kucing, kambuh kembali dapat terlihat beberapa saat setelah penghentian terapi. Kelanjutan pengobatan selama dua minggu setelah resolusi gejala klinis dianjurkan. Tetrasiklin memiliki potensi efek samping pada kucing muda meskipun hal ini tampaknya lebih jarang terjadi pada doksisiklin dibandingkan oksitetrasiklin. Antibiotik alternatif dapat dipertimbangkan jika ini menjadi perhatian.

 

Baik enrofloxacin dan pradofloxacin telah menunjukkan beberapa khasiat melawan Chlamydia spp., meskipun pradofloxacin lebih disukai daripada enrofloxacin mengingat degenerasi retina difus dan kebutaan akut yang telah dilaporkan setelah pengobatan enrofloxacin pada kucing, walaupun sangat jarang. Terapi selama 4 minggu dengan amoksisilin yang berpotensi asam klavulanat dapat menjadi pilihan alternatif yang paling aman untuk doksisiklin pada anak kucing muda (Sturgess dkk., 2001).

 

Vaksinasi

 

Vaksin C. felis merupakan tambahan pencegahan dan pengendalian penyakit ini. Telah tersedia baik vaksin hidup yang dilemahkan maupun yang dimodifikasi, mengandung seluruh organisme Chlamydia. Tetapi vaksin ini hanya sebagai komponen vaksin multivalen. Vaksin efektif dalam melindungi terhadap manifestasi klinis penyakit, namun kurang efektif terhadap terjadinya infeksi (Wills dkk., 1987).

 

Vaksinasi harus dipertimbangkan untuk kucing yang berisiko terpapar infeksi, terutama di tempat yang banyak kucing, dan pernah ada riwayat infeksi Chlamydia sebelumnya.

 

Vaksinasi anak kucing umumnya dimulai pada usia 8-9 minggu dengan suntikan kedua 3-4 minggu kemudian sekitar usia 12 minggu. Informasi terbatas tersedia tentang durasi kekebalan. Ada beberapa bukti bahwa kucing yang sebelumnya terinfeksi dapat menjadi rentan terhadap infeksi ulang setelah satu tahun atau lebih. Vaksinasi booster tahunan direkomendasikan untuk kucing berisiko terkena infeksi.

 

Tempat penampungan kucing

 

Infeksi Chlamydia dapat menjadi penyebab penyakit yang signifikan di tempat penampungan kucing tetapi umumnya merupakan masalah yang kurang signifikan dibandingkan penyakit saluran pernapasan yang disebabkan oleh virus. Vaksinasi harus dipertimbangkan jika sebelumnya pernah ada riwayat penyakit Chlamydia di tempat penampungan.

 

Kontak dekat diperlukan untuk penularan, selain itu organisme memiliki kelangsungan hidup yang rendah di luar inang, maka perlu disiapkan kandang kucing sendiri dan tindakan sanitasi rutin untuk menghindari infeksi silang. Bagi kucing yang dipelihara bersama dalam jangka panjang harus divaksinasi secara teratur.

 

Peternakan pembibitan

 

Pada kucing dengan infeksi Chlamydia endemik, langkah pertama umumnya pengobatan semua kucing di rumah dengan doksisiklin selama minimal 4 minggu untuk mencoba menghilangkan infeksi. Pada beberapa kucing yang sekandang, perawatan minimal 6 - 8 minggu telah terbukti diperlukan untuk menghilangkan infeksi alami. Setelah tanda-tanda klinis dapat dikendalikan, kucing harus divaksinasi untuk memberikan perlindungan terhadap penyakit jika terjadi infeksi ulang di kandang.

 

Kucing yang mengalami gangguan kekebalan hanya boleh divaksinasi jika dianggap benar-benar diperlukan, dan kemudian vaksin yang inaktif harus digunakan.

 

Risiko zoonosis

 

Tidak ada bukti epidemiologis untuk risiko zoonosis yang signifikan meskipun konjungtivitis yang disebabkan oleh C. felis dilaporkan pada pasien yang terinfeksi HIV (Hartley et al., 2001) dan, baru-baru ini, ada wanita imunokompeten terinfeksi dari anak kucing peliharaannya (Wons dkk., 2017).

 

Selain itu, C. pneumoniae, patogen manusia yang terkenal, telah diidentifikasi pada sejumlah kecil kucing, meskipun penularan dari kucing ke manusia belum didokumentasikan.

 

C. psittaci terutama menginfeksi burung menjadi agen zoonosis penting yang menyebabkan pneumonia atipikal pada manusia. Kadang-kadang, infeksi pada kucing dilaporkan. Laporan kasus infeksi C. psittaci yang fatal pada anak kucing berumur 7 minggu telah dilaporkan (Sanderson dkk., 2021); anak kucing ini menunjukkan sepsis Gram Negatif dengan hepatitis necrosupurative akut dan pneumonia nonsuppurative dan leptomeningitis ringan, dan diduga infeksi induk anak kucing tersebut terjadi ketika bunting berburu burung.

 

SUMBER

Pudjiatmoko. Mungkinkah Chlamydia Felis Dari Kucing Menginfeksi Manusia ? Pangan News. 28 April 2023. https://pangannews.id/berita/1682670979/mungkinkah-chlamydia-felis-dari-kucing-menginfeksi-manusia