Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Saturday, 19 October 2019

Gunakan Antibiotik dengan Bijak untuk Pet


Hentikan, Pikirkan, dan Pilih dengan Bijak Penggunaan Antibiotik pada Anjing dan Kucing


Friday, 18 October 2019

Amankan Makanan Umat Manusia Sedunia

Sebanyak 1,3 miliar ton makanan terbuang sia-sia setiap tahun. Namun, 1 dari 9 orang tertidur dengan rasa lapar setiap hari.

Stop membuang makanan secara sia-sia:
1. Belilah porsi makanan yang lebih kecil
2. Jangan sisakan makanan di piring kita
3. Berbagilah makanan dengan orang lain

Sumber: PBB.

Thursday, 17 October 2019

Antisipasi Penyakit ASF

 

Antisipasi Penyakit Demam Babi Afrika, Kementan Siapkan Kebijakan Strategis


Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) terus berupaya mengantisipasi potensi penyebaran wabah penyakit hewan Demam Babi Afrika atau African Swine Fever (ASF) ke Indonesia. Tindakan kewaspadaan dini ASF telah dimulai sejak adanya notifikasi kejadian wabah ASF di Tiongkok pada September 2018. Hal tersebut diwujudkan dalam bentuk tindakan teknis yang meliputi deteksi cepat, pelaporan sigap dan penanganan tepat. Hal tersebut disampaikan oleh Dirjen PKH, I Ketut Diarmita saat membuka Rapat Koordinasi Penyakit Hewan Menular Strategis (PHMS) di Yogyakarta, Senin (14/10/2019).

“Hal yang mengkhawatirkan dari penyebaran penyakit ASF ini adalah belum ditemukannya vaksin untuk pencegahan penyakit dan virusnya sangat tahan hidup di lingkungan serta relatif lebih tahan terhadap disinfektan. Hal tersebut yang menyebabkan penyebaran ASF sulit ditahan dibanyak negara, bahkan bagi negara-negara maju seperti di kawasan Eropa. Penyakit ini merupakan ancaman bagi populasi babi di Indonesia yang mencapai kurang lebih 8,5 juta ekor,” ujar Ketut.

Menurut Ketut, Asia Tenggara dinilai rawan tertular ASF. Kerugian akibat ASF ini akan dirasakan oleh semua pemangku kepentingan, oleh karena itu perlu upaya bersama untuk mencegah sedini mungkin, melakukan kerjasama dengan berbagai pihak terkait, baik di tingkat pemerintah pusat, pemerintah daerah, stakeholder tekait dan masyarakat. 

“Harapannya rapat koordinasi ini menghasilkan kebijakan yang cepat dan tepat, serta untuk menyamakan pola pandang kita terkait ancaman dan langkah-langkah strategis yang harus dilakukan untuk mencegah masuk, dan kemungkinan menyebarnya penyakit ini,” terang Ketut dihadapan peserta rapat yang berasal dari perwakilan dari Eselon II Lingkup Ditjen PKH, Barantan Kementan, Ditjen Bea Cukai Kemenkeu, Ditjen Perhubungan Laut Kemenhub, UPT lingkup Ditjen PKH, Dinas yang membidangi fungsi Peternakan dan Kesehatan Hewan seluruh Indonesia, PT. Pelabuhan Indonesia, PT. Angkasa Pura, Asosiasi Obat Hewan (ASOHI), Asosiasi Dokter Hewan Monogastrik Indonesia (ADHMI), Ketua Asosiasi Monogastrik Indonesia (AMI), Asosiasi Peternak Babi, PRISMA, dan FAO.

Lanjut Ketut menjelaskan bahwa dalam rangka melindungi sumberdaya kita dari ancaman ASF, diperlukan adanya kebijakan ketat terhadap importasi babi hidup dan produk-produk daging babi, terutama dari negara-negara yang tertular ASF. “Saya menyadari bahwa mempertahankan status bebas ASF merupakan tantangan yang sangat besar, namun kita harus tetap optimis dan berkontribusi seoptimal mungkin sesuai dengan peran kita masing-masing, sehingga Indonesia dapat benar-benar tetap bebas dari ancaman ASF” jelasnya.

*Kesiapsiagaan Kementan Menghadapi ASF*

Ketut menyampaikan Kementan telah menyusun pedoman kesiapsiagaan darurat veteriner ASF (Kiatvetindo ASF), dimana terdapat empat tahapan pengendalian dan penanggulangan apabila terjadi kasus ASF yakni Tahap Investigasi, Tahap Siaga, Tahap Operasional, dan Tahap pemulihan. Berdasarkan kajian analisa risiko, ada beberapa faktor yang menyebabkan masuknya ASF ke Indonesia diantaranya melalui pemasukan daging babi dan produk babi lainnya, sisa-sisa katering transportasi intersional baik dari laut maupun udara, serta orang yang terkontaminasi virus ASF dan kontak dengan babi di lingkungannya. 

Lanjut Ketut menjelaskan langkah strategis utama dalam mencegah terjadi ASF adalah melalui penerapan biosekuriti dan manajemen peternakan babi yang baik. Ketut juga meminta daerah yang berisiko tinggi untuk dapat segera dilakukan pengawasan yang ketat dan intensif.

“Penerapan biosekuriti yang benar perlu dipahami oleh seluruh peternak khususnya peternak babi sehingga menjadi tanggung jawab kita semua untuk memotivasi peternak dengan memberikan informasi dan edukasi” ungkap Ketut.

Sementara itu, Direktur Kesehatan Hewan, Ditjen PKH, Fadjar Sumping Tjatur Rasa menyampaikan Kementan telah memperkuat penyidikan dan pengawasan penyakit hewan untuk mengantisipasi penyebaran ASF masuk ke wilayah Indonesia, dan menegaskan bahwa laboratorium Indonesia sudah siap untuk pelaksanaan deteksi penyakit ini. “Upaya deteksi cepat melalui kapasitasi petugas dan penyediaan reagen untuk mendiagnosa ASF ini telah dilakukan oleh laboratorium Kementan yakni Balai Veteriner dan Balai Besar Veteriner di seluruh Indonesia yang mampu melakukan uji dengan standar internasional”ungkap Fadjar. 

Pada kesempatan itu, Anak Agung Gde Putra, salah satu anggota Komisi Ahli Kesehatan Hewan, Kesmavet, dan karantina Hewan menyampaikan pencegahan di negara-negara yang belum terinfeksi dapat dilakukan apabila petugas dan masyarakat mempunyai pengetahuan yang baik tentang ASF dan menerapkan manajemen populasi babi liar dengan tepat. Selanjutnya diperlukan juga koordinasi antar-instansi atau lembaga yang bertanggung jawab atas hewan ternak serta memperkuat sistem biosekuriti.

“Untuk mencegah masuk dan menyebarnya ASF, diperlukan kebijakan pemerintah dalam memastikan bahwa tidak ada babi hidup atau olahannya dari wilayah tertular yang masuk ke wilayah bebas, dan memastikan peternak babi tidak melakukan pemberian pakan yang bersumber dari sisa-sisa makanan (swill feed) yang tidak diolah/ dipanaskan terlebih dahulu," pungkasnya.

Sumber : Kementerian Pertanian

Asal Usul Orang Indonesia

Pameran Asal Usul Orang Indonesia (ASOI) yang diselenggarakan oleh Historia bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, resmi dibuka oleh Dirjen Kebudayaan, Hilmar Farid, di Museum Nasional, 15 Oktober 2019. Pameran yang hendak memberikan perspektif baru tentang siapa leluhur orang Indonesia ini akan berlangsung hingga 10 November 2019.

Pameran ini menampilkan hasil tes DNA sukarelawan seperti Najwa Shihab, Hasto Kristiyanto, Grace Natalie, Budiman Sudjatmiko, Mira Lesmana, Ayu Utami, Riri Riza, dan Ariel Noah, serta hasil tes DNA dari peserta umum terpilih yang mendaftar di microsite Historia yaitu Sultan Syahrir, Esthi Swastika, Irfan Nugraha, Farida Yuniar, Aryatama Nurhasyim, Solikhin, dan Zaenin Natib.

Pameran ASOI ini, juga menampilkan peta penyebaran manusia di dunia dan Indonesia, serta sejarah manusia dari sudut pandang arkeologis dan antropologis.

Gelombang Migrasi
Homo Sapiens telah mengembara selama ratusan ribu tahun dari benua Afrika. Kemudian sekitar 50.000 tahun yang lalu, sampailah gelombang migrasi pertama di kepulauan Nusantara.

“Jadi dari 150.000 tahun, 100.000 tahun berjalan mengembara melewati lingkungan yang berbeda. Ada hutan yang lebat sekali, orangnya pasti akan mengecil. Karena untuk mencegah penguapan. Rambut juga mungkin lebih keriting. Jadi semua itu yang menyebabkan kita menjadi berbeda dalam perjalanannya. Beragam, bukan berbeda,” ungkap Prof. Dr. Herawati Supolo Sudoyo, Deputi Penelitian Fundamental Eijkman Institute dalam pembukaan pameran ini.

Kepulauan Nusantara menjadi menarik bagi para peneliti genetika karena keberagaman genetika. Lokasi Kepulauan Nusantara yang strategis mengalami empat gelombang migrasi manusia modern. Gelombang pertama yang datang ke Nusantara, berasal dari Afrika secara langsung melewati pantai selatan.

“Dekat laut, dekat daratan juga. Jalan aja. Waktu mereka datang ke Nusantara, Kalimantan, Sumatera, dan Jawa masih jadi satu. Lautnya pendek,” kata Herawati.

Menurut Herawati, sebagian manusia pada gelombang pertama itu pergi lagi ke satu daratan besar bernama Sahul. Sahul pada zaman itu, atau 50.000 tahun yang lalu, merupakan Papua dan Australia yang sekarang. Gelombang kedua, datang dari mereka yang sebelumnya telah sampai ke Asia daratan.

“Ini biasanya pertanyaan. Oh kalau yang gelombang kedua itu mengahabiskan yang pertama ya? Karena perang, kompetisi lahan dan sebagainya. Jawabannya tidak. Karena kita melihat semua DNA yang kita periksa ada campurannya. Jadi itu berarti ada kawin-mawin,” kata Herawati.

Gelombang ketiga datang dari Taiwan atau Pulau Formosa. Orang dari Taiwan ini awalnya juga datang dari Asia daratan. Mereka menyebar ke Filipina, Sulawesi, Kalimantan, membawa Bahasa Austronesia. Diaspora Austronesia ini juga sampai ke Madagaskar hingga Pulau Paskah.

Sementara itu, gelombang keempat datang melalui jalur perdagangan dan pengenalan keagamaan sekitar tahun 700-1300. Orang-orang dari Eropa, India hingga Timur Tengah masuk melalui pelabuhan-pelabuhan di Nusantara.

“Jadi kalau diperiksa itu, teman-teman yang lahir dan besar di Jepara, Rembang, Semarang, Tuban dan sebagainya, campur seperti gado-gado,” ujar Herawati.

Gelombang-gelombang migrasi manusia ke Kepulauan Nusantara, kemudian menyebabkan terjadinya pencampuran gen orang Indonesia. Berangkat dari hal itu, menurut Herawati, toleransi bisa dibuktikan dari hasil penelitian genetika.

Menolak Intoleransi
Melalui tes DNA dalam proyek ini, yang hasilnya menunjukan keberagaman gen, dapat menjadi pengetahuan yang mencerahkan terkait permasalahan ‘pribumi’ dan ‘non pribumi’ maupun sentimen ras, etnis, serta agama yang belakangan muncul lagi.

Perihal itu, Hamid Basyaib, dari Balai Pustaka, yang juga menjadi pembicara, menyebut bahwa etnisitas, yang seringkali memicu intoleransi hanyalah konstruksi sosial.

“Etnisitas ini kan yang dipandang paling core. Itu konstruksi sosial. Maka konsekuensinya sikap rasisme misalnya, tidak punya dasar ilmiah sama sekali,” sebutnya.

Menurutnya, sumber-sumber konflik terkait etnis merupakan politik belaka dan bahkan bukan agama. Ia mencontohkan sentimen anti-Semit yang semakin massif pasca didirikannya negara Israel.

“Sebelum Israel berdiri itu tidak pernah jadi isu besar. Baru setelah Israel berdiri, baru kemudian dikait-kaitkan dengan hal-hal teologis yang lebih mendasar, yang lebih sakral dan sebagainya,” ungkapnya.

Di Indonesia, yang menurutnya merupakan melting pot berbagai ras maupun etnis, sebenarnya telah memiliki sikap toleran sejak dulu.

“Sekarang masalahnya, apakah benar bangsa ini juga seperti yang tercermin dipermukaan bahwa intoleran. Saya nggak yakin. Saya kira anda sangat terlalu terpengaruh oleh medsos, pada ujaran-ujaran kebencian pada orang yang kebetulan sangat menonjol,” sebutnya.

Hamid menekankan agar masyarakat tidak membenarkan atau kesan-kesan intoleransi tersebut. “Kita nggak perlu memperteguh image bahwa terjadi atau muncul sikap intoleransi yang luar biasa akhir-akhir ini, 10 tahun terakhir, 5 tahun terakhir, atau terkait pilpres. Saya kira itu bukan gejala yang permanen,” katanya.

Hasto Kristiyanto, Sekjen DPP PDI Perjuangan yang juga merupakan sukarelawan proyek DNA ini menyebut bahwa hasil penelitian DNA dapat membuktikan bahwa manusia Indonesia terbentuk dari pembauran multietnis dan tidak ada yang bisa mengklaim paling asli Indonesia.

“Realitas uji coba DNA tersebut semakin mengukuhkan prinsip kebangsaan dan moto Bhinneka Tunggal Ika sebagai realitas yang hidup, menjadi nilai, dan kesadaran bahwa Indonesia adalah satu kesatuan bangsa yang berkesadaran dan berkehendak menyatukan diri dalam satu kesatuan wilayah Nusantara. Heterogenitas inilah yang menjadi alasan mengapa sila persatuan Indonesia begitu relevan,” sebutnya.

Amankah Pengawet Lilin Pada Buah-buahan yang Tampak Mengkilat?




Mungkin tak banyak orang tahu bahwa apel, pir dan buah-buahan impor lainnya di supermarket dilapisi lilin untuk membuatnya tetap segar, licin dan bagus.

Buah yang dilapisi lilin akan terasa kesat dan perlu digosok-gosok di air agar lapisan lilinnya hilang. Bahkan sebagian orang memilih menguliti kulit buah agar lilinnya hilang.

Bagaimana kalau lilin tersebut ikut kemakan? Amankah buah-buahan yang diberi lilin tersebut jika dikonsumsi?

Secara alami sebenarnya buah mengeluarkan lapisan lilin atau wax untuk melapisi permukaan kulitnya. Lilin atau wax pada buah ini bermanfaat untuk melindungi dan menjaga kesegaran dari buah itu sendiri.

Namun lilin alami ini akan hilang pada saat buah dipanen dan dicuci oleh petani. Untuk melindungi buah dan menjaga kesegaran buah, pengusaha biasanya melapisi kembali buah tersebut dengan wax atau lilin buatan.

Wax atau lilin buatan ini mempunyai struktur yang mirip dengan lilin yang dikeluarkan secara alami oleh tanaman. Dengan adanya lapisan lilin, maka penguapan air dapat dicegah, sehingga kesegaran buah dapat terjaga sekaligus melindungi buah dari parasit dan jamur yang dapat membuat buah cepat busuk dan rusak.

Menurut Food and Drug Administration (FDA) Amerika, seperti dikutip dari Go Ask Alice, Senin (8/2/2010), lapisan lilin yang banyak dipakai pada buah-buahan berasal dari bahan alami (non petroleum-based) dan aman dipakai untuk semua jenis makanan.

FDA mengatakan bahwa lapisan lilin ditujukan untuk membuat buah tetap terlindungi selama masa transportasi, penyimpanan, penjualan, memperbaiki penampilan dan meningkatkan selera, menjaga kelembaban buah, mencegah tumbuhnya jamur serta menjaga buah tersebut dari benturan fisik.

Satu pon lilin bisa digunakan untuk melapisi sekitar 160.000 buah. Namun tak perlu khawatir, lapisan lilin tersebut bisa hilang dengan mencucinya lagi dengan air mengalir sebelum dikonsumsi atau dimasak.

Untuk mengetahui apakah suatu bahan makanan mengandung wax atau tidak, bisa dicari tulisan pada kemasan berupa 'Coated with food-grade vegetable-, petroleum-, beeswax-, atau shellac- based wax atau resin to maintain freshness'.


Wax yang digunakan untuk melapisi buah dan sayur adalah wax jenis food grade (khusus untuk makanan), terbuat dari madu atau yang terbuat dari tanaman. Wax bersifat 'indegistible' maka wax tidak akan dapat hancur oleh enzim pencernaan dan tidak dapat diserap oleh tubuh tapi aman apabila termakan oleh manusia.


Namun jika Anda masih merasa khawatir mengonsumsi buah-buahan yang mengandung lapisan lilin, sebaiknya:
1. Cuci buah terlebih dahulu sebelum dihidangkan tapi jangan cuci jika akan disimpan karena akan cepat rusak.
2. Karena wax adalah lemak, maka cucilah menggunakan air hangat agar wax dapat cepat larut dalam air atau gunakan cairan khusus untuk mencuci sayur dan buah.
3. Jika Anda masih ragu, sebaiknya konsumsi buah yang sudah dikupas karena wax tidak akan dapat menembus hingga ke daging buah.