Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Thursday, 20 November 2025

TERUNGKAP! Jepang Jadi Mesin Inovasi Dunia—Inilah Rahasia Sains dan Teknologi yang Bikin Mereka Tetap Tak Terkalahkan!


Lanskap Sains dan Inovasi di Jepang: Mesin Pengetahuan yang Tetap Melaju di Era Digital

 

Jepang sejak lama dikenal sebagai negara dengan ekosistem riset yang kuat, inovasi teknologi tinggi, serta kapasitas ilmiah yang terus diperbarui dari generasi ke generasi. Di tengah meningkatnya kompetisi global, Jepang mempertahankan posisinya sebagai salah satu pusat riset terbesar di dunia—didorong oleh kombinasi investasi besar, kebijakan strategis, dan kolaborasi antara pemerintah, universitas, dan industri.

 

Artikel ini menguraikan lanskap sains dan inovasi Jepang secara populer namun berbasis data ilmiah, mencakup fakta terbaru R&D, struktur sistem sains, dan lembaga pendanaan utama, serta bagaimana Jepang memposisikan diri untuk masa depan melalui reformasi inovasi nasional.

 

1. Fakta Sains dan Inovasi Jepang

 

Investasi R&D yang Stabil dan Kompetitif Global

Berdasarkan Survey of Research and Development yang diterbitkan Biro Statistik Jepang (Desember 2023), total pengeluaran riset Jepang pada Tahun Anggaran 2022 mencapai:

  • ¥20,70 triliun

(naik 4,9% dari tahun fiskal sebelumnya)


  • 3,65% dari PDB

(lebih tinggi dibanding rata-rata OECD dan lebih tinggi dari Inggris yang berada di angka 2,91% pada 2021)


Dominasi sektor swasta juga menjadi ciri khas Jepang:

  • 73,1% pendanaan R&D berasal dari sektor bisnis
  • Perusahaan Jepang menginvestasikan ¥15,13 triliun (naik 6,4%)

Sedangkan universitas memberikan kontribusi signifikan melalui riset dasar:

  • 18,6% pengeluaran R&D nasional
  • Total ¥3,84 triliun (naik 1,5%)

Data ini menegaskan Jepang sebagai salah satu negara dengan pengeluaran riset paling stabil dan tinggi di dunia, meskipun menghadapi tantangan demografis dan perlambatan ekonomi.

 

Prestasi Internasional: Nature Index, GII, dan Nobel Prize

Dalam berbagai pemeringkatan global, Jepang menunjukkan kinerja konsisten:

  • Nature Index 2023: Peringkat ke-5 dunia
  • Global Innovation Index 2023: Peringkat ke-13
  • Klaster Sains & Teknologi global:

Tokyo–Yokohama menempati peringkat pertama dunia, unggul atas Boston, San Francisco, dan Beijing.

 

Sejak tahun 2000, Jepang juga menjadi negara dengan peraih Nobel terbanyak kedua di dunia dalam bidang ilmu pengetahuan alam (fisika, kimia, kedokteran/ fisiologi).

Hal ini menunjukkan bahwa kualitas riset dasar Jepang tetap tinggi meskipun menghadapi tekanan ekonomi dan kompetisi global.

 

2. Sistem Sains dan Inovasi Jepang

 

Ecosystem inovasi Jepang berdiri di atas koordinasi kuat antara pemerintah pusat, kementerian, serta lembaga pendanaan nasional.

Pemerintahan dan Koordinasi Kebijakan S&T

  1. MEXT (Ministry of Education, Culture, Sports, Science and Technology)

Pengarah utama kebijakan sains, inovasi, pendidikan tinggi, dan pendanaan riset dasar.


  1. Kantor Kabinet Jepang
    • Mengkoordinasikan program lintas kementerian seperti:
      • Moonshot Research and Development Program
      • Cross-ministerial Strategic Innovation Promotion Program (SIP)
    • Aktif dalam agenda sains multilateral seperti G7 Science and Technology.

  2. METI (Ministry of Economy, Trade and Industry)

Fokus pada inovasi industri, teknologi energi, manufaktur, AI, robotika, dan transisi industri.


  1. MOFA, MEXT, METI, dan Kantor Kabinet juga memiliki Science and Technology Advisors untuk memperkuat pengambilan kebijakan berbasis sains.


Konsultan dan Badan Penasihat Ilmiah

  • CSTI (Council for Science, Technology and Innovation)

Dewan strategis tingkat tinggi untuk arah pembangunan sains nasional.

  • SCJ (Science Council of Japan)

Akademi ilmiah nasional setara Royal Society atau NAS.

 

3. Kebijakan Strategis Nasional: Basic Plan STI ke-6 (2021–2025)

 

Rencana ini menegaskan tiga pilar utama:

1. Transformasi Struktur Sosial Berbasis Digital

Mengakselerasi:

  • AI
  • Big data
  • Quantum computing
  • Society 5.0
  • Digitalisasi pelayanan publik

2. Penguatan Kapasitas Riset

Berfokus pada:

  • Meningkatkan kualitas riset dasar
  • Infrastruktur laboratorium
  • Akses data ilmiah terbuka
  • Kolaborasi global

3. Pengembangan SDM Sains-Inovasi

Mengembangkan:

  • Kemampuan mengeksplorasi ide (exploratory skills)
  • Lifelong learning mindset
  • Keterampilan baru abad ke-21 (AI, coding, analisis data)

Kebijakan ini menjadikan Jepang lebih adaptif dalam menghadapi tekanan global seperti dekarbonisasi, teknologi disruptif, dan kompetisi riset internasional.

 

4. Lembaga Pendanaan Publik Utama

 

Jepang memiliki empat lembaga pendanaan besar dengan fungsi berbeda namun saling melengkapi:

1. Japan Society for the Promotion of Science (JSPS)

  • Pendanaan berbasis bottom-up untuk riset ilmiah dasar
  • Skema unggulan: Kakenhi Grants
  • Fellowship inbound & outbound untuk kolaborasi internasional
  • Anggaran terbesar di antara pendana publik riset

2. Japan Science and Technology Agency (JST)

  • Pendanaan top-down untuk implementasi kebijakan inovasi nasional
  • Fokus pada teknologi strategis, inovasi sosial, dan komersialisasi sains

3. Japan Agency for Medical Research and Development (AMED)

  • Pendanaan terintegrasi untuk riset kesehatan dan kedokteran
  • Mulai dari riset dasar → translasi → uji klinis
  • Mirip NIH versi Jepang

4. New Energy and Industrial Technology Development Organization (NEDO)

  • Berafiliasi dengan METI
  • Fokus pada:
    • teknologi industri,
    • energi baru & terbarukan,
    • dekarbonisasi,
    • manufaktur canggih.

 

5. Infrastruktur Riset Jepang: Universitas dan Institusi Nasional

 

Jepang memiliki sistem pendidikan tinggi dan lembaga riset yang sangat luas dan beragam:

  • 86 universitas nasional
  • 102 universitas negeri
  • 622 universitas swasta
  • 27 lembaga penelitian nasional

Sebagian besar lembaga berada di bawah kementerian tertentu dan berfungsi sebagai:

  • pusat riset dasar,
  • inkubator inovasi,
  • mitra industri,
  • penyedia talenta ilmiah nasional.

World Premier International Research Center Initiative (WPI)

Inisiatif unggulan untuk menciptakan pusat riset kelas dunia.

  • Terdapat 17 pusat WPI
  • Bahasa kerja: Bahasa Inggris
  • Komposisi peneliti asing: ± 40%
  • Berfokus pada riset frontier seperti:
    • biologi sintetik
    • fisika kuantum
    • AI dan robotika
    • material canggih

WPI sering dibandingkan dengan model Max Planck Institute atau MIT Media Lab karena reputasinya yang sangat internasional dan kualitas publikasi yang tinggi.

 

Kesimpulan: Jepang sebagai Mesin Inovasi Abad ke-21

 

Dengan investasi R&D yang stabil, struktur kelembagaan yang matang, dan fokus kuat pada riset dasar serta inovasi industri, Jepang mempertahankan posisinya sebagai salah satu pusat sains global. Kemampuannya menyeimbangkan tradisi riset kuat dengan transformasi digital melalui Rencana STI ke-6 membuat Jepang tetap relevan dalam kompetisi teknologi dunia.

 

Namun, tantangan seperti penuaan populasi, kebutuhan untuk menarik lebih banyak talenta internasional, dan kompetisi riset Asia Timur (khususnya Tiongkok dan Korea Selatan) menuntut Jepang terus melakukan reformasi sistem inovasinya.

 

Daftar Pustaka

  1. Statistics Bureau of Japan. Survey of Research and Development 2023.
  2. MEXT. Science and Technology Basic Plan (6th), 2021–2025.
  3. Cabinet Office Japan. CSTI Annual Report, 2023.
  4. JSPS. Kakenhi Program Overview (2023).
  5. JST. Annual Report 2022–2023.
  6. NEDO. Technology Strategy and Project Portfolio (2023).
  7. AMED. Medical R&D Integrated Strategy, 2023.
  8. WPI Program Office. WPI Centers Overview (2023).
  9. OECD. Main Science and Technology Indicators, 2023.
  10. Global Innovation Index 2023. World Intellectual Property Organization (WIPO).
  11. Nature Index 2023. Springer Nature.
  12. UNESCO Science Report 2021.
  13. Royal Society & NISTEP Reports on Global Science Collaboration, 2023.

#SainsJepang 

#InovasiJepang 

#TeknologiMasaDepan 

#RisetGlobal 

#Society5_0


Rahasia Hidup Tenang dan Dicintai Allah: Jadi Dermawan & Selalu Bersyukur ala Generasi Hebat!

 


Di era serba cepat seperti sekarang—scrolling medsos tiap menit, update story, ngejar target sekolah atau kerja—kita sering lupa bahwa hidup bukan hanya tentang “apa yang kita punya”, tetapi tentang apa yang bisa kita berikan dan seberapa bersyukur kita atas karunia Allah.

Nilai dermawan dan syukur bukan hanya ajaran masa lalu, tetapi mindset yang relevan banget untuk Gen Z yang ingin hidup bermakna, sehat mental, dan dekat dengan Allah.

Berikut tiga pesan penting dari Rasulullah SAW yang bisa jadi kompas hidup kita.

 

1. Jadilah Dermawan: Harta Itu Amanah, Bukan untuk Ditimbun

Hadis 1:

“Andaikan aku mempunyai emas sebesar Bukit Uhud, aku lebih senang kalau emas itu tidak menginap di tempatku sampai 3 malam… kecuali sesuatu yang aku persiapkan untuk membayar hutang.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Bayangin… emas seukuran Gunung Uhud, raksasa banget. Tapi Rasulullah SAW bilang: beliau nggak mau menimbunnya. Beliau ingin segera membagikannya di jalan Allah.

Contoh yang mudah dibayangkan Gen Z:

  • Punya gaji pertama? Kadang rasanya pengen beli semua wishlist: sepatu limited, gadget baru, atau liburan.
  • Tapi Rasulullah ngajarin: harta paling berkah adalah yang bermanfaat untuk orang lain—orang tua, teman yang butuh, anak yatim, atau bahkan sedekah diam-diam di masjid.

Pesan inti:

  • Dermawan itu bukan nunggu kaya.
  • Dermawan itu ketika kita sadar: “Apa yang aku punya, Allah titipin untuk kebaikan.”

 

2. Lihat ke Bawah untuk Bersyukur: Fokus pada Nikmat, Bukan Kekurangan

Hadis 2:

“Lihatlah orang yang berada di bawahmu dan jangan melihat orang yang berada di atasmu…” (HR. Bukhari dan Muslim)

Media sosial bikin kita gampang iri: teman keliling dunia, punya mobil baru, gadget terbaru, skincare jutaan. Tanpa sadar, kita membandingkan diri dan akhirnya merasa kurang terus.

Contoh yang mudah dibayangkan Gen Z:

  • Kamu punya HP mid-range, lalu lihat teman punya flagship terbaru—langsung minder.
  • Kamu kuliah di kampus biasa, lihat orang lain di kampus top—langsung ngerasa gagal.

Padahal, Allah menyuruh kita melihat mereka yang lebih sedikit dari kita supaya kita sadar betapa banyak nikmat yang sudah Allah kasih.

Pesan inti:

  • Bersyukur bukan berarti berhenti bermimpi.
  • Bersyukur adalah menghargai apa yang sudah ada sambil tetap ikhtiar mencapai yang lebih baik.

Allah Swt berjanji:

“Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu.” (QS. Ibrahim: 7)

 

3. Jangan Jadi ‘Hamba Harta’: Kebahagiaan Bukan dari Barang, Tapi dari Hati

Hadis 3:

“Celakalah hamba dinar… hamba pakaian… hamba perut. Jika dipenuhi ia senang, jika tidak dipenuhi ia tidak senang.” (HR. Bukhari)

Rasulullah menyebut “hamba harta”, yaitu orang yang hidupnya dikendalikan oleh uang, barang, atau materi.

Contoh yang mudah dibayangkan Gen Z:

  • Mood kamu hancur hanya karena paket COD belum datang.
  • Kamu merasa rendah diri hanya karena tidak pakai skincare mahal.
  • Kamu bahagia hanya kalau saldo e-wallet tebal.

Jika kebahagiaan tergantung barang, maka kita jadi “budak” barang itu. Padahal barang cuma alat, bukan tujuan.

Pesan inti:

  • Barang itu dipakai, bukan untuk diperbudak.
  • Bahagia itu dari ketenangan hati, bukan dari jumlah likes atau belanjaan di keranjang.

 

Rasulullah SAW bersabda:

“Kekayaan bukan banyaknya harta, tetapi kaya hati.” (HR. Bukhari dan Muslim)

 

Bagaimana Mengamalkan Tiga Pesan Ini dalam Kehidupan Gen Z?

1. Biasakan sedekah kecil tapi rutin.

Rp 2.000 per hari pun bisa jadi amal besar kalau ikhlas.

2. Kurangi membandingkan hidup dengan orang lain.

Unfollow akun yang bikin insecure juga bentuk menjaga hati.

3. Nikmati dan syukuri hal-hal kecil.

Kesehatan, keluarga, teman yang baik, udara pagi, waktu istirahat—semuanya nikmat besar.

4. Belajar hidup sederhana tapi bermakna.

Punya gaya boleh, tapi jangan sampai hidup kita dikendalikan tren yang berubah tiap minggu.

5. Prioritaskan kebaikan.

Bantu teman yang kesulitan, bayarin makan teman sekali-sekali, support orang tua, atau lakukan kebaikan tanpa perlu diumumkan.

 

Catatan Penting: Jalan Menuju Ridho Allah

Dermawan dan bersyukur bukan cuma dua sifat, tapi cara hidup.

Ketika kita memberi, Allah menambah.

Ketika kita bersyukur, Allah melapangkan.

Ketika hati tidak dikendalikan harta, kita jadi manusia yang merdeka.

Semoga kita termasuk hamba-hamba yang dicintai Allah karena kedermawanan, kerendahan hati, dan rasa syukur yang tulus.

Aamiin ya Rabbal ‘alamin.


#Dakwah 

#Syukur 

#Dermawan 

#Akhirat 

#MotivasiIslam

REVEALED! How China Turns Barren Deserts into ‘Green Gold’ Using Breakthrough Eco-Technologies

 

Transforming Deserts into Green Gold: Integrated Biotechnological and Nature-Based Approaches for Large-Scale Desert Restoration in China

 

Pudjiatmoko

Member of the Nanotechnology Technical Committee, National Standardization Agency, Indonesia

 

ABSTRACT

 

Purpose — Desertification threatens ecological integrity, food security, and socio-economic stability in arid regions worldwide. China, home to over 1.3 million km² of desert landscapes, has implemented multi-scale ecological restoration strategies over the past four decades. This paper provides a comprehensive analysis of China’s integrated approaches—combining biotechnology, engineered landscape design, native vegetation, and water-resource innovation—to rehabilitate the Maowusu, Ulan Buh, Tengger, and Gobi Desert regions.


Methods — A narrative review was conducted using peer-reviewed literature (Nature, Science Advances, Journal of Arid Land), government datasets, satellite-based environmental monitoring, and reports from scientific media outlets. The analysis focuses on three domains: (1) biotechnological soil treatment using cyanobacteria; (2) engineered ecological interventions including the Great Green Wall and adaptive wind-control systems; and (3) nature-based solutions (NbS) using Salix psammophila and groundwater optimization.


Results — Biocrust formed by cyanobacteria restored over 500 ha of degraded sandy land into arable soil. The Great Green Wall increased vegetation cover by 42% (2000–2017) as confirmed by NASA satellite imagery. Landscape designs mimicking natural oasis systems enabled the greening of 5,000 ha of the Tengger Desert. Native willow species (Salix psammophila) stabilized 42,000 ha of the Maowusu Desert, supported by deep rooting systems reaching ~10 m. Ancient aquifer utilization coupled with drip irrigation improved agricultural productivity in restored zones by up to 60% over a decade.


Conclusions — China’s desert restoration success derives from synergistic integration of biotechnology, ecological engineering, and native-plant-based solutions. The findings demonstrate that hybrid approaches can reverse desertification, enhance ecosystem resilience, and deliver substantial socio-economic benefits. These strategies offer scalable models for other desert-prone regions globally.

 

1. INTRODUCTION

 

Desertification is a critical global environmental issue accelerated by climate change, unsustainable land use, and vegetation loss. Approximately 24% of global land is degrading, affecting the livelihoods of over one billion people. China represents one of the most affected countries, with vast desert systems—including the Gobi, Maowusu, Ulan Buh, and Tengger deserts—expanding rapidly throughout the 20th century.

The Maowusu Desert in Ordos, Inner Mongolia, spanning 42,200 km², is a key hotspot for both ecological degradation and environmental innovation. Historically, the region suffered from sandstorms, severe wind erosion, declining soil fertility, and agricultural collapse.

Over the past four decades, Chinese researchers and policymakers have introduced a wide range of multi-disciplinary interventions to reverse desertification. These efforts encompass biocrust engineering using cyanobacteria, large-scale afforestation through the Great Green Wall program, the development of oasis-inspired hydrological landscape systems, the application of sensor-based wind-control technologies, the reintroduction of native desert shrubs, and the management of deep aquifers supported by modern irrigation practices. Although each strategy has been examined individually, comprehensive evaluations that integrate their ecological performance, socio-economic impacts, and interactive dynamics remain limited. This paper seeks to address that gap by synthesizing current evidence to assess overall effectiveness and explore the potential for global replication of these approaches.

 

2. MATERIALS AND METHODS

 

2.1 Study Design

This study adopts a narrative review methodology, combining environmental science literature, satellite monitoring data, and policy reports to evaluate major desert restoration initiatives in China.


2.2 Data Sources

Sources include:

  • articles from Nature, Science Advances, and Journal of Arid Land
  • NASA Earth Observatory remote-sensing datasets
  • technical reports from Chinese research institutions
  • scientific media reporting (National Geographic, BBC, Foreign Policy)


2.3 Analytical Framework

The analysis is structured around three integrated domains:

  1. Biotechnological soil rehabilitation through cyanobacteria-based biocrust.
  2. Engineered ecological interventions, such as afforestation belts and smart wind barriers.
  3. Nature-based solutions (NbS) involving native species (Salix psammophila) and groundwater optimization.

Triangulation was used to validate cross-source consistency and extract mechanistic insights.

 

3. RESULTS

 

3.1 Cyanobacteria-Based Biocrust Formation

Research led by Zhao et al. (2016) demonstrated that cyanobacteria can rapidly colonize sandy surfaces and create cohesive biocrusts that:

  • bind sand particles,
  • reduce wind erosion,
  • increase water retention capacity,
  • initiate nutrient cycling,
  • create microhabitats conducive to plant establishment.

The “Desert to Oasis” initiative in Ulan Buh restored over 500 ha of mobile dunes into productive farmland within six years, successfully cultivating wheat, melons, and grapes at yields comparable to conventional agricultural soils (National Geographic, 2020).

 

3.2 Landscape-Scale Afforestation: The Great Green Wall

Launched in 1978, the Great Green Wall (GGW) is one of the most extensive ecological engineering projects globally. Stretching approximately 4,500 km, GGW aims to block the southward expansion of the Gobi Desert.

NASA satellite imagery reveals:

  • 42% increase in vegetation cover in target zones (2000–2017),
  • significant decline in sandstorm frequency,
  • measurable improvements in regional microclimates,
  • the largest human-made land-cover change visible from space.

 

3.3 Oasis-Mimicking Hydrological Engineering

Inspired by naturally occurring oases, Lin et al. developed a leaf-vein hydrological network to capture and distribute scarce rainfall in the Tengger Desert.

Key features:

  • branching trenches that maximize infiltration,
  • strategic planting of drought-resistant native flora,
  • passive water harvesting with no mechanical infrastructure.

Within five years, 5,000 ha of previously barren desert transformed into a semi-arid savanna supporting:

  • wolfberry (Lycium barbarum),
  • goji berry,
  • and arid-tolerant rice cultivars.

 

3.4 Adaptive Wind-Control Technology (DJI Wind Breaker)

Given that wind erosion is a primary driver of desertification, DJI created solar-powered, sensor-driven dynamic wind barriers.

Performance metrics from Minqin test sites:

  • up to 75% reduction in real-time wind speed,
  • 30% increase in agricultural productivity in protected plots,
  • enhanced soil stability and reduced evapotranspiration.

 

3.5 Ecological Significance of Salix psammophila

The native desert willow (Salix psammophila) is a keystone species in the Maowusu ecosystem.

Root System Adaptations

Wang et al. (2019) documented:

  • deep root penetration up to 10 meters,
  • high tolerance to 200 mm annual precipitation,
  • efficient subsoil water extraction.

Ecosystem and Socio-Economic Impact

Since 2000, Ordos authorities have planted over 5 million individuals, stabilizing 42,000 ha of dunes.

Benefits include:

  • dune fixation via dense root mats,
  • microclimate stabilization,
  • fodder for livestock,
  • raw material for rural craft industries,
  • foundation for secondary succession of grasses and shrubs.

 

3.6 Utilization of Ancient Groundwater Resources

Li et al. (2020) identified extensive Late Pleistocene aquifers beneath the Gobi Desert. These “fossil water” reserves, formed ~20,000 years ago, provide a stable but finite water supply.

When combined with:

  • deep-well extraction and
  • drip irrigation,

agricultural productivity in restored regions increased by up to 60% over a decade.

 

4. DISCUSSION

 

4.1 Synergistic Integration of Technologies and Nature-Based Solutions

The evidence indicates that China’s desert restoration success is rooted in a systems approach where:

  • biocrusts create foundational soil structure,
  • vegetation belts reduce wind mobility,
  • hydrological engineering enhances water availability,
  • native shrubs stabilize dunes,
  • groundwater supports initial cultivation,
  • and sensor technologies maintain environmental control.

This synergy accelerates ecological succession and increases system resilience.

 

4.2 Socio-economic Impacts

Restored desert landscapes now support:

  • high-value crops (e.g., goji berry, wine grapes),
  • livestock fodder industries,
  • rural handicrafts,
  • eco-tourism,
  • increased employment opportunities in ecological restoration sectors.

These outcomes demonstrate that land restoration can be an engine of regional development.

 

4.3 Global Applicability

The integrated model presented has high relevance for:

  • Central Asia
  • Middle East
  • North Africa
  • Sub-Saharan drylands
  • Australian arid corridors

 

Implementation requires adapting:

  • native species selection,
  • groundwater availability,
  • local climate patterns,
  • socio-economic contexts,
  • governance capacity.

 

4.4 Limitations and Risks

Despite the successes, risks remain:

  • over-extraction of fossil groundwater,
  • biodiversity loss if monocultures dominate,
  • high maintenance cost of engineered systems,
  • climatic unpredictability in hyper-arid zones.

Long-term monitoring is essential to avoid ecological rebound effects.

 

5. CONCLUSIONS

 

China’s multi-dimensional desert restoration initiatives showcase one of the world’s most successful cases of reversing large-scale desertification. By integrating biotechnology, ecological engineering, and native-plant-based solutions, formerly barren dunes have transitioned into productive landscapes and functional ecosystems.

The case of the Maowusu and surrounding deserts serves as a replicable blueprint for global desert reclamation efforts. Future research should expand on:

  • biocrust compositional optimization,
  • remote-sensing AI for desert monitoring,
  • genetic enhancement of native desert shrubs,
  • sustainable groundwater governance.

 

REFERENCES

 

BBC News. (2021). China’s engineered oases and the fight against desertification.

Foreign Policy. (2023). China’s environmental engineering and desert transformation.

Li, Y., et al. (2020). Ancient groundwater beneath the Gobi Desert. Science Advances, 6(14), eaaz9409.

NASA Earth Observatory. (2018). Tracking vegetation growth in the Great Green Wall.

National Geographic. (2020). Desert to farmland: China’s restoration projects.

National Geographic China. (2022). Ecological impacts of Salix psammophila plantations in Inner Mongolia.

Wang, Y., et al. (2019). Root system adaptations of Salix psammophila in arid and semi-arid regions. Journal of Arid Land, 11(3), 456–468.

Zhao, C., et al. (2016). Cyanobacterial crust formation for desert ecological restoration. Nature, 539, 1–7.