Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Sunday, 24 March 2024

Penanganan Rabies dengan One Health

Perlukah Pengendalian dan Pemberantasan Rabies dengan Pendekatan One Health ?

 

Sebagai salah satu zoonosis paling mematikan yang kita ketahui, rabies masih membunuh sekitar 59.000 orang setiap tahun di dunia. Penyakit ini mengindikasikan betapa beratnya beban kesehatan yang ditanggung oleh masyarakat. Namun penyakit ini 100% dapat dicegah jika kita mengatasinya melalui pendekatan One Health, yaitu upaya kolaboratif dari berbagai disiplin ilmu yang bekerja secara lokal, nasional, dan global, untuk mencapai kesehatan yang optimal bagi manusia, hewan, dan lingkungan.

 

Merujuk Kementerian Pertanian RI, saat ini ada 26 provinsi yang menjadi endemis rabies. Sementara, hanya 11 provinsi yang bebas rabies, yaitu Provinsi Kepulauan Riau, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Papua Barat, Papua, Papua Selatan, Papua Tengah dan Papua Pegunungan. Dengan Roadmap Eliminasi Rabies Nasional 2030, pemerintah berupaya membebaskan provinsi tertular secara bertahap.

 

Kebijakan nasional Kementerian Pertanian dalam pengendalian dan pemberantasan rabies adalah mempertahankan wilayah bebas rabies dan membebaskan daerah tertular secara bertahap dengan strategi fokus pada (1) Vaksinasi massal yang berkelanjutan di dukung eliminasi tertarget, (2) Komunikasi, Informasi dan Edukasi, (3) Pengawasan lalu lintas, dan (4) Kontrol populasi.

 

KLB Rabies di Kabupaten TTS dan Sikka

 

Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) dinyatakan kejadian luar biasa (KLB) Rabies oleh Bupati TTS tanggal 30 Mei 2023. Pada Rabu (31/5/2023), jumlah kasus orang yang dilaporkan digigit anjing 72 orang, dengan satu orang meninggal dunia. Namun dalam kurun waktu kurang dari enam bulan pada Rabu (8/11/2023) kasus gigitan anjing telah melonjak menjadi 1.774 orang. Sudah sembilan korban gigitan anjing rabies yang meninggal dunia. Pada saat ini semua kecamatan atau 32 kecamatan di TTS sudah terpapar rabies. Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT), juga telah ditetapkan KLB rabies sejak 16 Mei 2023 menyusul tingginya kasus gigitan hewan penular rabies (HPR), khususnya anjing, di wilayah itu.

 

Virus rabies biasanya ditularkan melalui gigitan hewan penular rabies terutama anjing. Di banyak daerah, anjing liar merupakan hewan yang paling dapat menyebarkan rabies ke manusia. Begitu seseorang mulai menunjukkan tanda dan gejala rabies, penyakit ini hampir selalu mengancam nyawa penderita. Penanganan KLB Rabies di Kabupaten TTS dan Kabupaten Sikka NTT harus ditingkatkan dengan melibatkan lintas sektor agar kasus rabies pada anjing menurun menuju nol. Dengan penuh harap masyarakat kembali hidup sehat dan tentram di wilayah bebas rabies.

 

Dengan One Health menuju Nol Kematian

 

Bisakah satu sektor mengeliminasi rabies dengan kerja sendiri ? Tentu tidak. Pandemi COVID-19 dan konsekuensi dalam jangka panjang telah menyadarkan kita bersama bahwa satu sektor saja tidak dapat mengatasi ancaman zoonosis secara efisien. Namun ketika penyakit ini dikendalikan secara bersama-sama melibatkan semua sektor ternyata Indonesia bisa keluar dari Pandem COVID-19.

 

Kita tahu bahwa kesehatan hewan, manusia, dan lingkungan secara intrinsik saling berhubungan. Kesehatan hewan dapat berdampak pada kesehatan manusia. Jadi kita perlu bersama-sama melindugi kesehatan semua orang. Dalam kasus rabies yang diperantarai anjing, hanya dengan respon lintas sektor yang terkoordinasi akan memungkinkan jumlah kematian manusia akibat rabies menjadi nol. Hari rabies sedunia ke 16 tahun lalu bertema 'One Health, Zero Death' bertujuan untuk menegaskan kembali pesan ini kepada masyarakat luas. Kita harus terus berjuang melawan Rabies dengan pendekatan 'One Health untuk menuju nol kematian pada manusia.

 

Hanya sekali gigitan seekor anjing gila dapat menginfeksi seseorang. Anjing merupakan penyebab 99% kasus rabies pada manusia melalui gigitan. Oleh karena itu penting membatasi paparan manusia terhadap rabies dengan mengatasi asal penyakit yaitu dari hewan. Menerapkan vaksinasi masal anjing secara serentak, mengedukasi pemilik anjing dan meningkatkan kesadaran terhadap solusi yang tepat. Semua tindakan pengendalian rabies memerlukan pendekatan komprehensif dan menyeluruh.

 

Kerja sama para tenaga profesional kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat sangat penting. Hal ini tidak hanya memberikan dampak positif bagi penghidupan dan perekonomian masyarakat, tetapi juga membangun pondasi bagi sistem kesehatan lebih kuat agar dapat memiliki kapasitas merespon terhadap ancaman zoonosis selain rabies.

 

One Health untuk semua

 

Membangun respon yang terkoordinasi untuk melawan rabies akan menjadi contoh pengendalian penyakit zoonosis lainnya. Kini saatnya kita bekerja bersama dengan tujuan sama yaitu “Menargetkan nol kematian pada manusia akibat rabies pada tahun 2030”. Kita tidak hanya fokus pada upaya yang diperlukan di sektor kesehatan hewan. Namun tindakan penting diperlukan dari sektor lainnya, seperti sektor kesehatan masyarakat dalam memberikan akses ke perawatan medis pasca gigitan pada manusia. Terutama di daerah pedesaan dengan akses edukasi kesehatan sangat terbatas. Tempat seperti ini merupakan wilayah 80% kasus rabies pada manusia.

 

Meskipun kita memiliki kelengkapan untuk menghentikan penularan rabies melalui anjing, namun sangat penting menyediakan vaksin berkualitas tinggi baik untuk hewan maupun manusia. Dalam rangka mencapai eleminasi rabies, kita masih menghadapi kesulitan dalam mengoordinasikan dan mengelola sumber daya untuk pengendalian dan penanggulangan penyakit ini. Kendala ini agar menjadi perhatian kita bersama untuk mencari solusinya.

 

Rabies masih beredar di dua pertiga negara-negara di seluruh dunia. Daerah endemik Rabies bertahan di wilayah dengan penduduk berpenghasilan rendah. Wilayah ini jarang menjadi target sistem surveilans rabies. Akibatnya, keberadaan penyakit, beban sosial dan ekonomi yang terkait seringkali sangat diremehkan. Pada gilirannya, masalah ini diabaian oleh lembaga pembuat kebijakan dan pendanaan.

 

Eliminasi rabies diprioritaskan

 

Eliminasi rabies atau mengenolkan kematian manusia akibat rabies yang ditularkan melalui anjing menjadi prioritas. Pendanaan dalam pengendalian rebies menawarkan kesempatan memperkuat sistem kesehatan masyarakat lebih luas. Dan meningkatkan pemerataan akses pelayanan kesehatan kepada semua masyarakat. Rabies merupakan contoh yang sangat jelas tentang bagaimana penerapan One Health di semua jenjang yang berkontribusi di tingkat dunia sehingga lebih mampu mencegah, memprediksi, mendeteksi dan merespon ancaman kesehatan dengan baik. Akhirnya dapat meningkatkan status kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan.

 

Melalui kerjasama Quadripartite One Health, yang dibentuk oleh Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP), Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Organisasi Dunia untuk Kesehatan Hewan (WOAH), telah berkolaborasi untuk mendorong perubahan yang diperlukan dalam memitigasi dampak tantangan kesehatan global saat ini dan masa depan. Dengan tujuan mendukung negara-negara yang menghadapi ancaman kesehatan global, diluncurkan Rencana Aksi Bersama Satu Kesehatan (OH JPA).

 

Kerangka kerja tersebut bergantung pada pendekatan One Health dalam memperkuat kolaborasi, komunikasi, pembangunan kapasitas dan koordinasi secara merata di semua sektor yang terkait. Terutama untuk mengatasi masalah kesehatan pada antarmuka manusia-hewan-lingkungan. Hal ini ditujukan untuk mendukung kegiatan Forum Bersatu Melawan Rabies, yang ditetapkan pada tahun 2020 oleh FAO, WHO dan WOAH. Forum ini menyatukan pemerintah, produsen vaksin, peneliti, LSM, dan mitra pembangunan dengan tujuan mempercepat dan menerapkan pendekatan One Health untuk pengendalian rabies.

 

Mengenolkan kematian manusia akibat rabies yang ditularkan melalui anjing merupakan salah satu prioritas yang diidentifikasi dalam OH JPA. Negara-negara di seluruh dunia dihimbau untuk berperan serta melakukan tindakan yang diperlukan guna memastikan respon One Health yang terkoordinasi terhadap penyakit zoonosis mematikan ini. Rabies memang masih dapat berakibat fatal, namun sangat bisa dicegah. Hanya diperlukan upaya terpadu lintas sektor untuk memastikan kematian rabies pada manusia menjadi nol.

 

Berbagi peran para profesional

 

Beberapa ruang lingkup pemeran para profesional dalam praktik One Health yang utama adalah sebagai berikut. Dokter menangani isu kesehatan manusia, dan epidemiologi penyakit pada manusia. Dokter hewan menggeluti isu kesehatan hewan dan keamanan pangan, dan epidemiologi penyakit pada hewan. Ahli kesehatan masyarakat bekerja dalam isu kesehatan komunitas, strategi pencegahan penyakit, epidemiologi, dan pengetahuan tentang penyakit menular. Ahli epidemiologi menangani epidemiologi, pengontrolan penyakit, surveilans, dan desain kuesioner. Ilmuwan kemargasatwaan menghadapi ekologi kemargasatwaan dan zoologi.

 

Kemudian, ahli kesehatan lingkungan bertugas menilai kontaminasi lingkungan, sumber penyakit, dan perubahan faktor-faktor lingkungan. Ahli komunikasi melakukan komunikasi risiko, interaksi dengan media, dan keterlibatan dengan komunitas. Ahli logistik mengatur logistik dalam merespon kejadian luar biasa. Spesialis bidang teknologi informasi menggunakan teknologi informasi, dan melakukan analisis data, penyimpanan data dan penyebaran data. Ilmuwan social menyelami dinamika budaya dan kelompok yang memengaruhi risiko, penularan atau pencegahan. Dan perlu dilibatkan juga beberapa pakar lainnya untuk memperkuat tim One Health.

 

Kementerian/lembaga dan Pemerintah Daerah melakukan upaya kolaboratif dengan melibatkan para pakar tersebut di atas bekerjasama secara lokal, nasional, dan global untuk mencapai Indonesia bebas Rabies tahun 2030.

 

Kesimpulan

 

Upaya pengendalian dan pemberantasan rabies melalui pendekatan One Health diperlukan agar dapat dilakukan kolaborasi antara sektor kesehatan manusia, hewan dan lingkungan sehingga dapat membebaskan rabies di setiap wilayah secara efisien.

Dalam rangka pengendalian Rabies di daerah KLB yang sedang berlangsung saat ini, Kemenko PMK, Kementerian Pertanian, Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, dan Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten/kota serta istansi terkait lainnya harus berkolaborasi dan berbagi peran nyata dalam pengendalian dan pemberantasan Rabies dengan menapaki perjalanan “Roadmap Eliminasi Rabies Nasional 2030”.

 

SUMBER:

Pudjiatmoko. Perlukah Pengendalian dan Pemberantasan Rabies dengan Pendekatan “One Health” ? Pangan News 23 November 2023.

Saturday, 23 March 2024

Upaya Pengendalian “Penyakit Tidur” HAT

“Penyakit Tidur”atau Human African Trypanosomiasis (HAT) disebabkan oleh parasit darah protozoa dari genus Trypanosoma yang ditularkan melalui lalat tsetse yang terinfeksi. Penyakit ini endemik di Sub-Sahara Afrika. Apabila tidak diberikan pengobatan, pada umumnya berakibat fatal yang dapat menimbulkan kematian. Kebanyakan orang yang terpapar penyakit ini tinggal di daerah pedesaan dengan matapencaharian terkait sektor pertanian. Upaya pengendalian berkelanjutan telah mengurangi jumlah kasus baru sebesar 97% dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Diagnosis dan pengobatan bersifat kompleks dan memerlukan kompetensi khusus.

 

Penyebab “Penyakit Tidur” HAT

 

HAT juga dikenal sebagai “Penyakit Tidur”. Disebut “Penyakit Tidur” karena penyakit ini menyerang sistem saraf manusia dan menyebabkan penderita mengalami gangguan tidur, koma, bahkan kematian. Penyakit ini disebabkan oleh protozoa dari genus Trypanosoma, yang ditularkan ke manusia melalui gigitan lalat tsetse (glossina) yang memperoleh parasit dari manusia atau hewan yang terinfeksi.

 

Lalat tsetse tersebar di Sub-Sahara Afrika, namun hanya spesies lalat tsetse tertentu yang dapat menularkan penyakit ini sebagai vektor. Penduduk pedesaan yang bergantung pada pertanian, perikanan, peternakan atau perburuan adalah yang paling sering terkena. Penyakit ini mempunyai distribusi fokus berkisar dari satu desa menyebar ke seluruh wilayah. Kejadiannya dapat bervariasi dari satu desa dengan desa lainnya.

 

Dua Jenis HAT

 

HAT mempunyai 2 jenis, bergantung pada subspesies parasitnya. Jenis pertama, Trypanosoma brucei gambiense, ditemukan di 24 negara di Afrika barat dan tengah, saat ini mencakup 92% dari kasus yang telah dilaporkan. Penyakitnya bersifat kronis, seseorang dapat terinfeksi selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun tanpa tanda atau gejala yang berarti. Ketika gejala nyata muncul, seringkali penyakit ini berlanjut hingga mengenai sistem saraf pusat.

Jenis kedua, Trypanosoma brucei rhodesiense, ditemukan di 13 negara di Afrika bagian timur dan selatan, terdapat 8% dari kasus yang dilaporkan dan menyebabkan penyakit akut. Gejala pertama muncul beberapa minggu atau bulan setelah infeksi. Penyakit ini berkembang pesat dengan menyerang berbagai organ tubuh, termasuk otak.

 

Tripanosomiasis pada hewan

 

Di alam terdapat berbagai jenis trypanosoma pada hewan yang dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu non patogen dan patogen. Trypanosoma non patogen seperti Trypanosoma lewisi ditemukan pada tikus dan ditularkan melalui serangga parasit pinjal. Jenis trypanosoma yang patogen diantaranya Trypanosoma brucei yang menyebabkan penyakit Nagana pada ternak di Afrika dan Trypanosoma equiperdum diketahui menyebabkan penyakit Dourine pada kuda yang ditularkan melalui perkawinan. Trypanosoma equinum ini ditularkan secara mekanis oleh lalat tabanus dapat menyebabkan penyakit Mal de Caderas pada kuda di Amerika Selatan.

 

Di Afrika, Trypanosoma vivax dan Trypanosoma congolense yang ditularkan oleh lalat tsetse dapat menginfeksi hewan ternak dan manusia (HAT). Hewan ternak dan satwa liar juga merupakan reservoir utama Trypanosoma brucei rhodesiense. Hewan juga dapat tertular Trypanosoma brucei gambiense dan dapat bertindak sebagai reservoir pada tingkat yang lebih rendah tidak diketahui secara pasti.

 

Trypanosoma evansi yang ditularkan secara mekanik oleh lalat tabanus dapat menyebabkan penyakit Surra pada kuda, sapi dan kerbau. Trypanosomiasis pada ternak ini merupakan hambatan utama bagi pembangunan ekonomi peternakan di pedesaan.

 

Distribusi penyakit

 

HAT terutama mengancam penduduk di daerah pedesaan terpencil dengan layanan kesehatan yang terbatas, sehingga sulit untuk mendiagnosis dan mengobatinya. Terdapat beberapa epidemi terjadi selama satu abad terakhir. Antara tahun 1896 dan 1906, sebagian besar di Uganda dan Lembah Kongo. Pada tahun 1920-an di beberapa negara. Antara tahun 1970 dan akhir tahun 1990an.

 

Epidemi tahun 1920 dapat dikendalikan oleh tim layanan kesehatan keliling yang menyaring jutaan orang. Pada pertengahan tahun 1960an, HAT sudah terkendali dengan jumlah kasus tahunan di bawah 5.000 di seluruh benua. Ketika pengawasan dilonggarkan, penyakit ini kembali muncul dan mencapai proporsi epidemi di beberapa wilayah pada tahun 1970.

 

Pada tahun 1998, hampir 40.000 kasus dilaporkan, di antara sekitar 300.000 kasus yang tidak terdeteksi dan tidak diobati. Prevalensinya mencapai 50% di beberapa desa di Angola, Republik Demokratik Kongo (DRC), dan Sudan Selatan. HAT merupakan penyebab kematian terbesar pertama atau kedua di komunitas tersebut.

 

Upaya Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melalui program pengendalian nasional, kerja sama bilateral dan organisasi non-pemerintah selama tahun 1990-an dan awal tahun 2000-an telah menurunkan angka kasus. Peta Jalan “Penyakit Tropis yang Terabaikan”, WHO menargetkan eliminasi penyakit ini pada tahun 2020. Eliminasi adalah pengurangan prevalensi penyakit menular pada populasi regional menjadi nol. Pada tahun 2030 ditargetkan akan terjadi penghentian penularan atau nol kasus.

 

Setelah upaya pengendalian yang berkelanjutan, kejadian HAT mencapai titik terendah dalam sejarah di bawah 2.000 kasus pada tahun 2017 dan di bawah 1.000 kasus pada tahun 2018, dan tetap berada di bawah ambang batas tersebut pada tahun 2022. Perkiraan populasi penduduk berisiko pada periode 2016-2020 adalah 55 juta orang, hanya 3 juta orang dengan risiko sedang sampai tinggi.

 

Angka kejadian HAT sangat berbeda-beda di setiap negara dan wilayah. Mengambil data dalam 5 tahun terakhir: (a) Kongo melaporkan 61% kasus (rata-rata 522 kasus/tahun); (b) Angola, Republik Afrika Tengah, Chad, Kongo, Gabon, Guinea, Malawi dan Sudan Selatan menyatakan 10–100 kasus; (c) sementara Kamerun, Pantai Gading, Guinea Khatulistiwa, Uganda, Tanzania, Ethiopia dan Zambia menyatakan 1–10 kasus; (d) Burkina Faso, Ghana, Kenya, Nigeria dan Zimbabwe, melaporkan adanya kasus sporadis dalam dekade terakhir; dan (e) Benin, Botswana, Burundi, Eswatini, Gambia, Guinea Bissau, Liberia, Mali, Mozambik, Namibia, Niger, Rwanda, Senegal, Sierra Leone dan Togo belum melaporkan adanya kasus selama lebih dari satu dekade. Penularan HAT tampaknya telah berhenti di beberapa negara tersebut namun hal ini belum dinilai secara lengkap.

 

Infeksi penyakit dan gejalanya

 

HAT sebagian besar ditularkan melalui lalat tsetse. Kemungkinan cara penularan lainnya adalah: (a) dari ibu ke anak: trypanosoma dapat melewati plasenta dan menginfeksi janin; (b) penularan mekanis oleh serangga penghisap darah lainnya mungkin terjadi, meskipun dampak epidemiologisnya cenderung kecil; (c) infeksi yang tidak disengaja di laboratorium melalui tusukan jarum yang terkontaminasi; dan (d) penularan melalui hubungan seksual telah dilaporkan sebanyak satu kali.

 

Awalnya trypanosoma berkembang biak di jaringan subkutan, darah dan getah bening. Ini disebut hemolimfatik atau tahap pertama, yang ditandai dengan demam, sakit kepala, pembesaran kelenjar getah bening, nyeri sendi, dan gatal-gatal.

 

Kemudian parasit melintasi sawar darah-otak (SDO) ke dalam sistem saraf pusat menyebabkan meningo-ensefalitis atau tahap kedua. Umumnya hal ini terjadi ketika munculnya tanda dan gejala HAT lebih jelas: perubahan perilaku, kebingungan, gangguan sensorik, dan koordinasi yang buruk. Gangguan siklus tidur, yang menjadi asal muasal nama penyakit ini, merupakan ciri yang menonjol. Tanpa pengobatan, HAT biasanya berakibat fatal meskipun kasus sembuh dengan sendirinya jarang dilaporkan.

 

Diagnosis

 

Diagnosis melibatkan 3 langkah: (1) skrining terhadap potensi infeksi menggunakan tes serologis (hanya tersedia untuk Trypanosoma brucei gambiense) dan pemeriksaan klinis; (2) konfirmasi dengan mengamati secara mikroskopis parasit dalam cairan tubuh; dan (3) menentukan stadium perkembangan penyakit melalui pemeriksaan klinis dan analisis cairan serebrospinal yang diperoleh melalui pungsi lumbal, jika diperlukan.

 

Diagnosis dini sangat penting untuk menghindari perkembangan ke tahap neurologis dengan pengobatan yang lebih kompleks dan berisiko. Tahap awal gambiense-HAT yang panjang dan relatif tanpa gejala adalah salah satu alasan dilakukannya skrining aktif terhadap populasi yang terpapar, untuk mendeteksi kasus pada tahap awal dan menjadikannya sebagai reservoir. Penyaringan yang menyeluruh memerlukan investasi besar pada sumber daya manusia dan material. Di Afrika, sumber daya seperti ini sering kali langka, khususnya di wilayah terpencil. Oleh karena itu, beberapa orang yang terinfeksi mungkin meninggal sebelum mereka dapat didiagnosis dan diobati.

 

Pengobatan anjuran WHO

 

Pencegahan penyakit yang parah dilakukan lewat penyaringan populasi yang berisiko melalui tes darah terhadap trypanosoma. Pengobatan lebih mudah bila penyakit ini terdeteksi lebih awal dan sebelum gejala neurologis terjadi. Jadi pilihan pengobatan tergantung pada jenis penyakit dan stadium penyakit. Semakin dini penyakit ini diobati, semakin baik prospek kesembuhannya. Penilaian hasil pengobatan memerlukan tindak lanjut hingga 24 bulan dengan penilaian klinis dan pemeriksaan laboratorium termasuk cairan serebrospinal, karena parasit mungkin tetap hidup dan menyebabkan penyakit beberapa bulan setelah pengobatan.

 

Pengobatan pada tahap kedua memerlukan obat yang melewati sawar darah-otak. Semua anti-trypanosomal disumbangkan ke WHO oleh produsen untuk didistribusikan secara gratis ke negara-negara endemik. Pedoman pengobatan WHO yang baru untuk gambiense-HAT diterbitkan pada tahun 2019. Terdapat enam obat yang biasa digunakan, 4 obat untuk gambiense-HAT dan 2 obat untuk rhodesiense-HAT.

 

Pengobatan untuk gambiense-HAT

 

Anjuran dari WHO : (1) Pentamidin, intramuskular: pada tahap pertama, umumnya dapat ditoleransi dengan baik oleh pasien; (2) Eflornithine, intravena: jauh lebih aman dibandingkan melarsoprol, hanya efektif pada gambiense-HAT. Umumnya diberikan bersamaan dengan nifurtimox (terapi kombinasi nifurtimox-eflornithine / NECT) tetapi dapat digunakan juga sebagai monoterapi, administrasinya rumit; (3) Nifurtimox, oral: pada tahap kedua, hanya sebagai komponen NECT, yang merupakan pengobatan lebih singkat dengan infus eflornithine empat kali lebih sedikit, lebih aman dan efektif dibandingkan eflornithine saja. WHO memasok NECT secara gratis ke negara-negara endemik dalam bentuk kit yang berisi semua bahan yang diperlukan untuk penggunaannya; dan (4) Fexinidazole, oral: pada tahap pertama dan tahap kedua yang tidak parah. Untuk memastikan kemanjuran, diperlukan asupan setelah makan padat dan di bawah pengawasan staf medis terlatih.

 

Pengobatan untuk rhodesiense-HAT

 

Anjuran dari WHO : (1) Suramin, intravena: tahap pertama. Dapat memicu efek samping termasuk nefrotoksisitas dan reaksi alergi; dan (2) Melarsoprol, intravena: pada tahap kedua. Turunan arsenik, memiliki banyak efek samping, yang paling dramatis adalah ensefalopati reaktif yang berakibat fatal 3–10%.

 

Saran-saran

 

1. Meningkatkan program surveilans dan pengendalian HAT hendaknya dilaksanakan sejak awal melalui kemitraan pemerintah-swasta.

2. Perlu adanya jaringan WHO untuk “Eliminasi HAT” dengan cara mengoordinasikan upaya dari seluruh pemangku kepentingan termasuk program HAT nasional, organisasi internasional dan non-pemerintah, akademisi dan donor.

3. Penting untuk meningkatkan jaringan subsektor menangani aspek diagnostik, terapeutik, antivektor, sosiobudaya, programatik, dan ilmiah HAT.

4. Peningkatan dukungan terhadap program nasional dalam rangka: (a) memperkuat koordinasi dan mempertahankan kegiatan pengendalian HAT; (b) memastikan akses terhadap diagnosis dan pengobatan terbaik; (c) melatih staf di berbagai tingkat; (d) memastikan ketepatan surveilans dan respon HAT.

 

SUMBER

Pudjiatmoko. Upaya Pengendalian “Penyakit Tidur” HAT. Pangan News 10 Desember 2023. https://pangannews.id/berita/1702197621/upaya-pengendalian-penyakit-tidur-hat