Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Saturday, 23 March 2024

Upaya Pengendalian “Penyakit Tidur” HAT

“Penyakit Tidur”atau Human African Trypanosomiasis (HAT) disebabkan oleh parasit darah protozoa dari genus Trypanosoma yang ditularkan melalui lalat tsetse yang terinfeksi. Penyakit ini endemik di Sub-Sahara Afrika. Apabila tidak diberikan pengobatan, pada umumnya berakibat fatal yang dapat menimbulkan kematian. Kebanyakan orang yang terpapar penyakit ini tinggal di daerah pedesaan dengan matapencaharian terkait sektor pertanian. Upaya pengendalian berkelanjutan telah mengurangi jumlah kasus baru sebesar 97% dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Diagnosis dan pengobatan bersifat kompleks dan memerlukan kompetensi khusus.

 

Penyebab “Penyakit Tidur” HAT

 

HAT juga dikenal sebagai “Penyakit Tidur”. Disebut “Penyakit Tidur” karena penyakit ini menyerang sistem saraf manusia dan menyebabkan penderita mengalami gangguan tidur, koma, bahkan kematian. Penyakit ini disebabkan oleh protozoa dari genus Trypanosoma, yang ditularkan ke manusia melalui gigitan lalat tsetse (glossina) yang memperoleh parasit dari manusia atau hewan yang terinfeksi.

 

Lalat tsetse tersebar di Sub-Sahara Afrika, namun hanya spesies lalat tsetse tertentu yang dapat menularkan penyakit ini sebagai vektor. Penduduk pedesaan yang bergantung pada pertanian, perikanan, peternakan atau perburuan adalah yang paling sering terkena. Penyakit ini mempunyai distribusi fokus berkisar dari satu desa menyebar ke seluruh wilayah. Kejadiannya dapat bervariasi dari satu desa dengan desa lainnya.

 

Dua Jenis HAT

 

HAT mempunyai 2 jenis, bergantung pada subspesies parasitnya. Jenis pertama, Trypanosoma brucei gambiense, ditemukan di 24 negara di Afrika barat dan tengah, saat ini mencakup 92% dari kasus yang telah dilaporkan. Penyakitnya bersifat kronis, seseorang dapat terinfeksi selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun tanpa tanda atau gejala yang berarti. Ketika gejala nyata muncul, seringkali penyakit ini berlanjut hingga mengenai sistem saraf pusat.

Jenis kedua, Trypanosoma brucei rhodesiense, ditemukan di 13 negara di Afrika bagian timur dan selatan, terdapat 8% dari kasus yang dilaporkan dan menyebabkan penyakit akut. Gejala pertama muncul beberapa minggu atau bulan setelah infeksi. Penyakit ini berkembang pesat dengan menyerang berbagai organ tubuh, termasuk otak.

 

Tripanosomiasis pada hewan

 

Di alam terdapat berbagai jenis trypanosoma pada hewan yang dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu non patogen dan patogen. Trypanosoma non patogen seperti Trypanosoma lewisi ditemukan pada tikus dan ditularkan melalui serangga parasit pinjal. Jenis trypanosoma yang patogen diantaranya Trypanosoma brucei yang menyebabkan penyakit Nagana pada ternak di Afrika dan Trypanosoma equiperdum diketahui menyebabkan penyakit Dourine pada kuda yang ditularkan melalui perkawinan. Trypanosoma equinum ini ditularkan secara mekanis oleh lalat tabanus dapat menyebabkan penyakit Mal de Caderas pada kuda di Amerika Selatan.

 

Di Afrika, Trypanosoma vivax dan Trypanosoma congolense yang ditularkan oleh lalat tsetse dapat menginfeksi hewan ternak dan manusia (HAT). Hewan ternak dan satwa liar juga merupakan reservoir utama Trypanosoma brucei rhodesiense. Hewan juga dapat tertular Trypanosoma brucei gambiense dan dapat bertindak sebagai reservoir pada tingkat yang lebih rendah tidak diketahui secara pasti.

 

Trypanosoma evansi yang ditularkan secara mekanik oleh lalat tabanus dapat menyebabkan penyakit Surra pada kuda, sapi dan kerbau. Trypanosomiasis pada ternak ini merupakan hambatan utama bagi pembangunan ekonomi peternakan di pedesaan.

 

Distribusi penyakit

 

HAT terutama mengancam penduduk di daerah pedesaan terpencil dengan layanan kesehatan yang terbatas, sehingga sulit untuk mendiagnosis dan mengobatinya. Terdapat beberapa epidemi terjadi selama satu abad terakhir. Antara tahun 1896 dan 1906, sebagian besar di Uganda dan Lembah Kongo. Pada tahun 1920-an di beberapa negara. Antara tahun 1970 dan akhir tahun 1990an.

 

Epidemi tahun 1920 dapat dikendalikan oleh tim layanan kesehatan keliling yang menyaring jutaan orang. Pada pertengahan tahun 1960an, HAT sudah terkendali dengan jumlah kasus tahunan di bawah 5.000 di seluruh benua. Ketika pengawasan dilonggarkan, penyakit ini kembali muncul dan mencapai proporsi epidemi di beberapa wilayah pada tahun 1970.

 

Pada tahun 1998, hampir 40.000 kasus dilaporkan, di antara sekitar 300.000 kasus yang tidak terdeteksi dan tidak diobati. Prevalensinya mencapai 50% di beberapa desa di Angola, Republik Demokratik Kongo (DRC), dan Sudan Selatan. HAT merupakan penyebab kematian terbesar pertama atau kedua di komunitas tersebut.

 

Upaya Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melalui program pengendalian nasional, kerja sama bilateral dan organisasi non-pemerintah selama tahun 1990-an dan awal tahun 2000-an telah menurunkan angka kasus. Peta Jalan “Penyakit Tropis yang Terabaikan”, WHO menargetkan eliminasi penyakit ini pada tahun 2020. Eliminasi adalah pengurangan prevalensi penyakit menular pada populasi regional menjadi nol. Pada tahun 2030 ditargetkan akan terjadi penghentian penularan atau nol kasus.

 

Setelah upaya pengendalian yang berkelanjutan, kejadian HAT mencapai titik terendah dalam sejarah di bawah 2.000 kasus pada tahun 2017 dan di bawah 1.000 kasus pada tahun 2018, dan tetap berada di bawah ambang batas tersebut pada tahun 2022. Perkiraan populasi penduduk berisiko pada periode 2016-2020 adalah 55 juta orang, hanya 3 juta orang dengan risiko sedang sampai tinggi.

 

Angka kejadian HAT sangat berbeda-beda di setiap negara dan wilayah. Mengambil data dalam 5 tahun terakhir: (a) Kongo melaporkan 61% kasus (rata-rata 522 kasus/tahun); (b) Angola, Republik Afrika Tengah, Chad, Kongo, Gabon, Guinea, Malawi dan Sudan Selatan menyatakan 10–100 kasus; (c) sementara Kamerun, Pantai Gading, Guinea Khatulistiwa, Uganda, Tanzania, Ethiopia dan Zambia menyatakan 1–10 kasus; (d) Burkina Faso, Ghana, Kenya, Nigeria dan Zimbabwe, melaporkan adanya kasus sporadis dalam dekade terakhir; dan (e) Benin, Botswana, Burundi, Eswatini, Gambia, Guinea Bissau, Liberia, Mali, Mozambik, Namibia, Niger, Rwanda, Senegal, Sierra Leone dan Togo belum melaporkan adanya kasus selama lebih dari satu dekade. Penularan HAT tampaknya telah berhenti di beberapa negara tersebut namun hal ini belum dinilai secara lengkap.

 

Infeksi penyakit dan gejalanya

 

HAT sebagian besar ditularkan melalui lalat tsetse. Kemungkinan cara penularan lainnya adalah: (a) dari ibu ke anak: trypanosoma dapat melewati plasenta dan menginfeksi janin; (b) penularan mekanis oleh serangga penghisap darah lainnya mungkin terjadi, meskipun dampak epidemiologisnya cenderung kecil; (c) infeksi yang tidak disengaja di laboratorium melalui tusukan jarum yang terkontaminasi; dan (d) penularan melalui hubungan seksual telah dilaporkan sebanyak satu kali.

 

Awalnya trypanosoma berkembang biak di jaringan subkutan, darah dan getah bening. Ini disebut hemolimfatik atau tahap pertama, yang ditandai dengan demam, sakit kepala, pembesaran kelenjar getah bening, nyeri sendi, dan gatal-gatal.

 

Kemudian parasit melintasi sawar darah-otak (SDO) ke dalam sistem saraf pusat menyebabkan meningo-ensefalitis atau tahap kedua. Umumnya hal ini terjadi ketika munculnya tanda dan gejala HAT lebih jelas: perubahan perilaku, kebingungan, gangguan sensorik, dan koordinasi yang buruk. Gangguan siklus tidur, yang menjadi asal muasal nama penyakit ini, merupakan ciri yang menonjol. Tanpa pengobatan, HAT biasanya berakibat fatal meskipun kasus sembuh dengan sendirinya jarang dilaporkan.

 

Diagnosis

 

Diagnosis melibatkan 3 langkah: (1) skrining terhadap potensi infeksi menggunakan tes serologis (hanya tersedia untuk Trypanosoma brucei gambiense) dan pemeriksaan klinis; (2) konfirmasi dengan mengamati secara mikroskopis parasit dalam cairan tubuh; dan (3) menentukan stadium perkembangan penyakit melalui pemeriksaan klinis dan analisis cairan serebrospinal yang diperoleh melalui pungsi lumbal, jika diperlukan.

 

Diagnosis dini sangat penting untuk menghindari perkembangan ke tahap neurologis dengan pengobatan yang lebih kompleks dan berisiko. Tahap awal gambiense-HAT yang panjang dan relatif tanpa gejala adalah salah satu alasan dilakukannya skrining aktif terhadap populasi yang terpapar, untuk mendeteksi kasus pada tahap awal dan menjadikannya sebagai reservoir. Penyaringan yang menyeluruh memerlukan investasi besar pada sumber daya manusia dan material. Di Afrika, sumber daya seperti ini sering kali langka, khususnya di wilayah terpencil. Oleh karena itu, beberapa orang yang terinfeksi mungkin meninggal sebelum mereka dapat didiagnosis dan diobati.

 

Pengobatan anjuran WHO

 

Pencegahan penyakit yang parah dilakukan lewat penyaringan populasi yang berisiko melalui tes darah terhadap trypanosoma. Pengobatan lebih mudah bila penyakit ini terdeteksi lebih awal dan sebelum gejala neurologis terjadi. Jadi pilihan pengobatan tergantung pada jenis penyakit dan stadium penyakit. Semakin dini penyakit ini diobati, semakin baik prospek kesembuhannya. Penilaian hasil pengobatan memerlukan tindak lanjut hingga 24 bulan dengan penilaian klinis dan pemeriksaan laboratorium termasuk cairan serebrospinal, karena parasit mungkin tetap hidup dan menyebabkan penyakit beberapa bulan setelah pengobatan.

 

Pengobatan pada tahap kedua memerlukan obat yang melewati sawar darah-otak. Semua anti-trypanosomal disumbangkan ke WHO oleh produsen untuk didistribusikan secara gratis ke negara-negara endemik. Pedoman pengobatan WHO yang baru untuk gambiense-HAT diterbitkan pada tahun 2019. Terdapat enam obat yang biasa digunakan, 4 obat untuk gambiense-HAT dan 2 obat untuk rhodesiense-HAT.

 

Pengobatan untuk gambiense-HAT

 

Anjuran dari WHO : (1) Pentamidin, intramuskular: pada tahap pertama, umumnya dapat ditoleransi dengan baik oleh pasien; (2) Eflornithine, intravena: jauh lebih aman dibandingkan melarsoprol, hanya efektif pada gambiense-HAT. Umumnya diberikan bersamaan dengan nifurtimox (terapi kombinasi nifurtimox-eflornithine / NECT) tetapi dapat digunakan juga sebagai monoterapi, administrasinya rumit; (3) Nifurtimox, oral: pada tahap kedua, hanya sebagai komponen NECT, yang merupakan pengobatan lebih singkat dengan infus eflornithine empat kali lebih sedikit, lebih aman dan efektif dibandingkan eflornithine saja. WHO memasok NECT secara gratis ke negara-negara endemik dalam bentuk kit yang berisi semua bahan yang diperlukan untuk penggunaannya; dan (4) Fexinidazole, oral: pada tahap pertama dan tahap kedua yang tidak parah. Untuk memastikan kemanjuran, diperlukan asupan setelah makan padat dan di bawah pengawasan staf medis terlatih.

 

Pengobatan untuk rhodesiense-HAT

 

Anjuran dari WHO : (1) Suramin, intravena: tahap pertama. Dapat memicu efek samping termasuk nefrotoksisitas dan reaksi alergi; dan (2) Melarsoprol, intravena: pada tahap kedua. Turunan arsenik, memiliki banyak efek samping, yang paling dramatis adalah ensefalopati reaktif yang berakibat fatal 3–10%.

 

Saran-saran

 

1. Meningkatkan program surveilans dan pengendalian HAT hendaknya dilaksanakan sejak awal melalui kemitraan pemerintah-swasta.

2. Perlu adanya jaringan WHO untuk “Eliminasi HAT” dengan cara mengoordinasikan upaya dari seluruh pemangku kepentingan termasuk program HAT nasional, organisasi internasional dan non-pemerintah, akademisi dan donor.

3. Penting untuk meningkatkan jaringan subsektor menangani aspek diagnostik, terapeutik, antivektor, sosiobudaya, programatik, dan ilmiah HAT.

4. Peningkatan dukungan terhadap program nasional dalam rangka: (a) memperkuat koordinasi dan mempertahankan kegiatan pengendalian HAT; (b) memastikan akses terhadap diagnosis dan pengobatan terbaik; (c) melatih staf di berbagai tingkat; (d) memastikan ketepatan surveilans dan respon HAT.

 

SUMBER

Pudjiatmoko. Upaya Pengendalian “Penyakit Tidur” HAT. Pangan News 10 Desember 2023. https://pangannews.id/berita/1702197621/upaya-pengendalian-penyakit-tidur-hat

Friday, 22 March 2024

Pengembangan Obat Herbal untuk Hewan

 

Peluang Pengembangan Obat Herbal untuk Hewan di Indonesia

 

Obat herbal semakin banyak digunakan dalam pengobatan baik untuk manusia maupun hewan dalam mencegah dan menyembuhkan penyakit. Obat herbal sangat mendukung pengobatan konvensional dan modern. Telah banyak ditemukan senyawa aktif yang terdapat pada tanaman. Ini memberi peluang khasiat tanaman obat digunakan untuk pengobatan herbal. Seringkali kemanjuran terapeutik senyawa aktif dari tanaman setara dengan obat sintetik. Dengan demikian, obat herbal jenis ini dapat digunakan sebagai antibakteri, antimikotik, antiparasit, desinfektan, dan imunostimulan.

 

Standar kualitas farmasi, keamanan, kemurnian dan konsistensinya harus ditetapkan. Standar ini diberlakukan terhadap seluruh proses produksi dan formulasi obat. Hasil dari penelitian bentuk sediaan alami menunjukkan harapan besar bagi masa depan sistem penghantaran obat herbal untuk hewan. Sistem penghantaran obat merupakan suatu sistem untuk mengirimkan zat terapeutik atau obat yang telah digunakan secara klinis dan pra-klinis dalam pengobatan suatu penyakit.

 

Untuk mengenali obat herbal untuk hewan disarikan dari studi Yedi Herdiana dkk dari Universitas Pajajaran dan IPB University berjudul Veterinary Drug Development from Indonesian Herbal Origin: Challenges and Opportunities, IDJP (2021), dan studi Erlia Anggrainy Sianipar dari Universitas Katolik Atmajaya berjudul The potential of Indonesian traditional herbal medicine as immunomodulatory agents: a review, IJPSR (2021).

 

Tujuan penggunaan obat herbal

 

Sama seperti manusia, hewan diberi obat herbal juga untuk menjaga kesehatan. Tujuan menggunakan obat herbal untuk hewan sama dengan untuk manusia, yaitu memberikan tindakan pengobatan yang efektif dan aman. Selain itu peternak atau pemilik hewan mampu menggunakannya dengan mudah.

 

Implementasi pengobatan hewan di masyarakat pedesaan didasarkan pada praktik etnomedisin kedokteran hewan. Studi etnomedisin merupakan salah satu cara ilmiah untuk mendokumentasikan pemanfaatan tanaman sebagai bahan obat oleh berbagai etnis dengan kearifan lokalnya. Terutama ketika memperoleh produk kedokteran hewan modern sulit atau terlalu mahal.

 

Biaya penggunaan obat hewan menyumbangkan lebih dari 50% dari seluruh biaya pengobatan untuk kesehatan. Selain itu obat hewan sintetik dapat menimbulkan efek samping yang merugikan, seperti resistensi obat dan peningkatan toksisitas pada hewan akibat dosis yang berlebihan.

 

Efek samping obat sintetik, seperti residu antibiotik dapat menimbulkan resistensi antibiotik pada manusia. Selain itu hasil zat berbahaya tetap ada di dalam daging. Produk samping obat sintetik ini menjadi perhatian penggunaannya dalam jangka panjang. Permasalahan seperti ini mendorong pencarian alternatif seperti obat herbal, karena murah dan aman dibandingkan dengan cara pengobatan modern.

 

Secara farmakologis obat herbal mengandung berbagai senyawa aktif, dan setiap ramuan mempunyai kombinasi dan khasiat yang unik. Obat herbal hewan dapat digunakan untuk terapi, profilaksis, atau diagnostik dalam pelayanan kesehatan hewan. Penggunaan obat herbal dinilai tidak menimbulkan efek samping atau efek samping ringan; produk non-narkotika; tersedia cepat dan harga terjangkau.

 

Ilmu kedokteran hewan tradisional terdiri dari keyakinan dan praktik tentang kesehatan hewan yang memanfaatkan sumber daya alam. Permintaan obat herbal meningkat baik untuk pengobatan manusia maupun hewan. Pengobatan alternatif menjadi populer di seluruh dunia. Pengobatan herbal telah menjadi salah satu bentuk terapi alternatif dan terapi komplementer. Obat herbal dapat menjadi suplemen yang paling umum untuk mendukung pengobatan modern.

 

Potensi sumber daya alam

 

Indonesia memiliki tidak kurang dari 30.000 spesies tumbuhan yang terdapat di hutan tropis. Dari jumlah tersebut sekitar 9.600 spesies yang diketahui memiliki khasiat obat. Dalam bidang etnofarmakologi, banyak tumbuhan yang umum dimanfaatkan sebagai obat pada hewan. Peluang pengembangan herbal di bidang kedokteran hewan sangat terbuka lebar, sebagaimana diatur dalam regulasi obat alami untuk Hewan. Regulasi pemerintah mengatur bahwa pengobatan hewan dengan menggunakan obat herbal harus terstandar melalui suatu penelitian. Setelah lolos penelitian dan pengujian ilmiah, obat herbal harus mendapat persetujuan Kementerian Pertanian untuk mendapatkan nomor registrasi.

 

Penyakit ternak merupakan salah satu kendala terbesar dalam peningkatan mutu produksi ternak. Peternak membutuhkan obat terbaik untuk mengobati penyakit yang menyerang ternaknya. Seperti halnya obat pada manusia, dokter hewan dan apoteker diharapkan menegakkan sistem dalam merancang, memproduksi, dan menghantarkan obat hewan. Perancangan dan penyiapan sistem penghantaran obat hewan memerlukan pertimbangan lebih cermat dibandingkan penyiapan untuk obat manusia.

 

Tanaman obat herbal

 

Obat herbal yang biasa digunakan dalam praktek manusia seringkali dimanfaatkan pada hewan miliknya, terutama oleh pemilik yang menggunakan pengobatan tersebut untuk dirinya sendiri. Obat herbal tersebut diberikan kepada hewan miliknya untuk mengobati gangguan pernapasan, kulit, saluran kemih, pencernaan, dan kardiovaskular serta untuk mengurangi stres.

 

Selain itu, obat ini juga digunakan untuk mengobati beberapa penyakit kronis untuk menghindari efek samping obat konvensional yang terkadang dapat terjadi akibat penggunaan obat sintetik dalam jangka panjang. Dan fitoterapi (proses pencegahan, pemeliharaan kesehatan dan pengobatan penyakit menggunakan tanaman obat) dapat memberikan dukungan cukup berharga terhadap terapi konvensional pada kasus penyakit parah. Meskipun masih sedikit penelitian yang telah dilakukan untuk mengevaluasi kemanjuran terapeutik pengobatan herbal pada hewan kesayangan, banyak penelitian telah menemukan penggunaan bahan tanaman untuk obat hewan ternak.

 

Prinsip umum sediaan obat hewan

 

Sifat umum suatu obat hewan yaitu tidak mudah diprediksi respon positif setelah tubuh berinteraksi dengan obat hewan. Dampak lanjutan dari sifat ini pada akhirnya akan mempunyai implikasi seperti: (1) menimbulkan respon yang baik seperti yang diharapkan; (2) munculnya penyakit baru pada hewan yang terinfeksi akibat pemberian obat hewan; (3) menimbulkan bahaya sisa obat pada produk olahan asal hewan; dan (4) menimbulkan pencemaran pada habitat hewan yang tertular.

 

Jika dampaknya berupa respon yang menguntungkan sesuai rencana, ini yang menjadi harapan kita semua. Namun apabila berdampak negatif seperti timbul penyakit baru akibat obat-obatan, dan/atau residu obat hewan dan pencemaran habitat hewan, ini akan merugikan bagi kehidupan manusia. Sebagai jalan keluar dari permasalahan ini, sudah saatnya kita mengubah orientasi strategi pengelolaan ke arah yang logis dan bertanggung jawab.

 

Beberapa tanaman herbal untuk obat hewan

 

(1) daun serai dapur dimanfaatkan untuk antelmintik (obat cacing) unggas; (2) rimpang jahe untuk antibakterial dan fitobiotik pada unggas serta pengobatan luka pada tikus; (3) rimpang lengkuas sebagai antibakterial dan fitobiotik pada unggas serta antifungal untuk anjing; (4) daun sambiloto sebagai antibakterial dan imunomodulator untuk unggas serta antibakterial untuk sapi, juga untuk hepatoprotektor (melindungi hati) tikus; (5) rimpang temulawak sebagai antelmintik untuk kambing dan hepatoprotektor unggas; (6) rimpang kencur membantu peningkatan berat badan sapi; (7) buah cabe jawa untuk meningkatkan libido tikus; (8) rempah kumis kucing sebagai antiinflamasi dan diuretik pada sapi; (9) umbi bawang putih membantu peningkatan berat badan unggas dan antibakterial sapi; (10) biji buah pepaya untuk antelmintik unggas; (11) daun tapak dara untuk pengobatan luka pada tikus; (12) daun rosela untuk immunostimulan tikus; (13) buah mengkudu untuk meningkatkan respon imun humoral dan seluler; (14) buah asam jawa untuk meningkatkan fagositik, penghambatan proliferasi sel dan penghambatan migrasi leukosit; (15) batang brotowali untuk merangsang aktivasi makrofag dan meningkatkan fagositosis.

 

Bentuk sediaan obat hewan herbal

 

Pertimbangan dalam pembuatan bentuk sediaan pada hewan, mempunyai beberapa prinsip farmasi yang sama. Faktor yang sama memengaruhi proses pengembangan bentuk sediaan dan pertimbangan pengendalian mutu obat. Faktor-faktor ini meliputi: (1) Sifat fisika, kimia, dan farmasi senyawa aktif; (2) Tujuan penggunaan bentuk sediaan; (3) Formulasi mencakup senyawa aktif dan bahan tambahan obat yang dilakukan oleh ahli farmakologi atau ahli klinis; dan (4) Cara pembuatan berdasarkan karakteristik obat dan bentuk sediaan yang diinginkan.

 

Prinsip farmasi menekankan perspektif desain sistem penghantaran dan formulasi obat serta variabel manufaktur yang memengaruhi kinerja produk in vivo dan in vitro, dan pemahaman dalam memastikan bentuk sediaan obat efektif, aman, dan stabil.

 

Kesimpulan

 

Kemajuan obat herbal untuk hewan akan menjadi solusi baru untuk mengatasi tantangan resistensi antibiotik untuk meningkatkan hasil produksi dan reproduksi ternak secara berkelanjutan. Dalam beberapa kasus, obat herbal untuk hewan juga dapat meningkatkan profitabilitas produksi daging dan memenuhi kriteria keamanan terkait residu obat hewan.

 

Kedokteran hewan berperan dalam meningkatkan status kesehatan hewan akan berdampak pada kesejahteraan manusia. Untuk mengembangkan sediaan obat tradisional diperlukan ilmu kefarmasian terkini, agar dapat membuat sediaan obat herbal untuk hewan yang efektif dan efisien.

 

Pengembangan obat herbal untuk hewan memerlukan pertimbangan bijak dalam melakukan penerapan ilmu kedokteran hewan mutakhir. Untuk mendukung kemajuan dan pengembangan aplikasi obat herbal hewan diperlukan upaya kerjasama pemerintah, peneliti, dan dunia usaha.

 

SUMBER:

Pudnjiatmoko. Peluang Pengembangan Obat Herbal untuk Hewan di Indonesia PanganNews. 25 Desember 2024.

https://pangannews.id/berita/1703521185/peluang-pengembangan-obat-herbal-untuk-hewan-di-indonesia.