Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Tuesday, 28 April 2009

Basic questions and answers about swine flu

The swine-avian-human flu outbreak in Mexico has killed more than 100 people and sparked a worldwide panic. Around 20 people in the United State, others in Canada, Europe, New Zealand and Israel are also suspected of being infected with the new strain.

Although no infections have been reported in Japan, according to the Health, Labor and welfare Ministry, there is concern that the country is unprepared, having instead braced for new type of seasonal influenza and bird flu. Following are basic questions and answers about swine flu:

What is swine flu?

According to World Health Organization (WHO), swine flu is an acute respiratory disease caused by a strain of influenza virus A type. Many countries regularly vaccinate pigs, which suffer outbreaks throughout the year. Normally, only pigs are infected by the virus; however, humans have been infected in some countries before, including the United State and Spain.

How do people become infected?

The influenza can be passed to people by direct contact with infected pigs. Human- to-human transmission cases are limited to close contact and closed groups of people, according to the WHO.

The health ministry reported that, just as with seasonal influenza, direct contact with infected people, including exposure to their airborne cough or sneeze discharges, can lead to infection.

Can people get infected by eating pork and pork products?

According to the WHO, swine flu is not transmitted to human trough eating pork that is properly handled and well cooked, or other processed food derived from pigs. The virus is killed by a cooking temperature of 70 degree C.

What are human symptoms of swine flu?

As with other types of flu, symptoms can include fever, fatigue, loss of appetite, diarrhea, nausea and respiratory tract inflammation. According to the WHO, symptoms can vary widely and in some cases lead to pneumonia resulting in death.

Is there vaccine can protect people from swine flu?

There are no known vaccines to prevent infection. According to the WHO, it is not known if the current seasonal human vaccines can provide protection.

What drugs are recommended for treatment?

According to the WHO, Tamiflu and Zanamivir are recommended for treatment in the United States and Mexico. But no particular antiviral drugs are recommended to prevent infection.

What protective steps should be taken?

The health ministry advises people who travel to Mexico to wear a mask to prevent infection through coughs and sneezes. They should also wash their hands often and gargle, and consult a local doctor when flu symptoms such as a fever or cough occur.

Has travel to Mexico been banned?

The Foreign Ministry has not banned trips to Mexico or issued travel warnings to people planning to visit the country. However ministry urges people to consider putting off going until the epidemic has abated.

The World Health Organization (WHO) on Monday (April 27, 2009) raised the pandemic swine flu alert level from phase 3 to 4, two levels below the declaration of a full pandemic. The elevated alert means there has been sustained human-to-human transmission of the new A/H1N1 swine flu virus and that scientists now believe government efforts should focus on slowing the spread of the virus rather than containing it at its source.

Source: Japan Times, April 28, 2009

Tuesday, 7 April 2009

Vaksinasi Rabies Secara Serempak di Meguro, Tokyo

Populasi anjing kesayangan di Jepang pada tahun 2008 sekitar 9.650.000 (www.mapsoftworld). Dalam satu keluarga Jepang tidak jarang yang memiliki anjing kesayangan lebih dari seekor. Mereka selain memelihara dengan menyiapkan tempat, peralatan dan makanan yang tidak sedikit biayanya, mereka juga terbiasa meluangkan waktunya disela-sela kesibukannya berjalan bersama anjing kesayangannya di pagi hari atau di petang hari.

Jepang salah satu Negara yang bebas penyakit Rabies, tetapi Jepang tetap melaksanakan program vaksinasi Rabies. Di Jepang terdapat peraturan yang mewajibkan setiap pemilik hewan kesayangan anjing mendaftarkan anjingnya sekali dalam seumur hidup anjing dan memvaksin anjingnya terhadap penyakit anjing gila (Rabies) antara bulan April dan Juni sekali dalam setahun. Jika penduduk memiliki anjing berumur lebih dari 90 hari, diwajibkan untuk memvaksinkan anjingnya tehadap penyakit rabies sekali dalam setahun dan menyimpan sertifikat vaksinasi yang diterima.

Untuk di kota Meguro, Tokyo akan diselenggarakan vaksinasi secara serempak yang akan dilakukan pada tanggal 13 – 17 April 2009 bertempat di 24 rumah sakit hewan yang tersebar di kota Meguro yang tergabung dalam asosiasi dokter hewan Meguro. Vaksinasi serempak terhadap rabies untuk anjing ini dilaksanakan oleh pemerintahan daerah kota Meguro, Tokyo. Selama lima hari tersebut penduduk Meguro dapat memperoleh pelayanan vaksinasi Rabies untuk anjingnya dan pada saat itu juga langsung memperoleh sertikat vaksinasi.

Bagi mereka yang telah mendaftarkan anjingnya pada bulan Pebruari,pada rumah sakit hewan ditempat lain diharapkan mendaftar ulang untuk memperoleh sertifikat lagi dengan membawa sertifikat vaksinasi rabies yang diterbitkan oleh rumah sakit hewan lain dan membayar biaya penerbitan sertifikat 550 yen. Pendaftaran dilakukan di Pusat Kesenahatan Masyarakat Himonya, atau di Tempat Pelayanan Chiku daerah masing-masing.

Sebelum anjing dibawa ke rumah sakit untuk divaksinasi, anjing disiapkan dalam keadaan bersih dan dibawakan tas untuk menyimpan kotoran apabila anjingnya buang kotoran diperjalanan. Bagi mereka yang dapat membawa anjingnya dengan mudah diharuskan membawa anjingnya ke rumah sakit hewan. Apabila anjingnya tempak sakit, dianjurkan untuk berkonsultasi dengan dokter hewan terlebih dahulu sebelum anjingnya divaksinasi.

Penduduk Meguro yang mengikuti vaksinasi serempak ini cukup mempersiapkan uang sebanyak 3.000 yen untuk biaya vaksinasi dan 550 yen untuk biaya penerbitan sertifikat vaksinasi.

Menurut salah satu dokter hewan Jepang senior Itoh Osamu, DVM., bahwa ada tiga program penting yang perlu tetap dilaksanakan untuk mempertahankan negara atau wilayah berstatus bebas terhadap penyakit Rabies yaitu : 1) terus melaksanakan pendaftaran / pendataan semua anjing kesayangan; 2) melaksanakan program vaksinasi Rabies secara rutin; dan 3) melaksanakan program pengendalian hewan kesayangan anjing yang tidak bertuan. Memang tampak sederhana tetapi hal ini merupakan tindakan yang sangat penting untuk dilaksanakan. Mari kita bersama-sama mempertahankan daerah bebas Rabies yang kita miliki untuk kesehatan dan kesejahteraan kita bersama.

Tuesday, 31 March 2009

Petani Beras Jepang Takut Masa Depannya Suram

Dataran pesisir luas ini, yang terletak di dekat Laut Jepang, diberkahi dengan air melimpah dan tanah yang subur, serta dihiasi dengan sawah yang berwarna kuning keemasan di awal musim semi, adalah salah satu lumbung pangan terfertil di negara ini. Namun, ada sebuah perasaan malaise yang tak terbantahkan di sini.

 

Para petani yang mengelola sawah-sawah ini semakin menua dan jumlahnya terus berkurang. Tanah-tanah yang terbengkalai dan ditumbuhi ilalang menjadi pemandangan yang biasa ditemui. Karena ukuran lahan mereka yang kecil dan turunnya harga beras yang drastis, banyak petani yang merasa tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup.

 

"Pertanian Jepang tidak memiliki uang, tidak ada pemuda, dan tidak punya masa depan," kata seorang petani, Hitoshi Suzuki, 57 tahun, yang berdiri di lahan pertanian keluarga yang telah berusia 450 tahun saat angin dingin bertiup dari laut.

 

Masalah di sektor pertanian ini mencerminkan perasaan kelumpuhan yang sedang melanda Jepang, ekonomi terbesar kedua di dunia. Menghadapi tantangan besar akibat populasi yang menua dan pertumbuhan ekonomi yang rendah secara kronis, negara ini berusaha mempertahankan status quo, dengan menghabiskan kekayaan besar yang telah terakumulasi, alih-alih membuat perubahan besar, kata para ekonom.

"Krisis pedesaan Jepang memberikan gambaran tentang masa depan negara ini," kata Yasunari Ueno, seorang ekonom di Mizuho Securities di Tokyo.

 

Menurut banyak petani dan ahli pertanian, pedesaan Jepang sedang mendekati titik mati, akibat depopulasi, liberalisasi perdagangan, dan anggaran pemerintah yang menipis. Mereka menyebutkan ini sebagai krisis pedesaan terbesar sejak Perang Dunia II. Di Shonai, harga tanah pertanian telah turun hingga 70 persen dalam 15 tahun terakhir, dan jumlah petani telah menyusut setengahnya sejak 1990.

 

Di seluruh Jepang, produksi beras—beras yang merupakan makanan pokok tradisional—telah turun 20 persen dalam dekade terakhir, yang memicu alarm di negara yang kini mengimpor 61 persen makanannya, menurut Biro Statistik Pemerintah Jepang.

 

Penuaan dianggap sebagai masalah terbesar di pedesaan, di mana, menurut Kementerian Pertanian, 70 persen dari tiga juta petani Jepang berusia 60 tahun atau lebih. Sejak tahun 2000, defisit anggaran yang melonjak memaksa Tokyo untuk memangkas belanja proyek-proyek infrastruktur publik yang selama ini menopang ekonomi pedesaan, sementara penurunan ekspor kini telah menghilangkan pekerjaan di pabrik yang selama ini menjadi sumber pendapatan tambahan bagi banyak rumah tangga petani.

 

Meskipun krisis keuangan global saat ini semakin memperburuk keadaan, akar masalahnya terletak pada sistem ekonomi pedesaan Jepang yang mengandalkan petani keluarga kecil yang sangat tidak efisien, yang sudah ada sejak akhir Perang Dunia II. Namun meskipun banyak petani dan ahli pertanian sepakat bahwa sistem ini sedang mengalami keruntuhan, perubahan dihalangi oleh berbagai kepentingan yang telah mapan dan ketakutan untuk mengganggu kebiasaan yang sudah ada.

 

Pertanyaannya sekarang adalah apakah titik balik akan segera tercapai. Perubahan tersebut bisa sangat signifikan karena pemilih pedesaan membentuk dasar dari piramida politik, di puncaknya berdiri Partai Liberal Demokrat, yang telah memerintah Jepang selama lebih dari setengah abad. Partai ini diperkirakan akan menghadapi persaingan ketat dengan Partai Demokrat sebagai oposisi dalam pemilihan umum yang harus diadakan paling lambat awal September.

 

Di daerah pedesaan seperti Yamagata, provinsi penghasil beras di utara tempat Shonai berada, tanda-tandanya masih beragam.

Takashi Kudo, pemilik perusahaan konstruksi di sini, mengatakan bahwa dia tetap menjadi pendukung setia anggota parlemen Partai Liberal Demokrat, yang membantu perekonomian lokal dan perusahaannya dengan pengeluaran untuk proyek-proyek lokal. Namun kini, kata Kudo, penjualan perusahaannya telah turun sepertiga dalam dekade terakhir, memaksanya untuk memecat setengah dari 23 karyawannya.

 

Keadaan semakin sulit, bahkan kuil Shinto setempat berhenti mempekerjakan musisi untuk festival musim panas, katanya. Warga setempat merasa ditinggalkan oleh partai, yang menyebabkan menurunnya keanggotaan dalam kelompok pendukung pemilu, katanya. Namun, warga tidak merangkul oposisi, yang, menurutnya, menderita masalah yang sama dengan partai yang berkuasa, yakni kurangnya arah yang jelas.

 

"Reaksi yang muncul adalah kekecewaan politik, bukan pemberontakan politik," kata Kudo, 45 tahun, yang duduk di kantornya di bawah foto anggota parlemen Liberal Demokrat dari distrik setempat, Koichi Kato.

 

Meski demikian, semakin banyak orang yang menyerukan agar Partai Demokrat diberi kesempatan. Pada bulan Januari, seorang anggota dewan sekolah yang tidak dikenal, yang mencalonkan diri sebagai kandidat oposisi, mengalahkan kandidat Liberal Demokrat yang sedang menjabat untuk menjadi gubernur Yamagata, yang sebelumnya telah lama dikuasai oleh Partai Liberal Demokrat.

 

"Rasa bahwa L.D.P. semakin tidak terhubung dengan masalah nyata di pedesaan mulai terasa," kata Takeshi Hosono, seorang direktur di Shogin Future-Sight Institute, sebuah perusahaan riset pasar yang berbasis di kota Yamagata.

 

Banyak warga Yamagata merasa bahwa partai tersebut telah terlalu jauh dalam meliberalisasi perdagangan dan mengurangi pengeluaran publik, kata Hosono, mencerminkan rasa ketidakpuasan bahwa kota-kota besar seperti Tokyo telah berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir, sementara daerah pedesaan semakin merosot.

 

Beberapa orang lain mengatakan mereka merasa bahwa Partai Liberal Demokrat tidak cukup jauh dalam melakukan reformasi, mengeluhkan bahwa partai dan kelompok-kelompok lokal yang mendukungnya telah menghalangi petani lokal untuk melakukan perbaikan besar yang menantang status quo.

Salah satu inovator tersebut adalah Kazushi Saito, seorang petani beras dan babi yang enam tahun lalu menantang salah satu institusi terkuat di pedesaan Jepang, koperasi pertanian nasional, dengan mencoba mendirikan koperasi alternatif yang lebih kecil. Dia mendaftar 120 petani lain yang tidak puas dengan koperasi nasional, yang mereka rasa hanya berusaha menjual mesin dan pupuk mahal.

 

Namun, ketika dia berusaha mendaftarkan koperasi barunya, sebagaimana diizinkan oleh hukum, pejabat pertanian provinsi menolak melakukan prosedur administrasi, yang pada akhirnya menggagalkan rencananya, katanya.

"Kepentingan yang telah mapan sedang mengarahkankan pertanian Jepang ke tembok," kata Saito, 52 tahun.

 

Saito dan petani lain mengatakan bahwa pemerintah juga membuat hambatan terhadap solusi yang paling jelas untuk masalah pertanian, yakni penciptaan lahan pertanian yang lebih besar dan efisien. Rata-rata lahan pertanian komersial di Jepang sekarang hanya 4,6 hektar, dibandingkan dengan sekitar 440 hektar untuk lahan pertanian komersial di Amerika Serikat.

 

Meski pemerintah mengatakan bahwa konsolidasi semacam itu diperlukan, Saito dan yang lainnya mengatakan bahwa usaha mereka untuk mengakumulasi lahan terhambat oleh dukungan harga untuk lahan pertanian, yang dimaksudkan untuk melindungi nilai aset petani kecil tetapi justru membuat lahan terlalu mahal untuk dibeli. Pembatasan produksi beras, yang juga dimaksudkan untuk membantu petani kecil dengan menopang harga beras, membuatnya sulit untuk memperluas produksi, kata banyak petani.

 

Meskipun ada dukungan harga, pembatasan impor yang lebih longgar dan penurunan permintaan terkait dengan perubahan kebiasaan makan Jepang telah menurunkan harga beras, merugikan pertanian dari segala ukuran. Ini telah memicu kemarahan yang meningkat tidak hanya terhadap Partai Liberal Demokrat tetapi juga terhadap kementerian-kementerian Jepang yang kuat, yang selama ini memandu negara ini namun sekarang tampaknya tidak mampu memimpin jalan keluar dari kebuntuan ini.

"Era pasca perang yang bergantung pada Tokyo jelas telah berakhir," kata wali kota Shonai, Maki Harada.

 

Suzuki, dengan pertanian keluarga yang berusia 450 tahun, telah memperluas lahan yang dia kelola menjadi 40 hektar, sebagian besar disewa dari petani yang telah pensiun. Namun harga tanah yang membengkak, pembatasan produksi beras, dan biaya pertanian Jepang yang sangat mekanis hanya membuat lahan yang lebih besar ini merugi lebih banyak daripada lahan yang lebih kecil di sekitarnya, katanya.

 

"Pertanian bisa menghidupkan kembali ekonomi lokal, jika dipulihkan lagi," kata Masayoshi Honma, seorang profesor pertanian di Universitas Tokyo. "Tanpa reformasi, pertanian hanya akan terus merosot hingga mati."

 

 

SUMBER: The New York Times, March 28, 2009

Wednesday, 25 March 2009

Kasus flu burung subtipe H7 pada burung puyuh di Jepang

Virus flu burung subtipe H7 untuk pertama kalinya berhasil terdeteksi di peternakan burung puyuh di kota Toyohashi, Prefektur Aichi Jepang pada 18 Februari.

Menurut informasi situs berita Asahi, keterangan dari pejabat Kementerian Pertanian Jumat (27/2) menyatakan tidak ada satu pun burung puyuh yang mati di peternakan itu.
Selain itu tidak ada laporan mengenai orang yang terjangkit virus karena memakan daging atau telur dari unggas yang terinfeksi.

Penemuan ini merupakan yang pertama kalinya untuk tahun 2009, sebelumnya virus flu burung subtipe H5N1 terdeteksi pada periode Januari sampai Februari 2007 di Prefektur Miyazaki dan Okayama.

Guna menghentikan penyebaran virus, Kota Toyohashi Sabtu (28/2) membinasakan 259,000 ekor burung puyuh yang ada di peternakan tempat ditemukannya unggas yang terjangkit virus flu buung dan langsung dikuburkan di dalam peternakan.

Berdasarkan data Kementerian Pertanian, jumlah populasi burung puyuh yang ada di peternakan tempat ditemukannya virus flu burung di Kota Toyohashi sebanyak 320,000 ekor.

Untuk mengantisipasi penyebaran virus flu burung, Kementerian Pertanian dan lembaga berwenang lainnya akan membatasi pergerakan ternak unggas, telur dan pakan ternak dalam radius 10 kilometer dari peternakan.

Bila virus diidentifikasi sebagai virus yang telah melemah maka radius pembatasan akan dikurangi menjadi 5 kilometer.

Namun bila pembatasan didaerah itu diperpanjang maka dapat mempengaruhi pasokan telur burung puyuh karena sekitar 70 persen telur burung puyuh yang dikonsumsi diseluruh Jepang berasal dari Prefektur Aichi.

Dalam radius 10 kilometer dari tempat ditemukannya virus flu burung, terdapat 65 peternakan ayam dan burung puyuh dengan jumlah keseluruhan populasi 4 juta ekor.

Sumber : Nusantara news, Jakarta's shimbun online Jurnal, 2 Maret 2009.