Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Monday, 2 December 2024

Chlamydiosis pada Burung (Psittacosis, Ornithosis, Demam Burung Nuri)

 

Chlamydiosis unggas adalah infeksi bakteri sistemik yang paling sering disebabkan oleh Chlamydia psittaci. Kalkun dan bebek lebih rentan dibandingkan ayam. Penyakit ini bervariasi dari subklinis hingga sangat virulen. Gejala klinisnya tidak spesifik, termasuk anoreksia, apati, penurunan produksi telur, diare, keluarnya cairan dari mata, dan penyakit pernapasan. Diagnosis dilakukan melalui uji serologi, kultur bakteri, atau uji PCR. Pengobatan menggunakan antimikroba seperti tetrasiklin. Chlamydiosis unggas bersifat zoonosis dan menyebabkan pneumonia atipikal pada manusia.

 

Poin Penting yang Dibahas:

  • Etiologi dan Patogenesis
  • Epidemiologi
  • Temuan Klinis dan Lesi
  • Diagnosis
  • Pengobatan dan Pencegahan
  • Risiko Zoonosis
  • Informasi Tambahan
  • Referensi

 

PENJELASAN UMUM

 

Chlamydiosis unggas dapat berupa infeksi subklinis tanpa gejala atau penyakit akut, subakut, atau kronis pada burung liar dan domestik yang ditandai oleh infeksi saluran pernapasan, pencernaan, atau sistemik. Penyakit ini menyebabkan kerugian ekonomi di banyak wilayah di dunia.

 

Chlamydiosis unggas bersifat zoonosis dan dapat menyebabkan pneumonia atipikal pada manusia. Pada spesies burung psittacine, penyakit ini disebut psittacosis atau demam burung nuri, sedangkan pada burung non-psittacine disebut ornithosis.

 

Etiologi dan Patogenesis Chlamydiosis Unggas

 

Chlamydia psittaci, patogen utama penyebab chlamydiosis unggas, adalah bakteri intraseluler obligat. Delapan serotipe unggas telah diidentifikasi berdasarkan pengikatan antibodi monoklonal pada epitop protein membran luar utama (MOMP). Enam serotipe (A–F) menginfeksi spesies unggas dan berbeda dari serotipe Chlamydia pada mamalia.

 

Strain C. psittaci telah diklasifikasikan menjadi 9 genotipe berdasarkan perbedaan genetik pada gen omp1. Tujuh genotipe ini (A, B, C, D, E, F, dan E/B) ditemukan pada spesies unggas dan biasanya sesuai dengan serotipe yang setara. Enam genotipe tambahan telah dideskripsikan kemudian.

 

Setiap serotipe/genotipe unggas cenderung berasosiasi dengan jenis burung tertentu. Contohnya:

  • Serotipe A dan D sangat virulen pada kalkun dengan tingkat kematian ≥ 30%.
  • Serotipe B dan E paling sering ditemukan pada burung liar.

Serotipe unggas (terutama A, B, dan E/B) dapat menginfeksi manusia dan mamalia lainnya.

 

Siklus Hidup Chlamydia psittaci terdiri atas 4 tahap:

1.     Badan elementer (elementary bodies): partikel menular yang resisten terhadap lingkungan dan berada di luar sel.

2.     Badan intermediate (intermediate bodies): fase transisi intraseluler dengan morfologi antara badan elementer dan badan retikulat.

3.     Badan retikulat (reticulate bodies): tahap replikasi intraseluler.

4.     Badan aberran (aberrant bodies): partikel intraseluler yang tidak melakukan replikasi dan terbentuk dalam kondisi stres tertentu (misalnya, akibat pengobatan antimikroba). Partikel ini dapat kembali menjadi badan retikulat setelah faktor penyebab stres hilang.

 


 Elementary bodies Chlamydia psittaci (COURTESY OF DR. JEAN SANDER).

 

Setelah badan elementer (EB) terhirup atau tertelan dari lingkungan, EB menempel pada sel epitel mukosa dan diinternalisasi melalui proses endositosis. Dalam endosom di sitoplasma sel, badan elementer menghambat pembentukan fagolisosom dan berubah menjadi badan retikulat yang aktif secara metabolik namun tidak menular. Badan retikulat ini membelah dan berkembang biak melalui pembelahan biner, membentuk banyak badan elementer yang menular tetapi tidak aktif secara metabolik. Badan elementer yang baru terbentuk dilepaskan dari sel inang melalui proses lisis.

 

TABEL 1. Hubungan Antara Genotipe Burung dari Chlamydia psittaci dengan Jenis Burung

Genotipe

A

B

C

D

E

E/B

F

Ayam




+++


+++

+

Passerines

+

++






Merpati, Burung Dara

+

++



++

+


Burung Psittacine

++

+



+


+

Ratites







++

Kalkun

+

+

+

++

+

+

+

Burung Air

+

+

++


+

++


Burung Liar

+

++



++



Keterangan:

+++ = Genotipe paling umum dikaitkan dengan jenis burung ini atau kelompoknya.

++ = Genotipe dikaitkan dengan jenis burung ini atau kelompoknya.

+ = Genotipe jarang dikaitkan dengan jenis burung ini atau kelompoknya.

 

Spesies Chlamydiaceae lainnya biasanya memiliki jumlah inang unggas yang lebih terbatas. Jenis Chlamydia lain yang menginfeksi burung meliputi:

  • Chlamydia gallinacea: umum pada ayam; juga menginfeksi kalkun dan ayam mutiara.
  • Chlamydia avium: merpati dan spesies psittacine.
  • Chlamydia buteonis: burung pemangsa.
  • Candidatus Chlamydia ibidis: ibis.

 

Infeksi dengan C. gallinacea biasanya bersifat subklinis, tetapi dapat menyebabkan penurunan berat badan pada ayam pedaging dan kematian pada telur ayam berembrio yang terinfeksi secara eksperimental. Infeksi C. avium umumnya subklinis; namun, kasus penyakit pernapasan pada spesies psittacine dan satu laporan penyakit fatal pada merpati picazuro telah dilaporkan. Strain Chlamydia abortus yang berhubungan erat dengan C. psittaci ditemukan pada unggas dan burung liar, tetapi tidak terkait dengan penyakit. Potensi zoonosis dari spesies Chlamydia ini masih perlu ditentukan.

 

Epidemiologi Chlamydiosis Unggas

 

Chlamydiosis unggas adalah penyakit yang wajib dilaporkan, dan peraturan pemerintah setempat harus diikuti di mana pun berlaku. Penyakit ini memiliki distribusi geografis di seluruh dunia.

 

Infeksi chlamydial telah diidentifikasi pada setidaknya 465 spesies burung, khususnya burung kandang (terutama spesies psittacine), burung yang bersarang koloni (seperti egret, kuntul), ratites, raptor, dan unggas. Di antara spesies domestik, kalkun dan bebek paling sering terpengaruh.

 

Penularan terutama terjadi melalui rute fecal-oral atau inhalasi. Cairan pernapasan dan tinja dari burung yang terinfeksi mengandung badan elementer yang resisten terhadap pengeringan dan dapat tetap infektif selama beberapa bulan jika terlindungi oleh bahan organik (misalnya, serasah dan tinja). Partikel udara dan debu menyebarkan organisme ini.

 

Setelah badan elementer terhirup atau tertelan, masa inkubasi biasanya 3–10 hari, tetapi dapat mencapai beberapa minggu pada burung yang lebih tua atau setelah paparan dosis rendah. Faktor inang dan mikroba, rute serta intensitas paparan, dan pengobatan menentukan perjalanan klinis penyakit.

 

Penularan melalui arthropoda oleh ektoparasit pengisap darah dimungkinkan. Penularan vertikal telah didokumentasikan pada beberapa spesies burung, termasuk kalkun, ayam, dan bebek.

 

Sumber potensial C. psittaci meliputi:

  • kontak dengan burung terinfeksi yang sakit klinis atau pembawa tanpa gejala klinis,
  • penularan vertikal dari burung yang terinfeksi,
  • mamalia yang terinfeksi,
  • arthropoda yang terinfeksi,
  • lingkungan yang terkontaminasi.

 

Faktor stres (seperti transportasi, kepadatan, musim kawin, cuaca dingin atau basah, perubahan diet, atau ketersediaan makanan yang berkurang) dan infeksi bersamaan, terutama yang menyebabkan imunosupresi, dapat memicu pelepasan bakteri pada burung yang terinfeksi laten dan menyebabkan kekambuhan gejala klinis. Pada kalkun, infeksi C. psittaci dan Ornithobacterium rhinotracheale sering terjadi bersamaan. Pembawa sering melepaskan organisme secara sporadis dalam jangka waktu yang lama. Persistensi C. psittaci di kelenjar nasal burung yang terinfeksi kronis mungkin menjadi sumber utama pelepasan bakteri secara terus-menerus.

 

Infeksi subklinis yang berlangsung lama, selama berbulan-bulan hingga bertahun-tahun, umum terjadi dan dianggap sebagai hubungan normal antara Chlamydia dan inangnya.

 

Prevalensi infeksi sangat bervariasi antarspesies dan lokasi geografis:

  • Spesies psittacine paling sering mengalami infeksi dengan gejala klinis yang nyata.
  • Infeksi bersifat endemik pada kawanan kalkun komersial; gejala klinis ringan atau tidak ada sama sekali, dengan tingkat kematian rendah. Wabah jarang terjadi.
  • Ayam relatif resisten terhadap gejala klinis chlamydiosis, dan infeksi subklinis sering terjadi.
  • Burung liar sering menunjukkan seropositif terhadap C. psittaci.

 

Gejala Klinis dan Lesi pada Chlamydiosis Unggas

 

Keparahan gejala klinis dan lesi pada chlamydiosis unggas tergantung pada virulensi organisme, dosis infeksi, faktor stres, dan kerentanan spesies burung. Infeksi subklinis umum terjadi.

Gejala klinis meliputi:

  • keluarnya cairan dari hidung dan mata,
  • konjungtivitis,
  • sinusitis,
  • tinja hijau hingga hijau-kuning, lunak hingga cair (diare),
  • demam,
  • inaktivitas,
  • bulu kusut,
  • kelemahan,
  • kehilangan nafsu makan,
  • distensi rongga tubuh akibat hepatosplenomegali,
  • penurunan berat badan,
  • penurunan produksi telur.

 

Pada burung beo (parrots), gejala pernapasan, lesu, kelemahan, tinja berwarna hijau, dan distensi rongga tubuh (coelomic distension) sering ditemukan. Banyak burung beo yang terinfeksi secara subklinis.

 

Pada kalkun dan ayam, gejala pernapasan menjadi dominan. Pada bebek, sering ditemukan diare berair. Burung muda lebih rentan mengalami penyakit parah. Ayam relatif tahan terhadap penyakit ini, dengan kematian umumnya terjadi pada burung muda. Anak bebek (ducklings) dapat menunjukkan gejala gemetar, gangguan keseimbangan, diare berair, konjungtivitis, rinitis, anoreksia, dan penurunan berat badan.

 

Pada burung merpati dewasa, dapat diamati konjungtivitis dan rinitis. Pada anak merpati (squabs), ditemukan poliserositis fibrinosa, hepatitis, dan enteritis.

 

Hasil tes klinikopatologi bervariasi tergantung pada organ yang terkena dan tingkat keparahan penyakit. Perubahan hematologis yang paling sering ditemukan adalah anemia dan leukositosis dengan heterofilia dan monositosis. Konsentrasi asam empedu plasma, aktivitas AST, aktivitas LDH, dan konsentrasi asam urat dapat meningkat.

 

Pemeriksaan radiografi, CT scan, ultrasonografi, dan laparoskopi dapat menunjukkan pembesaran hati dan limpa serta penebalan kantung udara.

 

Temuan nekropsi pada infeksi chlamydiosis akut pada burung meliputi:

  • poliserositis serofibrinosa (airsacculitis, pericarditis, perihepatitis, peritonitis),
  • bronkopneumonia,
  • nekrosis hati,
  • hepatomegali (lihat gambar hepatitis),
  • splenomegali.

 

Lihat gambar infeksi chlamydiosis akut dengan poliserositis pada merpati dan chlamydiosis dengan hepatomegali pada burung lorikeet.

 


Chlamydiosis, hepatitis, cockatiel (COURTESY OF DR. A. J. VAN WETTERE).

 



Acute chlamydiosis, pigeon (COURTESY OF DR. A. J. VAN WETTERE).

 


Chlhamydiosis Lorikeet (COURTESY OF DR. A. J. VAN WETTERE).

 

Lesi serupa juga ditemukan pada infeksi bakteri sistemik lainnya dan tidak spesifik untuk avian chlamydiosis. Inklusi bakteri intrasitoplasma kecil granular basofilik dapat diamati pada berbagai jenis sel (misalnya, sel epitel, makrofag) melalui pemeriksaan sitologi dan histologi.

 

Pada infeksi kronis, pucat dan pembesaran limpa atau hati dapat terlihat. Nekrosis dan inklusi bakteri biasanya tidak ditemukan. Lesi umumnya tidak ada pada burung yang terinfeksi laten, meskipun Chlamydia psittaci dapat disekresikan melalui cairan pernapasan dan feses.

 

Diagnosis Avian Chlamydiosis

  • Untuk kawanan: uji serologi, nekropsi, dan uji PCR.
  • Untuk individu: uji PCR atau kultur, pengukuran titer antibodi dari sampel berpasangan, atau kombinasi uji serologi dengan uji PCR atau kultur.

 

Karena beragamnya gejala klinis dan tingginya kejadian burung pembawa infeksi laten, tidak ada satu tes diagnostik pun yang dapat diandalkan untuk memastikan infeksi Chlamydia spp.. Prosedur yang digunakan meliputi pendeteksian organisme atau antibodi.

 

Semakin akut penyakit, semakin banyak organisme infektif yang hadir, sehingga diagnosis menjadi lebih mudah. Pada burung yang sakit akut, temuan klinis seperti pengujian hematologis, analisis biokimia, evaluasi radiologi, atau lesi makroskopis khas cukup untuk diagnosis sementara.

 

Kombinasi uji serologi dengan uji deteksi antigen, PCR, atau kultur merupakan pendekatan praktis untuk mengonfirmasi chlamydiosis. Pada burung individu, sampel terbaik untuk kultur bakteri atau uji PCR adalah swab konjungtiva, koana, dan kloaka. Disarankan untuk mengumpulkan beberapa sampel selama 3–5 hari guna mendeteksi pelepasan infeksi secara intermiten pada burung yang terkena subklinis.

 

Antibodi mungkin tidak terdeteksi, tergantung pada jenis tes yang digunakan dan tahap infeksi. Pengujian antibodi sering digunakan untuk membedakan antara paparan masa lalu dan infeksi saat ini. Interpretasi titer dari sampel serum tunggal sulit dilakukan. Peningkatan titer empat kali lipat antara sampel akut dan konvalesen adalah diagnostik, dan titer tinggi pada sebagian besar sampel dari beberapa burung dalam populasi cukup untuk diagnosis dugaan.

 

METODE SEROLOGI MELIPUTI:

  • Fiksasi komplemen langsung dan modifikasi (direct and modified direct complement fixation),
  • Uji aglutinasi tubuh elementer (elementary body agglutination),
  • ELISA antibodi,
  • Imunofluoresensi tidak langsung (indirect immunofluorescence).

 

Uji aglutinasi tubuh elementer mendeteksi IgM dan berguna untuk menentukan infeksi baru-baru ini. Metode fiksasi komplemen lebih sensitif dibandingkan metode aglutinasi. Titer antibodi tinggi dapat bertahan selama bertahun-tahun setelah pengobatan, sehingga menyulitkan evaluasi tes selanjutnya.

 

Infeksi oleh spesies Chlamydiaceae lainnya seperti C. gallinacea pada ayam dan C. avium pada merpati serta spesies burung beo dapat menyulitkan interpretasi tes serologi karena antibodi yang terdeteksi kemungkinan tidak spesifik untuk C. psittaci.

 

METODE DETEKSI ANTIGEN

 

Meliputi analisis imunohistokimia (misalnya, imunofluoresensi, imunoperoksidase) dan ELISA. Hibridisasi in situ (in situ hybridization, ISH) juga dapat digunakan untuk mendeteksi asam nukleat dalam jaringan.

 

Kit ELISA yang dikembangkan untuk Chlamydia trachomatis pada manusia memiliki spesifisitas yang baik tetapi sensitivitas rendah saat digunakan untuk mendeteksi C. psittaci pada burung. Kit ini lebih berguna untuk burung yang secara klinis sakit.

 

Uji PCR adalah tes yang paling sensitif dan spesifik. Uji PCR untuk Chlamydiaceae dan C. psittaci tersedia. Namun, hasil dapat berbeda antar laboratorium karena kurangnya standar primer PCR dan variasi metode laboratorium. Hasil positif palsu bisa terjadi akibat kontaminasi silang selama pengambilan sampel di kandang burung.

 

Lesi makroskopis dan histologis tidak patognomonik.

Organisme dapat diidentifikasi dalam apusan jaringan yang terkena (misalnya hati, limpa, dan paru-paru). Chlamydiae berwarna ungu dengan pewarnaan Giemsa dan merah dengan pewarnaan Macchiavello dan Gimenez. Uji imunohistokimia lebih sensitif dibandingkan pewarnaan histokimia untuk mendeteksi bakteri dalam jaringan, meskipun reaktivitas silang dengan organisme non-klamidia dapat terjadi.

 

Hibridisasi in situ dan mikroskop elektron juga dapat digunakan untuk mengonfirmasi diagnosis.

 

Isolasi dan Identifikasi C. psittaci

 

Dilakukan pada embrio ayam atau kultur sel (misalnya, BGM, L929, Vero) di laboratorium yang kompeten. Swab kloaka, koana, orofaring, konjungtiva, atau feses (dengan media transportasi khusus Chlamydia) dari burung hidup, atau jaringan (hati dan limpa lebih disukai) dari burung mati, harus didinginkan dan dikirim segera ke laboratorium. Pembekuan, pengeringan, penanganan yang salah, dan media transportasi yang tidak sesuai dapat memengaruhi kelangsungan hidup sampel.

 

Infeksi bersamaan dengan penyakit lain yang lebih mudah didiagnosis (misalnya, kolibasilosis, pasteurelosis, infeksi herpesvirus, penyakit mikotik) dapat menyembunyikan infeksi klamidia. Temuan laboratorium dan klinis harus dikorelasikan. Chlamydiosis harus dibedakan dari penyakit pernapasan dan sistemik lain pada burung.

 

PENGOBATAN DAN PENCEGAHAN AVIAN CHLAMYDIOSIS

  • Tetrasiklin
  • Manajemen all-in all-out, biosekuriti, sanitasi, dan karantina

 

Pengobatan avian chlamydiosis mencegah kematian dan pelepasan bakteri tetapi tidak dapat diandalkan untuk menghilangkan infeksi laten; pelepasan dapat kambuh.

 

Tetrasiklin (chlortetracycline, oxytetracycline, doxycycline) adalah antimikroba pilihan. Resistensi terhadap tetrasiklin jarang terjadi, tetapi sensitivitas yang menurun membutuhkan dosis yang lebih tinggi semakin sering ditemukan. Tetrasiklin bersifat bakteriostatik dan hanya efektif melawan organisme yang aktif berkembang biak, sehingga diperlukan waktu pengobatan yang lama (2–8 minggu, di mana konsentrasi penghambatan minimum dalam darah harus dipertahankan secara konsisten).

 

Doxycycline saat ini merupakan obat pilihan utama karena memiliki penyerapan yang lebih baik, afinitas lebih rendah terhadap kalsium, distribusi jaringan yang lebih baik, dan waktu paruh yang lebih panjang dibandingkan dengan tetrasiklin lainnya. Penambahan doxycycline ke dalam pakan atau air minum dapat menghasilkan kadar darah yang memadai dan memiliki dampak yang lebih kecil pada flora usus normal dibandingkan dengan chlortetracycline.

 

Dosis dan durasi pengobatan bervariasi antar spesies. Protokol dari studi terkontrol pada spesies tertentu yang sedang dirawat sebaiknya digunakan bila tersedia. Informasi tambahan dapat ditemukan di Compendium of Measures To Control Chlamydophila psittaci Infection Among Humans (Psittacosis) and Pet Birds (Avian Chlamydiosis), 2017, dari National Association of State Public Health Veterinarians.

 

Untuk sebagian besar spesies, pengobatan harus dilakukan secara tanpa terputus selama 45 hari agar antibiotik dapat mencapai Chlamydia psittaci selama fase replikasi siklus hidupnya. Dalam fase elementary body di dalam makrofag, bakteri tidak dapat dijangkau oleh antibiotik dan harus berada dalam fase replikasi aktif agar obat dapat bekerja efektif. Saat tetrasiklin diberikan secara oral, sumber kalsium tambahan dalam diet (misalnya, blok mineral, suplemen, tulang sotong) harus dikurangi untuk meminimalkan gangguan penyerapan obat.

 

Pada burung parkit (budgerigar), pengobatan selama 30 hari bisa efektif; studi terbaru menunjukkan bahwa durasi pengobatan lebih pendek, yaitu 21–30 hari, juga dapat efektif. Namun, karena parkit dapat membawa dan melepaskan C. psittaci tanpa menunjukkan gejala klinis, banyak dokter hewan tetap memilih melakukan pengobatan penuh selama 45 hari dengan doxycycline.

 

Wabah infeksi klinis pada kawanan unggas jarang terjadi. Pengobatan kawanan yang terinfeksi dengan chlortetracycline (441–827 g/ton [400–750 g/ton] pakan) selama minimal 2 minggu telah efektif mengurangi risiko infeksi bagi pekerja pabrik. Pakan obat harus diganti dengan pakan non-obat setidaknya 2 hari sebelum pemotongan dan pengolahan. Suplemen kalsium harus dihentikan selama pengobatan dengan chlortetracycline, dengan konsentrasi kalsium dalam pakan dikurangi hingga ≤ 0,7%. Jika eliminasi organisme dicoba, pakan obat harus diberikan selama 45 hari.

 

Residue antibiotik seperti oxytetracycline pada telur ayam bertahan selama 9 hari, sedangkan residu doxycycline bertahan selama 26 hari setelah pemberian 0,5 g/L dalam air minum selama 7 hari. Penggunaan doxycycline untuk unggas dalam produksi pangan bersifat extra-label dan tidak disetujui di AS. Dokter hewan yang ingin meresepkan obat ini untuk unggas dalam produksi pangan harus mendapatkan persetujuan pemerintah terlebih dahulu dengan menghubungi Food Animal Residue Avoidance Databank.

 

Burung psittacine adalah spesies yang paling sering terkena chlamydiosis secara klinis. Merpati (pigeon) juga dapat terinfeksi C. psittaci, meskipun jarang menunjukkan gejala klinis seperti burung beo, tetapi mereka menjadi reservoir penting untuk penyebaran zoonosis.

 

Burung yang terinfeksi biasanya diobati dengan doxycycline oral selama 45 hari tanpa gangguan atau doxycycline suntik dengan efek jangka panjang. Dokter yang menggunakan doxycycline suntik harus meneliti formulasi yang digunakan karena beberapa formulasi terkait dengan reaksi jaringan, dan formulasi compounded doxycycline hyclate oleh apoteker dilaporkan menyebabkan kematian mendadak secara anekdotal.

 

Dosis doxycycline untuk pengobatan chlamydia pada burung sebagian besar belum divalidasi. Rekomendasi pengobatan untuk dosis oral dimulai dari 25 mg/kg setiap 24 jam pada burung psittacine, dengan rentang dosis yang bervariasi tergantung spesies:

  • Kakatua kecil: 25–35 mg/kg setiap 24 jam
  • Burung beo Senegal dan Amazon biru-hijau/oranye: 25–50 mg/kg setiap 24 jam
  • Beo Afrika, kakatua Goffin, macaw biru-emas, dan macaw merah-hijau: 25 mg/kg setiap 24 jam

 

Dosis doxycycline yang paling umum digunakan untuk burung beo dan merpati adalah 25–50 mg/kg, secara oral, setiap 12–24 jam. Obat ini dapat menyebabkan regurgitasi, terutama pada macaw dan kakatua, sehingga dosis lebih rendah disarankan untuk spesies ini.

 

Selain doxycycline, azithromycin oral (40 mg/kg setiap 48 jam selama terapi) telah terbukti efektif untuk pengobatan pada burung cockatiel. Doxycycline suntik efektif untuk pengobatan psittacosis ketika diberikan dengan dosis 60–100 mg/kg, secara subkutan (SC) atau intramuskular (IM), setiap 5–7 hari selama 45 hari, tetapi pemberian IM dapat menyebabkan peradangan jaringan dan nekrosis, sehingga pemberian SC lebih disarankan.

 

Semua burung yang kontak dengan burung yang terinfeksi klinis, meskipun tidak menunjukkan gejala, harus diobati untuk mencegah reinfeksi oleh pembawa subklinis.

 

Untuk kawanan yang terinfeksi, penggunaan pakan yang mengandung chlortetracycline selama 45 hari adalah rekomendasi standar untuk pengobatan chlamydiosis pada burung impor. Namun, hambatan berupa palatabilitas pakan dan tingginya tingkat antibiotik yang diperlukan untuk mencapai kadar darah yang memadai membatasi penggunaannya.

 

Ketika informasi spesifik tidak tersedia, dosis awal doxycycline secara empiris yang disarankan adalah 400 mg/L air, atau 25–50 mg/kg, secara oral setiap 12–24 jam selama 45 hari.

 

Tidak ada vaksin yang efektif untuk chlamydiosis pada burung.

Praktik biosekuriti yang tepat diperlukan untuk mengendalikan masuk dan penyebaran Chlamydia psittaci dalam populasi burung. Standar minimum biosekuriti meliputi:

  • Karantina dan pemeriksaan semua burung baru.
  • Pencegahan kontak dengan burung liar.
  • Pengendalian lalu lintas untuk meminimalkan kontaminasi silang.
  • Isolasi dan pengobatan burung yang terinfeksi dan burung kontak.
  • Pembersihan dan disinfeksi menyeluruh terhadap tempat dan peralatan (idealnya dengan pengelolaan unit kecil menggunakan sistem masuk-keluar penuh).
  • Penyediaan pakan yang tidak terkontaminasi.
  • Pemeliharaan catatan semua pergerakan burung.
  • Pemantauan terus-menerus terhadap keberadaan infeksi Chlamydia.

 

Organisme ini rentan terhadap panas (dapat dimusnahkan dalam waktu kurang dari 5 menit pada suhu 56°C) dan sebagian besar disinfektan (misalnya, larutan quaternary ammonium chloride 1:1.000, larutan pemutih 1:100, alkohol 70%). Namun, organisme ini tahan terhadap asam dan basa, serta dapat bertahan selama berbulan-bulan dalam bahan organik seperti kotoran dan sarang. Oleh karena itu, diperlukan pembersihan menyeluruh sebelum proses disinfeksi.

 

RISIKO ZOONOSIS DARI AVIAN CHLAMYDIOSIS

 

Avian chlamydiosis adalah penyakit zoonosis yang dapat memengaruhi manusia setelah terpapar organisme yang ter aerosol dari saluran pencernaan atau pernapasan burung yang terinfeksi (hidup atau mati), atau dari kontak dengan jaringan (misalnya, di rumah potong hewan) atau alas tidur burung yang terinfeksi.

 

Penyakit pada manusia paling sering terjadi akibat paparan burung psittacine peliharaan, bahkan dengan kontak singkat dengan burung yang terinfeksi. Kelompok lain yang berisiko meliputi penggemar burung merpati, dokter hewan, peternak, rehabilitator satwa liar, penjaga kebun binatang, dan karyawan di tempat pemotongan hewan, pabrik pengolahan, atau penetasan. Penularan zoonosis C. psittaci pada pekerja industri unggas kemungkinan masih kurang dilaporkan.

 

Langkah pencegahan yang harus diambil meliputi:

  • Penggunaan masker debu dan pelindung wajah atau kacamata plastik.
  • Memakai sarung tangan.
  • Membasahi bulu burung dengan disinfektan deterjen.
  • Menggunakan alat pemeriksaan dengan ventilasi kipas.

 

Infeksi pada manusia dapat bervariasi, mulai dari tanpa gejala hingga munculnya tanda klinis seperti flu dan penyakit pernapasan (misalnya, pneumonia). Dalam kasus yang jarang, dapat berkembang menjadi endokarditis, miokarditis, hepatitis, atau ensefalitis. Orang dengan sistem imun yang terganggu memiliki risiko lebih tinggi mengalami gejala klinis avian chlamydiosis.

 

Poin Penting

  • Avian chlamydiosis adalah infeksi bakteri sistemik yang disebabkan oleh Chlamydia psittaci.
  • Diagnosis pada burung dilakukan melalui uji serologis, nekropsi, dan uji PCR.
  • Chlortetracycline dan doxycycline digunakan untuk mengobati chlamydiosis.
  • Chlamydiosis adalah penyakit yang wajib dilaporkan, dengan kasus pada manusia paling sering disebabkan oleh paparan burung psittacine peliharaan.

 

INFORMASI LEBIH LANJUT :

·       Vanrompay D. Avian chlamydiosis. In Swayne DE, ed. Boulianne M, Logue CM, McDougald LR, Nair V, Suarez DL, associate eds. Diseases of Poultry. 14th ed. Wiley Blackwell; 2020:1086-1108.

·       Balsamo G, Maxted AM, Midla JW, et al. Compendium of measures to control Chlamydia psittaci infection among humans (psittacosis) and pet birds (avian chlamydiosis), 2017. J Avian Med Surg. 2017;31(3):262-282.

·       Ravichandran K, Anbazhagan S, Karthik K, Angappan M, Dhayananth B. A comprehensive review on avian chlamydiosis: a neglected zoonotic disease. Trop Anim Health Prod. 2021;53(4):414.

·       Zwijnenberg RJG, Vulto AG, Van Miert ASJPAM, Lumeij JT. Evaluation of antibiotics for racing pigeons (Columba livia var. domestica) available in The Netherlands. J Vet Pharmacol Ther. 1992;15(4):364-378.

·       Gonzlaez MS. Psittacine neonatology and pediatrics. Vet Clin North Am Exot Anim Pract. 2024;27(2):263-293.

 

REFERENSI

1.     Guzman, DSM, Diaz-Figueroa O, Tully T Jr, et al. Evaluating 21-day doxycycline and azithromycin treatments for experimental Chlamydophila psittaci infection in cockatiels (Nymphicus hollandicus). J Avian Med Surg. 2010;24(1);2010:35-45.

2.     Flammer K, Papich M. Assessment of plasma concentrations and effects of injectable doxycycline in three psittacine species. J Avian Med Surg, 2005;19(3):216-224.

3.     Sanchez-Megallon Guzman D, Beaufrere H, Welle KR, Heatley JJ, Visser M, Harms CA. Birds. In: Carpenter JW, Harms CA, eds. Carpenter's Exotic Animal Formulary. 6th ed. Elsevier Saunders; 2023:232.

 

SUMBER:

Arnoud J. Van Wttere. Avian Chlamydiosis (Psittacosis, Ornithosis, Parrot Fever). 2024. MSDV Manual.

https://www.msdvetmanual.com/poultry/avian-chlamydiosis/avian-chlamydiosis#For-More-Information_v94115362

 

No comments: