Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Wednesday, 5 November 2025

Terungkap! Reaktor Biofilm Zymomonas mobilis Ubah Jerami Padi Jadi Etanol Super Efisien—Teknologi Masa Depan Energi Hijau!

 



Reaktor Biofilm Zymomonas mobilis untuk Produksi Etanol Menggunakan Hidrolisat Jerami Padi pada Proses Kontinu dan Batch Berulang

 

Pendahuluan


Bahan lignoselulosa merupakan sumber daya terbarukan yang melimpah, tersusun atas selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Selulosa dan hemiselulosa berperan sebagai sumber utama karbohidrat yang dapat dimanfaatkan dalam berbagai bioproses untuk menghasilkan produk bernilai tambah, seperti bioetanol, tanpa bersaing dengan kebutuhan pangan. Limbah pertanian, khususnya jerami padi, berpotensi besar digunakan sebagai bahan baku karena ketersediaannya yang melimpah. Namun, struktur lignoselulosa sulit diuraikan secara enzimatis sehingga memerlukan tahap praperlakuan fisik, kimia, dan enzimatis. Proses ini dapat menghasilkan senyawa toksik seperti asam organik, fenol, dan furan aldehid yang menghambat aktivitas enzim dan mikroba, sehingga menurunkan efisiensi produksi bioetanol.


Mikroba Zymomonas mobilis dikenal sebagai penghasil etanol dengan hasil tinggi, toleransi baik terhadap etanol, osmotoleran, dan dapat berfermentasi dalam rentang pH luas. Meskipun hanya mampu memfermentasi glukosa, fruktosa, dan sukrosa melalui jalur Entner–Doudoroff, Z. mobilis mampu menghasilkan etanol hingga 97% dari hasil teoritis. Menariknya, Z. mobilis dalam bentuk biofilm menunjukkan ketahanan lebih baik terhadap senyawa penghambat dibandingkan sel suspensi.


Biofilm merupakan lapisan mikroba yang melekat pada permukaan dan dilapisi oleh matriks polimer ekstraseluler. Sistem ini memiliki keunggulan seperti kepadatan sel tinggi, stabilitas, ketahanan terhadap toksin, serta efisiensi fermentasi yang lebih tinggi. Selain itu, biofilm dapat digunakan secara berulang dalam proses fermentasi berkelanjutan, sehingga menurunkan biaya produksi dan risiko kontaminasi.


Reaktor biofilm telah terbukti meningkatkan produksi etanol dari berbagai bahan kaya glukosa dibandingkan kultur suspensi. Penggunaan bahan pendukung (carrier) menjadi faktor penting dalam pembentukan biofilm. Bahan tersebut harus mendukung perlekatan sel, memiliki luas permukaan besar, porositas baik, tahan terhadap degradasi, dan mudah diperoleh.


Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa Z. mobilis yang diimobilisasi dengan bahan seperti kalsium-alginat dan PVA mampu menghasilkan etanol dari bahan lignoselulosa dengan efisiensi hingga 70%, namun terhambat oleh resistensi difusi. Teknologi reaktor biofilm menjadi solusi atas keterbatasan ini karena dapat meningkatkan produktivitas dan memungkinkan proses berkelanjutan.


Berdasarkan penelitian terdahulu, Z. mobilis biofilm mampu menghasilkan etanol dari hidrolisat lignoselulosa dengan efisiensi hingga 60% dari hasil teoritis. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi penggunaan bahan pendukung berupa komposit plastik dari rambut jagung (corn silk) serta mengkaji pemanfaatan hidrolisat jerami padi sebagai substrat fermentasi untuk produksi etanol oleh Z. mobilis strain ZM4 dan TISTR551 dalam sistem biofilm, baik pada proses kontinu maupun batch berulang. Efisiensi produksi diukur berdasarkan hasil etanol (YP/S).

 

Bahan dan Metode


1. Mikroorganisme dan Media Kultur

Dua strain Zymomonas mobilis digunakan dalam penelitian ini, yaitu ZM4 dan TISTR551. Kedua strain diperoleh dari koleksi kultur terstandar dan dipelihara pada media glukosa–ragi–ekstrak malt (GYE). Untuk fermentasi, digunakan media mineral yang mengandung sumber karbon dari hidrolisat jerami padi, serta nutrien tambahan seperti ekstrak ragi dan garam mineral untuk mendukung pertumbuhan mikroba.


2. Persiapan Substrat: Hidrolisat Jerami Padi

Jerami padi dikeringkan, dipotong kecil, dan diperlakukan secara kimia menggunakan larutan alkali encer untuk melunakkan struktur lignoselulosa. Selanjutnya, dilakukan proses hidrolisis enzimatis dengan campuran enzim selulase dan hemiselulase guna mengubah polisakarida menjadi gula sederhana. Hasil hidrolisis disaring dan digunakan sebagai substrat utama fermentasi bioetanol. Kandungan gula terlarut dianalisis sebelum digunakan.


3. Persiapan Bahan Pendukung (Carrier) Biofilm

Untuk mendukung pertumbuhan biofilm, digunakan komposit plastik dari rambut jagung (corn silk) yang berfungsi sebagai media biotik–abiotik tempat menempel dan tumbuhnya Z. mobilis. Bahan ini dibersihkan, disterilisasi, kemudian ditempatkan di dalam reaktor biofilm sebelum proses inokulasi.


4. Pembentukan Biofilm dan Pengamatan Mikroskopik

Kultur Z. mobilis diinokulasikan ke dalam reaktor yang berisi bahan pendukung, kemudian diinkubasi selama beberapa hari. Pembentukan biofilm dipantau setiap hari, dan diamati menggunakan mikroskop elektron pemindai (SEM) untuk melihat morfologi permukaan serta uji kristal violet untuk mengukur kepadatan biofilm.


5. Fermentasi Bioetanol

Fermentasi dilakukan dalam dua sistem:

  1. Proses batch berulang (repeated batch) – substrat baru ditambahkan setelah setiap siklus fermentasi selesai, tanpa mengganti biofilm yang telah terbentuk.
  2. Proses kontinu multistage – substrat dialirkan secara terus-menerus ke dalam reaktor bertingkat untuk mempertahankan produksi etanol stabil.

Setiap proses dijalankan pada suhu dan pH optimum bagi Z. mobilis, serta diaerasi minimal untuk menjaga kondisi anaerob fakultatif.


6. Analisis Kimia dan Evaluasi Produksi Etanol

Sampel cair diambil secara berkala untuk menentukan kadar gula dan etanol.

  • Kadar gula pereduksi diukur dengan metode asam 3,5-dinitrosalisilat (DNS).
  • Kadar etanol diukur menggunakan kromatografi gas atau metode kimia berbasis kalium dikromat.

Efisiensi fermentasi dinilai dari yield etanol (YP/S), yaitu rasio antara jumlah etanol yang dihasilkan terhadap jumlah substrat yang dikonsumsi. Data hasil uji dianalisis secara statistik untuk menentukan perbedaan signifikan antar perlakuan (p < 0,05).


7. Desain Eksperimen dan Replikasi

Setiap perlakuan dilakukan secara triplo (tiga kali ulangan) untuk menjamin validitas hasil. Perbandingan antara strain ZM4 dan TISTR551 dilakukan dalam kondisi yang sama, baik pada sistem batch berulang maupun proses kontinu.

 

Hasil dan Pembahasan


1. Pembentukan dan Karakteristik Biofilm

Kedua strain Zymomonas mobilis (ZM4 dan TISTR551) berhasil membentuk biofilm yang stabil pada media pendukung berbahan komposit rambut jagung. Pengamatan dengan mikroskop elektron pemindai (SEM) menunjukkan bahwa sel-sel bakteri menempel rapat di permukaan bahan dan dikelilingi oleh matriks polimer ekstraseluler yang tebal. Hasil uji kristal violet memperlihatkan bahwa pembentukan biofilm mencapai tingkat maksimum pada hari kelima setelah inokulasi, baik pada strain ZM4 maupun TISTR551.


Biofilm yang terbentuk berfungsi sebagai sistem imobilisasi alami yang menjaga kepadatan sel tinggi, memperbaiki transfer massa, serta meningkatkan ketahanan terhadap senyawa penghambat dalam hidrolisat jerami padi. Hal ini sesuai dengan temuan penelitian terdahulu bahwa struktur biofilm mampu melindungi sel Z. mobilis dari stres lingkungan dan memperpanjang aktivitas fermentatifnya.


2. Produksi Etanol pada Sistem Batch Berulang

Dalam sistem batch berulang, strain Z. mobilis ZM4 menunjukkan performa terbaik. Produksi etanol mencapai hasil tertinggi pada siklus kedua dan tetap stabil hingga siklus ketiga, dengan tidak terdapat perbedaan signifikan (p < 0,05) antar siklus. Konsentrasi etanol yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan dengan strain TISTR551 pada kondisi yang sama.


Kemampuan mempertahankan hasil yang konstan menunjukkan bahwa biofilm Z. mobilis bersifat tahan lama dan dapat digunakan kembali, sehingga menguntungkan untuk aplikasi industri. Sistem batch berulang juga terbukti efisien karena tidak memerlukan penanaman ulang sel pada setiap siklus fermentasi.


3. Produksi Etanol pada Sistem Kontinu Multistage

Pada sistem fermentasi kontinu bertingkat (multistage continuous process), strain TISTR551 justru menghasilkan etanol lebih tinggi dibandingkan ZM4. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kemampuan adaptasi yang lebih baik terhadap aliran substrat yang terus-menerus dan fluktuasi nutrien.


Hasil yang stabil dari kedua sistem menunjukkan bahwa biofilm Z. mobilis dapat bekerja efektif baik pada proses batch maupun kontinu, dengan karakteristik masing-masing strain memengaruhi efisiensi konversi gula menjadi etanol.


4. Efisiensi Fermentasi dan Stabilitas Sistem

Produksi etanol dari hidrolisat jerami padi menunjukkan yield (YP/S) yang tinggi dan konsisten selama tiga siklus fermentasi berulang. Stabilitas produksi ini menandakan bahwa sistem biofilm mampu menjaga aktivitas metabolik mikroba tanpa kehilangan kemampuan fermentatif. Tidak ditemukan penurunan signifikan pada konsentrasi etanol antar siklus, membuktikan bahwa reaktor biofilm efektif untuk operasi jangka panjang.


5. Implikasi dan Potensi Aplikasi

Penelitian ini membuktikan bahwa limbah pertanian seperti jerami padi dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku berpotensi tinggi untuk produksi bioetanol berkelanjutan. Sistem reaktor biofilm berbasis Z. mobilis menawarkan keuntungan berupa:

  • Efisiensi fermentasi tinggi,
  • Toleransi baik terhadap senyawa penghambat,
  • Dapat dioperasikan secara berulang atau kontinu, dan
  • Mengurangi kebutuhan enzim atau bahan kimia tambahan.


Selain itu, penggunaan komposit rambut jagung sebagai bahan pendukung biofilm merupakan pendekatan inovatif yang ramah lingkungan dan berbiaya rendah, sekaligus menambah nilai guna limbah pertanian lainnya.


Kesimpulan  dan Saran

Secara keseluruhan, penelitian ini menunjukkan bahwa Zymomonas mobilis dalam bentuk biofilm mampu menghasilkan etanol secara efisien dari hidrolisat jerami padi. Strain ZM4 lebih unggul pada sistem batch berulang, sedangkan TISTR551 lebih optimal pada sistem kontinu multistage. Stabilitas produksi etanol selama beberapa siklus fermentasi menegaskan potensi penggunaan reaktor biofilm berbasis bakteri sebagai alternatif yang menjanjikan untuk produksi bioetanol dari limbah lignoselulosa di masa depan.


Penelitian ini menunjukkan bahwa pemanfaatan limbah lignoselulosa, khususnya jerami padi, sebagai substrat fermentasi menggunakan bakteri Zymomonas mobilis dalam bentuk biofilm dapat menghasilkan bioetanol secara efisien dan berkelanjutan. Strain Z. mobilis ZM4 memberikan hasil terbaik pada sistem batch berulang, sedangkan strain TISTR551 menunjukkan performa unggul pada sistem fermentasi kontinu bertingkat. Stabilitas produksi etanol yang tinggi selama beberapa siklus fermentasi menegaskan potensi penerapan sistem biofilm untuk produksi bioetanol skala industri dengan biaya operasional rendah. Disarankan agar penelitian selanjutnya mengoptimalkan kondisi hidrolisis dan fermentasi secara terpadu (simultaneous saccharification and fermentation/SSF), serta mengevaluasi kinerja biofilm pada skala pilot untuk mendukung pengembangan teknologi bioetanol berbasis limbah pertanian yang ramah lingkungan dan berorientasi ekonomi sirkular.

 

SUMBER:

Tatsaporn Todhanakasem et. al., 2019. Zymomonas mobilis Biofilm Reactor for Ethanol Production Using Rice Straw Hydrolysate Under Continuous and Repeated Batch Processes. Front. Microbiol., 07 August 2019. Sec. Microbiotechnology. Volume 10 – 2019.


#bioetanol 

#zymomonasmobilis 

#biofilm 

#jeramipadi 

#energiHijau


Tuesday, 4 November 2025

Terungkap! Chlamydia, Mikroba ‘Hacker’ yang Mengubah Sel Jadi Markas Rahasia

 


Bayangkan sebuah bakteri yang tampak kecil dan lemah di bawah mikroskop, namun memiliki strategi lebih cerdik daripada hacker dunia maya. Chlamydia spp. bukan sekadar bakteri; ia adalah maestro yang membajak sel inang, mengubah ruang internal sel menjadi “kantor pusat” yang dirancang untuk kepentingannya sendiri. Dari infeksi genital yang diam-diam menyerang hingga kebutaan, patogen ini menunjukkan betapa liciknya mikroorganisme bisa memanipulasi kehidupan seluler.

 

Siklus Hidup: Dua Wajah Chlamydia

Chlamydia punya dua identitas: badan elemental (EB), prajurit kecil yang tangguh di luar sel, dan badan retikulat (RB), pekerja keras yang bereplikasi di dalam sel. EB menempel pada sel inang seperti parasit ulung, menembus pertahanan sel melalui adhesin dan HSPG, lalu masuk ke dalam inklusi — semacam “istana mini” di dalam sel. Di sana, EB berubah menjadi RB, mulai membangun “kantor pusat” dengan mengatur protein membran inklusi (Incs) untuk mengambil nutrisi dan menghindari deteksi. Setelah berkembang biak, RB kembali menjadi EB, siap menyerang sel berikutnya.

 

Efektor: Senjata Rahasia dalam Inklusi

Sekitar 10% genom Chlamydia mengkode protein efektor, yang bekerja seperti mata-mata dan tukang sabotase di dalam sel. TarP dan TepP mengendalikan polimerisasi aktin, membentuk jalur masuk EB. Incs berinteraksi dengan membran inklusi dan organel inang untuk mencuri lipid dan menahan apoptosis. Bahkan, Chlamydia mampu merekayasa fragmentasi Golgi agar distribusi lipid lebih efisien, seolah merombak infrastruktur kota agar pasokan sumber daya bisa selalu mengalir ke kantornya sendiri.

 

Kontak dengan Mitokondria dan Organel Lain

Chlamydia menjalin komunikasi dengan mitokondria, retikulum endoplasma, dan organel lain. Hubungan ini bagaikan jaringan listrik dan telekomunikasi yang memastikan energi selalu tersedia. Gangguan kompleks TIM–TOM pada mitokondria menghambat infeksi, menunjukkan betapa pentingnya energi seluler untuk kelangsungan hidup bakteri.

 

Stabilisasi dan Keluar dari Sel

Meskipun inklusi rapuh, jaringan F-actin dan filamen intermediat membentuk “tembok pertahanan” yang menjaga integritasnya. Ketika waktunya pergi, Chlamydia punya dua jalan: lisis, yang menghancurkan sel seperti ledakan terkendali, atau ekstrusi, yang memungkinkan sel tetap hidup sambil melepaskan EB. Ekstrusi mirip “evakuasi halus” yang meminimalkan perhatian sistem imun dan memungkinkan infeksi berlanjut.

 

Manipulasi Sel Inang: Kelangsungan Hidup dan Kekuasaan

Chlamydia mengaktifkan jalur kelangsungan hidup sel, menekan apoptosis, dan memperlambat siklus sel. Sel yang terinfeksi kadang menjadi multinukleat, meningkatkan kemampuan bakteri untuk menyerap lipid dari Golgi. Di sisi imun, Chlamydia menekan deteksi TLR, NOD1, dan inflammasom, serta memanipulasi NF-κB, membuat sel seolah “buta” terhadap kehadirannya.

 

Perubahan Transkriptom dan Proteom: Orkestrasi Molekuler

Chlamydia juga merombak ekspresi gen dan stabilitas protein inang. Dengan efekor seperti NUE/CT737, ChlaDub1, dan CPAF, ia memodifikasi histon, ubiquitylasi, dan proteolisis untuk mengubah lingkungan sel. Inklusi pun menjadi laboratorium mini yang mendukung replikasi, pertahanan terhadap imun, dan persistensi bakteri.

 

Kesimpulan: Sang Maestro Mikroba

Chlamydia membuktikan bahwa ukuran bukanlah segalanya. Dengan strategi kompleks dan orkestrasi molekuler yang rapi, ia mengontrol apoptosis, siklus sel, metabolisme, dan respons imun sel inang. Penelitian terbaru dalam genetika, proteomik, dan model hewan membuka jalan bagi pemahaman yang lebih dalam tentang interaksi inang–patogen. Lebih dari sekadar penyakit, Chlamydia adalah pengingat bahwa dunia mikroskopis penuh dengan intrik, strategi, dan kecerdikan yang menunggu untuk diungkap.


#Chlamydia 

#Mikrobiologi 

#InfeksiSeluler 

#PatogenCerdas 

#BiologiMolekuler

Chlamydia: Sang Manipulator Sel yang Mengelabui Tubuh Inang


 

Bayangkan sebuah bakteri yang tampak sederhana, namun mampu membajak sel inang seolah-olah itu rumah mewah yang dirancang khusus untuknya. Chlamydia spp., bakteri Gram-negatif intraseluler obligat, adalah ahli manipulasi seluler. Ia dapat mengubah struktur internal sel, mengatur metabolisme, dan bahkan menekan mekanisme pertahanan inang untuk mendukung kelangsungan hidupnya. Dampaknya? Infeksi genital, pernapasan kronis, hingga kebutaan pada manusia, serta penyakit pada hewan.

 

Biologi Sel dan Patogenesis Chlamydia

Chlamydia berkembang biak dalam inklusi, kompartemen membran khusus di dalam sel inang. Ia mengandalkan protein efektor yang disekresikan melalui sistem sekresi tipe III (T3SS) untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan seluler. Infeksi C. trachomatis sering tanpa gejala, namun dapat memicu komplikasi serius. Sementara C. pneumoniae berhubungan dengan kondisi inflamasi kronis pada saluran pernapasan. Patogen ini bukan sekadar bakteri; ia adalah maestro yang mengatur orkestrasi kompleks di dalam sel.

 

Siklus Perkembangan: Strategi Dua Fase

Chlamydia memiliki siklus hidup unik dengan dua bentuk: badan elemental (EB), yang infeksius, dan badan retikulat (RB), yang bereplikasi di dalam sel. EB menempel pada sel inang melalui adhesin dan heparan sulfat proteoglikan (HSPG), kemudian diinternalisasi ke dalam inklusi. Di sini, EB berdiferensiasi menjadi RB, mengekspresikan protein membran inklusi (Incs) untuk mendapatkan nutrisi dan menghindari degradasi. RB bereplikasi sebelum kembali menjadi EB untuk menyebar ke sel lain.

 

Efektor, Inklusi, dan Akuisisi Nutrisi

Sekitar 10% genom Chlamydia mengkode protein efektor yang memainkan peran sentral dalam manipulasi inang. Incs menarget membran inklusi, mengatur fusi vesikel, dan menahan apoptosis. Efektor T3SS seperti TarP dan TepP mengatur polimerisasi aktin dan internalisasi EB. Inklusi juga memanfaatkan RAB GTPase, protein SNARE, dan sorting nexin untuk mengendalikan fusi vesikel dan perolehan lipid dari Golgi, badan multivesikuler, hingga droplet lipid, sementara fragmentasi Golgi mendukung distribusi lipid ke seluruh inklusi.

 

Interaksi dengan Mitokondria dan Organel Lain

Chlamydia menjalin kontak dengan mitokondria, retikulum endoplasma, dan organel lain untuk mendukung metabolisme energi dan transport lipid. Gangguan kompleks TIM–TOM yang mengimpor protein mitokondria menghambat infeksi, menunjukkan pentingnya energi dan kontrol apoptosis untuk keberhasilan bakteri. Membran inklusi juga memanfaatkan efektor bakteri dan protein inang (CERT, VAPs, STIM1, IncD) untuk membentuk platform sinyal dan mendeteksi patogen melalui STING.

 

Stabilisasi Inklusi dan Keluar dari Sel Inang

Meskipun membran inklusi rapuh, jaringan F-actin dan filamen intermediat mengelilinginya, memastikan integritas struktural. Chlamydia keluar melalui lisis sel atau ekstrusi inklusi. Ekstrusi menjaga sel inang tetap hidup dan meminimalkan inflamasi, sementara lisis memungkinkan pelepasan masif EB. Protein seperti CPAF, InaC, dan IPAM berperan penting dalam proses ini.

 

Modulasi Kelangsungan Hidup, Siklus Sel, dan Imunitas

Chlamydia mengaktifkan jalur kelangsungan hidup sel inang (MEK–ERK, PI3K) dan menekan apoptosis melalui peningkatan protein anti-apoptotik (BAG1, MCL1, cIAP2) dan penekanan protein pro-apoptotik (BAD, PKCγ, p53). Patogen ini juga mengganggu siklus sel, memperlambat proliferasi, memicu mitosis dini, dan menghasilkan sel multinukleat, memperkuat akuisisi lipid. Di sisi imun, Chlamydia menekan pengenalan patogen oleh TLR, NOD1, dan inflammasom, serta mengatur jalur NF-κB untuk menghindari respons pertahanan.

 

Perubahan Transkriptom dan Proteom Sel Inang

Chlamydia memodifikasi ekspresi gen dan stabilitas protein inang, melalui efek histon, ubiquitylasi, dan proteolisis. Efektor seperti NUE/CT737, ChlaDub1, dan CPAF mengubah lingkungan seluler untuk mendukung replikasi dan persistensi bakteri. Strategi ini memungkinkan Chlamydia mempertahankan inklusi, menghindari pertahanan imun, dan menyesuaikan metabolisme sel inang sesuai kebutuhan.

 

Kesimpulan

Chlamydia adalah contoh sempurna dari patogen yang memanipulasi sel inang dengan canggih. Ia mengontrol siklus sel, apoptosis, metabolisme, dan respons imun melalui jaringan efek protein yang terkoordinasi. Kemajuan dalam genetika, proteomik, dan model hewan membuka pintu bagi pemahaman mendalam mekanisme interaksi inang–patogen. Pengetahuan ini penting untuk merancang terapi yang lebih efektif dan pengembangan vaksin, sekaligus meningkatkan kesadaran akan kompleksitas mikroorganisme yang tampak sederhana namun cerdas secara molekuler.



Monday, 3 November 2025

Cara Pembuatan Obat Hewan yang Baik (CPOHB) Agar Aman, Efektif, dan Berkualitas (Bagian II)

 



II. BAHAN AWAL

2.1. Pencatatan

Semua pemasukan, pengeluaran, dan sisa bahan harus dicatat secara lengkap, meliputi keterangan tentang persediaan, nomor batch atau lot, tanggal penerimaan, pengeluaran, pemeriksaan, dan tanggal kadaluwarsa.

2.2. Persyaratan Bahan

Setiap bahan awal harus memenuhi spesifikasi bahan awal yang telah ditetapkan sebelum dinyatakan memenuhi syarat untuk digunakan, serta diberi label dengan nama resmi yang tercantum dalam spesifikasi.

2.3. Penomoran Batch

Setiap kiriman atau batch bahan awal harus diberi nomor rujukan yang menunjukkan identitas bahan tersebut selama penyimpanan atau pengolahan. Nomor ini wajib tercantum pada etiket wadah agar catatan dan laporan analisis dapat ditelusuri.

2.4. Pemeriksaan Penerimaan

Pada saat penerimaan bahan awal, harus dilakukan pemeriksaan visual terhadap kondisi umum kemasan, kebocoran, dan kerusakan. Pengambilan sampel dilakukan oleh petugas dengan metode yang disetujui oleh Manajer Pengawasan Mutu. Sampel diuji berdasarkan spesifikasi yang diakui, disertai sertifikat analisis dari pemasok.

2.5. Pengamanan Penandaan

Langkah-langkah harus diambil untuk menjamin semua kemasan berisi bahan yang benar dan mencegah kesalahan penandaan dari pemasok.

2.6. Karantina Pabrik

Semua bahan awal harus ditahan di karantina pabrik sampai dinyatakan memenuhi syarat untuk digunakan oleh Manajer Pengawasan Mutu.

2.7. Etiket Status

Etiket yang menunjukkan status bahan hanya boleh dipasang oleh petugas yang berwenang. Bila status bahan berubah (misalnya dari “ditahan” menjadi “diluluskan”), etiket juga harus diperbarui.

2.8. Pemeriksaan Berkala

Persediaan bahan awal harus diperiksa secara berkala untuk memastikan wadah tertutup rapat, berlabel benar, dan dalam kondisi baik. Pengujian ulang harus dilakukan sesuai interval yang ditetapkan dalam spesifikasi bahan.

2.9. Pengaturan Suhu

Bahan yang rentan terhadap suhu harus disimpan dalam ruang bersuhu terkendali.

2.10. Batas Umur Bahan

Bahan yang mudah rusak atau menurun potensi seperti antibiotika, antelmintik, vitamin, enzim, hormon, dan bahan biologik harus ditetapkan batas umur simpannya.

2.11. Pengeluaran Bahan

Pengeluaran bahan awal dilakukan oleh petugas yang berwenang sesuai tata cara yang disetujui. Catatan persediaan harus dijaga agar penelusuran dapat dilakukan setiap saat.

2.12. Ruang Penyerahan

Ruang penyerahan bahan harus terpisah dan dilengkapi dengan baik untuk mencegah pencemaran silang. Diperlukan tempat khusus bagi bahan berisiko tinggi seperti hormon, sitotoksin, dan antibiotika tertentu.

Cara Pembuatan Obat Hewan yang Baik (CPOHB) Agar Aman, Efektif, dan Berkualitas (Bagian I)



 Cara Pembuatan Obat Hewan yang Baik (CPOHB)


I. KETENTUAN UMUM

Cara Pembuatan Obat Hewan yang Baik (CPOHB) mencakup seluruh aspek produksi dan pengendalian mutu yang bertujuan menjamin agar produk obat hewan selalu memenuhi persyaratan mutu sesuai dengan tujuan penggunaannya.

1.1. Landasan Umum

  1. Dalam pembuatan obat hewan, pengawasan menyeluruh sangat penting untuk menjamin bahwa konsumen hanya menggunakan obat hewan yang bermutu tinggi.
  2. Pembuatan obat hewan secara sembarangan tidak dapat dibenarkan karena berisiko terhadap keselamatan dan kesehatan hewan.
  3. Mutu obat hewan tidak cukup hanya dinilai dari hasil pengujian akhir, tetapi harus dibangun melalui seluruh proses, mulai dari bahan awal, proses pembuatan, pengawasan mutu, fasilitas, hingga tenaga kerja.
  4. Untuk menjamin mutu obat hewan, pengawasan tidak boleh hanya mengandalkan satu jenis pengujian saja. Seluruh proses harus dilaksanakan dalam kondisi yang terkendali dan dipantau secara cermat.
  5. Pedoman ini bertujuan memastikan bahwa setiap obat hewan yang dihasilkan memiliki sifat dan mutu sesuai standar, serta memungkinkan penyesuaian sepanjang standar mutu tetap tercapai.

1.2. Definisi

Dalam pedoman ini, yang dimaksud dengan:

  1. Bahan Awal: Semua bahan baku dan bahan pengemas yang digunakan dalam produksi obat hewan.
  2. Bahan Baku: Semua bahan, baik berkhasiat maupun tidak, yang digunakan dalam pengolahan obat hewan.
  3. Bahan Pengemas: Semua bahan yang digunakan dalam proses pengemasan produk ruahan menjadi produk jadi.
  4. Batch: Sejumlah obat hewan yang dihasilkan dari suatu proses produksi dalam waktu yang sama.
  5. Brosur: Lembaran yang berisi penandaan lengkap obat hewan yang disertakan pada wadah atau diedarkan tersendiri.
  6. Sampel Representatif: Sampel yang menggambarkan secara tepat suatu lot atau batch bahan atau produk.
  7. Diluluskan/Memenuhi Syarat: Status bahan atau produk yang diizinkan digunakan dalam pengolahan, pengemasan, atau distribusi.
  8. Ditolak/Tidak Memenuhi Syarat: Status bahan atau produk yang tidak diizinkan digunakan.
  9. Dokumentasi: Semua prosedur, instruksi, dan catatan tertulis yang berkaitan dengan pembuatan obat hewan.
  10. Etiket: Tulisan langsung pada wadah atau bungkus yang berisi penandaan obat hewan.
  11. Hasil Nyata Produksi: Jumlah aktual yang dihasilkan pada setiap tahap produksi.
  12. Hasil Standar Produksi: Jumlah yang telah dibakukan oleh produsen untuk tiap tahap produksi.
  13. Hasil Teoritis Produksi: Jumlah yang dihasilkan berdasarkan perhitungan ideal tanpa kehilangan bahan.
  14. Karantina Pabrik: Status bahan atau produk yang dipisahkan sambil menunggu hasil pemeriksaan kelayakan.
  15. Lot: Bagian tertentu dari suatu batch yang memiliki sifat dan mutu seragam.
  16. Nomor Batch: Penandaan dengan angka/huruf untuk mengidentifikasi batch obat hewan dan memungkinkan penelusuran proses produksinya.
  17. Nomor Lot: Penandaan yang mengidentifikasi suatu lot produk dengan sifat dan mutu seragam.
  18. Obat Hewan: Sediaan yang digunakan khusus untuk hewan.
  19. Obat Hewan Jadi: Produk obat hewan yang telah melalui seluruh tahapan produksi.
  20. Pembuatan: Kegiatan pengolahan, pencampuran, dan perubahan bahan menjadi obat hewan.
  21. Pengawasan Dalam Proses: Pemeriksaan dan pengujian yang dilakukan selama proses pembuatan, termasuk lingkungan dan peralatan.
  22. Pengawasan Mutu: Upaya untuk menjamin agar produk memenuhi spesifikasi identitas, kemurnian, keamanan, dan potensi.
  23. Pengemasan: Tahap produksi yang mengubah produk ruahan menjadi obat hewan jadi.
  24. Pengolahan: Tahap produksi mulai dari penerimaan bahan baku sampai menghasilkan produk ruahan.
  25. Produksi: Seluruh kegiatan pembuatan, mulai dari penerimaan bahan awal sampai pengemasan akhir.
  26. Produk Antara: Campuran bahan yang masih memerlukan tahap pengolahan lebih lanjut.
  27. Produk Ruahan (Bulk): Produk yang telah diolah dan siap dikemas menjadi obat hewan jadi.
  28. Ruang Steril: Ruang dengan kondisi lingkungan yang terkendali dari cemaran mikroba dan debu.
  29. Sanitasi: Upaya untuk menjamin kondisi lingkungan dan fasilitas memenuhi syarat kesehatan.
  30. Spesifikasi Bahan: Ketentuan tentang sifat kimia, fisik, dan biologi bahan yang digunakan.
  31. Sterilisasi: Proses menginaktivasi atau mengurangi jasad renik hidup hingga batas yang dapat diterima.
  32. Tanggal Kadaluwarsa: Tanggal sebelum produk dinyatakan masih memenuhi spesifikasi mutu.
  33. Tanggal Pembuatan: Tanggal selesainya proses pembuatan suatu batch produk.
  34. Validasi: Tindakan pembuktian bahwa setiap proses, sistem, atau mekanisme produksi akan menghasilkan hasil yang diinginkan secara konsisten.