Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Monday, 3 October 2016

Mengungkap ZDAP! Paket Aksi Zoonosis Global yang Diam-Diam Menyelamatkan Dunia dari Wabah Mematikan!

 


Paket Aksi Penyakit Zoonosis (Zoonotic Diseases Action Package - ZDAP)

 

I.  Bagaimana negara pemimpin ZDAP melibatkan negara peserta lainnya?

1.Mendorong partisipasi negara-negara dan organisasi lain dalam ZDAP serta mengupayakan agar mereka bergabung dan/atau memainkan peran kepemimpinan dalam ZDAP.

2.Semua negara peserta GHSA harus memperkuat penggunaan PVS secara selaras dengan IHR 2005 dalam kerangka JEE dan alat lainnya, sesuai dengan target yang tercantum dalam Road Map ZDAP, dengan mempertimbangkan pelajaran yang telah diperoleh serta praktik terbaik yang diterapkan di negara lain.

 

II. Apa tantangan dan peluang dalam pelaksanaan peta jalan Paket Aksi GHSA?

  • Tantangan dan peluang yang diidentifikasi dalam penggunaan PVS dan IHR 2005 dalam alat JEE, khususnya di bidang koordinasi, kolaborasi, dan keseimbangan representasi sektor, harus diperbaiki.

 

III. Kegiatan Terkini (2014 - 2016)

1.Membangun komitmen global terhadap pendekatan multisektoral untuk menangani penyakit zoonosis yang muncul dalam mendukung GSHA dalam kerangka kesehatan masyarakat.

2. Strategi ASEAN untuk Eliminasi Rabies dan Rencana Aksinya.

3. Pembaruan kegiatan dengan kelompok pengarah GHSA.

4. Konferensi OIE di Paris pada Juni 2015.

5. Konferensi Internasional ZDAP di Vietnam (Rencana Aksi ZDAP).

6.Lokakarya Asia-Pasifik tentang Kolaborasi Multisektoral untuk Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis di Sapporo, Jepang, tahun 2015.

7.  Eliminasi global rabies yang ditularkan anjing: The Time is Now serta pertemuan teknis awal dengan Pusat Kolaborasi WHO di Jenewa, 2015.

8.     Mengirim penilai untuk JEE.

9. Pertemuan kedua ZDAP di Ritz Carlton Mega Kuningan, Jakarta, 22 Agustus 2016.

 

IV. Apa mekanisme koordinasi dan upaya untuk memperkuat Paket Aksi?

1.Meningkatkan komunikasi (non-teknis) tentang pentingnya dan relevansi zoonosis serta pendekatan One Health kepada masyarakat dan pembuat kebijakan, termasuk dengan kementerian keuangan, dalam negeri, perencanaan, dan interior.

2.Semua negara peserta GHSA harus memperkuat penggunaan PVS dalam harmoni dengan JEE dan alat lainnya sesuai target yang tercantum dalam Road Map ZDAP, dengan mempertimbangkan pelajaran yang telah diperoleh serta praktik terbaik yang diterapkan di negara lain.

 

V. Apa praktik terbaik yang dapat dibagikan?

1. Program pencegahan dan pengendalian zoonosis yang terintegrasi.

2.Peningkatan pengetahuan dan keterampilan di kalangan pekerja kesehatan dan sektor pendidikan.

3. Pemberdayaan masyarakat terintegrasi melalui IEC.

4. Sistem surveilans terpadu, investigasi wabah, dan pelaporan dari kabupaten/kota, provinsi, hingga tingkat pusat (seperti flu burung, rabies, antraks).

5.  Surveilans sentinel untuk zoonosis.

6.  Jaringan Epidemiologi dan Laboratorium Zoonosis (Empat Arah Penghubung).

7.Pertemuan pakar tentang kesehatan manusia dan hewan yang terintegrasi untuk zoonosis.

 

Alat, Panduan, dan Praktik Terbaik untuk Kolaborasi 2016
 

a. Pusat Operasi Darurat (Emergency Operations Center - EOC) dan ZDAP di Vietnam.
b. Rencana Strategis Eliminasi Rabies pada Manusia di Kenya (2014-2020).
c. Proyek dan Mitra GHSA di Vietnam.
d. Tanya Jawab tentang Rabies.
e. Komik Elektronik tentang Zoonosis.
f. Buku Saku Flu Burung.

 

Koordinasi, Kerja Sama, dan Kemitraan Antar Sektor untuk Pengendalian Zoonosis di Indonesia (1972-2016)

 

1.MOU tahun 1972 (Dirjen P2P Kemenkes dan Dirjen Peternakan, Kementan): Memperkuat pengendalian zoonosis.

2.Keputusan Tiga Menteri tahun 1978 (Menteri Kesehatan, Pertanian, Dalam Negeri): Pedoman pengendalian rabies.

3. Komisi Nasional Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan Pandemi tahun 2006 (Keputusan Presiden No. 7 Tahun 2006): Rencana Strategis Nasional untuk Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan Pandemi Influenza.

4.Komisi Nasional Pengendalian Zoonosis tahun 2011 (Keputusan Presiden No. 30 Tahun 2011): Rencana Strategis Nasional untuk Pengendalian Zoonosis Terintegrasi, 2012.

 

Model Logika ZDAP

 

1. Input:

 

a. Kebijakan dan regulasi: Panduan Teknis GHSA dan dokumen IHR.

b. Tenaga kerja dan pelatihan.

c. Dana.

d. Material: Manual dan protokol.

e. Mitra nasional: Pemerintah terkait, sektor publik, dan swasta.

f. Mitra internasional: WHO, FAO, OIE, Bank Dunia, negara mitra GHSA.

 

2. Aktivitas/Proses:


a. Penilaian dan perencanaan.

b. Pengembangan dan implementasi kerangka kerja.

c. Pengembangan tenaga kerja.

d. Kebijakan pencegahan.

e. Tanggap darurat wabah.

f. Kemitraan dan kolaborasi.

g. Komunikasi dan pelaporan.

 

3. Pemantauan dan Evaluasi

 

4. Hasil:

 

a. Jangka pendek (1-3 tahun):

  • Sistem kesehatan, laboratorium, dan surveilans mampu mendeteksi penyakit zoonosis prioritas.

  • Kebijakan nasional untuk mendeteksi, mencegah, dan mengendalikan wabah zoonosis.

  • Respons wabah bersama terhadap ancaman zoonosis secara real-time.

  • Pelatihan staf kesehatan hewan dan masyarakat dalam implementasi pendekatan One Health.

b. Jangka menengah (3-4 tahun):

  • Mengurangi waktu deteksi ancaman zoonosis.

  • Pemberitahuan dini wabah zoonosis di sektor kesehatan hewan dan manusia.

  • Inovasi dalam pencegahan, deteksi, dan respons penyakit zoonosis.

c. Jangka panjang (5+ tahun):

  • Pencegahan epidemi zoonosis yang dapat dicegah pada hewan dan manusia.

  • Mengurangi dampak wabah alami serta pelepasan patogen berbahaya secara internasional atau tidak sengaja.

 

6. Apakah perlu bantuan eksternal untuk memperkuat implementasi Paket Aksi?

1. Meningkatkan kapasitas dan jumlah sumber daya manusia.

2.Dukungan bantuan teknis (WHO dan FAO) untuk pakar zoonosis: rabies, pes, leptospirosis, antraks, dll.

3. Penguatan kapasitas laboratorium untuk zoonosis.

4. Dukungan pengembangan penelitian tentang zoonosis.

 

7. Tonggak dan Kegiatan Utama untuk 2016

1. Kolaborasi pelatihan IHR dan PVS untuk layanan kesehatan manusia dan hewan.

2.Meningkatkan dan memperkuat surveilans serta diagnosis (deteksi dini) kesehatan manusia dan hewan dengan memanfaatkan sistem yang ada.

3.Advokasi kebijakan dan regulasi tentang perdagangan dan produksi unggas serta ternak untuk pemangku kepentingan multisektoral nasional.

4.Memperkuat real-time bio-surveillance untuk implementasi pada hewan dan manusia.

5. Sosialisasi zoonosis bersama untuk tenaga kesehatan manusia dan hewan.

 

8. Rencana Aksi Lima Tahun

1. Menekankan pendekatan One Health di semua sektor pemerintah yang relevan.

2. Melaksanakan program pelatihan gabungan IHR dan PVS untuk layanan kesehatan manusia dan hewan.

3.Meningkatkan kompatibilitas data surveilans diagnostik hewan dan manusia yang ada.

4.Mengembangkan kebijakan nasional multisektoral dan pedoman regulasi yang mendukung produksi serta pemasaran unggas dan ternak.

5.Mendukung implementasi arsitektur nasional untuk real-time bio-surveillance, mencakup populasi hewan dan manusia untuk pemantauan dan pelaporan penyakit.

6.Secara aktif mengusulkan kompetensi inti dan persyaratan sistem untuk implementasi sistem surveilans.

7.Meningkatkan, menghubungkan, dan memperluas kemampuan analitis dalam sistem pelaporan penyakit untuk memastikan informasi yang relevan diterima WHO, FAO, dan OIE.

8.Memperkenalkan kerangka operasional yang mendukung pemberitahuan multisektoral untuk wabah yang dicurigai berasal dari zoonosis pada tahap awal kemunculannya.

9.Memperkenalkan sistem yang mendorong penelitian komplementer untuk tujuan kesehatan masyarakat.

 

9. Penutup

Friday, 30 September 2016

Flores & Lembata Buktikan Rabies Bisa Dikendalikan: Vaksinasi Anjing Jadi Kunci Sukses Nasional

 


Pulau Flores dan Pulau Lembata Bukti Nyata Pengendalian Rabies yang Efektif dan Tepat Guna
 
 
Pulau Flores dan Lembata, Nusa Tenggara Timur, telah membuktikan bahwa vaksinasi anjing tidak hanya memberikan solusi bagi pengendalian rabies yang efektif dan tepat guna, tetapi juga membantu memulihkan nilai-nilai sosial, budaya dan ekonomi anjing dalam masyarakat mereka. Ini adalah salah satu capaian penting dari kerjasama yang baru saja berakhir antara Kementerian Pertanian dan Food and Agriculture Organization (FAO), dengan dukungan dana dari World Animal Protection (WAP).

Proyek pengendalian rabies di Pulau Flores dan  Pulau Lembata dilaksanakan mulai September 2013, dan lebih dari 400.000 anjing telah divaksin sepanjang tahun 2014 dan 2015 di 1.300 desa. Sejak dimulainya proyek tersebut, jumlah kasus rabies juga mengalami penurunan yang signifikan pada pertengahan 2016. Selain itu, lebih dari 300 petugas kesehatan hewan (medik veteriner dan paramedik veteriner) telah dilatih untuk meningkatkan kompetensinya dalam pengendalian rabies. Lima laboratorium di Flores juga mendapat penguatan kapasitas, yang diharapkan dapat memberikan pelayanan yang efektif dan efisien untuk kegiatan pemberantasan rabies.

“Peningkatan kapasitas petugas dan laboratorium kesehatan hewan dalam pelaksanaan pengendalian dan pemberantasan rabies di Flores serta Lembata ini sangat penting dalam upaya mengendalikan penyakit di daerah tersebut,” ungkap Drh. I Ketut Diarmita, MP., Direktur Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian.“Dengan adanya petugas yang kompeten ini, terbukti vaksinasi rabies di Flores dan Lembata mampu mengendalikan kasus rabies,” lanjutnya.

Kasus rabies pertama di Flores dilaporkan di Larantuka di Kabupaten Flores Timur pada tahun 1997. Kejadian kasus rabies pertama pada manusia tercatat pada Maret 1998. Wabah rabies merupakan pukulan yang berat bagi penduduk setempat, karena anjing dianggap sebagai aset yang memiliki nilai sosial, budaya, dan ekonomi. Anjing memainkan sejumlah peran penting dalam masyarakat; mereka digunakan untuk perlindungan dari rumah dan properti lainnya, ladang dan tanaman. Mereka juga memainkan peran penting dalam budaya lokal dan acara seremonial. Sebagai hewan peliharaan di dalam sebuah keluarga, anjing dianggap sebagai bagian dari status sosial mereka. Dalam pelaksanaannya, upaya pengendalian rabies di Flores dan Lembata mengalami beberapa tantangan berupa kurangnya tenaga vaksinator, luasnya wilayah, dan belum fokusnya strategi yang diimplementasikan.

Dalam rangka mengoptimalkan upaya pengendalian dan pemberantasan, Direktorat Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, FAO Indonesia dan pemerintah daerah Nusa Tenggara Timur bekerja sama dalam mengendalikan dan memberantas rabies menggunakan pendekatan yang tepat guna, dengan memprioritaskan vaksinasi sebagai strategi utama untuk mengurangi kasus rabies pada hewan. Kerjasama ini didukung penuh oleh World Animal Protection.

Dengan pertimbangan bahwa mayoritas penduduk Flores beragama Katolik, keterlibatan paroki secara aktif dalam kampanye vaksinasi untuk pengendalian dan pemberantasan rabies ini sangat penting.

“Ini adalah salah satu contoh yang baik di mana para pemimpin agama daerah dapat berperan dalam meningkatkan kesadaran dan memobilisasi masyarakat untuk berpartisipasi dalam upaya pengendalian rabies,” kata Dr. James McGrane, Team Leader dari FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases (ECTAD) Indonesia. “Pembelajaran dari Flores dapat digunakan di daerah lain di Indonesia, dan dapat memberikan kontribusi pada pengembangan kerangka kerja global untuk pengendalian dan pemberantasan rabies dengan pendekatan progresif yang saat ini sedang disempurnakan,” tambahnya.

Sejak 2014, Roadmap Nasional untuk Pengendalian dan Pemberantasan Rabies di Indonesia juga telah dikembangkan bersama Kementerian Pertanian, FAO dan World Animal ProtectionRoadmap yang mengedepankan pendekatan yang efektif dan tepat guna tersebut saat ini sedang difinalisasi.

“Selama tiga tahun, kami terus membangun kesadaran bahwa vasinasi anjing adalah cara yang paling efektif untuk mengendalikan rabies,” kata Joanna Tuckwell, Campaign ManagerAsia-PacificWorld Animal Protection. “Harapan kami saat ini, vaksinasi rabies yang dibarengi  dengan pengelolaan populasi anjing yang tepat guna dan edukasi masyarakat lokal tentang kepemilikan yang bertanggungjawab dapat terus didukung di Indonesia – sehingga anjing dan manusia dapat hidup harmonis, dan pada akhirnya Indonesia akan mencapai sasarannya untuk bebas dari rabies.”

Lebih lanjut, Drh. I Ketut Diarmita, MP., menekankan bahwa dalam upaya meraih suksesnya program pengendalian dan pemberantasan rabies, diperlukan adanya komitmen seluruh pemangku kepentingan dalam melaksanakan program yang telah disepakati. Upaya vaksinasi merupakan prioritas utama diikuti dengan strategi lain berupa tata laksana kasus gigitan terpadu yang memungkinkan penanganan korban gigitan pada manusia dan penanganan pada hewan melalui vaksinasi darurat dan euthanasia hewan suspek.


SUMBER:

FAO ECTAD Indonesia News Letter, Edisi 01, Aug – Nov 2016.

#Rabies 

#VaksinasiAnjing 

#OneHealth 

#FAOIndonesia 

#NTT



Indonesia Melawan Ancaman Pandemi Baru

Seiring dengan meningkatnya interaksi antara manusia, hewan dan lingkungan, ancaman pandemi baru bukan lagi tentang “jika terjadi”, karena sejarah mencatat kemunculan penyakit-penyakit zoonosis baru dari masa ke masa. Yang menjadi pertanyaannya sekarang adalah “kapan dan bagaimana penyakit tersebut terjadi”.  Globalisasi yang mempercepat pergerakan lintas batas hewan dan manusia,  kegiatan intensifikasi pertanian, dan meningkatnya permintaan akan ternak yang mengubah ekosistem menjadi tantangan tersendiri bagi banyak negara, tak terkecuali bagi Indonesia yang diidentifikasi sebagai salah satu kantung atau hotspot bagi penyakitpenyakit menular baru di Asia.

Mengingat besarnya ancaman penyakit menular baru (emerging) dan yang muncul kembali (re-emerging) yang dihadapi Indonesia, tahun 2016 menandai arah gerak baru dari kemitraan Pemerintah Indonesia dengan FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases (ECTAD).  Bersama Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH) Kementerian Pertanian, dan dengan dukungan dana dari United States Agency for International Development (USAID), FAO ECTAD meluncurkan Program Emerging Pandemic Threats  (EPT-2). Melibatkan para pemangku kepentingan lintas sektor, Program EPT-2 hadir untuk memerangi penyakit-penyakit yang berasal dari hewan yang dapat mengancam kesehatan manusia – langsung di sumbernya.

Dalam program yang akan berjalan selama empat tahun ke depan ini, FAO ECTAD akan mendampingi Pemerintah Indonesia dalam mendeteksi penyakit dengan lebih cepat, menindaklanjuti dengan tepat, dan memitigasi efeknya pada manusia dan hewan, ketahan dan keselamatan pangan. 

“Harapan saya agar Program EPT2 di Indonesia dapat berjalan dengan baik, karena kemungkinan terjadinya suatu pandemi dipengaruhi banyak faktor pemicunya, sehingga dibutuhkan koordinasi lintas sektoral, “ ujar drh. I Ketut Diarmita, MP., Direktur Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian.

Program ini sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2015 – 2019 tentang Peningkatan Pengendalian Penyakit dan Kesehatan Lingkungan, dan Rencana Strategis Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian (2015-2019) pada sasaran mengenai pengamananan dan penanganan penyakit hewan baru (new emerging) dan yang muncul kembali (re-emerging); dan penguatan sistem surveilans penyakit dan sistem informasi kesehatan hewan nasional.

Hampir 75% dari penyakit emerging dan re-emerging yang menjangkiti manusia di abad 21 ini adalah zoonosis atau berasal dari hewan. Beberapa penyakit yang sudah menjadi ancaman yang nyata saat ini antara lain HIV/AIDS, Severe acute respiratory syndrome  (SARS), Middle East respiratory syndrome Corona Virus (MERS-CoV), virus flu burung H5N1, dan yang paling terbaru adalah virus Zika.

“Cepatnya penyakit-penyakit ini timbul dan menyebar dengan luas menjadi perhatian khusus bagi sektor kesehatan masyarakat, ekonomi dan pembangunan global. Program EPT-2 mendukung Indonesia untuk bersiap siaga menghadapi penyakitpenyakit zoonosis menular baru dan yang muncul kembali,” ujar Dr. James Mc Grane, Team Leader FAO ECTAD di Indonesia.

Sumber :
FAO ECTAD Indonesia News Letter, Edisi 01, Aug – Nov 2016.

Tuesday, 20 September 2016

Pencegahan dan Penanggulangan MERS-CoV

 

 

Pencegahan dan Penanggulangan Middle East Respiratory Syndrome Coronavirus (MERS-CoV) 

 

Pengenalan MERS-CoV

  Novel Corona Virus (virus Corona baru) yang menyebabkan penyakit pernapasan pada manusia berjangkit di Saudi Arabia sejak bulan Maret 2012, sebelumnya virus ini tidak pernah ditemukan.
  The Corona Virus Study Group of The International Committee on Taxonomy of viruses (Komite International Taxonomy Virus) 28 Mei 2013 sepakat Virus corona baru bernama Middle East Respiratory Syndrome-Corona Virus (MERS-CoV) baik dalam komunikasi publik maupun komunikasi ilmiah.
  Virus SARS tahun 2003 juga merupakan kelompok virus Corona dan dapat menimbulkan pneumonia berat akan tetapi berbeda dari virus MERS-CoV.
  MERS-CoV adalah penyakit sindrom pernapasan yang disebabkan oleh virus Corona yang menyerang saluran pernapasan mulai dari yg ringan sampai berat.
  Gejalanya klinis pada umumnya demam, batuk, gangguan pernafasan akut, timbul gambaran pneumonia, kadang-kadang terdapat gejala saluran pencernaan misalnya diare.

Jumlah kasus di dunia dan Kondisi Indonesia saat ini

  Berdasarkan laporan WHO, sejak September 2012 sampai September 2013, telah ditemukan 130 kasus konfirmasi MERS-CoV dengan 58 meninggal (CFR: 44,6%). Sejak September 2012 sampai dengan Juni 2016, terdapat 1.399 kasus MERS pada manusia dimana 594 meninggal (CFR: 42,5%).
  Hingga saat ini belum ada laporan kasus MERS-CoV di Indonesia.
  Kelompok risiko tinggi mencakup usia lanjut (lebih dari 60 tahun), anak anak, wanita hamil dan penderita penyakit kronis (diabetes mellitus, Hipertensi, Penyakit Jantung dan ginjal pernafasan, dan defisiensi immunitas. 
  Belum terdapat pengobatan spesifik dan belum terdapat vaksin untuk manusia

Masa Inkubasi

Masa inkubasi untuk MERS (waktu antara ketika seseorang terkena MERS-CoV dan ketika mereka mulai memiliki gejala) biasanya sekitar 5 atau 6 hari, tetapi dapat berkisar antara 2 sampai 14 hari.

Cara penularan MERS-CoV

  Virus ini dapat menular antar manusia secara terbatas, dan tidak terdapat penularan penularan antar manusia secara luas dan bekelanjutan. Mekanisme penularan belum diketahui.
  Kemungkinan penularannya dapat melalui :  (a) Langsung : melalui percikan dahak (droplet) pada saat pasien batuk atau bersin. (b)Tidak Langsung: melalui kontak dengan benda yang terkontaminasi virus.

Klasifikasi Virus
Group               :
Group IV
((+) ssRNA)
Order                :
Nidovirales
Family              :
Coronaviridae
Subfamily         :
Coronavirinae
Genus               :
Betacoronavirus
Species              :
MERS-CoV

Coronavirus merupakan virus berbentuk bulat dengan diameter sekitar 100-120 nm.

Kelelawar diduga berpotensi sebagai sumber spillover MERS-CoV dari hewan ke manusia

Ekspresi dipeptidyl peptidase 4 (DPP4) / CD26 pada permukaan sel berfungsi sebagai reseptor pada sel kelelawar terhadap Infeksi MERS-CoV.
MERS-CoV dapat tumbuh di dalam sel kelelawar.
Analisis filogenetik gen replikase dari coronavirus bahwa Mers-CoV terkait erat dengan Bat coronavirus Tylonycteris HKU4 dan Bat coronavirus Pipistrellus HKU5, yang merupakan prototipe dua spesies dalam garis keturunan C dari genus Betacoronavirus.

Bukti Unta terinfeksi MERS-CoV

  Agustus tahun 2013, unta dromedary pertama kalinya diduga sebagai sumber infeksi pada manusia karena telah  diketahui terdapat antibodi Mers-CoV pada dromedary dari Spanyol (Canary Islands) dan Oman.
  Terbukti bahwa:
(a)  Genom MERS-CoV terdeteksi pada swab hidung dari dromedary di Mesir, Iran, Israel, Saudi Arabia, Kuwait, Oman, Pakistan dan Qatar;
(b) Virus MERS-CoV diisolasi dari dromedary di Mesir, Saudi Arabia dan Qatar.

Tiga spesies CoV terdeteksi pada unta dromedaris (unta berponok satu)

                   1.MERS-CoV (betacoronavirus, kelompok C);
                   2.Betacoronavirus 1 (betacoronavirus, kelompok A); 
                   3. Human CoV 229E (alphacoronavirus).
  Meskipun CoV terdeteksi hampir sepanjang tahun pada hewan tersebut, prevalensi yang relatif lebih tinggi adalah MERS-CoV dan Camelid α-CoV (diamati dari Desember 2014 hingga April 2015 di Saudi Arabia).
  Unta muda (berusia 0,5-1 tahun) menderita infeksi pernapasan tertinggi baik oleh MERS-CoV maupun Camelid α-CoV.
  Unta muda tampaknya memainkan peran epidemiologi yang lebih penting dalam memelihara kedua virus tsb.

Penularan dari Hewan ke Manusia

  Coronavirus (CoVs) mampu menginfeksi manusia muncul melalui penularan lintas-induk semang dari hewan.
  Ada bukti substansial terdapat kejadian MERS-CoV pada manusia dimana penularanannya berasal dari unta dromedari (unta berponok satu).
  Sebagian besar didasarkan pada fakta bahwa virus yang terkait erat dengan MERS-CoV telah diisolasi dari unta berponok satu. 
  Unta berponok satu yang seropositif Mers-CoV distribusi geografisnya cukup luas, maka masih memungkinkan terjadi penularan lanjutan pada waktu mendatang. 
  Pemahaman lebih lanjut tentang penularan MERS-CoV lintas induk semang diperlukan untuk menurunkan risiko penularan virus ini kepada manusia.
  Jalur penularan dari hewan ke manusia belum sepenuhnya dipahami
  Unta cenderung menjadi induk semang reservoir utama Mers-COV dan menjadi sumber infeksinya dari hewan ke manusia.
  MERS-CoV telah diisolasi dari unta di Mesir, Oman, Qatar, dan Arab Saudi. Mers-CoV tersebut identik dengan strain manusia.
  Banyak spesies dan strain Coronavirus yang memiliki karakteristik yang berbeda, yang menyebabkan berbagai tanda penyakit dari ringan sampai berat, baik pada manusia maupun hewan.

Penyebaran Mers-CoV di beberapa negara

Sampai saat ini wabah sporadis MERS-CoV yang terjadi pada kasus manusia telah dideteksi di 17 negara :
          Timur Tengah : Jordan, Kuwait, Oman, Qatar, Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, dan Yaman
          Eropa : Perancis, Jerman, Yunani, Italia, dan Inggris
          Afrika : Tunisia dan Mesir
          Asia: Malaysia dan Philipina
          Amerika : Amerika Serikat

Penularan MERS-CoV
    
  Modus utama dari virus shedding dari MERS- dan Camelid α-CoVs adalah dari saluran pernapasan unta dromedaris.
  Lebih dari setengah dari swab hidung Mers-COV-positif (56,6%) juga positif untuk camelid α-CoVs, menunjukkan sering infeksi campuran dari virus ini.
  Dalam survei dari swab hidung ditemukan dua hewan berisi semua tiga spesies CoVs.
  Prevalensi tinggi virus ini menunjukkan bahwa mereka enzootic di unta dromedaris.
  Untuk menguji keragaman genetik dan evolusi CoVs unta, sequencing metagenomic dilakukan dengan menggunakan bahan swab asli yang positif dalam screening RT-PCR awal.
  Tiga puluh delapan sampel ini terdapat infeksi campuran dari MERS-CoV dengan satu atau kedua dari dua spesies lain CoV, tetapi hanya 14 sampel yang dihasilkan dua genom lengkap.
  β1-HKU23-CoVs telah terdeteksi pada unta di Dubai, dan camelid α-CoVs berhubungan erat dengan virus yang diisolasi dari alpacas di California pada tahun 2007.
  Camelid α-CoVs sekelompok dengan humam CoV 229E, agen penyebab pilek umum pada manusia.
  Prevalensi tinggi infeksi tanpa gejala dengan camelid α-CoVs di unta Arab Saudi menekankan peran penting bahwa spesies ini berperan dalam ekologi CoV.

Vaksinasi MERS-CoV pada hewan

  Vaksin MERS-CoV dapat mengurangi jumlah virus yang diproduksi di unta yang terinfeksi, hal ini berpotensi menurunkan risiko bagi manusia. Mengurangi jumlah virus pada ekskresi setelah vaksinasi pada unta sehingga berpotensi mengurangi penularan ke manusia.
  Vaksin (strain lemah virus MERS) secara signifikan dapat menurunkan keberadaan virus MERS dalam ingus dan air liur unta (Bart Haagmans, Science, Januari 2016).
  Penularan MERS ke manusia terjadi terutama melalui ekskresi hidung unta dromedaris.
  MERS pertama kali diidentifikasi di Arab Saudi pada 2012 dan telah mempengaruhi sekitar 1.400 unta dromedaris, menurut sebuah tulisan ilmiah yang terpisah pada kehadiran virus dan menyebar di negara itu (Science, Januari 2016). Penelitian ini menegaskan ingus unta sebagai pembawa utama virus.
  Wabah besar MERS manusia dimulai Mei 2014. Virus menyebabkan demam, batuk dan sesak napas, dan juga dapat menyebabkan gagal ginjal dan pembekuan darah. Menyebabkan kematian sekitar sepertiga dari kasus manusia yang dilaporkan (Vaccine / scientific paper).
  Untuk menguji mutu vaksin, 8 ekor unta ditantang dengan MERS-CoV.  Empat ekor telah divaksinasi melalui tetes hidung dan suntikan. Empat unta lainnya tidak divaksinasi sebagai kelompok kontrol.
  Unta yang divaksinasi mengembangkan antibodi terhadap MERS dan tidak menunjukkan gejala infeksi. Tapi hewan pada kelompok kontrol memperlihatkan gejala klinis termasuk keluar ingus.
  Terdapat tiga strain (MERS-CoV, Betacoronavirus 1, Human CoV 229E) yang berbeda, sehingga satu vaksin tidak mungkin efektif digunakan untuk semua kasus.
  Hal ini tidak mungkin untuk mengembangkan vaksin tunggal untuk mencegah tiga atau lebih spesies coronavirus (Huachen Zhu, Universitas Hong Kong, Cina).
  Belum diketahui berapa lama kekebalan protektif yang diinduksi oleh vaksin akan bertahan (Haagmans, Erasmus MC, Belanda)

Uji Lab MERS-CoV

  Spesimen untuk pemeriksaan virus MERS-CoV adalah spesimen yang berasal dari saluran nafas bawah seperti dahak, aspirat trakea dan bilasan bronkoalveolar. Spesimen saluran pernafasan atas (nasofaring dan orofaring) tetap diambil terutama bila spesimen saluran pernafasan bawah tidak memungkinkan dan pasien tidak memiliki tanda-tanda atau gejala infeksi pada saluran pernapasan bawah.
  Virus MERS-CoV juga dapat ditemukan di dalam cairan tubuh lainnya  seperti darah, urin, dan feses tetapi kegunaan sampel tersebut di dalam mendiagnosa infeksi MERS-COV belum pasti. Pemeriksaan diagnosis laboratorium kasus infeksi MERS-CoV dilakukan dengan metoda RT-PCR dan dikonfirmasi dengan teknik sekuensing.

Diagnostic Kit untuk Hewan Diregistrasi OIE

§  Disease: Middle East Respiratory Syndrome
§  Name of the Diagnostic kit : BIONOTE® Rapid MERS-CoV Ag Test;
§  Name of the Manufacturer: BioNote, Inc
§  Contact : bionote@bionote.co.kr
§  Type of kit : Immuno Chromatographic Assay
§  Purpose(s) validated : Resolution No 15 adopted in May 2016 by the World Assembly of the OIE Delegates
§  Date and Number of registration : May 2016
§  Registration Number: 20160212
§  Validation studies Abstract Sheet : AS Rapid MERS-CoV Test
§  Kit insert : User's manual.

Pencegahan Penularan MERS-CoV

  Masyarakat yang akan berpergian ke negara-negara yang terdapat MERS-CoV menderita demam dan gejala sakit saluran pernapasan bagian bawah (batuk, atau sesak napas ) dalam kurun waktu 14 hari sesudah perjalanan, segera periksakan ke dokter.
  Belum ada vaksin khusus yang dapat mencegah terjadinya penyakit ini.
  Pencegahan tetap dapat dilakukan dengan memperkuat imunitas tubuh.
  Tutuplah hidung dan mulut dengan tisu ketika batuk ataupun bersin dan segera buang tisu tersebut ke tempat sampah.
  Hindari menyentuh mata, hidung dan mulut dengan tangan yang belum dicuci.
  Menghindari kontak erat dengan penderita, menggunakan masker, menjaga kebersihan tangan dengan sering mencuci tangan dengan sabun dan menerapkan etika batuk ketika sakit.
  Gunakan masker dan jaga sanitasi tubuh dan lingkungan. Bila diperlukan bagi penderita penyakit kronik, di kerumunan orang, badan tidak fit dan lain lain gunakan masker.
  Tindakan isolasi dan karantina mungkin dilakukan untuk mencegah penyebaran penyakit MERS-CoV.
  Hindari bepergian atau naik kendaraan umum namun jika terpaksa maka jangan menutup jendela atau pintu.
  Hindarilah tempat umum dan ramai , dekat rumah sakit, internet cafe, tempat nongkrong, bioskop, dan perpustakaan, jika kamu melakukannya maka pakailah masker dan cucilah tangan anda secara bersih dan teratur.
  Hindarilah mengunjungi pasien dan periksa ke dokter di rumah sakit khususnya yang ada pasien MERS. Hindari kontak secara dekat dengan orang yang sedang menderita sakit, misalnya ciuman atau penggunaan alat makan atau minum bersama.
  Cuci tangan dengan sabun dan jangan menyentuh mulut, hidung, dan mata dengan tangan telanjang.
  Jagalah keseimbangan gizi diet dan hendaklah berolah raga secara teratur untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh kita.
  Anak-anak yang sistem kekebalan tubuhnya melemah harus memakai masker sepanjang waktu untuk menghindari menyebarnya cairan tubuh seperti ludah/air liur.
  Periksalah suhu badan secara teratur dan tetaplah hati-hati dengan kondisi kesehatan.
  Menjaga sirkulasi udara di kamar.
  Rajin rajin Cuci Tangan Pakai Sabun. Bila tangan tidak tampak kelihatan kotor gunakan antiseptik.
  Bersihkan menggunakan desinfektan untuk membersihkan barang-barang yang sering disentuh. Gunakan pemutih ( bleach ) yang tersedia di pasar (dengan kandungan kimia 8-12%). 
  Cara murah dan efektif membunuh kuman: Pakailah sarung tangan anti air, campur pemutih dengan air dengan ukuran 1:100 (pemutih/bleach:air/water).   Bersihkanlah tempat-tempat yang sering dilewati orang secara teratur dan selama masa penyebaran virus, lebih baik basmilah kuman rumah setiap hari.
  Orang – orang yang kontak erat dengan jemaah atau pelancong yang mengidap gejala – tanda sakit saluran pernapasan akut yang disertai demam dan batuk , disarankan untuk melapor ke otoritas Kesehatan setempat guna mendapat pemantauan MersCoV dengan membawa kartu health alert yang dibagikan ketika berada diatas alat angkut atau ketika tiba di bandara kedatangan.
  Jika ada keluhan atau gejala seperti tersebut diatas segera hubungi petugas kesehatan, baik selama di Arab Saudi maupun sampai 2 minggu sesudah sampai Indonesia.

Vaksin MERS-CoV untuk Manusia belum ditemukan tapi ada harapan

  Peneliti jurnal Science Translational Medicine menemukan dua antibodi, yaitu MERS-4 dan MERS-27, yang mampu memblokir sel-sel dalam cawan lab yang terinfeksi virus MERS.  Antibodi ini yang dikombinasikan, dapat menjadi kandidat menjanjikan untuk intervensi terhadap MERS.
  Peneliti menemukan beberapa antibodi penetral yang mampu mencegah bagian kunci dari virus untuk menginfeksi sel-sel tubuh manusia.