1. Pendahuluan
Infeksi menular seksual (IMS) seperti Chlamydia trachomatis (CT) mengalami peningkatan di seluruh dunia. Berdasarkan laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), CT merupakan salah satu bakteri penyebab IMS yang paling sering dilaporkan, dengan sekitar 106 juta infeksi baru setiap tahun. Di Amerika Serikat, pada tahun 2014 tercatat lebih dari 1,4 juta kasus CT, jumlah tertinggi dalam sejarah pencatatan. Di Eropa, insiden infeksi CT juga meningkat, dengan 385.000 kasus pada tahun 2013, hampir dua kali lipat dibandingkan pada 2004 [2].
Peningkatan jumlah kasus ini mungkin lebih tinggi lagi karena banyak infeksi yang tidak menunjukkan gejala (asimtomatik) dan tidak terdeteksi [8,9]. Berbagai faktor seperti perubahan perilaku seksual, kurangnya edukasi pencegahan, dan peningkatan frekuensi pengujian berkontribusi pada angka ini. Salah satu kemajuan besar dalam pengujian IMS adalah penggunaan teknik molekuler, seperti tes amplifikasi asam nukleat (NAAT), yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas lebih tinggi dibandingkan metode pengujian sebelumnya.
Artikel ini bertujuan untuk mempermudah pemahaman prinsip dasar diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi infeksi Chlamydia trachomatis. Pemilihan tes dan hasil diagnostik yang tepat bergantung pada karakteristik biologis bakteri penyebab dan tanda klinis infeksi yang muncul pada penderita.
2. Patogenesis, Genotipe, dan Manifestasi Klinis Infeksi Chlamydia trachomatis
Chlamydia trachomatis (CT) adalah bakteri yang hidup di dalam sel inang dan berkembang biak melalui dua bentuk: bentuk elemen ekstraseluler (EB) yang menginfeksi sel baru, dan bentuk retikulat intraseluler (RB) yang berkembang biak di dalam sel. Proses infeksi dimulai ketika EB menempel pada sel inang dan memasuki sel melalui interaksi dengan protein spesifik pada permukaan bakteri. Setelah masuk, EB berkembang menjadi RB yang kemudian bereplikasi dan berubah kembali menjadi EB untuk menyebar ke sel lainnya [4].
Infeksi Chlamydia seringkali tidak menimbulkan gejala, karena respon kekebalan tubuh yang terbentuk tidak terlalu kuat. Hal ini memungkinkan bakteri bertahan dalam tubuh, bahkan dalam bentuk yang tidak aktif. Pada beberapa kondisi, bakteri ini bisa menyebabkan infeksi kronis, terutama jika sistem kekebalan tubuh terhambat.
CT memiliki beberapa genotipe yang menyebabkan berbagai jenis infeksi. Genotipe A–C sering menyebabkan infeksi pada mata (trakhoma), yang lebih umum di Afrika dan Asia dan dapat menyebabkan kebutaan jika tidak diobati. Genotipe D–K biasanya menginfeksi saluran genital, rektum, dan tenggorokan, dan dapat menyebabkan komplikasi serius pada wanita, seperti penyakit radang panggul (PID) yang berisiko menyebabkan kemandulan [7].
Infeksi dengan genotipe L1, L2, dan L3 bisa lebih serius karena dapat menyebar melalui sistem limfatik, menyebabkan lymphogranuloma venereum (LGV), penyakit yang lebih umum di beberapa wilayah Afrika dan Asia. Meskipun kasus LGV cukup langka di negara industri, wabah LGV telah dilaporkan di kalangan pria yang berhubungan seks dengan pria di Eropa, Amerika Utara, dan Australia.
Untuk mengurangi infeksi CT, banyak negara telah mengimplementasikan program skrining untuk mendeteksi infeksi yang tidak bergejala dan memberikan pengobatan kepada pasien dan pasangan mereka [10].
3. Prosedur Diagnosis untuk Infeksi Chlamydia trachomatis
Pengujian Chlamydia trachomatis (CT) diperlukan untuk pasien dengan gejala infeksi saluran kemih, anorektal, atau mata, serta bagi mereka yang memiliki riwayat kontak seksual dengan orang yang terinfeksi [8,9]. Selain itu, pengujian ini juga dilakukan untuk skrining pada individu yang berisiko tinggi terinfeksi.
Ada dua jenis prosedur diagnostik untuk mendeteksi infeksi CT: metode langsung dan tidak langsung.
Metode langsung digunakan untuk mendeteksi patogen langsung di area yang terinfeksi, seperti dengan kultur, tes antigen (misalnya EIA, antibodi fluoresens langsung), atau tes amplifikasi asam nukleat (NAAT), yang sangat sensitif dalam mendeteksi infeksi aktif.
Metode tidak langsung, seperti tes serologi, digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap bakteri ini. Tes ini lebih berguna untuk mendeteksi infeksi kronis atau komplikasi yang terjadi setelah infeksi, seperti radang sendi reaktif (SARA). Namun, tes serologi tidak dapat diandalkan untuk mendiagnosis infeksi akut, karena antibodi hanya dapat terdeteksi setelah beberapa minggu atau bahkan bulan setelah infeksi terjadi.
4. Isolasi Chlamydia trachomatis dalam Kultur Sel
Untuk mendeteksi CT, salah satu metode yang digunakan adalah isolasi bakteri dalam kultur sel. Beberapa garis sel yang umum digunakan untuk ini antara lain sel McCoy, HeLa 229, dan BGMK [10]. Spesimen yang diambil dari lokasi seperti leher rahim, uretra, kanal anus, atau konjungtiva mata kemudian dikumpulkan dengan menggunakan alat dan media transportasi khusus.
Setelah spesimen dikumpulkan, sel-sel bakteri diperkenalkan ke dalam lapisan sel di laboratorium, dan setelah 48-72 jam, bakteri yang berkembang akan menunjukkan inklusi khas yang dapat dilihat dengan pewarnaan khusus. Salah satu pewarnaan yang paling spesifik menggunakan antibodi yang mengikat protein spesifik bakteri (MOMP), yang membuat deteksi menjadi lebih akurat.
Namun, meskipun metode kultur sel ini sangat spesifik, tingkat keberhasilannya hanya sekitar 60%-80%, karena kultur ini membutuhkan organisme yang masih hidup dan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti kualitas spesimen, penyimpanan yang buruk, atau adanya mikroba lain yang mengganggu. Selain itu, proses kultur membutuhkan waktu yang lama dan cukup rumit, sehingga kini jarang digunakan sebagai metode utama di laboratorium diagnostik. Meskipun demikian, metode ini masih digunakan di laboratorium referensi untuk memantau resistensi antibiotik atau ketika dibutuhkan hasil yang sangat spesifik, seperti dalam kasus dugaan kekerasan seksual [10].
5. Uji Amplifikasi Asam Nukleat (NAAT) untuk Mendeteksi Chlamydia trachomatis
Uji Amplifikasi Asam Nukleat (NAAT) merupakan metode yang sangat sensitif dan spesifik untuk mendeteksi infeksi CT. Keunggulannya dibandingkan kultur adalah tidak memerlukan bakteri yang masih hidup, sehingga memudahkan pengangkutan spesimen. Karena itu, NAAT kini menjadi metode utama untuk mendeteksi Chlamydia dan menggantikan kultur sebagai standar emas diagnosis [7].
Sebagian besar uji NAAT menggunakan teknologi Polymerase Chain Reaction (PCR) yang dapat mendeteksi DNA bakteri dengan cepat, hanya dalam beberapa jam. Meskipun sangat akurat, ada beberapa hal yang dapat memengaruhi hasilnya, seperti variasi dalam genom Chlamydia dan efisiensi dalam pengambilan sampel. Beberapa varian Chlamydia, seperti varian Swedia, mungkin tidak terdeteksi karena perubahan genetik yang terjadi pada bakteri. Untuk itu, beberapa uji NAAT terbaru menggunakan dua wilayah genetik untuk memastikan deteksi varian baru.
Selain itu, sistem ekstraksi asam nukleat otomatis yang lebih baik juga meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil yang diperoleh. Uji NAAT juga dapat dilakukan secara bersamaan dengan tes lain, seperti untuk gonococcus, dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi.
Namun, dalam populasi dengan prevalensi rendah Chlamydia, hasil positif dari uji NAAT dapat memiliki nilai prediktif yang rendah, dan oleh karena itu, perlu konfirmasi dengan tes kedua untuk menghindari pengobatan yang tidak perlu. Walaupun begitu, penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa hasil positif yang tidak dikonfirmasi pada umumnya bukanlah hasil palsu. Konfirmasi tetap diperlukan dalam kasus hukum, seperti investigasi kekerasan seksual, untuk memastikan keakuratan hasil.
Secara keseluruhan, NAAT adalah metode diagnostik yang sangat efektif dan lebih sensitif daripada kultur, tetapi dalam beberapa situasi, seperti di kasus kekerasan seksual, konfirmasi dengan uji lain sangat penting untuk menghindari kesalahan diagnosis yang bisa berakibat serius.
6. Spesimen Klinis untuk Pengujian Chlamydia
Untuk mendeteksi infeksi CT, berbagai jenis sampel klinis dapat digunakan, termasuk usap dari uretra, serviks, vulva, anus, mata, urin aliran pertama, sperma, atau jaringan tubuh. Metode Amplifikasi Asam Nukleat (NAAT) telah disetujui oleh FDA untuk digunakan pada spesimen seperti urin aliran pertama, usap uretra, serviks, dan vagina. Spesimen non-invasif, seperti urin dan usap, lebih disukai untuk skrining, terutama pada individu tanpa gejala.
Pada pria, urin aliran pertama dan usap uretra memiliki kinerja deteksi yang serupa, namun urin lebih diterima dan lebih mudah dikumpulkan. Penting untuk menggunakan urin pertama (sekitar 20 mL) karena konsentrasi Chlamydia lebih tinggi di bagian tersebut. Pada wanita, konsentrasi Chlamydia pada usap genital lebih tinggi dibandingkan urin, sehingga usap vagina menjadi sampel yang direkomendasikan. Penelitian menunjukkan bahwa usap vagina, yang bisa dikumpulkan sendiri atau oleh tenaga medis, memberikan hasil deteksi NAAT yang lebih tinggi dibandingkan urin atau usap serviks [1].
Untuk mendeteksi infeksi Chlamydia di lokasi ekstra-genital, seperti konjungtivitis, infeksi anorektal, atau faring, diperlukan swab atau sampel jaringan yang sesuai. Infeksi pada pria yang berhubungan seks dengan pria (MSM) sering terlokalisasi di rektum atau faring tanpa gejala, dan urin saja tidak cukup untuk mendeteksinya. Oleh karena itu, swab oral dan anal diperlukan untuk diagnosis yang lebih akurat.
Meskipun NAAT komersial umumnya tidak disetujui untuk sampel non-genital, beberapa penelitian menunjukkan bahwa pengujian pada sampel tersebut lebih efektif dibandingkan kultur atau tes antigen. Pengujian pada sampel jaringan, seperti biopsi endometrium atau kelenjar getah bening, juga bisa dilakukan pada pasien dengan penyakit radang panggul (PID) atau limfogranuloma venereum (LGV). Konfirmasi infeksi LGV memerlukan identifikasi genotipe tertentu (L1, L2, atau L3), yang mempengaruhi pilihan pengobatan antibiotik. Tes genotipe ini dapat dilakukan melalui PCR spesifik atau sekuens gen yang relevan [10].
7. Tes Diagnostik Cepat (RDT) untuk Chlamydia
Selain akurasi yang penting dalam pengujian CT, waktu untuk mendapatkan hasil tes juga sangat krusial untuk memulai pengobatan dengan tepat. Biasanya, tes berbasis NAAT (Amplifikasi Asam Nukleat) dilakukan di laboratorium pusat dan membutuhkan waktu untuk transportasi sampel dan pengiriman hasil ke dokter. Hal ini bisa menyebabkan penundaan pengobatan atau bahkan pasien tidak kembali untuk mendapatkan hasilnya, sehingga meningkatkan risiko infeksi yang tidak tertangani.
Sebagai alternatif, Tes Diagnostik Cepat (RDT) memungkinkan pengujian langsung di lokasi pasien (titik perawatan) dan memberikan hasil dalam beberapa menit. Ini memungkinkan pasien untuk segera mendapatkan pengobatan setelah dinyatakan positif. Namun, meskipun praktis, RDT berbasis antigen (seperti deteksi antigen LPS Chlamydia) memiliki sensitivitas yang lebih rendah dibandingkan dengan kultur atau PCR. Sebagai contoh, sebuah penelitian di Belanda menunjukkan bahwa RDT hanya mendeteksi sekitar 11-27% kasus pada swab vagina yang dikumpulkan sendiri, jauh lebih rendah dibandingkan dengan PCR [11].
RDT berbasis antigen ini umumnya tidak disarankan untuk pengujian Chlamydia pada pasien tanpa gejala atau yang bergejala ringan karena akurasinya yang rendah. Namun, ada RDT molekuler, seperti assay Xpert, yang menggunakan teknik amplifikasi asam nukleat dan memiliki akurasi tinggi, hampir setara dengan NAAT standar. RDT molekuler ini memungkinkan pengujian di titik perawatan dalam waktu sekitar 90 menit dan memberikan hasil yang akurat untuk diagnosis Chlamydia dan gonore [3].
Selain itu, ada juga teknologi lain seperti Io POC-test yang menggunakan PCR dalam sistem mikrofluidik, menghasilkan hasil dalam waktu sekitar 30 menit. Meskipun RDT molekuler ini menawarkan potensi untuk mempercepat pengobatan, mereka harus memenuhi standar kualitas diagnostik yang biasanya dipenuhi oleh laboratorium bersertifikat, dan penerapannya di lokasi perawatan memerlukan fasilitas yang memadai.
8. Pemeriksaan Serologi untuk Infeksi Chlamydia
Pemeriksaan antibodi (serologi) terhadap Chlamydia tidak efektif untuk mendiagnosis infeksi pada saluran genital bawah karena antibodi biasanya baru terdeteksi beberapa minggu setelah infeksi dan kadarnya cenderung rendah [10]. Selain itu, banyak tes serologi tidak dapat membedakan antara spesies Chlamydia yang berbeda. Namun, serologi bermanfaat untuk mendiagnosis infeksi kronis dan invasif, seperti penyakit radang panggul (PID), limfogranuloma venereum (LGV), dan sindrom reaktif artritis (SARA), terutama ketika bakteri tidak terdeteksi pada swab atau urin.
Tes serologi positif dapat menunjukkan adanya infeksi, tetapi tidak selalu menjadi bukti pasti, karena reaktivitas antibodi tidak selalu berhubungan langsung dengan infeksi aktif. Sebaliknya, hasil serologi negatif bisa membantu menyingkirkan kemungkinan infeksi Chlamydia.
Salah satu tes yang sering digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap Chlamydia adalah Tes Mikroimunofluoresensi (MIF) [6,10]. Tes ini telah digunakan untuk mendiagnosis pneumonia pada bayi yang disebabkan oleh C. trachomatis. Namun, tes ini membutuhkan banyak waktu dan tenaga serta pembacaan yang bersifat subjektif, sehingga saat ini tes lain seperti Enzim Immunoassays (EIA) dan Immunoblots lebih sering digunakan [6].
Salah satu tantangan dalam pemeriksaan serologi adalah reaktivitas silang antara spesies Chlamydia yang patogen dan spesies lainnya yang tidak menyebabkan penyakit. Beberapa tes berbasis antigen LPS tidak dapat membedakan antara spesies yang berbeda. Untuk meningkatkan akurasi, tes baru menggunakan protein spesifik dari C. trachomatis telah dikembangkan, yang dapat membedakan antibodi terhadap berbagai spesies Chlamydia.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa proteome array, yang mengandung banyak protein dari genom C. trachomatis, dapat mengidentifikasi antibodi yang lebih spesifik [12]. Hal ini menjanjikan untuk membantu membedakan infeksi akut dan kronis, serta untuk mengidentifikasi penanda antibodi yang dapat digunakan untuk memantau tahap-tahap infeksi Chlamydia.
9. Kesimpulan
Chlamydia trachomatis adalah bakteri yang menginfeksi sel tubuh manusia, terutama sel epitel dan fibroblas. Infeksi ini dapat bersifat ringan atau bahkan tanpa gejala, membuat deteksi menjadi lebih sulit. Oleh karena itu, untuk mendeteksi bakteri ini secara akurat, diperlukan tes dengan sensitivitas tinggi. Di antara berbagai metode, uji amplifikasi asam nukleat (NAAT) terbukti paling sensitif dan memiliki tingkat akurasi tinggi yang setara dengan kultur, menjadikannya metode pilihan utama untuk deteksi infeksi C. trachomatis.
Ada berbagai jenis NAAT yang dapat digunakan di laboratorium, dan pilihan metode tergantung pada jumlah sampel, otomatisasi, dan biaya. Meski begitu, kinerja tes harus selalu dievaluasi sesuai dengan standar kualitas laboratorium. Namun, karena NAAT dilakukan di laboratorium pusat, hasilnya sering memerlukan waktu, yang bisa mengakibatkan keterlambatan dalam pemberian pengobatan kepada pasien.
Untuk mengatasi masalah ini, telah dikembangkan tes diagnostik cepat yang dapat memberikan hasil dalam waktu singkat dan bisa dilakukan langsung di tempat perawatan pasien. Meskipun tes cepat yang mendeteksi antigen Chlamydia memiliki sensitivitas yang lebih rendah, tes cepat berbasis NAAT terbaru menunjukkan kinerja yang jauh lebih baik dan setara dengan NAAT standar. Sistem ini yang sepenuhnya otomatis dapat mempercepat pengujian infeksi C. trachomatis di lokasi perawatan, membantu pemberian pengobatan lebih cepat bagi pasien.
DAFTAR PUSTAKA
1.Dudareva Vizule, S.; Haar, K.; Sailer, A.; Flores, J.A.; Silva-Santisteban, A.; Galea, J.T.; Coates, T.J.; Klausner, J.D.; Caceres, C.F. Prevalence of pharyngeal and rectal Chlamydia trachomatis and Neisseria gonorrhoeae infections among men who have sex with men in Germany. Sex. Transm. Infect. 2014, 90, 46–51.
2. European Centre for Disease Prevention and Control. Sexually Transmitted Infections in Europe 2013; European Centre for Disease Prevention and Control: Stockholm, Sweden, 2015.
3.Gaydos, C.A.; van der Pol, B.; Jett-Gohenn, M.; Barnes, M.; Quinn, N.; Clark, C.; Daniel, G.E.; Dixon, P.B.; Hook, E.W., III; CT/NG Study Group. Performance of the Cephaid CT/NG Xpert rapid test for detection of Chlamydia trachomatis and Neisseria gonorrhoeae. J. Clin. Microbiol. 2013, 51, 1666–1672.
4.Hybiske, K.; Stephens, R.S. Mechanisms of host cell exit by the intracellular bacterium Chlamydia. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 2007, 104, 11430–11435.
5.Lanjouw, E.; Ouburg, S.; de Vries, H.J.; Stary, A.; Radcliffe, K.; Unemo, M. 2015 European guideline on the management of Chlamydia trachomatis infections. Int. J. STD AIDS 2016, 27, 333–348.
6.Morre, S.A.; Munk, C.; Persson, K.; Krüger-Kjaer, S.; van Dijk, R.; Meijer, C.J.; van den Brule, A.J. ComParison of three commercially available peptide-based immunoglobulin G (IgG) and IgA assays to microimmunofluorescence assay for detection of Chlamydia trachomatis antibodies. J. Clin. Microbiol. 2002, 40, 584–587.
7.Papp, J.R.; Schachter, J.; Gaydos, C.A.; van der Pol, B. Recommendations for the laboratory-based detection of Chlamydia trachomatis and Neisseria gonorrhoeae—2014. MMWR Recomm. Rep. 2014, 63, 1–19.
8.Pudjiatmoko dan Romadona. Mengenali Gejala Klinis Infeksi C. trachomatis dan Uji diagnosisnya. Buletin Penyakit Zoonosa. 2023, 39, 3-10.
9.Pudjiatmoko. Pengendalian Peyakit Zoonotik di Bunga Rampai: Edukasi Penyakit Hewan Menular Strategis dan Zoonosis. 2024, 204-211. Nas Media Indonesia, Klaten.
10.Thomas Meyer. 2016. Diagnostic Procedures to Detect Chlamydia trachomatis Infections. Microorganisms 2016, 4(3), 25.
11.Van Dommelen, L.; van Tiel, F.H.; Ouburg, S.; Brouwers, E.E.; Terporten, P.H.; Savelkoul, P.H.; Morré, S.A.; Bruggeman, C.A.; Hoebe, C.J. Alarmingly poor performance in Chlamydia trachomatis point-of-care testing. Sex. Transm. Infect. 2010, 86, 355–359.
12.Wang, J.; Zhang, Y.; Lu, C.; Lei, L.; Yu, P.; Zhong, G. A genome-wide profiling of the humoral immune response to Chlamydia trachomatis infection reveals vaccine candidate antigens expressed in humans. J. Immunol. 2010, 185, 1670–1680.
SUMBER:
Vetnesia Ed. 69, November 2024, hal. 39-47
No comments:
Post a Comment