Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Sunday, 20 April 2025

Kearifan di Balik Tradisi Halal Bihalal

 



 Makna dan Kearifan di Balik Tradisi Halal Bihalal

 

Halal bihalal adalah sebuah tradisi yang unik di Indonesia, yang bahkan tidak dikenal oleh bangsa Arab, meskipun istilahnya menggunakan bahasa Arab. Tradisi ini bukan sekadar seremonial, melainkan sarat makna dan bernilai tinggi dalam konteks keagamaan maupun kebudayaan. Inti dari halal bihalal adalah silaturahmi, atau mempererat tali persaudaraan. Lalu, apakah silaturahmi ini memiliki dasar dalam ajaran Islam? Tentu saja. Nabi Muhammad bersabda, “Siapa yang ingin dipanjangkan umurnya dan dilapangkan rezekinya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahmi.”

 

Dengan demikian, meskipun istilah "halal bihalal" tidak dikenal pada masa Nabi, praktiknya sejalan dengan ajaran Islam dan memiliki payung hukum dalam bentuk silaturahmi. Selain sebagai bagian dari ajaran agama, halal bihalal juga merupakan bentuk kearifan lokal. Dalam studi-studi yang dilakukan oleh Kementerian Agama, ditemukan bahwa kearifan lokal ini merupakan salah satu dari empat pilar moderasi beragama. Perlu ditegaskan, ini bukan "moderasi agama" melainkan "moderasi dalam beragama". Agama tidak perlu dimoderasi, tetapi cara kita mempraktikkannya yang perlu dimoderasi agar tidak ekstrem.

 

Terdapat dialog para ulama dan habaib di Maluku. Salah satu dari mereka berkata, “Masa agama dimodernkan?” Maka perlu dijelaskan bahwa bukan agamanya yang dimoderasi, melainkan cara kita dalam beragama. Islam bukan hanya soal penyelamatan diri (seperti istilah salim atau salamah), melainkan juga menyelamatkan lingkungan sekitar. Inilah esensi seorang muslim, yakni orang yang selamat dan membawa keselamatan bagi sekitarnya.

 

Empat konsensus dalam moderasi beragama mencakup: (1) komitmen kebangsaan—yaitu setia pada Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika; (2) toleransi; (3) anti-kekerasan; dan (4) penerimaan terhadap kearifan lokal selama tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Maka, halal bihalal ini menjadi praktik yang memadukan ajaran agama dan kearifan lokal secara harmonis.

 

Halal bihalal juga memberi ruang bagi setiap orang untuk berkontribusi. Wali kota yang hadir mungkin membawa program untuk kemaslahatan publik. Ulama bisa menyampaikan nasihat yang menyejukkan hati. Orang kaya bisa tergerak berbagi. Maka dari itu, halal bihalal menjadi ajang pembentukan komunitas yang saling melengkapi dan mengandung maslahat, tergantung pada siapa yang hadir dan bagaimana mereka berkontribusi.

 

Meskipun istilah “halal bihalal” tidak muncul di masa Nabi, bukan berarti ia tidak memiliki makna religius. Ia merupakan bentuk lain dari ajaran kebaikan yang dibingkai dalam budaya. Bahkan dalam kajian bahasa Arab, istilah ini memiliki makna yang menarik. Halal bihalal terdiri dari dua kata yang diulang tanpa menggunakan alif lam. Dalam kaidah bahasa Arab, jika kata yang diulang tidak memakai alif lam, maka artinya berbeda antara yang pertama dan yang kedua. Halal yang pertama bisa berarti permintaan untuk dihalalkan, sedangkan halal yang kedua berarti pemberian maaf. Artinya, "saya minta dimaafkan, dan saya memaafkan".

 

Dalam konteks sosial, halal bihalal bukan berbicara tentang hukum halal-haram secara fikih (hukum taklifi), tetapi tentang relasi sosial dan moral. Kita saling memaafkan bukan hanya karena kesalahan yang kita lakukan, tetapi juga karena kesalahan orang lain yang mungkin menyakiti kita. Itulah makna sosial dari halal bihalal.

 

Lebih jauh, kata “halal” sendiri dalam Al-Qur’an dikaitkan dengan usaha yang terus-menerus. Dalam surat Al-Baqarah, misalnya, Allah berfirman, “Wahai manusia (ya ayyuhannas)...” Ketika Allah menggunakan kata annas, yang dimaksud adalah manusia sebagai makhluk sosial, berbeda dengan kata insan, basyar, atau Bani Adam yang memiliki makna berbeda. Maka, halal—dalam konteks muamalah dan interaksi sosial—menjadi penting karena kita hidup dalam jejaring sosial yang saling terhubung dan saling membutuhkan.

 

Ketika kita membahas silaturahmi dalam sejarah Islam, kita tidak bisa melewatkan peristiwa monumental antara kaum Muhajirin dan Anshar. Ketika Rasulullah membentuk masyarakat Madinah, beliau menyatukan dua kelompok yang berbeda latar belakang: kaum pendatang (Muhajirin) dan tuan rumah (Anshar). Apa yang menyatukan mereka? Cinta. Mahabbah. Maka, masyarakat Madinah yang dibentuk Rasulullah adalah masyarakat cinta.

 

Kementerian Agama kini tengah menggagas kurikulum cinta. Tujuannya, agar meskipun umat beragama memiliki perbedaan dalam paham teologis, mereka tetap satu dalam kemanusiaan. Kita mungkin berbeda dalam keyakinan, tetapi kita sama dalam cinta kasih terhadap sesama manusia.

 

Sahabat-sahabat dari Mekah datang ke Madinah dalam kondisi kosong. Mereka meninggalkan keluarga, harta, dan tanah kelahiran. Namun, dengan cinta dan keyakinan kepada Rasulullah, mereka pindah ke kota yang belum mereka kenal. Bahkan sebelum peristiwa hijrah, Rasulullah sudah menyampaikan tentang peristiwa Isra Mi’raj—perjalanan dari Mekah ke Palestina, lalu naik ke langit ketujuh—yang secara logika sukar diterima. Banyak yang tak percaya, kecuali satu orang: Abu Bakar Ash-Shiddiq. Ia berkata, “Kalau Muhammad yang mengatakan, maka aku percaya.” Karena keyakinannya itu, ia digelari ash-Shiddiq, yang jujur dan membenarkan Rasulullah dalam hal yang sangat sulit diterima akal.

 

Inilah fondasi komunitas Madinah: cinta, keyakinan, dan kebersamaan. Maka, jika kita ingin membentuk masyarakat yang kuat, harmonis, dan saling mendukung, kita pun perlu membangun dengan fondasi yang sama—yakni silaturahmi yang dibingkai dengan cinta. Perbedaan pasti ada, kekurangan pasti ada, tetapi yang harus kita cari adalah kelebihan saudara kita.

 

Masjid tempat kita berkumpul pun berdiri karena ada cinta. Para jamaah percaya pada pengurus masjid, dan pengurus melaksanakan amanah dengan baik. Semua itu hanya bisa terbentuk jika ada cinta di antara kita.

 

SUMBER REFERENSI:

Ust. Dr. H. Indrianto Faishal, MA. Kajian Ahad Subuh Masjid Al Hakim. 20 April 2025.

No comments: