Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Friday, 9 January 2009

Satu Milyar Rupiah Lebih Harga Satu Ekor Tuna Bluefin

Pada lelang perdana tahun 2009 yang dilaksanakan 8 Januari di Tsukiji Market (Tokyo Metropolotan Central Wholesale Market) seekor ikan Tuna Bluefin telah dilelang dengan harga 9,63 juta yen per ekor. Kalau kurs hari ini 1 yen = 120 rupiah maka satu ekor ikan tersebut seharga 1,15 milyar rupiah. Angka tersebut merupakan harga lelang termahal di Jepang dalam kurun waktu 8 tahun terakhir.

Dengan harga fantastik ini ikan Tuna Bluefin tersebut telah diperebutkan oleh dua orang penawar yang satu dari China dan yang lainnya dari Jepang. Yang pertama bernama Ricky Cheng Wai-tao berumur 41 tahun asal China seorang manejer Restoran Itamame Shusi di Hongkong dan beberapa tempat lainnya. Yang kedua asli Jepang bernama Yasuke Imada berumur 63 tahun manejer Restoran Susi yang sangat bergengsi, Restoran Kyubey namanya yang berlokasi di daerah elit Ginza, Tokyo.

Akhirnya keduanya sepakat untuk saling berbagi, masing-masing memperoleh separuh ikan yang ditangkap di Oma, Prefektur Aomori, Jepang. Imada menerima cara ini karena dia ingin menghindari perang penawaran yang akan mendongkrak harga ikan tuna semakin tinggi.

Sushi “Otoro” dengan bahan dari bagian ikan yang banyak mengandung lemak, di Hongkong harga satu potongnya (satu suap) sekitar 1.100 yen, sedangkan di Ginza 2.000 yen. Pada awal tahun lalu (2008) di tempat yang sama Cheng menang lelang ikan yang sejenis dengan harga 6,02 juta yen per ekor.

Konsumsi ikan tuna di China telah meroket 20 kali menjadi 4.000 ton pada tahun 2005 dari 200 ton pada tahun 2000, kata Lou Xiaobo, Profesor Tokyo University of Marine Science and Technology. Lou mengharapkan jumlah konsumsi ikan tuna di China meningkat terus akibat peningkatan jumlah masyarakat ekonomi kelas atas.

Sumber: Japan Times, 9 Januari 2009

Thursday, 8 January 2009

Prosedur Karantina Hewan Indonesia

Untuk Hewan dan Produk Hewan

A.Persyaratan Umum Karantina Hewan

1. Dilengkapi dengan Surat Keterangan Kesehatan/Sanitasi oleh pejabat yang berwenang dari negara asal/daerah asal.

2. Melalui tempat pemasukan dan pengeluaran yang telah ditetapkan.

3. Dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina hewan di tempat pemasukan atau tempat pengeluaran untuk keperluan tindakan karantina.

B. Persyaratan Teknis impor dan ekspor hewan dan produk hewan

Selain persyaratan karantina yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No.82/2000 sebagaimana tersebut diatas, diperlukan kewajiban tambahan berupa persyaratan teknis impor/ekspor hewan dan produk hewan ke dalam wilayah negara Republik Indonesia, sebagai berikut :

Negara yang belum melakukan kerjasama bilateral perdagangan.

a. Negara pengekspor harus bebas dari penyakit hewan menular atau berbahaya tertentu yang tidak terdapat di negara pengimpor

b. Mendapatkan persetujuan impor/ekspor dari pejabat yang ditunjuk atas nama Menteri dengan mempersyaratkan ketentuan-ketentuan teknis yang harus dilakukan terhadap komoditi impor di negara pengekspor sebelum dikapalkan/diangkut menuju negara pengimpor.

c. Perlakuan tindakan karantina di negara pengimpor bertujuan untuk memastikan bahwa ketentuan-ketentuan teknis yang dipersyaratkan tersebut benar telah dilakukan sesuai ketentuan internasional.

d. Melengkapi komoditi tersebut dengan Surat Keterangan Kesehatan atau Sanitasi dan surat keterangan lainnya yang menerangkan bahwa komoditi tersebut bebas dari hama penyakit yang dapat mengganggu kesehatan manusia, hewan dan lingkungan hidup, disamping menerangkan pemenuhan persyaratan ketentuan teknis seperti tersebut di atas.

e. Negara pengimpor berhak melakukan penelitian dan pengamatan secara epidimilogy terhadap situasi dan kondisi penyakit hewan menular dan berbahaya yang ada di negara pengekspor secara tidak langsung melalui data-data yang ada dan tersedia.

f. Pengangkutan komoditi impor tersebut harus langsung ke negara tujuan pengimpor tanpa melakukan transit di negara lain.

g. Negara pengimpor berhak melakukan tindakan-tindakan penolakan dan pencegahan masuknya penyakit hewan menular dan berbahaya, jika dijumpai hal yang mencurigakan, dilaporkan tidak benar atau ada kemungkinan bahwa komoditi tersebut dapat bertindak sebagai media pembawa hama penyakit hewan menular dan berbahaya.

Negara yang telah melakukan kerjasama bilateral perdagangan.

a. Negara pengekspor harus bebas dari penyakit hewan menular dan berbahaya tertentu yang dipersyaratkan negara pengimpor

b. Melakukan perjanjian kerjasama perdagangan dengan mempersyaratkan ketentuan-ketentuan teknis yang harus dilakukan terhadap komoditi impor tersebut di negara pengekspor sebelum dikapalkan/diangkut menuju negara pengimpor.

c. Mendapatkan persetujuan impor/ekspor dari pejabat yang ditunjuk atas nama Menteri (Direktur Jenderal Bina Produksi Peternakan/ Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam) dengan mempersyaratkan ketentuan-ketentuan teknis yang harus dilakukan terhadap komoditi impor di negara pengekspor sebelum dikapalkan/diangkut menuju negara pengimpor.

d. Perlakuan tindakan karantina di negara pengekspor dengan tujuan untuk memenuhi ketentuan-ketentuan teknis yang dipersyaratkan dalam perjanjian bilateral tersebut telah dilakukan sesuai ketentuan internasional.

e. Negara pengimpor berhak melakukan penelitian dan pengamatan secara langsung terhadap situasi dan kondisi penyakit hewan menular dan berbahaya yang ada di negara pengekspor (approval and accreditation).

f. Melengkapi komoditi tersebut dengan Surat Keterangan Kesehatan atau Sanitasi dan surat keterangan lainnya yang menerangkan bahwa komoditi tersebut bebas dari hama dan penyakit yang dapat mengganggu kesehatan manusia, hewan dan lingkungan hidup, disamping menerangkan pemenuhan persyaratan ketentuan teknis seperti tersebut di atas.

g. Pengangkutan komoditi impor tersebut harus langsung ke negara tujuan pengimpor tanpa transit di negara lain, kecuali telah disetujui oleh ke dua negara dalam perjanjian bilateral atau trilateral dengan ketentuan negara transit minimal mempunyai situasi dan kondisi penyakit hewan yang sama dengan negara pengimpor.

h. Negara pengimpor berhak melakukan tindakan-tindakan penolakan dan pencegahan masuknya penyakit hewan menular dan berbahaya, jika dijumpai hal yang mencurigakan, dilaporkan tidak benar atau ada kemungkinan bahwa komoditi tersebut dapat bertindak sebagai media pembawa hama penyakit hewan menular dan berbahaya.

i. Tindakan karantina diutamakan terhadap hewan yang tidak atau belum sempat dilaksanakan di negara pengekspor sesuai dengan persyaratan teknis yang telah disepakati.

Prosedur Tindakan Karantina Hewan

1. Pemohon mengajukan permohonan pemeriksaan dan tindakan karantina kepada pimpinan UPT Karantina Hewan tempat pemasukan atau pengeluaran.

2. UPT Karantina Hewan memproses secara administrasi permohonan tersebut, untuk selanjutnya menugaskan pejabat fungsional karantina hewan untuk melakukan tindakan karantina tahap I yaitu pemeriksaan (P1). Dari hasil pemeriksaan selanjutnya dapat dilakukan beberapa tindakan karantina lainnya.

3. Untuk media pembawa yang menurut hasil pemeriksaan memerlukan tindakan pengasingan (P2) dan pengamatan (P3), segera dimasukkan ke dalam instalasi karantina untuk selama masa karantina yang dapat diperpanjang menurut pertimbangan dokter hewan karantina.

4. Untuk media pembawa yang sehat dan tidak menunjukkan gejala penyakit hewan karantina, tidak menunjukkan perubahan fisik dan tidak memerlukan masa pengasingan untuk pengamatan, dapat langsung dilakukan tindakan pembebasan (P8).

5. Sebaliknya, untuk media pembawa yang menunjukkan gejala penyakit hewan karantina atau perubahan fisik yang mengarah kepada penyakit hewan golongan I, dapat langsung dilakukan tindakan penolakan (P6).

6. Media pembawa yang mempunyai dokumen tidak benar dan tidak lengkap atau menurut hasil pemeriksaan menunjukkan gejala penyakit hewan golongan II, dilakukan tindakan penahanan (P5) untuk selanjutnya dapat dikembalikan ke proses tahap II yaitu pengasingan dan pengamatan.

7. Hasil tindakan pengasingan dan pengamatan, dapat dilanjutkan ke proses tahap III yaitu tindakan perlakuan (P4) untuk meyakinkan kembali bahwa media pembawa bebas dari hama penyakit hewan karantina dan tidak dapat lagi menularkan atau menyebarkan hama penyakit hewan ke media pembawa lainnya.

8. Jika dari hasil tindakan pemeriksaan, pengasingan, pengamatan dan perlakuan, media pembawa tidak dapat dibebaskan dari penyakit hewan karantina atau telah mengalami perubahan fisik, maka terhadap media pembawa tersebut lansung dilakukan tindakan pemusnahan (P7).

9. Setelah dilakukan tindakan pengasingan dan pengamatan serta perlakuan media pembawa diyakini tidak mengandung penyakit hewan karantina dan tidak dapat lagi bertindak sebagai media penular atau penyebar, maka dapat dilakukan tindakan pembebasan (P8).

10. Hasil tindakan pembebasan, penahanan, penolakan, dan pemusnahan kemudian diserahkan kembali kepada UPT Karantina Hewan yang memberi tugas untuk diproses secara administrasi termasuk memenuhi kewajiban tambahan, yang selanjutnya disampaikan kepada pemohon dan instansi terkait lainnya untuk dilaksanakan.

Prosedur Tindakan Karantina Hewan

1. Pemohon mengajukan permohonan pemeriksaan dan tindakan karantina kepada pimpinan UPT Karantina Hewan tempat pemasukan atau pengeluaran.

2. UPT Karantina Hewan memproses secara administrasi permohonan tersebut, untuk selanjutnya menugaskan pejabat fungsional karantina hewan untuk melakukan tindakan karantina tahap I yaitu pemeriksaan (P1). Dari hasil pemeriksaan selanjutnya dapat dilakukan beberapa tindakan karantina lainnya.

3. Untuk media pembawa yang menurut hasil pemeriksaan memerlukan tindakan pengasingan (P2) dan pengamatan (P3), segera dimasukkan ke dalam instalasi karantina untuk selama masa karantina yang dapat diperpanjang menurut pertimbangan dokter hewan karantina.

4. Untuk media pembawa yang sehat dan tidak menunjukkan gejala penyakit hewan karantina, tidak menunjukkan perubahan fisik dan tidak memerlukan masa pengasingan untuk pengamatan, dapat langsung dilakukan tindakan pembebasan (P8).

5. Sebaliknya, untuk media pembawa yang menunjukkan gejala penyakit hewan karantina atau perubahan fisik yang mengarah kepada penyakit hewan golongan I, dapat langsung dilakukan tindakan penolakan (P6).

6. Media pembawa yang mempunyai dokumen tidak benar dan tidak lengkap atau menurut hasil pemeriksaan menunjukkan gejala penyakit hewan golongan II, dilakukan tindakan penahanan (P5) untuk selanjutnya dapat dikembalikan ke proses tahap II yaitu pengasingan dan pengamatan.

7. Hasil tindakan pengasingan dan pengamatan, dapat dilanjutkan ke proses tahap III yaitu tindakan perlakuan (P4) untuk meyakinkan kembali bahwa media pembawa bebas dari hama penyakit hewan karantina dan tidak dapat lagi menularkan atau menyebarkan hama penyakit hewan ke media pembawa lainnya.

8. Jika dari hasil tindakan pemeriksaan, pengasingan, pengamatan dan perlakuan, media pembawa tidak dapat dibebaskan dari penyakit hewan karantina atau telah mengalami perubahan fisik, maka terhadap media pembawa tersebut lansung dilakukan tindakan pemusnahan (P7).

9. Setelah dilakukan tindakan pengasingan dan pengamatan serta perlakuan media pembawa diyakini tidak mengandung penyakit hewan karantina dan tidak dapat lagi bertindak sebagai media penular atau penyebar, maka dapat dilakukan tindakan pembebasan (P8).

10. Hasil tindakan pembebasan, penahanan, penolakan, dan pemusnahan kemudian diserahkan kembali kepada UPT Karantina Hewan yang memberi tugas untuk diproses secara administrasi termasuk memenuhi kewajiban tambahan, yang selanjutnya disampaikan kepada pemohon dan instansi terkait lainnya untuk dilaksanakan.

Sumber: Badan Karantina Pertanian, Departemen Pertanian RI

Wednesday, 7 January 2009

Pembahasan Restorasi Terumbu Karang

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan garis pantai yang terpanjang nomor dua setelah Kanada yaitu 81.000 km. Luas wilayah teritorial Indonesia yang sebesar 7,1 juta km2 didominasi oleh wilayah laut yaitu kurang lebih 5,4 juta km2. Dengan potensi fisik sebesar ini, Indonesia dikaruniai pula dengan sumberdaya perikanan dan kelautan yang besar. Dari sisi keanekaragaman hayati, Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan hayati kelautan terbesar. Dalam hal ekosistem terumbu karang (coral reefs) misalnya, Indonesia dikenal sebagai salah satu penyumbang kekayaan hayati terumbu karang terbesar di dunia. Menurut data World Resources Institute (2002), dengan luas total sebesar 50.875 km2, maka 51 % terumbu karang di kawasan Asia Tenggara dan 18 % terumbu karang di dunia, berada di wilayah perairan Indonesia.

Isu-isu rusaknya sumberdaya alam perikanan dan kelautan pun telah lama diketahui. Studi yang dilakukan oleh Burke dan kawan-kawan pada tahun 2002 menyebut bahwa kerusakan terumbu karang di Indonesia telah sampai pada tahap mengkhawatirkan. Hampir 51 % kawasan terumbu karang yang terancam di Asia Tenggara berada di Indonesia, disusul sebesar 20 % di Filipina.

Pada tanggal 6 Januari 2009 di KBRI Tokyo telah dilakukan pembahasan restorasi terumbu karang Indonesia. Pembahasan dihadiri oleh Perwakilan dari Tokyo University of Marine Science and Technology yaitu Prof. Mineo Okamoto, Ph.D (baju putih) dan Kandidat Dr. Kakaskasen A. Roeroe (baju biru), Perwakilan dari JFE Steel Corporation yaitu Mr. Jun Ogawa dan 4 orang Stafnya, sedangkan dari KBRI Tokyo diwakili oleh Atase Pertanian, Atase Perindustrian, Atase Kehutanan, Atase Pendidikan, Koordinator Fungsi Ekonomi dan Koordinator Fungsi Politik.

Pada kesempatan pertama diawali penyampaian hasil penelitian kerjasama antara Universitas Samratulangi, Manado, Indonesia dan Tokyo University of Marine Science and Technology, yang disampaikan oleh Prof. Mineo Okamoto, Ph.D. Dalam pemaparan hasil penelitian yang berjudul kondisi dan reporoduksi terumbu karang sekitar pulau Bunaken Indonesia, Prof. Okamoto menyampaikan sebagai berikut:

1. Terumbu karang merupakan produser lingkungan hidup utama di wilayah pantai laut tropis dan sub tropis. Terumbu karang memberikan andil besar dalam pembentukan bukit karang yang berfungsi sebagai pemecah ombak laut.

2. Masalah global disebutkan bahwa terumbu karang telah rusak karena terkena dampak peningkatan suhu air laut yang ditimbulkan akibat global warming sehingga menimbulkan kerusakan terumbu karang di seluruh dunia.

3. Masalah lokal disebutkan bahwa kerusakan terumbu karang merupakan isu lama sebelum isu peningkatan suhu air laut. Kerusakan terumbu karang ini disebabkan oleh beberapa hal antara lain: a) penangkapan ikan yang berlebihan (overfishing), b) terbawanya material ke perairan pantai berupa lumpur dan unsur hara seperti Nitrogen, Phospat dsb. dari sungai, dan c) akibat aktivitas pembangunan di sekitar pantai menimbulkan kerusakan habitat.

4. Teknologi Baru pemulihan terumbu karang sedang dikembangkan di Jepang. Teknologi baru ini menggunakan repuduksi sexual terumbu karang yang sedang dilakukan di pulau Sekisei Lagoon (terumbu karang terbesar di Jepang) dan pulau Miyako. Diharapkan teknologi baru ini dapat diaplikasikan di Indonesia, dan telah dilakukan penelitian di Indonesia.

5. Dalam perbaikan terumbu karang diperlukan tiga langkah. Langkah pertama melakukan penelitian tahap awal yang meliputi: a) Waktu Mass spawning Acropora coral, b) Meneliti tempat yang tepat untuk lokasi tumbuhnya larva terumbu karang, c) Pertumbuhan terumbu karang, d) Meneliti tempat yang cocok untuk pemempatan pertumbuhan terumbu karang. Sedangkan langkah kedua adalah Pengembangan program perbaikan terumbu karang. Dan langkah ketiga, menentukan rencana dan melakukan tindakan apa yang harus dikerjakan dalam Perbaikan terumbu karang.

6. Penelitian yang dilakukan peneliti dari Jepang dan Indonesia ini dilakukan di Perairan Bunaken dimulai dari awal tahun 2007. Agar dapat memperoleh banyak terumbu karang muda untuk transplantasi diperlukan penelitian penentuan waktu mass spawning. Dalam penelitian ini menggunakan Coral Settlement Device (CSD) yang terbuat dari ceramic. Penggunaan CSD bertujuan untuk : a) menyediakan permukaan yang baik untuk tempat bertumbuhnya larva, b) Melindungi larva berdiam di tempatnya dan terumbu karang dapat tumbuh di tempatnya, sehingga terhindar dari ancaman goyangan, benturan dan gangguan dari luar, c) Memfiksir terumbu karang pada tempatnya agar mudah tumbuh.

Untuk pengganti lubang-lubang yang seperti pada batu karang dipergunakan Marine Block (MB). MB terbuat dari bahan-bahan yang seperti terkandung dalam terumbu karang, shellfish, dan calcium carbonate merupakan material yang sesuai untuk membudidayakannya.

7. Metoda penelitiannya dilakukan dengan cara menempatkan rak-rak besi stainless di dasar laut perairan Bunaken. Sebuah MB dan empat buah CSD 120 disusun di dalam rak-rak tersebut pada tanggal 11 Februari 2007. Kemudian dengan jumlah yang sama MB dan CDS disusun lagi di dalam rak-rak sejenis pada tanggal 22 April 2007. Beberapa waktu kemudian dilakukan observasi pertumbuhan Acropora dan dilakukan pendataan jumlah yang tumbuh serta pencatatan ukuran Acropora dsb.

8. Penelitian ini diperoleh hasil bahwa a) Waktu Mass Spawning terumbu karang terjadi setahun dua kali, yaitu pada bulan Mei dan bulan Juli 2007, b) Acropora yang diperoleh sangat rendah, c) Pertumbuhan Acropora dalam setahun telah dapat diketahui, pertumbuhan Acropora dalam lubang-lubang MB diperoleh antara 7 – 11 bulan, d) Telah dapat dipilih tempat berkembang larva paling baik pada dinding tembok tempat reklamasi, e) Pertumbuhan Acropora pada tempat tersebut selama sampai dengan satu tahun telah dapat diketahui, f) Pertumbuhan terumbu karang Acropora di Bunaken diperkirakan tiga kali lebih cepat dari pada di perairan Sekisei Lagoon, Okinawa, Jepang. Hal ini terjadi disebabkan suhu air laut di Bunaken selama satu tahun lebih hangat dari pada di Sekisei Lagoon.

Perwakilan dari KBRI memberikan beberapa masukan untuk waktu kedepannya sebagai berikut:

1. Dalam rangka peningkatan SDM Indonesia perlu ditingkatkan transfer teknologi maka projek penelitian ini perlu diteruskan melangkah ke tahap berikutnya dengan melibatkan banyak peneliti yang berasal dari Indonesia.

2. Untuk melanjutkan penelitian di Indonesia bagi peneliti Jepang atau peneliti asing akan diberikan izin oleh Kementerian Riset dan Teknologi.

3. Untuk projek restorasi terumbu karang di Indonesia bisa dijajagi dengan melakukan kerjasama dengan bantuan JICA dan lembaga penyandang dana lainnya.

Sedangkan JFE Steel Corporation menginformasikan bahwa pihaknya telah mengembangkan Marine Block-Artificial Base for Coral Reef yang setiap unitnya berukuran sekitar 1 m kubik siap untuk diuji coba penggunaannya.

Monday, 5 January 2009

Merajut diplomasi total dikala libur tahun baru 2009

Pada Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu, Indonesia mencanangkan kembali diplomasi total. Menurut Menlu Hasan Wirayuda, Diplomasi total ialah diplomasi yang melibatkan semua komponen bangsa dalam suatu sinergi dan memandang substansi permasalahan secara integratif.

Diplomasi tersebut dilakukan antara pemerintah dengan pemerintah, swasta dengan swasta, NGO dengan NGO, masyarkat dengan masyarakat dan komponen bangsa lainnya atau kombinasinya. Dengan diplomasi total terdapat banyak langkah kreatif dan inovatif yang perlu dikembangkan oleh semua komponen bangsa.

Pada tanggal 1 Januari 2009, di pagi buta selepas subuh kami meluncur ke arah timur menuju Prefektur Ibaraki yang jaraknya 120 km dari Gotanda, Tokyo. Bersama Ketua Perhimpunan Petani dan Nelayan Sejahtera Indonesia (PPNSI) wilayah Sulawesi Selatan, Syamsari, S.Pt.MM. dan seorang mahasiswa S3 IPB yang sedang melakukan penelitian di Tokyo Marine Science University Sdri. Irma, kami bermaksud melakukan diplomasi people to people di Prefektur Ibaraki melalui partisipasi lomba lari marathon.

Pukul 08:00 tiba di Kantor Asosiasi Hortikultura dan Pertanian di Obata, Ibarakimachi, Prefektur Ibaraki. Kami melakukan persiapan dengan Mr. Syozo Fujita Pimpinan Asosiasi tersebut yang mengelola trainee bidang pertanian. Kami bersama 17 trainee bidang pertanian yang sedang berlatih di Prefektur Ibaraki membaur dengan masyarakat Mitoshi mengikuti lomba Gantan Marathon ke 34 di Mitoshi.


Meskipun udara dingin, suhu sekitar 0 derajat C, para trainee tetap bersemangat melakukan pemanasan sebelum berlomba. Lomba lari Marathon ini diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Mitoshi bertempat di taman Kairakuen di Prefektur Ibaraki.















Masyarakat Jepang biasa menyebut Marathon untuk lari selain lari cepat 100 m. Meskipun lomba ini hanya berjarak 3000 m, mereka menyebutnya lomba lari marathon. Lomba lari Marathon ini yang diselenggarakan untuk umum dari anak SD hingga dewasa, diikuti oleh 2.500 orang dimulai pukul 08.30. Setiap peserta lari mengelilingi Mizumi (danau kecil) bernama Senbakou yang kelilingnya 3 km. Tampak pada gambar suasana pendaftaran ulang sebelum lomba dimulai.










Danau mungil ini indah dihiasi pepohonan yang sudah gugur daunnya (gambar atas), dipadu kebebasan itik dan angsa berenang serta kilauan pantulan sinar mentari di permukaan air nan jernih.
















Tujuan kami berpartisipasi dalam lomba ini yaitu dalam rangka menjalin silaturahmi dengan warga di Mitoshi. Kami ingin tunjukan kepada mereka bahwa trainee dari Indonesia sehat, sportif, dan siap berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan positif yang diselenggarakan oleh masyarakat di Prefektur Ibaraki.













Tampak gambar saat lomba marathon 3000 m dimulai. Di antara waktu lomba telah dilakukan silaturahmi dengan Mr. Tachi anggota DPRD Prefektur Ibaraki. Menurut Mr. Fujita Ketua Asosiasi Hortikultura bahwa beliau menyampaikan terimakasih atas partisipasi para trainee asal Indonesia dalam kegiatan masyarakat Prefektur Ibaraki dan beliau berharap hubungan Indonesia dengan Jepang semakin erat, para trainee bisa berlatih pertanian di Ibaraki dengan sukses.










Dengan berpartisipasi dalam event penting ini, masyarakat Mitoshi dapat mengenal orang Indonesia dan mereka bersimpati terhadap masyarakat Indonesia. Salah satu buah silaturahim ini terdapat sekeluarga Jepang yang ingin mempelajari tentang Indonesia dan ingin belajar bahasa Indonesia kepada para trainee.













Pada kesempatan itu Syamsari Ketua PPNSI Wilayah Sulawesi Selatan mengajak para trainee yang berasal dari Sulawesi Selatan, ”Setelah kembali ke Sulawesi Selatan para trainee akan diajak bekerjasama membangun pertanian daerahnya, Sulawesi Selatan masih mempunyai lahan sekitar 130 ha yang siap untuk dikembangkan untuk tanaman pangan termasuk kedelai”.

Pada kesempatan yang baik ini tidak kami sia-siakan, kami tanamkan kepada para trainee bahwa profesi petani sangat mulia. Petani berjasa banyak karena telah bekerja keras memproduksi bahan makanan yang merupakan kebutuhan pokok umat manusia. Petani telah andil dalam pemenuhan gizi anak-anak pada masa pertumbuhan sehingga anak-anak tumbuh dan berkembang sehat, cerdas dan pintar. Anak-anak ini di kemudian hari kelak menjadi Lurah, Camat, Bupati, Gubernur, Menteri dan Presiden yang pandai dan bijaksana yang akan membawa Negara kita menjadi adil, makmur, sejahtera, aman sentosa”.