Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Friday, 22 March 2024

Pengembangan Obat Herbal untuk Hewan

 

Peluang Pengembangan Obat Herbal untuk Hewan di Indonesia

 

Obat herbal semakin banyak digunakan dalam pengobatan baik untuk manusia maupun hewan dalam mencegah dan menyembuhkan penyakit. Obat herbal sangat mendukung pengobatan konvensional dan modern. Telah banyak ditemukan senyawa aktif yang terdapat pada tanaman. Ini memberi peluang khasiat tanaman obat digunakan untuk pengobatan herbal. Seringkali kemanjuran terapeutik senyawa aktif dari tanaman setara dengan obat sintetik. Dengan demikian, obat herbal jenis ini dapat digunakan sebagai antibakteri, antimikotik, antiparasit, desinfektan, dan imunostimulan.

 

Standar kualitas farmasi, keamanan, kemurnian dan konsistensinya harus ditetapkan. Standar ini diberlakukan terhadap seluruh proses produksi dan formulasi obat. Hasil dari penelitian bentuk sediaan alami menunjukkan harapan besar bagi masa depan sistem penghantaran obat herbal untuk hewan. Sistem penghantaran obat merupakan suatu sistem untuk mengirimkan zat terapeutik atau obat yang telah digunakan secara klinis dan pra-klinis dalam pengobatan suatu penyakit.

 

Untuk mengenali obat herbal untuk hewan disarikan dari studi Yedi Herdiana dkk dari Universitas Pajajaran dan IPB University berjudul Veterinary Drug Development from Indonesian Herbal Origin: Challenges and Opportunities, IDJP (2021), dan studi Erlia Anggrainy Sianipar dari Universitas Katolik Atmajaya berjudul The potential of Indonesian traditional herbal medicine as immunomodulatory agents: a review, IJPSR (2021).

 

Tujuan penggunaan obat herbal

 

Sama seperti manusia, hewan diberi obat herbal juga untuk menjaga kesehatan. Tujuan menggunakan obat herbal untuk hewan sama dengan untuk manusia, yaitu memberikan tindakan pengobatan yang efektif dan aman. Selain itu peternak atau pemilik hewan mampu menggunakannya dengan mudah.

 

Implementasi pengobatan hewan di masyarakat pedesaan didasarkan pada praktik etnomedisin kedokteran hewan. Studi etnomedisin merupakan salah satu cara ilmiah untuk mendokumentasikan pemanfaatan tanaman sebagai bahan obat oleh berbagai etnis dengan kearifan lokalnya. Terutama ketika memperoleh produk kedokteran hewan modern sulit atau terlalu mahal.

 

Biaya penggunaan obat hewan menyumbangkan lebih dari 50% dari seluruh biaya pengobatan untuk kesehatan. Selain itu obat hewan sintetik dapat menimbulkan efek samping yang merugikan, seperti resistensi obat dan peningkatan toksisitas pada hewan akibat dosis yang berlebihan.

 

Efek samping obat sintetik, seperti residu antibiotik dapat menimbulkan resistensi antibiotik pada manusia. Selain itu hasil zat berbahaya tetap ada di dalam daging. Produk samping obat sintetik ini menjadi perhatian penggunaannya dalam jangka panjang. Permasalahan seperti ini mendorong pencarian alternatif seperti obat herbal, karena murah dan aman dibandingkan dengan cara pengobatan modern.

 

Secara farmakologis obat herbal mengandung berbagai senyawa aktif, dan setiap ramuan mempunyai kombinasi dan khasiat yang unik. Obat herbal hewan dapat digunakan untuk terapi, profilaksis, atau diagnostik dalam pelayanan kesehatan hewan. Penggunaan obat herbal dinilai tidak menimbulkan efek samping atau efek samping ringan; produk non-narkotika; tersedia cepat dan harga terjangkau.

 

Ilmu kedokteran hewan tradisional terdiri dari keyakinan dan praktik tentang kesehatan hewan yang memanfaatkan sumber daya alam. Permintaan obat herbal meningkat baik untuk pengobatan manusia maupun hewan. Pengobatan alternatif menjadi populer di seluruh dunia. Pengobatan herbal telah menjadi salah satu bentuk terapi alternatif dan terapi komplementer. Obat herbal dapat menjadi suplemen yang paling umum untuk mendukung pengobatan modern.

 

Potensi sumber daya alam

 

Indonesia memiliki tidak kurang dari 30.000 spesies tumbuhan yang terdapat di hutan tropis. Dari jumlah tersebut sekitar 9.600 spesies yang diketahui memiliki khasiat obat. Dalam bidang etnofarmakologi, banyak tumbuhan yang umum dimanfaatkan sebagai obat pada hewan. Peluang pengembangan herbal di bidang kedokteran hewan sangat terbuka lebar, sebagaimana diatur dalam regulasi obat alami untuk Hewan. Regulasi pemerintah mengatur bahwa pengobatan hewan dengan menggunakan obat herbal harus terstandar melalui suatu penelitian. Setelah lolos penelitian dan pengujian ilmiah, obat herbal harus mendapat persetujuan Kementerian Pertanian untuk mendapatkan nomor registrasi.

 

Penyakit ternak merupakan salah satu kendala terbesar dalam peningkatan mutu produksi ternak. Peternak membutuhkan obat terbaik untuk mengobati penyakit yang menyerang ternaknya. Seperti halnya obat pada manusia, dokter hewan dan apoteker diharapkan menegakkan sistem dalam merancang, memproduksi, dan menghantarkan obat hewan. Perancangan dan penyiapan sistem penghantaran obat hewan memerlukan pertimbangan lebih cermat dibandingkan penyiapan untuk obat manusia.

 

Tanaman obat herbal

 

Obat herbal yang biasa digunakan dalam praktek manusia seringkali dimanfaatkan pada hewan miliknya, terutama oleh pemilik yang menggunakan pengobatan tersebut untuk dirinya sendiri. Obat herbal tersebut diberikan kepada hewan miliknya untuk mengobati gangguan pernapasan, kulit, saluran kemih, pencernaan, dan kardiovaskular serta untuk mengurangi stres.

 

Selain itu, obat ini juga digunakan untuk mengobati beberapa penyakit kronis untuk menghindari efek samping obat konvensional yang terkadang dapat terjadi akibat penggunaan obat sintetik dalam jangka panjang. Dan fitoterapi (proses pencegahan, pemeliharaan kesehatan dan pengobatan penyakit menggunakan tanaman obat) dapat memberikan dukungan cukup berharga terhadap terapi konvensional pada kasus penyakit parah. Meskipun masih sedikit penelitian yang telah dilakukan untuk mengevaluasi kemanjuran terapeutik pengobatan herbal pada hewan kesayangan, banyak penelitian telah menemukan penggunaan bahan tanaman untuk obat hewan ternak.

 

Prinsip umum sediaan obat hewan

 

Sifat umum suatu obat hewan yaitu tidak mudah diprediksi respon positif setelah tubuh berinteraksi dengan obat hewan. Dampak lanjutan dari sifat ini pada akhirnya akan mempunyai implikasi seperti: (1) menimbulkan respon yang baik seperti yang diharapkan; (2) munculnya penyakit baru pada hewan yang terinfeksi akibat pemberian obat hewan; (3) menimbulkan bahaya sisa obat pada produk olahan asal hewan; dan (4) menimbulkan pencemaran pada habitat hewan yang tertular.

 

Jika dampaknya berupa respon yang menguntungkan sesuai rencana, ini yang menjadi harapan kita semua. Namun apabila berdampak negatif seperti timbul penyakit baru akibat obat-obatan, dan/atau residu obat hewan dan pencemaran habitat hewan, ini akan merugikan bagi kehidupan manusia. Sebagai jalan keluar dari permasalahan ini, sudah saatnya kita mengubah orientasi strategi pengelolaan ke arah yang logis dan bertanggung jawab.

 

Beberapa tanaman herbal untuk obat hewan

 

(1) daun serai dapur dimanfaatkan untuk antelmintik (obat cacing) unggas; (2) rimpang jahe untuk antibakterial dan fitobiotik pada unggas serta pengobatan luka pada tikus; (3) rimpang lengkuas sebagai antibakterial dan fitobiotik pada unggas serta antifungal untuk anjing; (4) daun sambiloto sebagai antibakterial dan imunomodulator untuk unggas serta antibakterial untuk sapi, juga untuk hepatoprotektor (melindungi hati) tikus; (5) rimpang temulawak sebagai antelmintik untuk kambing dan hepatoprotektor unggas; (6) rimpang kencur membantu peningkatan berat badan sapi; (7) buah cabe jawa untuk meningkatkan libido tikus; (8) rempah kumis kucing sebagai antiinflamasi dan diuretik pada sapi; (9) umbi bawang putih membantu peningkatan berat badan unggas dan antibakterial sapi; (10) biji buah pepaya untuk antelmintik unggas; (11) daun tapak dara untuk pengobatan luka pada tikus; (12) daun rosela untuk immunostimulan tikus; (13) buah mengkudu untuk meningkatkan respon imun humoral dan seluler; (14) buah asam jawa untuk meningkatkan fagositik, penghambatan proliferasi sel dan penghambatan migrasi leukosit; (15) batang brotowali untuk merangsang aktivasi makrofag dan meningkatkan fagositosis.

 

Bentuk sediaan obat hewan herbal

 

Pertimbangan dalam pembuatan bentuk sediaan pada hewan, mempunyai beberapa prinsip farmasi yang sama. Faktor yang sama memengaruhi proses pengembangan bentuk sediaan dan pertimbangan pengendalian mutu obat. Faktor-faktor ini meliputi: (1) Sifat fisika, kimia, dan farmasi senyawa aktif; (2) Tujuan penggunaan bentuk sediaan; (3) Formulasi mencakup senyawa aktif dan bahan tambahan obat yang dilakukan oleh ahli farmakologi atau ahli klinis; dan (4) Cara pembuatan berdasarkan karakteristik obat dan bentuk sediaan yang diinginkan.

 

Prinsip farmasi menekankan perspektif desain sistem penghantaran dan formulasi obat serta variabel manufaktur yang memengaruhi kinerja produk in vivo dan in vitro, dan pemahaman dalam memastikan bentuk sediaan obat efektif, aman, dan stabil.

 

Kesimpulan

 

Kemajuan obat herbal untuk hewan akan menjadi solusi baru untuk mengatasi tantangan resistensi antibiotik untuk meningkatkan hasil produksi dan reproduksi ternak secara berkelanjutan. Dalam beberapa kasus, obat herbal untuk hewan juga dapat meningkatkan profitabilitas produksi daging dan memenuhi kriteria keamanan terkait residu obat hewan.

 

Kedokteran hewan berperan dalam meningkatkan status kesehatan hewan akan berdampak pada kesejahteraan manusia. Untuk mengembangkan sediaan obat tradisional diperlukan ilmu kefarmasian terkini, agar dapat membuat sediaan obat herbal untuk hewan yang efektif dan efisien.

 

Pengembangan obat herbal untuk hewan memerlukan pertimbangan bijak dalam melakukan penerapan ilmu kedokteran hewan mutakhir. Untuk mendukung kemajuan dan pengembangan aplikasi obat herbal hewan diperlukan upaya kerjasama pemerintah, peneliti, dan dunia usaha.

 

SUMBER:

Pudnjiatmoko. Peluang Pengembangan Obat Herbal untuk Hewan di Indonesia PanganNews. 25 Desember 2024.

https://pangannews.id/berita/1703521185/peluang-pengembangan-obat-herbal-untuk-hewan-di-indonesia.

Pencegahan Taeniasis - Sistiserkosis

 

Pencegahan Penyakit Taeniasis - Sistiserkosis dari Hewan Ternak

 

Penyakit taeniasis - sistiserkosis atau infeksi cacing pita menurut WHO merupakan salah satu “penyakit tropis terabaikan” yang menyerang masyarakat kurang mampu. Di dunia infeksi cacing pita pada sistem saraf pusat menimbulkan 50.000 kematian setiap tahunnya. Dan diperkirakan 2,5 juta orang terinfeksi cacing pita. Gejala berat infeksi cacing pita, peradangan selaput meningen otak yang sering menyebabkan epilepsi. Penyakit ini masuk zoonosis, dapat ditularkan dari hewan ke manusia dan sebaliknya. Begitu bahayanya penyakit ini dan bersifat zoonosis, maka penanganan penyakit infeksi cacing pita perlu kita perhatikan bersama-sama.

 

Terdapat dua jenis cacing pita utama yang menyebabkan penyakit taeniasis-sistiserkosis yaitu Taenia solium dan Taenia saginata. Taenia solium dengan inang antara babi. Sedangkan Taenia saginata inang antaranya sapi. Taeniasis adalah penyakit cacing pita yang disebabkan oleh cacing taenia dewasa, sedangkan sistiserkosis adalah penyakit pada jaringan lunak yang disebabkan oleh larva dari salah satu spesies cacing taenia.

 

Gejala penyakit

 

Gejala yang muncul bergantung pada bentuk cacing pita yang masuk ke dalam tubuh. Gejala yang dapat terjadi pada penderita infeksi cacing pita yaitu rasa nyeri pada perut bagian atas; berat badan turun tanpa sebab yang jelas; mual dan muntah; nafsu makan menurun; diare; peradangan sekitar anus; dan terlihat cacing atau telur cacing pada tinja.

 

Jika larva cacing bermigrasi keluar dari usus dan membentuk kista pada jaringan tubuh lain, maka penderita akan merasakan beberapa gejala seperti: munculnya benjolan dibawah kulit; sakit kepala; batuk atau nyeri pada paru-paru; reaksi alergi terhadap larva; dan gejala syaraf termasuk kejang-kejang. Sistiserkosis di mata dapat menimbulkan keluhan berupa penurunan penglihatan, nyeri, dan kemerahan mata berulang kali.

 

Distribusi global

 

Data mengenai epidemiologi penyakit ini tidak menggambarkan infeksi oleh taenia yang sebenarnya, karena banyak infeksi yang bersifat asimptomatik atau tidak memperlihatkan gejala klinis. Secara umum, angka kejadian penyakit ini lebih banyak ditemukan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

 

Infeksi Taenia solium lebih banyak ditemukan di negara-negara berkembang seperti negara-negara di Afrika, Asia, dan Amerika latin. Sedangkan infeksi Taenia saginata bersifat sporadik (penyakit terdapat di sana-sini namun tidak meningkat) dan dapat ditemukan di negara-negara maju di Eropa, Selandia Baru, dan Australia. Terakhir Taenia asiatica hanya ada di Asia, seperti Indonesia, Kore Selatan, India dan Thailand.

 

Angka kejadian penyakit akibat Taenia solium di negara-negara Afrika, Amerika Latin, dan Asia secara berurutan adalah 7,30%, 4,08%, dan 3,98%. Angka seroprevalensi untuk Taenia solium di negara-negara tersebut secara berurutan adalah 17,37%, 13,03%, dan 15,68% (Coral-Almeida M dkk., 2019). Analisis yang dilakukan oleh tim peneliti Saratsis A dkk.(2019) angka kejadian penyakit infeksi Taenia saginata di negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara berdasarkan pemeriksaan mikroskop berkisar 0,02–8,6%.

 

Kejadian di Indonesia

 

Berdasarkan data WHO pada tahun 2015, Indonesia merupakan salah satu negara endemis Taenia solium. Di Indonesia penyakit ini ditemukan terutama di Sumatera Utara, Bali dan Irian Papua. Sejumlah kasus juga ditemukan di Lampung, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur dan Kalimantan Barat. Di Indonesia angka kejadian penyakit ini dilaporkan tahun 2018 berkisar 2-48%, angka tertinggi ditemukan di Papua (Elva Susanty. 2018).

 

Papua merupakan salah satu daerah di Indonesia yang banyak mengonsumsi daging babi. Survei kesehatan di wilayah Papua dilaporkan bahwa distribusi Taenia solium di Kabupaten Jayawijaya, Paniai, Pegunungan Bintang, dan Puncak Jaya berkisar 1,6-10,2%. Sedangkan infeksi Taenia saginata lebih banyak ditemukan di Provinsi Bali, terutama di Kabupaten Gianyar. Selama tahun 2002-2009, ditemukan 80 kasus penyakit akibat Taenia saginata dan 84% kasus didapatkan di Kabupaten Gianyar.

 

Pada studi terbaru menunjukan bahwa Taenia asiatica juga ditemukan di daerah endemik yang sebelumnya tidak teridentifikasi yaitu di Kecamatan Silou Kahean, Kabupaten Simalungun. Tradisi yang terdapat di Simalungun mungkin menjadi salah satu penyebab munculnya kasus infeksi cacing pita. Tradisi kebiasaan masyarakat Simalungun memakan hidangan “Hinasumba” yang terdiri atas hati dan daging babi mentah; dan “Naiholat” yang terdiri atas daging babi kurang matang dimasak (Muhda Y. dan Umar Z, 2024).

 

Terdapat catatan bahwa kasus penyakit ini tidak hanya muncul di daerah yang telah terpapar, namun dapat juga muncul di berbagai daerah lain dengan probabilitas tinggi dikarenakan adanya perjalanan penderita antar daerah.

 

Siklus hidup Taenia solium

 

Taenia solium memerlukan dua vertebrata sebagai inangnya untuk dapat melakukan pengembangbiakan. Kedua inang tersebut berperan sebagai inang antara dan inang definitif. Babi merupakan inang antara T. solium, sedangkan manusia bertindak sebagai inang definitif. Siklus hidup cacing ini diawali dengan tertelannya telur oleh inang antaranya. Adanya asam lambung inang antara akan memecah telur taenia. Larva onkosfer yang menetas akan melakukan penetrasi ke dalam pembuluh darah dan mengalir ke seluruh tubuh. Larva onkosfer tersebut berubah menjadi sistiserkus ketika mencapai otot (daging), jaringan bawah kulit, otak, hati, jantung, otot lurik dan mata.

 

Siklus hidup dapat berlanjut jika manusia mengonsumsi daging babi yang mengandung sistiserkus tanpa dimasak secara sempurna (lebih dari 60 derajat Celsius). Cacing ini melakukan invaginasi pada dinding usus halus dan menjadi dewasa. Dua bulan setelah infeksi, selanjutnya cacing dewasa akan melepaskan proglotida gravid yaitu segmen tubuh cacing yang dipenuhi telur.

 

Faktor risiko

 

Beberapa faktor yang menyebabkan seseorang lebih berisiko terkena taeniasis-sistiserkosis: (1) Tidak menjaga kebersihan pribadi dengan baik. Misalnya, tidak mencuci tangan sebelum makan dan ketika mengolah makanan; (2) Kontak dengan kotoran hewan seperti pekerja di peternakan ketika melakukan pembuangan kotoran hewan ternak tidak sesuai aturan biosekuriti; (3) Bepergian ke negara-negara berkembang yang sanitasinya buruk; (4) Mengonsumsi daging mentah atau dimasak kurang sempurna; (5) Berada di kawasan endemik taeniasis-sistiserkosis; (6) Kurangnya praktik pemeriksaan daging di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) dan kurangnya kemampuan untuk mengenali daging terinfeksi larva Taenia.

 

Diagnosis

 

Seperti penyakit pada umumnya, dokter akan melakukan wawancara medis dan pemeriksaan fisik seputar gejala-gejala yang terjadi pada pasien. Kemudian, dokter akan melakukan pemeriksaan lanjutan dari pemeriksaan taenia pada sampel tinja, tes darah lengkap, hingga pemeriksaan pemindaian seperti computerized tomography (CT) scan, rontgen, hingga Magnetic Resonance Imaging (MRI) ketika pasien mengalami infeksi berat.

 

Pengobatan

 

Pada beberapa kasus, orang dengan infeksi cacing pita bisa sembuh tanpa pengobatan, cacing pita akan keluar dari tubuh dengan sendirinya. Namun untuk menangani penyakit in, biasanya dokter akan meresepkan beberapa obat untuk membasmi cacing pita dewasa. Untuk infeksi invasif (berkembang dengan cepat dan seringkali berdampak fatal), dokter akan menangani berdasarkan lokasi dan efek infeksi. Beberapa obat yang biasanya dokter resepkan adalah praziquantel dan albendazole. Kedua obat ini mampu membunuh cacing pita dan juga telurnya.

 

Perlu dilakukan pengobatan masal terhadap orang yang terinfeksi di daerah endemik. Untuk dapat membersihkan seluruh cacing dan infeksi di dalam tubuh, obat ini perlu dikonsumsi selama beberapa minggu. Akhirnya, cacing keluar melalui tinja. Namun ada beberapa efek samping yang dapat ditimbulkan setelah mengonsumsi obat ini. Seperti pusing dan sakit perut. Maka penggunaan obat ini dilakukan dengan petunjuk dan pengawasan dokter.

 

Pencegahan

 

Diagnosis penyakit ini pada saluran pencernaan harus dilakukan secara cepat dengan mengamati adanya cacing didalam kotoran ternak. Dalam kesehatan hewan ternak, upaya pencegahan infeksi penyakit akibat cacing harus dilakukan sebelum infeksi. Untuk mengetahui adanya telur cacing dengan cara memeriksa dan mengidentifikasi telur cacing yang ada didalam kotoran hewan ternak. Hal ini dilakukan untuk mendeteksi terdapat infeksi cacing terutama pada saluran pencernaan ternak dengan cara cepat, mudah dan efektif.

 

Kotoran hewan ternak mengandung taenia dapat mencemari lingkungan sehingga menimbulkan penyebaran penyakit baik terhadap ternak maupun manusia. Telur cacing pita ini dapat masuk ke dalam tubuh karena sapi mengonsumsi rumput dan air yang telah terkontaminasi oleh telur cacing pita dari kotoran hewan ternak. Maka dari itu kita perlu menangani limbah kotoran tenak dengan cara yang benar agar tidak mencemari lingkungan.

 

Masih banyak pengelolaan limbah kotoran ternak yang dilakukan secara tidak memadai. Lokasi pembuangan limbah ini berdekatan dengan saluran limbah pemukiman di sekitar peternakan. Sebagai jalan keluar, kotoran ternak sapi digunakan sebagai pupuk organik setelah melalui proses pengomposan dengan benar terlebih dahulu sehingga tidak mengganggu sanitasi kandang dan kebersihan lingkungan. Untuk meningkatkan kesadaran dan kemampuan peternak maka perlu diadakan penyuluhan tentang pengolahan limbah ternak menjadi pupuk organik.

 

Kesimpulan dan Saran

 

Pencemaran lingkungan yang mengandung telur dan larva cacing pita dapat menjadi salah satu faktor risiko zoonosis yang dapat menimbulkan infeksi cacing pada manusia. Untuk mencegah dan mengendalikannya kita perlu menangani limbah kotoran ternak dengan cara yang benar.

 

Surveilans pemeriksaan cacing pita pada kotoran ternak merupakan metode yang efisien karena pengambilan sampelnya relatif mudah dengan biaya murah. Pemeriksaan telur dan larva cacing pita pada kotoran hewan ternak dapat digunakan untuk mendiagnosis penyakit cacing pita.

 

Untuk mencegah infeksi cacing pita, terdapat beberapa cara yang harus dilakukan, yaitu: (a) Mencuci tangan menggunakan sabun dan air mengalir, terutama setelah menggunakan toilet; mengganti popok, sebelum makan atau mengolah makanan; (b) Mencuci sayuran dan buah-buahan hingga bersih sebelum dimakan; (c) Memastikan makanan dan minuman yang dikonsumsi sudah dimasak hingga matang, khususnya ketika bepergian ke tempat dengan kasus penyakit ini tinggi.

 

SUMBER:

Pudjiatmoko. Pencegahan Infeksi Penyakit Taeniasis - Sistiserkosis dari Hewan Ternak. PanganNews. 17 Februari 2024.

https://pangannews.id/berita/1708145540/pencegahan-infeksi-penyakit-taeniasis-sistiserkosis-dari-hewan-ternak

Adaptasi Perubahan Iklim Sektor Peternakan


Usaha peternakan dari hulu sampai ke hilir memegang peranan sangat penting untuk memenuhi kebutuhan dasar pangan manusia. Produk asal hewan telah menyediakan 33% protein dan 17% kalori kebutuhan manusia sedunia. Agribisnis peternakan menyumbangkan sekitar 40% PDB pertanian dunia. Sektor peternakan ini membuka lapangan kerja yang lebar bagi masyarakat di pedesaan. Terpenting, peternakan merupakan penyedia utama pangan bernilai gizi tinggi pencegah stunting, sekaligus sebagai sumber mata pencaharian sebagian besar penduduk negara berkembang.

 

Sampai saat ini masih terdapat interaksi antara perubahan iklim yang sedang berlangsung dan tuntutan peningkatan produksi peternakan. Ini menjadi tantangan bagaimana meningkatkan produksi sekaligus menurunkan dampak perubahan iklim. Untuk mengatasi tantangan tersebut diperlukan pemahaman tentang adaptasi perubahan iklim terhadap produksi peternakan.

 

Adaptasi perubahan iklim merupakan upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan iklim, terutama timbulnya keragaman iklim dan kejadian iklim ekstrim. Sehingga dapat diperoleh: (1) potensi kerusakan akibat perubahan iklim berkurang; (2) peluang yang ditimbulkan oleh perubahan iklim dapat dimanfaatkan; dan (3) konsekuensi yang muncul akibat perubahan iklim dapat diatasi.

 

Dalam lingkungan peternakan, adaptasi dapat terjadi melalui perubahan ekologi hewan dan upaya manusia. Bagi ternak, adaptasi alami dihasilkan dari berbagai mekanisme yang digunakan hewan untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim. Sedangkan adaptasi manusia melalui tindakan dan praktik untuk membantu hewan ternak beradaptasi terhadap perubahan iklim, akhirnya produktivitas ternak meningkat. Dalam konteks peternakan, tindakan adaptasi meliputi adaptasi hewan, genetika hewan, modifikasi fisik lingkungan, pengendalian penyakit, dan sistem manajemen peternakan.

 

Adaptasi Hewan

 

Hewan dapat beradaptasi melalui respons fisiologis, biokimia, imunologi, anatomi, dan perilakunya. Gejala yang umum diamati terhadap cekaman panas yaitu penurunan nafsu makan, mencari tempat berteduh, peningkatan keringat, terengah-engah dengan mulut terbuka, peningkatan konsumsi minum, peningkatan waktu berdiri dan penurunan waktu berbaring, serta penurunan frekuensi buang air besar dan kecil.

 

Perlu dicatat bahwa hewan ternak jarang terkena cekaman tunggal. Selain cekaman panas, dapat bersama cekaman lainnya seperti kekurangan pakan dan air atau gizi buruk terjadi secara bersamaan. Dari berbagai pemicu cekaman tersebut menimbulkan efek kumulatif yang bersifat multiplikatif.

 

Hewan mungkin tidak dapat sepenuhnya beradaptasi terhadap cekaman iklim, sehingga peternak perlu membantu untuk mempertahankan produksi dan reproduksi ternaknya. Namun, kita harus ingat bahwa perubahan iklim bisa begitu besar sehingga dampaknya tidak dapat diatasi. Dalam kasus seperti ini, tindakan yang lebih ekstrim mungkin diperlukan, seperti melakukan perubahan penggunaan lahan, spesies hewan, atau pembebasan hewan. Strategi adaptasi yang diupayakan manusia meliputi genetika hewan, modifikasi fisik, pengelolaan pakan dan pengendalian hama, serta sistem manajemen peternakan.

 

Genetika hewan

 

Genetika hewan adalah suatu ilmu yang mempelajari hal-ihwal tentang gen mulai dari susunan kimia gen, peranan gen dalam penentuan sifat atau performans hewan. Pemilihan bangsa hewan ternak secara tradisional telah digunakan untuk meningkatkan efisiensi produksi ternak dan memfasilitasi peningkatan produksi ternak secara besar-besaran. Namun, spesies yang saat ini dipilih karena produksinya tinggi, dalam beberapa kasus memiliki produksi panas metabolik yang lebih tinggi sehingga mudah sekali terkena stres panas.

 

Karena iklim di masa mendatang diperkirakan akan lebih panas, suhu ekstrim lebih sering terjadi, maka teknik pemuliaan dan pemilihan jenis bangsa hewan ternak menjadi tindakan adaptasi. Variasi genetik dalam respon cekaman panas pada spesies hewan ternak diamati dan diukur. Beberapa bangsa hewan ternak tidak terlalu terpengaruh oleh cekaman panas, seperti hewan yang lebih kecil dan berwarna lebih terang. Ada bangsa hewan ternak yang telah beradaptasi secara fisik dan fisiologis sehingga tahan terhadap cekaman panas.

 

Jika sifat tersebut menurun ke anaknya, maka pembiakan selektif tahan cekaman panas dapat digunakan untuk meningkatkan adaptasi hewan. Peternak dapat mengganti bangsa hewan ternak yang dipelihara, misalnya untuk peternakan sapi dengan menggunakan bangsa Bos indicus atau Bos sondaicus yang cocok dikembangbiakan di wilayah tropis.

 

Modifikasi fisik lingkungan

 

Modifikasi fisik lingkungan juga dapat dilakukan, secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu dipelihara di luar ruangan dan dalam ruangan.

 

Untuk hewan yang dipelihara di luar ruangan seperti padang rumput, salah satu metode adaptasi yang hemat biaya adalah penyediaan naungan. Hal ini menurunkan paparan radiasi matahari dan mengurangi cekaman panas. Alat penyiram air juga dapat membantu menurunkan suhu tubuh. Huynh (2005) menyarankan penggunaan kombinasi metode karena menimbulkan efek interaksi. Misalnya, kombinasi penyiraman air dan kandang tertutup tanpa halaman luar menghasilkan produksi harian lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian penyiraman air saja.

 

Untuk ternak yang dipelihara di dalam ruangan kandang, pilihan modifikasi fisik kandang dapat menggunakan: (1) sistem ventilasi yang cukup; (2) desain dan bahan bangunan peredam panas; (3) penyemprotan atap kandang; (4) penggunaan kipas angin dalam kandang; (5) pendingin alas kandang (pendingin pipa bawah tanah). Pendingin udara dan pendingin alas kandang terbukti memiliki kinerja terbaik dalam menurunkan cekaman panas, namun perlu investasi awal dan biaya operasional cukup tinggi.

 

Pengendalian hama penyakit

 

Pengendalian hama penyakit belum banyak dibahas sebagai adaptasi ternak, meskipun para peneliti telah memperhatikan bahwa perubahan pola curah hujan di masa depan dapat memengaruhi penyebaran dan kuantitas beberapa hama penyakit yang ditularkan melalui vektor serangga.

Ada beberapa kekhawatiran terkait pengelolaan hama penyakit ternak. Pertama, beberapa hama penyakit berkembang menjadi resisten terhadap insektisida dan obat-obatan dalam waktu singkat, yang akan menurunkan efektivitas insektisida dan obat-obatan. Oleh karena itu, dalam praktik disarankan untuk melakukan rotasi penggunaan insektisida yang cara kerjanya berbeda.

 

Kedua, pengaturan kepadatan ternak. Sistem dengan kepadatan ternak tinggi dapat mendorong wabah hama penyakit. Khususnya unggas banyak menderita masalah hama penyakit karena dipelihara dengan sangat padat dengan tujuan memperoleh hasil produksi lebih banyak dalam waktu singkat. Maka disarankan untuk mempraktikan kepadatan optimal sesuai standar cara beternak yang baik.

 

Ketiga, residu obat pada produk asal hewan akibat penggunaan pestisida yang tidak tepat. Cara ini dapat menimbulkan potensi ancaman terhadap kesehatan masyarakat. Sebagai hasil dari pertimbangan ini, diperlukan pengelolaan hama penyakit terpadu, disertai pengembangan teknologi pestisida.

 

Praktik pemberian pakan yang tepat dapat digunakan untuk meningkatkan daya tahan tubuh di bawah cekaman panas. Kegiatannya meliputi modifikasi komposisi makanan, perubahan waktu dan/atau frekuensi makan, dan pengelolaan air. Praktik ini membantu meringankan cekaman panas dengan mencukupi asupan kandungan energi, nutrisi, elektrolit dan mineral, serta menjaga keseimbangan air. Modifikasi pemberian pakan pada sapi dan unggas telah banyak dikaji, umumnya berdampak positif untuk menjaga status kesehatan hewan ternak.

 

Sistem manajemen peternakan

 

Adaptasi sistem manajemen peternakan dapat menggunakan satu atau lebih strategi berikut:

(1) Diversifikasi spesies ternak: Peternakan multi-spesies meningkatkan kemampuan peternak untuk mengatasi perubahan iklim dan perubahan kondisi padang rumput, serta dapat meningkatkan keberlanjutan peternakan.

(2) Penyesuaian tingkat persediaan ternak: Penyesuaian tingkat persediaan ternak digunakan untuk mengurangi dampak kekeringan pada anak sapi. Tingkat persediaan ternak menurun seiring dengan peningkatan indeks suhu-kelembaban dan peningkatan curah hujan di musim panas. Maka dari itu diatur sedemikian rupa agar persediaan anak sapi tetap stabil.

(3) Integrasi sistem peternakan-kehutanan atau peternakan-tanaman pangan: Cara ini mempunyai efek sinergis positif terhadap sifat tanah dan siklus unsur hara. Integrasi tanaman pangan-ternak atau kehutanan-ternak dapat mencegah degradasi tanah, mengurangi penggunaan bahan kimia, dan meningkatkan nilai tambah usaha pertanian.

 

Kesimpulan dan saran

 

Peternak harus berperan dalam upaya adaptasi perubahan iklim melalui budidaya ternak yang baik menggunakan bibit unggul tahan cekaman panas dan memberikan pakan bermutu. Pemerintah perlu terus-menerus memfasilitasi adaptasi perubahan iklim dengan menerapkan teknologi tepat guna terkini. Penting menggalang komitmen semua pemangku kepentingan terkait untuk terlibat dalam kegiatan adaptasi perubahan iklim ini yang terencana dan berkesinambungan.

 

SUMBER:

Pudjiatmoko. Mengenali Adaptasi Perubahan Iklim Pada Peternakan. PanganNews 1 Maret 2024. https://pangannews.id/berita/1709271831/mengenali-adaptasi-perubahan-iklim-pada-peternakan

x