Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Wednesday, 30 April 2008

Biodiesel Jarak Pagar Jadi Proyek Nasional


Jarak pagar (Jatropha curcas L., Euphorbiaceae) merupakan tumbuhan semak berkayu yang banyak ditemukan di daerah tropik. Tumbuhan ini dikenal sangat tahan kekeringan dan mudah diperbanyak dengan stek. Walaupun telah lama dikenal sebagai bahan pengobatan dan racun, saat ini ia makin mendapat perhatian sebagai sumber bahan bakar hayati untuk mesin diesel karena kandungan minyak bijinya. Peran yang agak serupa sudah lama dimainkan oleh kerabat dekatnya, jarak pohon (Ricinus communis), yang bijinya menghasilkan minyak campuran untuk pelumas.


Berdasarkan pengamatan terhadap keragaman di alam, tumbuhan ini diyakini berasal dari Amerika Tengah, tepatnya di bagian selatan Meksiko, meskipun ditemukan pula keragaman yang cukup tinggi di daerah Amazon. Penyebaran ke Afrika dan Asia diduga dilakukan oleh para penjelajah Portugis dan Spanyol berdasarkan bukti-bukti berupa nama setempat.

Kemampuan untuk diperbanyak secara klonal menyebabkan keanekaragaman tumbuhan ini tidak terlalu besar. Walaupun demikian, karena ia termasuk tumbuhan berpenyerbukan silang maka mudah terjadi rekombinasi sifat yang membawa pada tingkat keragaman yang cukup tinggi.

Biji (dengan cangkang) jarak pagar mengandung 20-40% minyak nabati, namun bagian inti biji (biji tanpa cangkang) dapat mengandung 45-60% minyak kasar. Berdasarkan analisis terhadap komposisi asam lemak dari 11 provenans jarak pagar, diketahui bahwa asam lemak yang dominan adalah asam oleat, asam linoleat, asam stearat, dan asam palmitat. Komposisi asam oleat dan asam linoleat bervariasi, sementara dua asam lemak yang tersisa, yang kebetulan merupakan asam lemak jenuh, berada pada komposisi yang relatif tetap (Heller 1996).

Jarak pagar dipandang menarik sebagai sumber biodiesel karena kandungan minyaknya yang tinggi, tidak berkompetisi untuk pemanfaatan lain (misalnya jika dibandingkan dengan kelapa sawit atau tebu), dan memiliki karakteristik agronomi yang sangat menarik.

Tanah tandus bisa menyelamatkan kesulitan negeri ini dalam menyediakan bahan bakar minyak (BBM) untuk rakyat. Dari sekitar 13 juta hektare lahan tandus di seluruh Indonesia, bila ditanami pohon jarak pagar dapat menghasilkan lebih dari 400 ribu barel solar per hari. Dengan produksi ini, pemerintah tak perlu pusing mengutak-atik RAPBN menyusul fluktuasi harga minyak.

Badan Pusat Statistik menyebutkan, semester I tahun ini, Indonesia mengimpor minyak senilai US$ 28,37 miliar. Nilai tersebut lebih besar dari periode sama tahun sebelumnya, yang mencapai US$ 20,96 miliar. Salah satu jenis BBM yang banyak dikonsumsi adalah solar. Sampai kini, konsumsi solar 460 ribu barel, atau 73.140.000 liter per hari. Tingginya angka penggunaan solar, sejatinya tidak harus ditutup melalui impor. Ada beberapa sumber energi alternatif yang bisa disubstitusikan sebagai pengganti solar. Salah satunya energi biodiesel berbahan dasar minyak jarak.

Pembuatan energi alternatif, kini mulai menggejala di berbagai belahan dunia. Sebagian negara ada yang mengembangkan biodiesel, sebagian lainnya mengaktifkan bioetanol. Ini berarti, Indonesia tidak sendirian ketika mencari sumber energi alternatif. Buktinya, negara sekelas Amerika Serikat saja, masih sibuk menggali sumber energi baru. Pekan pertama, Agustus ini, Presiden AS George W Bush menandatangani RUU Energi (Energy Bill) yang khusus mengatur Bio Fuel. Gejala serupa juga muncul di kalangan perusahaan minyak dunia. Misalnya, North Dakota Biodiesel Inc yang menginvestasikan US$ 50 juta untuk proyek biodiesel di Minot, North Dakota, USA. Biodiesel ini berbasis pada tanaman canola (sejenis gandum). Ini lah proyek terbesar di wilayah Amerika Utara, dengan produksi 100 ribu ton BBM.

Biodiesel yang dihasilkan dari 144 ribu hektar kebun canola. Produsen minyak kelapa sawit di Malaysia, IOI Corp dan Kuok Oil & Grains membangun dua penyulingan minyak kelapa sawit di Roterdam yang memproduksi lebih dari satu juta ton minyak kelapa sawit dalam satu tahun. Industri ini berencana memenuhi kebutuhan biodiesel di Eropa pada masa depan. Sementara itu, perusahaan minyak raksasa Brazil, Petrobras akan meningkatkan ekspor etanol sampai 9,4 miliar liter pada 2010, dari dua miliar liter tahun 2005.

Saat ini, Japan Mitsui & Co dan Vale do Rio Doce (CVRD) turut mendukung rencana Petrobras melalui studi peningkatan ekspor etanol Brazil. Perusahaan dunia tersebut bukan tanpa alasan bila menjatuhkan pilihan kepada biodiesel. Apalagi secara prinsip kimia, penemuan energi alternatif berbeda tipis dengan penemuan energi konvensional (minyak bumi). Sebab, kata Direktur PT Rekayasa Industri Triharyo Soesilo, keduanya sama-sama mengaktifkan energi matahari. “Hanya saja, minyak bumi terjadi karena dipress sekian lama (di perut bumi). Namun energi itu bisa disimulasi di dalam tumbuh-tumbuhan atau buah-buahan,” tambahnya.

Proses simulasi energi ini lah yang menghasilkan bahan bakar biodiesel. Sayangnya sebagai negara katulistiwa, Indonesia belum maksimum mengonversi energi matahari. Berbeda faktanya dengan negara lain yang sama-sama negara khatulistiwa. Brazil, misalnya. Negeri Samba ini sukses mengonversi energi matahari yang tersimpan di dalam gula. Kini, Brazil sudah menghasilkan Bioetanol yang dijual US$ 25 per barel. “Ada sebuah teori yang mengatakan, nanti dunia ini ketika minyak bumi habis, tanahnya akan dibagi dua. Tanah lahan subur untuk makanan, tanah tidak produktif untuk bahan bakar melalui biodiesel, bioetanol, dan lain sebagainya,” papar Triharyo. Dari 13 juta hektare lahan kering di seluruh tanah air, kurang dari 10% yang sudah dan akan dipakai.

Ini ironi, karena pertumbuhan pohon jarak justru sempurna bila ditanam di lahan kering. Jika Indonesia baru memanfaatkan kurang dari 10%, itu mengisyaratkan belum optimalnya pemanfaatan lahan kering. Saat ini, kata Triharyo, ada tiga lembaga yang menanam jarak. Pertama, perkebunan milik PT Rekayasa Industri dan Institut Teknologi Bandung (ITB) berlokasi di Nusa Tenggara Barat (NTB) seluas 12 ha dengan 30 ribu pohon. Kedua, perkebunan milik PT Energi Alternatif Indonesia (ada 48 ribu pohon). Ketiga, Departemen Pertanian (3 ribu pohon) di Nusa Tenggara Timur (NTT).

Selain itu, PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) juga berencana menanam jarak pagar di 2000-2500 ha lahan gundul di Purwakarta, Oktober mendatang. Sebelumnya, RNI sudah menanam di Indramayu seluas 850 ha. Di Bireun, Nanggroe Aceh Darussalam, ITB, Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Departemen Sosial (Depsos) bekerja sama menghidupkan 400 ha lahan kritis. Tiga bulan lagi, kata Guru Besar Kelautan dan Perikanan IPB Rohmin Dahuri, hasil budidaya pohon jarak sudah bisa dinikmati.

Solar yang dihasilkan akan memenuhi kebutuhan 200 kapal, satu pabrik es, satu cool storage, serta satu unit pembangkit listrik tenaga diesel. “Yang lebih indah bagi nelayan. Harganya Rp 2.000-2.500 per liter. Yang sebenarnya Rp 1.500 kembali ke dia karena jarak yang dikelola dari pabrik inti dibeli dari mereka,” jelas Rohmin.

Menurut perhitungan PT Rekayasa Industri, dari tiga juta ha lahan kering akan dihasilkan 92 ribu barel solar per hari. Untuk memenuhi lahan tersebut diperlukan sekitar 7,5 miliar bibit. Bila dari seluruh tanah tandus seluas 13 juta ha ditanam jarak pagar, solar yang dihasilkan lebih dari 400 ribu barel, Kendati sudah ditanam di beberapa tempat, budidaya jarak belum terkoordinasi secara nasional. Ini ironis, mengingat besarnya potensi di belakangnya.

Bayangkan, proyek percontohan di NTB dan Cilacap (Jawa Tengah), kata Tutik Herlina Mahendrato, business manager PT Rekayasa Industri, sudah dilirik sejumlah investor. Pada saat bersamaan, PT Energi Alternatif Indonesia sudah mengembangkan biodiesel buah jarak ke dalam skala industri. Sebuah pabrik dengan kapasitas produksi 1.000 liter solar/hari, kini berdiri di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Produk biodiesel sudah dijual kepada pengusaha asal Jepang, serta sejumlah SPBU lokal.

Gerakan Nasional Ada banyak pertimbangan menjadikan biodiesel sebagai proyek nasional. Selain potensi bisnis, juga penuntasan beragam kendala di belakangnya. Harus ada yang bisa menjawab kenapa 13 juta ha lahan kering se-Indonesia tidak digarap sebagaimana mestinya. Lahan-lahan yang tersebar di wilayah Sumatera, Nusa Tenggara, Sulawesi, Jawa bagian selatan, serta Papua tersebut dibiarkan terkapar.

Nasibnya tidak berbeda dengan pesakitan yang menunggu ajal. “Menurut saya, pemerintah harus mengambil inisiatif,” ujar Rohmin. Sementara Triharyo mengatakan, presiden harus segera mengeluarkan peraturan khusus. Seluruh Departemen harus dikondisikan untuk mendukung dan mengampanyekan pembuatan dan pemakaian biodiesel.

Ketua Forum Biodiesel Indonesia (FBI) Tatang Soerawidjaja, menyoroti komunikasi masing-masing institusi. Pengembangan biodiesel terkesan jalan sendiri-sendiri karena komunikasi antar pakar, industriawan, serta pemerintah belum berjalan. Namun untungnya, Pertamina sebagai personifikasi pemerintah sudah membuka diri. “Bila Pertamina sudah ikut main maka pengembangan biodiesel sudah tidak ada masalah lagi,” tegasnya.

Sumber : Investor Daily Online (27/8/05)

Friday, 25 April 2008

Belajar Jadi Peternak Kelas Dunia! Petani Muda Indonesia Magang Sapi di Gunma, Jepang

Pada tanggal 25 April 2008 telah dilakukan acara penerimaan 11 petani muda magang asal Indonesia melakukan pelatihan di Gunma Prefecture. Salah satu petani muda tersebut I Ketut Suartika yang berasal dari Sangeh, Bali akan menimba teknik peternakan sapi di Gunma sejak April 2008. Baru selesai mengikuti pembekalan selama 10 hari di Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA) Gunma Sdr. Ketut memperoleh kesempatan rileks sejenak di Taman Bunga Misato Shibazakura Koen yang letaknya tidak jauh dari SPMA Gunma (Gambar sebelah). Taman ini menyajikan pemandangan indah berupa hamparan aneka warna bunga Shibazakura yang dapat bertahan hidup selama sebulan. Taman dibuka untuk umum dari tanggal 5 April sampai dengan 6 Mei 2008.




Selama setahun Sdr. Ketut akan menimba teknik bertani ala Jepang, belajar beternak sapi di peternakan milik Mr. Morita. Sapi jenis ini setelah berumur 20 bulan berat-badannya bisa mencapai rata-rata 800 kg per ekor, harganya sekitar 450-500 yen per kg berat hidup. Sapi yang dipelihara sekarang tinggal separuhnya yaitu 150 ekor. Mr. Morita sengaja menurunkan jumlah sapi yang dipelihara karena harga makanan sekarang sangat tinggi, terutama jagung sebagai salah satu bahan makanan utamanya. Dia menduga harga jagung yang meningkat ini disebabkan jagung juga diserap pasar sebagai bahan pembuatan biofuel.








Fasilitas di kandang sapi
1.Tempat pemberian makanan sapi
2.Tempat minum sapi secara otomatis.
3.Terlihat Bahan makanan sapi dari jerami.
4.Tempat penyimpanan makanan.
5.Terlihat makanan dengan bahan pokok berasal dari jagung.
6.Tempat pengolahan kotoran menjadi kompos.
7.Bahan alas kandang sapi dari gergajian kayu.
8.Terlihat sapi berumur 8 bulan (gambar tengah)
9.Sapi berumur 20 bulan (gambar bawah) dengan berat 800 kg per ekor siap untuk dijual.


#PetaniMuda
#MagangJepang
#PeternakanSapi
#PertanianModern
#GunmaJapan

Thursday, 10 April 2008

Talas Jepang Jadi Rebutan! Peluang Bisnis Satoimo yang Bisa Raup Puluhan Juta per Hektare

Awal Keberadaan Talas Jepang Satoimo di Indonesia adalah pada masa pendudukan Jepang. Talas Jepang dikenal oleh masyarakat di Toraja dengan nama TALAS BITHEK, dan di Buleleng Bali dikenal dengan KELADI SALAK karena rangkaian umbinya seperti buah salak. Konsorsium Satoimo Indonesia-Jepang bekerjasama dengan KADIN Indonesia, telah mulai melakukan Pengembangan Budidaya Satoimo di Indonesia sejak tahun 2003. Akhirnya 16 Februari 2006 hingga saat ini satoimo dari Indonesia diekspor ke Jepang.


POTENSI PASAR


Sebanyak 50 % penduduk Jepang yang berjumlah ± 120 juta orang, mengkonsumsi Talas Jepang sebagai makanan pokok selain beras. Sehingga saat ini kebutuhan Jepang mencapai ± 360.000 ton pertahun (Otsubo,1996), sedangkan kapasitas produksi di Jepang terus menurun hingga 250.000 ton pertahun, karena keterbatasan lahan dan faktor iklim yang tidak memungkinkan untuk bertani sepanjang tahun (JETRO, 1994).


Kekurangan pasokan satoimo sebagaian besar diimpor Jepang dari China, yaitu mencapai ± 55.000 ton s/d 60.000 ton (JAPAN IMPORTS/EXPORTS). Oleh karena itu Jepang masih kekurangan pasokan satoimo sebesar ± 40.000 ton s/d 45.000 ton pertahun. Indonesia berpotensi untuk memenuhi kekurangan pasokan satoimo ke Jepang, karena merupakan negara agraris dengan dua musim yang dapat mendukung kegiatan pertanian sepanjang tahun.


MANFAAT


UMBI SEGAR: Sumber Calsium dan Kalori yang tinggi, tetapi kandungan karbonhidratnya rendah sehingga dapat dikonsumsi sebagai makanan DIET juga baik untuk penderita DIABETES


PATI/POWDER: sebagai bahan produksi makanan/minuman sehat; seperti pengental (starch), bubur bayi makanan orang tua, bahan baku kue dan roti, pencampur tepung terigu sebagai pengganti kentang. Farmasi/obat-obatan: sebagai pengisi kapsul dan tablet.


SERAT/FIBRE : Sebagai bahan campuran pembuatan JELLY, Ice Cream biscuit filling, preparat sup, minuman berserat, pudding, makanan dan minuman diet untuk penderita diabetes, dll.


PEMBIBITAN


Secara konvensional bibit tanaman Satoimo adalah berasal dari umbi . Selama ini, umbi untuk bibit tersebut diimpor dari Negara China, dengan resiko yang ditanggung:


1. Kadang-kadang umbi yang sudah diterima sudah busuk hinggga 25%

2. Membawa hama penyakit dari China yang berbahaya

3. Umbi gagal disemai

4. Kualitas Umbi beragam, baik ukuran maupun umur

6. Karena hasil impor, harga Umbi lebih mahal.




Oleh karena itu Lab kultur jaringan SEAMEO BIOTROP Sejak tahun 2006 mulai memproduksi bibit Talas Jepang melalui teknik kultur jaringan, sehingga diharapkan dapat memenuhi kebutuhan Petani akan bibit Talas Jepang /Satoimo berkualitas, bebas penyakit dengan harga terjangkau.


PERSYARATAN TEMPAT TUMBUH


1.Tanaman talas menyukai tanah yang gembur, kaya akan bahan organik atau humus.


2.Tanaman ini dapat tumbuh pada daerah dengan berbagai jenis tanah, misalnya tanah lempung yang subur dan coklat, tanah vulkanik, andosol, tanah latosol.


3.Untuk mendapatkan hasil yang tinggi, harus tumbuh di tanah drainase baik dan PH 5,5-6,5. Bila PH dibawah 5,0 tanah harus diberi perlakuan kapur 1 ton/HA.


4.Tanaman ini membutuhkan tanah yang lembab dan cukup air. Apabila tidak tersedia air yang cukup atau mengalami musim kemarau yang panjang, tanaman talas sulit tumbuh.


5.Selama pertumbuhan tanaman ini menyukai tempat terbuka dengan penyinaran penuh serta pada lingkungan dengan suhu 25-30 °C dan kelembaban tinggi.


CARA BUDIDAYA


1.Penataan lahan ( pembuatan guludan /bedengan ) Ukuran panjang guludan/bedengan dapat disesuiakan dengan luasan lahan yang ada, sedangkan lebar 120 cm dan tingginya 15 cm. pembuatan lobang tanam dengan jarak 60 cm x 40 cm dengan diameter lobang 25 cm dan kedalaman 15 cm.


2.Pemberian KOMPOS 400-500 gr, pupuk NPK ( 15-15-15 ) 5 gr, dan 2 gr furadan pada setiap lubang tanam, kemudian DIADUK secara merata dengan tanah yang ada dilobang dan disiram air secukupnya, selanjutnya didiamkan selama 2 s/d 4 hari sebelum mulai tanam.


3.Umbi yang telah tumbuh berdaun dua dan telah berakar (kondisi sehat), diletakkanpada lobang tanam dengan kedalaman dari permukaan maksimum 10 cm. Selanjutnya ditimbun dengan tanah disekitar lobang dan disiram.


4.Penyiraman setiap hari pagi dan sore jika diperlukan sesuai dengan kondisi kelembaban tanah disekitar tanaman.


5.Pemberian pupuk NPK ( 15-15-15 ) 5 gr setiap tanaman pada umur tanaman 1 bulan setelah tanam yang ditaburkan 10 cm – 20 cm dari batang tanaman (melingkar) dan langsung ditimbun tanah sekitarnya,


6.Pembersihan gulma dan pembumbunan tanah, tingginya bumbunan 5 s/d 10 cm dari pangkal batang tanaman itu sendiri, juga dilakukan kalau terjadi erosi karena hujan.


7.Panen dapat dilakukan setelah tanaman berumur antara +/-5 bulan setelah tanam.


ANALISA USAHA (1 HA, 6 bulan)


I. BIAYA


1. Sewa lahan (6 bulan) = Rp. 1.000.000,-

2. Persiapan dan Pengolahan Lahan = Rp. 2.500.000,-

3. Bibit 25.000 umbi @ Rp.300,- = Rp. 7.500.000,-

4. Kompos 10 ton @ Rp.500,-/kg = Rp. 5.000.000,-

5. Pupuk NPK 250 kg @ Rp4.000 = Rp. 1.000.000,-

6. Obat-obatan/pestisida = Rp. 1.000.000,-

7. Upah Tenaga Kerja

a. Pembibitan 25 HOK @ Rp.15.000,- = Rp. 375.000,-

b. Penanaman 25 HOK @ Rp.15.000,- = Rp. 375.000,-

c. Pemeliharaan 25 HOK @ Rp.15.000,-(3 x) = Rp. 1.125.000,-

d. Panen 50 HOK @ Rp.15.000,- = Rp. 750.000,-

e. Pasca panen 50 HOK @ Rp.15.000,- = Rp. 750.000,-

Total Biaya Langsung = Rp. 21.375.000,-

8. Biaya Modal 18% per tahun (6/12 x 18% x Rp.21.375.000) = Rp. 1.923.750,-

Total Biaya = Rp. 23.298.750,-


II. PENDAPATAN (Asumsi Hasil Panen 20.000 Kg/HA;Harga Satoimo Rp.2000/kg)

20.000 Kg x Rp. 2.000,- = Rp. 40.000.000,-


III. KEUNTUNGAN (per HA) = Rp. 16.701.250,-


Sumber : Website Services Laboratory - SEAMEO BIOTROP


#SatoimoIndonesia 

#PeluangAgribisnis 

#EksporPangan 

#TalasJepang 

#BisnisPertanian

Tuesday, 8 April 2008

New WTO Deal Promises Safer Global Food

WTO members have reached an apparent consensus on two sets of procedures aimed at strengthening their work on sanitary and phytosanitary measures (SPS, ie, food safety and animal and plant health). One is on recognizing that regions (within a country or spanning borders) are free from diseases or pests, the other is on improving the information they share with each other, a crucially important part of member governments’ work in the WTO. Both were approved conditionally in the WTO SPS Committee’s 2–3 April 2008 meeting, and will be adopted if no one objects within the next few weeks. They encourage WTO members also to notify when they adopt international standards. (If the “regionalization” guidelines are not adopted, their transparency provisions will be inserted into this text.)


Meanwhile, information is increasingly being made available through on-line technology. Members were briefed on further enhancements to the WTO’s SPS Information Management System, a searchable database for all notifications, specific trade concerns raised in the committee and other information, the FAO’s International Portal on Food Safety, Animal and Plant Health and a similar “portal” of the International Plant Protection Convention.


Specific trade concerns (STCs)


Code numbers, eg, “STC229”, identify particular issues and can be used to search the WTO’s SPS Information Management System.


Specific trade concerns: resolved


Canada’s restrictions on enoki mushrooms (STC229): Chinese Taipei said Canada has allowed imports to resume following consultations and Canadian officials’ visits to production sites.


Japan’s import suspension on Chinese heat-processed straw and forage for feed (STC222): China said Japan’s ban has been lifted following consultations and site visits.


Specific trade concerns: new


The EU’s proposed maximum residue levels for ethephon in pineapple: Ecuador, Also discussed were a number of concerns members raised about specific measures other governments have introduced, including some related to issues that have been raised several times before such as avian influenza (“bird flu”), foot and mouth disease, and BSE (“mad cow disease”).


And the meeting heard a warning that standards set by private bodies could undermine the science-based and democratically agreed standards of multilateral organizations and cause difficulties for developing countries.


The caution came from Dr Bernard Vallat, director-general of the World Organization for Animal Health (OIE) in the latest of a series of discussions about standards set by the private sector, in particular supermarket chains and bodies representing them.


This was the first time the head of the OIE has attended a WTO SPS Committee meeting. The multilateral standard-setting organizations he had in mind are in particular, the OIE and the SPS Committee’s two other “sisters” — Codex Alimentarius, which deals with food safety, and the International Plant Protection Convention.


The week began with a workshop on SPS capacity evaluation t
ools organized under the jointly-run Standards and Trade Development Facility.


The SPS Committee comprises all WTO members and is responsible for overseeing the implementation of the WTO SPS Agreement.


Regionalization


The key concept here is recognition that an exporting region (part of a country or a border-straddling zone) is disease-free or pest-free (or has a lower incidence). When importing countries recognize different situations in different regions, their restrictions on products from areas with disease do not apply to whole countries. It is often raised as a specific trade concern as well as being discussed as a subject in its own right.


The text that members conditionally adopted comes from the work of a small group of countries, coordinated by New Zealand and is a compromise after about one year of work within the group and five years of discussion in the SPS Committee. It has been circulated in document G/SPS/W/218, as non-binding guidelines for implementing regionalization. These include various recommended steps to be taken by an importing and an exporting country discussion a region’s status.


In an informal meeting on 1 April, some countries involved in the group signalled their disappointment that the guidelines are not stronger in trying to avoid “undue delays” in recognizing a region’s status. But others urged them to accept the compromise so that what has been agreed so far can be implemented; the guidelines can be revised in the future on the basis of experience, they said.


The committee formally agreed that if no member objects by 15 May, the guidelines will be adopted. (Officially, the committee has adopted the guidelines “ad referendum")


Transparency


Also adopted provided no one objects — this time by 30 May — are revised recommendations on how governments provide information on new or proposed measures they take on food safety and animal and plant health.


Sharing and commenting on this information is one of the SPS Committee’s most important tasks — members use the committee to ensure that SPS measures comply with the WTO agreement, meaning they are based on science or international standards and are not protectionism in disguise.


The new recommendations will be a third revision of the present set, G/SPS/7/Rev.2. They include new procedures and forms for notifications, details of new on-line databases where the notifications and other relevant information is compiled, and supported by Costa Rica, said the EU’s proposed new maximum residue level of 0.5mg/kg for this plant growth regulator is too low, not based on science and stricter than the international standard of Codex Alimentarius. The EU replied that its own producers would also have to meet the proposed new limit and are also concerned, and invited the two countries to provide scientific evidence to show that the proposed new limit is too strict.


Malaysia’s charges for on-site inspection missions: Brazil — supported by the EU, Australia and New Zealand — complained that Malaysia’s new charge of $30,000 per establishment is exorbitant, particularly since the results are only valid for a year, requiring annual inspections for approvals to be extended. Malaysia said that the costs of inspecting on SPS and Halal grounds has risen considerably, but that the new costs are not in place yet. The comments will be transmitted to Kuala Lumpur, Malaysia said.


US regulatory process, including need for economic analysis: Brazil questioned whether SPS regulations should also require economic analysis and whether this would delay or disrupt approval for imports. The US replied that the requirement applies to all new regulations so that the government can assess the economic impact, but that SPS measures are only based on science and risk assessment.


Specific trade concerns: unresolved


Among the issues that have been raised before and remain unresolved.
India’s restrictions on animal products (STC185): This is an on-going concern related to avian influenza raised by the EU, supported by Australia and the US. The EU said although some restrictions have been relaxed, others remain, even though they are not based on science or the standards of the World Organization for Animal Health (OIE). For example India should not restrict imports of heat treated products, where any virus would have been destroyed, and pigmeat, the EU said. India said the measures are necessary because of the huge risks to livestock and humans on small farms. (The EU had a similar concern over Egypt’s restrictions on heat-treated products)


Private sector standards


Following OIE Director-General Bernard Vallat’s comments on private sector standards, members agreed to consider setting up a small group to work on this issue — they will discuss this in June.


Uruguay and Egypt led a group of developing countries highly critical of private sector standards on the grounds that the standards are arbitrary and can be difficult for developing countries to meet. They said the SPS Agreement obliges governments to ensure non-governmental bodies also respect the agreement. Others said that like it or not, the private sector will continue to set these standards for a variety of issues, ranging from sustainability and organic production to animal welfare. The World Bank, an observer, said research shows that meeting private standards does not always penalize developing countries and in some cases helps them to export.


However members generally agreed with Dr Vallat that the SPS Committee’s focus should be on health and safety issues.


Private sector entities setting up their own standards include supermarket chains and “GLOBALGAP”, previously the Euro-Retailer Produce Working Group’s EurepGap — GAP is “good agricultural practices”.


When first raised in 2005, this issue took the SPS Committee into comparatively new territory — the committee generally deals with standards set by international standards-setting bodies and those imposed by governments. Private sector standards were first raised in June 2005 by St Vincent and the Grenadines, because of private standards for bananas. St Vincent and the Grenadines complained that private standards are often more rigid than international standards, causing small farmers to suffer.


Since then the issue has been raised regularly in the SPS Committee, and a workshop on private and commercial standards was organized by the WTO and UNCTAD on Monday 25 June 2007.


Sources

2008 WTO NEWS ITEMS on 2 and 3 April 2008