Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Sunday, 15 March 2020

Bisakah Remdesivir untuk Obat COVID-19

Remdesivir dalam percobaan untuk pengobatan COVID-19 yang disebabkan oleh virus SARS-CoV-2.  Penelitian sebelumnya dalam kultur sel dan model hewan menunjukkan bahwa remdesivir dapat memblokir replikasi berbagai coronavirus, tetapi sampai sekarang belum jelas bagaimana cara kerjanya. Para peneliti, dari University of Alberta, AS, dan Gilead, mempelajari efek obat pada coronavirus yang menyebabkan Middle East Respiratory Syndrome (MERS). Mereka menemukan bahwa remdesivir memblokir enzim tertentu yang diperlukan untuk replikasi virus.  Coronavirus mereplikasi dengan menyalin materi genetik mereka menggunakan enzim yang dikenal sebagai RNA polimerase.

Menggunakan enzim polimerase dari coronavirus yang menyebabkan MERS, para ilmuwan di laboratorium menemukan bahwa enzim tersebut dapat menggabungkan remdesivir, yang menyerupai blok pembangun RNA, ke dalam untaian RNA baru. Tak lama setelah menambahkan remdesivir, enzim berhenti kemamampuannya menambahkan lebih banyak subunit RNA. Hal ini akan menghentikan replikasi genom.

Para ilmuwan berhipotesis bahwa hal ini terjadi mungkin karena RNA yang mengandung remdesivir mengambil bentuk aneh yang tidak cocok dengan enzim. Untuk mengetahui secara pasti, mereka perlu mengumpulkan data struktural pada enzim dan RNA yang baru disintesis. Data tersebut juga dapat membantu para peneliti merancang obat di masa mendatang untuk memiliki aktivitas lebih banyak ditujukan pada polimerase. Mereka menyarankan RNA polimerase virus dari coronavirus sebagai target.

Remdesivir (kode pengembangan "GS-5734") adalah obat antivirus, sebuah prodrug analog nukleotida baru, yang dikembangkan oleh perusahaan bioteknologi Gilead Sciences sebagai pengobatan untuk infeksi penyakit virus Ebola dan virus Marburg, meskipun ditemukan juga aktivitas antivirus yang wajar terhadap virus yang terkait seperti virus pernapasan respirasi, virus Junin, virus demam Lassa, dan virus korona-MERS.[1]

Ketika Wabah virus Ebola di Afrika Barat merebak tahun 2013-2016, Remdesivir segera didorong untuk dilakukan uji klinis, yang akhirnya digunakan setidaknya kepada satu pasien manusia, meskipun Remdesivir baru dalam tahap awal pengembangan pada saat itu. Hasilnya cukup menjanjikan, dan digunakan secara darurat ketika merebak Wabah Ebola Kivu 2018–2019 sambil dilakukan uji klinis lebih lanjut, hingga Agustus 2019. Obat lain yang mungkin efektif seperti mAb114 dan obat dari Regeneron Pharmaceuticals yang memproduksi REGN3470-3471-3479 (kemudian disebut REGN-EB3).[2][3][4][5][6][7][8][9] Remdesivir dapat membantu melindungi terjadinya infeksi akibat virus Nipah dan Hendra,[10][11] demikian juga terhadap koronavirus, SARS,[12] dan diperkirakan terhadap infeksi 2019-nCoV.[13]

Daftar Pustaka
3.Cihlar T (20 October 2015). "Discovery and Development of GS-5734, a Novel Nucleotide Prodrug with Broad Spectrum Anti-Filovirus Activity". FANG-WHO Workshop, Fort Detrick, MD. Gilead Sciences.
4.Warren T, Jordan R, Lo M, Soloveva V, Ray A, Bannister R, et al. (Fall 2015). "Nucleotide Prodrug GS-5734 Is a Broad-Spectrum Filovirus Inhibitor That Provides Complete Therapeutic Protection Against the Development of Ebola Virus Disease (EVD) in Infected Non-human Primates". Open Forum Infect Dis. 2. doi:10.1093/ofid/ofv130.02.
5.Warren TK, Jordan R, Lo MK, Ray AS, Mackman RL, Soloveva V, et al. (March 2016)."Therapeutic efficacy of the small molecule GS-5734 against Ebola virus in rhesus monkeys". Nature. 531(7594): 381–5. Bibcode:2016Natur.531..381W. doi:10.1038/nature17180. PMC 5551389. PMID 26934220.
6.Jacobs M, Rodger A, Bell DJ, Bhagani S, Cropley I, Filipe A, et al. (July 2016). "Late Ebola virus relapse causing meningoencephalitis: a case report". Lancet. 388 (10043): 498–503. doi:10.1016/S0140-6736(16)30386-5. PMC 4967715. PMID 27209148.
7."Ebola Treatment Trials Launched In Democratic Republic Of The Congo Amid Outbreak". NPR.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-05-28.
8.McNeil, Jr., Donald G. (12 August 2019). "A Cure for Ebola? Two New Treatments Prove Highly Effective in Congo". The New York Times. Diakses tanggal 13 August 2019.
9.Molteni M (12 August 2019). "Ebola is Now Curable. Here's How The New Treatments Work".Wired. Diakses tanggal 13 August2019.
12.Sheahan TP, Sims AC, Graham RL, Menachery VD, Gralinski LE, Case JB, Leist SR, Pyrc K, Feng JY, Trantcheva I, Bannister R, Park Y, Babusis D, Clarke MO, Mackman RL, Spahn JE, Palmiotti CA, Siegel D, Ray AS, Cihlar T, Jordan R, Denison MR, Baric RS (June 2017). "Broad-spectrum antiviral GS-5734 inhibits both epidemic and zoonotic coronaviruses". Science Translational Medicine. 9 (396). doi:10.1126/scitranslmed.aal3653. PMC 5567817. PMID 28659436.
13."Coronavirus Vaccine Candidate Eyed for Human Trials by April". 22 January 2020. Diakses tanggal 23 January 2020.


Mengenal Coronavirus (SARS-CoV-2) penyebab Covid-19


Apa yang dimaksud coronavirus ?

Istilah virus corona merujuk pada virus yang sering ditemukan menginfeksi binatang dan bisa menyebar ke manusia.

Virus corona yang saat ini mewabah (SARS-CoV-2) dan menyebabkan penyakit COVID-19 merupakan jenis virus corona ke-7 yang menginfeksi manusia.

Virus Corona yang menyerang manusia baru ditemukan pada 1960-an.

Bagaimana Virus Coronavirus menyebar ?

Dalam kasus MERS, ditularkan dari unta ke manusia.

Dalam kasus SARS, ditularkan dari musang ke manusia.

Dalam kasus COVID-19, diduga ditularkan dari ular dan kelelawar.

Penularan dari manusia ke manusia lewat droplet (partikel air liur) ketika penderita bersin atau batuk.

Berapa Lama Inkubasi Corona?

Masa inkubasi virus corona adalah 2-14 hari.

Siapa yang Paling Berisiko Terkena Corona?

1 Lansia berusia 70 tahun ke atas.
2. Orang yang memiliki riwayat penyakit lain seperti diabetes atau sakit jantung.
3. Orang yang memiliki riwayat penyakit pneumonia atau sakit pernapasan.

Apa Sudah Ada yang Sembuh dari Corona?

Hingga awal Maret, lebih dari 68 ribu orang dari total 126 ribu lebih penderita, sudah dinyatakan sembuh.

Jumlah pasien sembuh bertambah setiap harinya.

WHO menyatakan 80 persen pasien sembuh tanpa membutuhkan perawatan khusus.

Apa Sudah Ada Obat atau Vaksinnya?
Belum ada vaksin atau pengobatan spesifik.

Namun, gejala yang disebabkan virus dapat diobati.

Pengobatan harus didasarkan pada kondisi klinis pasien.

Apa Itu Pandemi?

Pada Kamis (12/3), WHO menyatakan Covid-19 sebagai pandemi atau wabah yang meluas ke berbagai negara.

Kriteria umum penetapan pandemi adalah:

Virus menyebabkan kematian.

Penularan virus dari orang ke orang terus berlanjut tak terkendali.

Virus telah menyebar ke hampir seluruh dunia.

Dengan menetapkan status pandemi, WHO meminta pemerintah seluruh negara meningkatkan usaha dalam mendeteksi, melacak, mengetes, merawat, dan mengisolasi kasus-kasus terkait corona.

Apa Saya Harus Panik?

Kita bisa mengubah rasa cemas menjadi cara melindungi diri, keluarga, dan komunitas, terutama dengan menjaga kebersihan tangan, kebersihan diri dan menjaga kesehatan.

Tetap pantau informasi terbaru serta perhatikan imbauan dari pihak berwenang mengenai keberlangsungan aktivitas, perjalanan, atau larangan berkumpul.

Wednesday, 11 March 2020

Kekerabatan SARS-CoV 2 dan Coronavirus Hewan

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengeluarkan peringatan bahwa, meskipun 2019 novel coronavirus (COVID-19) dari Kota Wuhan Tioangkok, dan pada bulan Januari 2020 belum  ddisebut Pandemi, sehingga harus melakukan kebijakan mencegah penyebaran global. Virus COVID-19 sebelumnya dikenal sebagai 2019-nCoV.

 

Pada 12 Februari 2020, WHO melaporkan 45.171 kasus dan 1115 kematian terkait dengan COVID-19.  COVID-19 mirip dengan Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus  (SARS-CoV) pada patogenisitasnya, spektrum klinis, dan epidemiologi. Perbandingan urutan genom COVID-19, SARS-CoV, dan Middle East Respiratory Syndrome (MERS-CoV) menunjukkan bahwa COVID-19 memiliki urutan yang lebih baik identitas dengan SARS-CoV dibandingkan dengan MERS CoV.  Namun, urutan asam amino COVID-19 berbeda dari coronavirus lain khususnya di daerah 1ab polyprotein dan glikoprotein permukaan atau S-protein. Meskipun beberapa hewan telah berspekulasi untuk menjadi reservoir untuk COVID-19, belum ada reservoir hewan yang telah dikonfirmasi. COVID-19 menyebabkan COVID-19 penyakit yang memiliki gejala yang mirip dengan SARSCoV. Studi menunjukkan bahwa reseptor manusia untuk COVID-19 mungkin reseptor angiotensin-converting enzyme 2 (ACE2) mirip dengan SARSCoV. Protein nukleokapsid (N) COVID-19 memiliki hampir 90% identitas urutan asam amino dengan SARS-CoV. Antibodi protein N dari SARS-CoV dapat bereaksi silang dengan COVID-19 tetapi mungkin tidak memberikan kekebalan silang. Dalam yang serupa  mode untuk SARS-CoV, protein N COVID-19 mungkin memainkan peran penting dalam menekan Gangguan RNA (RNAi) untuk mengatasi pertahanan Inang.

 

SARS-CoV 2 merupakan virus RNA dengan ukuran genom yang cukup besar yaitu 33,5 kb, tidak bersegmen, beruntai positif. Virus ini mempunyai 4 protein struktur utama yaitu protein Spike (S), membran (M), Envelope (E), dan Neukleotide (N).  Protein S terbagi menjad dua polipeptida yaitu S1 dan S2. S1 berperan dalam pengikatan reseptor inang.  S2 coronavirus berperan berperan dalam proses fusi membran.  Protein M memberikan bentuk mirfologi coronavirus. Protein Envelope (E) berperan dalam perakitan dan merelease virus serta dibutuhkan untuk viral pathogenesis.  Protein N terdiri dari dua domain yaitu N-terminal dan C-terminal yang keduanya mampu mengikat RNA secara in vitro dengan mekanisme yang berbeda.  Sifat genom ini membuatnya mudah dalam mengakomodasi dan memodifikasi gen.

 

Virus ini yang dapat menyebabkan penyakit pada saluran pernapasan, pencernaan dan sistem saraf pusat pada hewan dan manusia.  Munculnya beberapa coronavirus patogen pada hewan menunjukan bahwa virus ini memiliki kemampuan dalam menginfeksi dan beradaptasi secara trans spesies.

 

Virus Coronavirus termasuk Famili Coronaviridae dari subfamily Orthocoronavirinae.  Terdapat empat genus yaitu alphcoronavirus, beta cironavirus, gammacoronavirus,  dan delta coronavirus. Alphacoronavirus dan betacoronavirus umumnya ditemukan pada mamamalia. Gammacoronavirus dan deltacoronavirus ditemukan dapat menginfeksi burung dan mamalia.

 

Pada Hewan Kesayangan Kucing

 

Pada hewan kesayangan, Coronavirus dapat ditemukan menginfeksi kucing dan anjing.  Feline Coronavirus (FCoV) adalah Coronavirus pada kucing yang memiliki dua bentuk klinis berbeda yaitu feline enteric Coronavirus (FECV) yang dikarakterisasi dengan infeksi saluran pencernaan ringan dan feline infectious peritonitis (FIP) yang merupakan patotipe virulen dan hampir selalu berakibat fatal.  Feline Coronavirus termasuk ke dalam genus Alphacoronavirus.  FIP memiliki dua bentuk klinis yaitu bentuk basah dan kering.  Bentuk basah FIP dikarakterisasi dengan efusi abdominal, sedangkan bentuk kering FIP dihubungkan dengan gangguan pada sistem saraf seperti kejang, status mental dan perilaku abnormal, defisit saraf kranial, ataksia, tetraparesis dan hiperestesia.

 

Pada Hewan Kesayangan Anjing

 

Canine enteric coronavirus (CCoV) yang termasuk ke dalam genus Alphacoronavirus pertama kali ditemukan pada tahun 1971.  CCoV secara umum ditemukan menginfeksi anjing muda dengan gejala klinis diare ringan. Infeksi pada anjing muda biasanya bersifat fatal jika ditemukan adanya koinfeksi dengan penyakit lain seperti parvovirus (Decaro et al. 2015).  Anjing juga dapat terinfeksi oleh canine respiratory coronavirus (CRCoV) dari genus Betacoronavirus dengan gejala klinis batuk, bersin disertai nasal discharge hingga bronchopneumonia (Mitchell et al. 2013).  Pada akhir Februari 2020, COVID-19 juga terdeteksi pada anjing tanpa gejala klinis di Hong Kong, dengan level virus yang rendah (GovHK 2020).

 

Pada Hewan Ternak Sapi

Pada hewan ternak, Coronavirus dapat ditemukan pada sapi, kuda, babi dan unggas.  Bovine Coronavirus (BCoV) pada sapi yang termasuk genus Betacoronavirus menyebabkan gangguan pada sistem pernafasan dan pencernaan (diare profus/berdarah, gastroenteritis, dehidrasi) pada pedet dan sapi dewasa diikuti dengan penurunan produksi dan reproduksi.  Gejala klinis tersebut menyebabkan kerugian ekonomi yang signifikan baik pada industri sapi pedaging dan perah.

 

Reseptor Coronavirus

Aminopeptidase N (HCoV-229E; FCoV; CCoV; TGEV; PEDV),

 

Receptor untuk SARS-CoV

 Angiotensin-Converting Enzyme 2 (ACE2) didentifikasi sebagai receptor fungsional SARS-CoV.


Pohon filogenetik berdasarkan ORFla/b, spike, envelope, membrane dan nukleoprotein menunjukkan bahwa virus penyebab COVID-19 terletak pada cluster yang sama dengan bat, civet dan SARS coronavirus meskipun domain receptor binding protein spike hanya memiliki kemiripan sebesar 40% dengan SARS-related CoV lainnya.  Akhirnya WHO memberi nama virus baru 2019-nCoV menjadi SARS-CoV-2.

 

Pada Hewan Ternak Kuda

 

Pada tahun 1999, ECoV pertama kali diisolasi dari anak kuda berusia 2 minggu dengan gejala klinis diare di USA.  ECoV menyebabkan penyakit dengan gejala klinis demam, gastroenteritis, gangguan pencernaan berupa diare dan kolik (Pusterla et al. 2018).  ECoV termasuk dalam genus Betacoronavirus. ECoV menghasilkan morbiditas yang bervariasi yaitu 10-83%, dengan mortalitas yang rendah (Fielding et al. 2015).

 

Pada Hewan Ternak Babi

 

Babi dapat terinfeksi oleh genus Alphacoronavirus, Betacoronavirus dan Deltacoronavirus.  Spesies dari genus Alphacoronavirus yang ditemukan menginfeksi babi di antaranya Transmissible gastroenteritis virus (TGEV), Porcine epidemic diarrhea virus (PEDV), Porcine respiratory Coronavirus dan swine acute diarrhea syndrome Coronavirus (SADS-CoV).  Dari genus Betacoronavirus dapat ditemukan Porcine hemagglutinating encephalomyelitis virus (PHEV), Genus Deltacoronavirus yang ditemukan pada babi adalah Porcine Deltacoronavirus HKU15 (PorCoV-HKU15).

 

TGEV dan PEDV menyebabkan gastroenteritis yang parah pada anak babi. Kerugian ekonomi peternak babi diakibatkan oleh gejala klinis diare dan dehidrasi akibat nekrosis intestinal enterosit dan atropi vili disertai dengan tingginya morbiditas dan mortalitas.  Pada hewan dewasa, PEDV menimbulkan diare ringan diikuti dengan vomit dan letargi tanpa menimbulkan kematian.

 

Wabah yang disebabkan oleh SADS-CoV yang dianggap berasal dari spesies kelelawar Rhinolophus menjadi penyebab kematian lebih dari 20.000 babi muda pada 4 peternakan babi di Tiongkok.  SADS-CoV menyebabkan gejala klinis berupa diare akut, vomit dan penurunan berat badan yang drastis pada anak babi sehingga menimbulkan kerugian yang signifikan pada industri peternakan babi.  SADS-CoV menyebabkan mortalitas sebesar 90% pada anak babi di bawah umur 5 hari.

 

PHE-CoV pertama kali diisolasi dari babi muda pada tahun 1957 dengan gangguan klinis pada sistem pencernaan dan sistem saraf (Maier et al. 2015), Sedangkan PorCoV-HKU15 ditemukan pada babi muda dengan gejala klinis diare, emesis, dehidrasi dan letargi.

 

Pada Hewan Ternak Kuda

 

Pada tahun 1999, ECoV pertama kali diisolasi dari anak kuda berusia 2 minggu dengan gejala klinis diare di USA.  ECoV menyebabkan penyakit dengan gejala klinis demam, gastroenteritis, gangguan pencernaan berupa diare dan kolik (Pusterla et al. 2018).  ECoV termasuk dalam genus Betacoronavirus. ECoV menghasilkan morbiditas yang bervariasi yaitu 10-83%, dengan mortalitas yang rendah (Fielding et al. 2015).

 

Pada Hewan Ternak Babi

 

Babi dapat terinfeksi oleh genus Alphacoronavirus, Betacoronavirus dan Deltacoronavirus. Spesies dari genus Alphacoronavirus yang ditemukan menginfeksi babi di antaranya Transmissible gastroenteritis virus (TGEV), Porcine epidemic diarrhea virus (PEDV), Porcine respiratory Coronavirus dan swine acute diarrhea syndrome Coronavirus (SADS-CoV).  Dari genus Betacoronavirus dapat ditemukan Porcine hemagglutinating encephalomyelitis virus (PHEV), Genus Deltacoronavirus yang ditemukan pada babi adalah Porcine Deltacoronavirus HKU15 (PorCoV-HKU15).

 

TGEV dan PEDV menyebabkan gastroenteritis yang parah pada anak babi. Kerugian ekonomi peternak babi diakibatkan oleh gejala klinis diare dan dehidrasi akibat nekrosis intestinal enterosit dan atropi vili disertai dengan tingginya morbiditas dan mortalitas.  Pada hewan dewasa, PEDV menimbulkan diare ringan diikuti dengan vomit dan letargi tanpa menimbulkan kematian.

 

Wabah yang disebabkan oleh SADS-CoV yang dianggap berasal dari spesies kelelawar Rhinolophus menjadi penyebab kematian lebih dari 20.000 babi muda pada 4 peternakan babi di Tiongkok.  SADS-CoV menyebabkan gejala klinis berupa diare akut, vomit dan penurunan berat badan yang drastis pada anak babi sehingga menimbulkan kerugian

 

Pada Hewan Ternak Unggas

 

Gammacoronavirus pada hewan ternak terutama ditemukan menginfeksi unggas (IBV,TCoV).  Infectious bronchitis virus (IBV) menjadi salah satu agen penyakit yang berpengaruh pada industri perunggasan.  Infeksi IBV terutama terjadi pada saluran pernapasan, organ reproduksi dan ginjal. Gejala klinis yang ditimbulkan oleh IBV bervariasi tergantung dari umur ayam, patogenitas virus dan level imunitas ayam.  Selain IBV pada ayam, Gammacoronavirus juga ditemukan menginfeksi unggas lain seperti kalkun.  Turkey coronavirus (TCoV) yang diidentifikasi pada tahun 1951 merupakan agen penyebab penyakit pencernaan akut pada kalkun yang bersifat sangat kontagius.  Pada saluran reproduksi, TCoV menyebabkan penurunan kuantitas dan kualitas telur (Guy 2020).

 

Pada Satwa Liar Kelelawar

 

Selain pada manusia dan hewan domestikasi, Coronavirus juga dapat ditemukan pada hewan liar seperti kelelawar (Bat coronavirus/BtCoV), burung liar dan tikus.  Beberapa spesies dari genus Alphacoronavirus dapat ditemukan di kelelawar yaitu BtCoV-HKU2, BtCoV-HKU8, Miniopterus bat Coronavirus 1A dan 1B dan BtCoV-HKIMO.

 

BtCoV 1 termasuk ke dalam genus Alphacoronavirus pertama yang ditemukan di Hong Kong dari tiga spesies kelelawar Miniopterus yang berbeda yaitu Miniopterus magnate, Miniopterus pusillus dan Miniopterus schreibersii.  Virus ini dapat ditemukan baik pada sampel feses dan saluran pernapasan tanpa memperlihatkan gejala klinis.

 

Selain BtCov 1, BtCoV 1A, dan 1B, serta BtCoV-HKU8 juga ditemukan pada kelelawar Miniopterus.  BtCoV-HKU2 ditemukan pada spesies kelelawar Rhinolophus sinicus (Chinese horseshoe) di Hong Kong dan Guangdong. Kelelawar yang membawa virus ini tidak menunjukkan gejala klinis namun virus dapat ditemukan pada sampel saluran pencernaan.  BtCoV-HKIMO ditemukan pada surveilans tahun 2005-2010 pada kelelawar spesies Rousettus leschenaulti (Megachiroptera) di Guangdong dan Hipposideros pomona (Microchiroptera) di Hong Kong.  Kelelawar yang terinfeksi virus ini tidak memperlihatkan gejala klinis, namun pada spesies kelelawar Hipposideros pomona menunjukkan berat badan yang relatif lebih ringan dibandingkan dengan kelelawar yang tidak terinfeksi.

 

Bat Betacoronavirus memiliki lebih sedikit spesies inang dengan keragaman yang lebih rendah jika dibandingkan dengan bat Alphacoronavirus.  Beberapa spesies Bat Betacoronavirus di antaranya BtCoV-HKU3, BtCoV-HKU4, BtCoV-HKU5, dan BtCoV-HKU9.  Rhinolophus spp. (R. sinicus, R. pusillus, R. macrotis, dan R. ferrumequinum) yang menjadi reservoir sebagian besar Betacoronavirus manusia ditemukan menjadi inang utama SARS-like CoV di Tiongkok.

 

BtCoV-HKU3 ditemukan pada sampel R. sinicus di Hong Kong, sedangkan BtCoV HKU9 pertama kali ditemukan pada R. leschenaultia di Guangdong dan pada Hipposideros sp di Yunnan (Lau et al. 2010). Kemudian rentang inang SARS-like CoV meluas pada Chaerephon spp. di Tiongkok dan Hipposideros serta Chaerephon spp. di Afrika (Lau et al. 2005; Li et al. 2005; Yuan et al. 2010).  BtCoV-HKU4 ditemukan pada spesies kelelawar Tylonycteris pachypus, sedangkan BtCoV-HKU5 dapat ditemukan pada spesies kelelawar Pipistrellus abramus di Hong Kong (Woo et al. 2012a).

 

Pada Satwa Liar Burung

 

Genus Deltacoronavirus yang menginfeksi burung liar dan babi liar terdiri dari Bulbul Coronavirus HKU11 (BuCoV-HKU11), Thrush Coronavirus HKU12 (ThCoV-HKU12), Porcine Deltacoronavirus HKU15 (PorCoV-HKU15), Munia Coronavirus HKU13 (MunCoV-HKU13), White-eye Coronavirus HKU16 (WECoV-HKU16), Sparrow Coronavirus HKU17 (SpCoV-HKU17), Magpie robin Coronavirus HKU18 (MRC0V-HKUI8), Night heron Coronavirus HKU19 (NHCoV-HKU19), Wigeon Coronavirus HKU20 (WiCoV-HKU20), dan Common moorhen Coronavirus HKU21 (CMCoV-HKU21) (Woo et al. 2012).

 

Pada Hewan Aquatik Mamalia Laut

 

Mamalia laut seperti lumba-lumba (Bottlenose dolphin) dan paus (Beluga whale) dapat terinfeksi genus Gammacoronavirus.  Tahun 2007, Beluga Whale coronavirus (BWCoV-SW1) berhasil diidentifikasi pada paus yang mati setelah mengalami sakit jangka pendek dengan karakteristik gangguan pada sistem pernapasan dan penyakit hepar akut.  Pemeriksaan patologi anatomi menunjukkan bahwa organ hepar mengalami nekrosis multifokal dengan konsistensi merapuh (Mihindukulasuriya et al. 2008).

 

Tahun 2014, ditemukan novel coronavirus pada Bottlenose dolphin yang diidentifikasi sebagai BdCoV-HKU22.  BdCoV-HKU22 dan BWCoV-SW1 memiliki karakteristik genome dan struktur yang mirip, dengan perbedaan utama terletak pada protein S dengan identity asam amino 74,3%-74,7% (Woo et al. 2014)

 

Inang Alami Virus

 

Coronavirus juga dapat ditemukan pada hewan liar seperti kelelawar, landak, kelinci liar dan rodensia. Kelelawar merupakan mamalia dengan kemampuan terbang yang sangat baik sehingga memiliki cakupan jarak migrasi yang lebih luas dibandingkan dengan mamalia darat.  Cakupan jarak migrasi kelelawar yang jauh dihubungkan dengan kemampuannya dalam mentransmisikan berbagai penyakit di antaranya bat lyssaviruses (Rabies virus), henipaviruses (Nipah virus dan Hendra virus), Coronavirus (SARS-CoV, MERS-CoV, dan SADS-CoV), dan filoviruses (Marburgvirus, Ebola virus, dan Mengla virus) (Wang & Cowled. 2015).

 

Diversitas coronavirus sangat dihubungkan dengan keragaman spesies kelelawar.  Terdapat lebih dari 1.200 spesies kelelawar di seluruh dunia yang membuat kelelawar menjadi ordo mamalia terbesar kedua setelah rodensia terhitung sekitar seperlima dari semua spesies mamalia atau mewakili 20% keragaman mamalia di seluruh dunia .  Anthony et al. (2017) mengestimasi bahwa setidaknya terdapat 3.204 coronavirus pada lebih dari 102 spesies kelelawar dan beberapa di antaranya bersifat zoonosis. Beberapa spesies coronavirus dari genus alphacoronavirus dapat ditemukan di kelelawar.

 

Wabah disebabkan oleh Swine acute diarrhea syndrome coronavirus (SADS-CoV) yang dianggap berasal dari spesies kelelawar Rhinolophus menjadi penyebab kematian 24.693 babi muda pada 4 peternakan babi di Tiongkok (Zhou et al. 2018).

 

Bat betacoronavirus memiliki lebih sedikit spesies inang dengan keragaman yang lebih rendah jika dibandingkan dengan bat alphacoronavirus. Di antara reservoir betacoronavirus yang sebagian besar besar ditemukan mampu menginfeksi manusia, Rhinolophus spp. (R. sinicus, R. pusillus, R. macrotis, dan R. ferrumequinum), ditemukan menjadi inang utama SARS-like CoV di Tiongkok. Kemudian rentang inang SARS-like CoV meluas pada Chaerephon spp. di Tiongkok dan Hipposideros serta Chaerephon spp. di Afrika (Lau et al. 2005; Li et al. 2005; Yuan et al. 2010).

 

Beberapa bat SARS-like CoV berpotensi untuk ditransmisikan pada manusia atau hewan lain seperti musang karena dapat menggunakan reseptor seluler ACE2 pada manusia, kelelawar dan musang secara efisien.

 

Sistem metabolisme dan kekebalan spesifik yang dimiliki oleh kelelawar memungkinkan kelelawar untuk resisten terhadap berbagai jenis virus. Selain itu, tingginya populasi kelelawar diikuti dengan kebiasaan berkelompok menjadikan kelelawar sebagai inkubator virus yang ideal untuk terjadinya koinfeksi, rekombinasi dan penularan Coronavirus secara intra-spesies.

 

CORONAVIRUS PADA MANUSIA

 

Human coronavirus (HCoV) adalah penyebab infeksi saluran pernafasan pada manusia secara umum, termasuk bronchiolitis dan pneumonia.  Hingga saat ini, telah terdeteksi 6 HCoV di antaranya OC43, 229E, NL63, HKU1, SARS-CoV, dan MERS-CoV.  HCoV-OC43 termasuk dalam genus betacoronavirus yang ditemukan pertama kali pada tahun 1967, sedangkan H-CoV 229E yang termasuk ke dalam genus alphacoronavirus pertama kali dideteksi pada tahun 1962.  HCoV-OC43 dan HCoV-229E bertanggung jawab atas 10 hingga 30% dari flu yang umumnya terjadi pada manusia, dan infeksi terjadi terutama selama musim dingin dan awal musim semi.  HCoV-NL63 yang termasuk dalam genus alphacoronavirus diidentifikasi pertama kali pada tahun 2004 dari isolate pasien anak-anak dengan gejala klinis pneumonia dan infeksi saluran pernafasan. Selain itu, infeksi oleh HCoV-NL63 juga dikaitkan dengan terjadinya laringotracheitis akut HCoV-HKIM diidentifikasi pertama kali pada tahun 2004 dari pasien dengan manifestasi pneumonia.

 

SARS-CoV (severe acute respiratory syndrome,SARS)

 

Gejala klinis SARS adalah demam, batuk, batuk, sakit kepala, sakit otot dan infeksi saluran napas.  SARS menyebabkan gejala klinis yang parah pada saluran pernafasan bagian bawah.  Atipikal pneumonia akibat infeksi SARS disebabkan oleh peningkatan level sitokin dan kemokin

 

Kasus kejadian wabah infeksi SARS di 29 negara mencapai 8.422 kasus dan 916 di antaranya bersifat fatal (CFR 11%).  Guan et al. (2003) berhasil mengisolasi virus SARS-CoV like pada Himalayan palm civets [Paauma larvata), raccoon dog (Nyctereutes procyonoides) dan manusia yang bekerja pada pasar hewan di Guangdong, Tiongkok.  Kemiripan di antara SARS-CoV like pada Himalayan palm civets dan SARS coronavirus pada manusia mencapai lebih dari 99%.

 

MERS-CoV

 

Pada tahun 2012, ditemukan novel coronavirus (HCoV-EMC) yang menyebabkan gejala klinis pneumonia pada manusia.  Pasien tersebut sebelumnya diketahui memiliki kontak dengan unta [Camelus dromedaries) yang menunjukkan gangguan sistem pernafasan disertai dengan nasal discharge.  Van Bohemen et al. (2012) kemudian menyatakan bahwa HCoV-EMC yang kemudian disebut sebagai MERS-CoV adalah novel betacoronavirus lineage C. Hingga akhir tahun 2019, MERS-CoV secara global (27 negara) meyebabkan kasus infeksi sebesar 2.494 kasus dan 858 di antaranya bersifat fatal (CFR 34,4%) (CDC, 2019).

 

Memish et al. (2013) berhasil mengisolasi virus dari satu spesies kelelawar Taphozous perforatus yang memiliki kemiripan nukleotida sebesar 100% dengan virus MERS-CoV pada manusia.  Berdasarkan analisis pohon filogenetik, MERS-CoV termasuk ke dalam betacoronavirus lineage C bersama dengan bat coronaviruses HKU4 dari spesies kelelawar Tylonycteris pachypus dan bat coronaviruses HKU5 dari spesies kelelawar Pipistrellus abramus.  Berdasarkan hal tersebut, kelelawar dianggap menjadi reservoir dari MERS-CoV, mengingat banyak ditemukan spesies kelelawar di Saudi Arabia, termasuk Pipistrellus sebagai pembawa bat coronaviruses HKU5

 

Beberapa reseptor inang yang digunakan oleh coronavirus untuk menginfeksi di antaranya:

Angiotensin-converting enzyme 2 (ACE2) (HCoV-NL63 dan SARS-CoV),  Dipeptidylpeptidase 4 (DPP4/CD26) (MERS-CoV), 9-O-acetylated sialic acid (HCoV-OC43 dan HCoV-HKUl), Carcinoembryonic antigen-cell adhesion molecule (MHV).  193 aa fragment (aa 318-510) protein SARS-CoV S ditunjukkan mengikat ACE2 lebih efisien daripada füll SI domain dan sebagai receptorbinding domain (RBD) dari SARS-CoV. Loop subdomain (aa 424-494) yang langsung kontak dengan ACE2 disebut receptor-binding motif (RBM)

 

Dalam RBM inilah, beberapa residu asam amino ditemukan berpengaruh penting terhadap receptor binding dan mengubah dan perubahan pada RBM ini akan menghasilkan perbedaan efisiensi binding diantara isolat SARS-CoV.

 

Receptor untuk MERS-CoV

 

Dipeptidyl peptidase 4 (DPP4, atau dikenal sebagai CD26) didentifikasi sebagai functional receptor MERS-CoV dan conserved diantara spesies mammalia.  MERS-CoV dapat menginfeksi dan bereplikasi di sebagian besar cell lines derived from human, non-human primate, kelelawar, babi, kambing, kuda, kelinci, civet, sapi dan domba serta unta.  Tapi MERS-CoV tidak dapat menginfeksi mice, hamster, anjing, ferret, dan kucing.  DPP4 mengenali RBD yang terletak di bagian SI C-terminal dari S protein MERS-CoV

 

RBD dari MERS-CoV terdiri dari ~240 residu, pada posisi aa 367-606, yang folding terhadap dua subdomains, core subdomain dan external subdomain.

 

RBD Core subdomain MERS-CoV secara struktur sama dengan RBD SARS-CoV namun berbeda pada external subdomain (RBM) berbeda dari SARS-CoV

 

Receptor untuk COVID-19

 

Coronavirus (CoV) menjadi virus zoonosis ketiga pada manusia yang muncul pada Desember 2019, di Wuhan, Provinsi Hubei, Tiongkok.  Pada 9 Januari 2020, WHO berhasil mengidentifikasi novel coronavirus (2019-nCoV) sebagai penyebab wabah pneumonia di Wuhan, Tiongkok.

 

Gejala klinis pada orang yang terinfeksi virus ini serupa dengan infeksi (SARS-CoV) dan infeksi (MERS-CoV) yaitu pneumonia termasuk demam, kesulitan bernapas, dan infiltrasi paru-paru bilateral pada kasus yang paling parah.

 

Sequence DNA pertama 2019-nCoV telah dipublikasi secara online setelah satu hari dikonfirmasi atas nama Dr. Yong-Zhen Zhang dan para ilmuwan di Fudan University, Shanghai.  Hal ini yang memungkinkan para peneliti di seluruh dunia untuk mulai menganalisis coronavirus baru ini.

 

Kemudian WHO menyebut 2019-nCoV sebagai virus penyebab penyakit COVID-19.  Chan et al. (2020) menyatakan bahwa secara analisis filogenetik strain virus penyebab COVID-19 yang diisolasi dari pasien asal Shenzhen yang mengunjungi Wuhan pada 29 Desember 2019 adalah novel betacoronavirus yang termasuk ke dalam lineage B bersama dengan SARS coronavirus pada manusia dan diketahui memiliki kedekatan dengan bat SARS-related coronaviruses yang ditemukan pertama kali pada Rhinolophus sinicus di Zhejiang, Tiongkok pada tahun 2015-2017.





Tuesday, 10 March 2020

Kandidat Obat Pencegah COVID-19

Peneliti UI dan IPB Temukan Potensi Senyawa Herbal Indonesia Untuk Cegah Covid19

Peneliti UI dan IPB sedang melakukan penelitian bersama untuk menemukan Obat pencegah CIVID-19.

Berbagai upaya dilakukan oleh para peneliti untuk mencegah dan menemukan obat antivirus (Covid-19). Penelitian terkait pencarian antivirus ini juga dilakukan oleh tim peneliti UI dan IPB dari Departemen Kimia Kedokteran Fakultas Kedokteran UI (FKUI), Klaster Bioinformatics Core Facilities IMERI-FKUI, Klaster Drug Development Research Center IMERI-FKUI, Laboratorium Komputasi Biomedik dan Rancangan Obat Fakultas Farmasi UI, Rumah Sakit UI (RSUI), Pusat Studi Biofarmaka Tropika (Trop BRC) IPB dan Departemen Ilmu Komputer IPB.

Gabungan peneliti multidisiplin ini telah mengembangkan penelitian untuk menemukan kandidat antivirus corona dengan melakukan analisis big data dan machine learning dari basis data bahan alam Indonesia, kemudian dikonfirmasi hasilnya menggunakan metode pemodelan molekuler untuk dievaluasi aktivitas antivirusnya. Adapun hasilnya telah disampaikan saat Seminar dan Workshop “Eksplorasi Bahan Herbal Kandidat Potensial Antivirus Corona: Analisis Big Data dan In Silico” yang diadakan tanggal 3-5 Maret 2020 di Fakultas Kedokteran UI.

Berdasarkan hasil skrining aktivitas terhadap ratusan protein dan ribuan senyawa herbal terkait dengan mekanisme kerja virus, diperoleh beberapa golongan senyawa yang berpotensi untuk menghambat dan mencegah virus Sars-Cov-2 (virus corona) untuk menginfeksi manusia. Golongan senyawa tersebut antara lain hesperidin, rhamnetin, kaempferol, kuersetin dan myricetin yang terkandung dalam jambu biji (daging buah merah muda), kulit jeruk, dan daun kelor.

Hasil penemuan ini diharapkan bermanfaat bagi masyarakat untuk mencegah dan meningkatkan daya tahan tubuh dari serangan virus corona.

Sumber:
Kumparan, 9 Maret 2020.