ABSTRAK
Agrivoltaik adalah teknik yang menggabungkan pertanian dengan produksi energi surya dengan menggunakan lahan secara bersamaan. Agrivoltaik juga dikenal sebagai agrisolar, agrofotovoltaik, atau tenaga surya penggunaan ganda.
Jepang adalah pelopor dalam agrivoltaik dengan lebih dari dua puluh tahun pengalaman praktis dan telah memiliki 3.474 proyek yang diizinkan hingga tahun 2020. Agrivoltaik berpotensi membantu menyelesaikan tantangan masyarakat yang mendesak, seperti dekarbonisasi, revitalisasi pedesaan, ketahanan pangan dan energi, serta ketangguhan bencana di negara dengan lahan yang sangat terbatas. Meskipun demikian, agrivoltaik tetap menjadi teknologi ceruk bahkan setelah dua puluh tahun sejak implementasi pertamanya. Studi ini menganalisis dinamika sosio-teknis untuk mengidentifikasi hambatan dan peluang bagi agrivoltaik di Jepang. Analisis dokumen pemerintah, data statistik, dan publikasi akademik, yang dipadukan dengan wawancara ahli dengan petani, operator bisnis, dan pejabat pemerintah, menunjukkan bahwa kurangnya visi yang jelas tentang agrivoltaik oleh pemerintah, hambatan hukum yang terus ada, kurangnya penelitian, insentif ekonomi yang menurun, dan resistensi budaya menghambat penyebaran agrivoltaik yang lebih cepat di Jepang.
1. PENDAHULUAN
Gagasan "solar sharing" yang identik dengan agrivoltaik diperkenalkan di Jepang dua puluh tahun yang lalu oleh pelopor Akira Nagashima. Setahun kemudian, pada tahun 2004, proyek percontohan pertama didirikan di Chiba, dan patennya diterbitkan setahun setelahnya [1]. Adopsi awal ini menjadikan Jepang sebagai pelopor dengan implementasi praktis agrivoltaik terpanjang di dunia. Namun, selama waktu yang lama, perkembangan agrivoltaik tidak diketahui oleh para pemangku kepentingan di luar Jepang. Artikel berbahasa Inggris dan presentasi di forum internasional baru muncul belakangan ini. Makalah penelitian ini bertujuan untuk berbagi pengetahuan dan pelajaran dari dua dekade agrivoltaik di Jepang melalui analisis dinamika sosio-teknisnya.
Pendekatan sosio-teknis oleh Geels et al. [2] menekankan perlunya mempertimbangkan proses teknologi, ekonomi, dan sosial yang saling bergantung dalam transisi rendah karbon. Kemunculan inovasi ceruk seperti agrivoltaik dipengaruhi oleh faktor sosial dan budaya serta terjadi dalam konteks rezim sosio-teknis dan lanskap sosio-teknis. Teknologi ceruk ini biasanya pertama kali dikembangkan oleh aktor kecil dan diadopsi awal oleh kelompok tertentu. Rezim sosio-teknis yang mapan sering kali enggan memfasilitasi teknologi baru yang dapat mengganggu status quo. Lanskap sosio-teknis, yaitu konteks masyarakat yang lebih luas, berpengaruh dalam membentuk peluang dan hambatan untuk kemajuan teknologi. Faktor-faktor relevan termasuk opini publik, kondisi pasar, dan tren global.
Memahami proses di dalam dan di antara inovasi ceruk, rezim sosio-teknis, dan lanskap sosio-teknis diperlukan untuk mendukung transisi yang sukses [2]. Selain itu, kemunculan teknologi ceruk terjadi dalam konteks tujuan masyarakat lain yang sering kali dianggap lebih prioritas. Secara keseluruhan, penting untuk menyelaraskan kepentingan para pemangku kepentingan, seperti pemerintah, industri, dan masyarakat, guna membangun ambition loops yang saling memperkuat untuk memungkinkan transisi berkelanjutan [3]. Pada tahap awal, teknologi ceruk membutuhkan dukungan karena kinerjanya yang masih rendah dan biaya tinggi serta sering menghadapi oposisi dan tekanan politik dari pihak yang sudah mapan. Oleh karena itu, integrasi teknologi ceruk ke dalam sistem yang ada bisa menjadi tantangan tanpa bantuan.
Pengambil kebijakan dapat memperkenalkan berbagai instrumen kebijakan untuk meningkatkan peluang bagi teknologi ceruk jika teknologi baru dianggap menjanjikan. Instrumen kebijakan yang berdampak pada tahap awal meliputi investasi dalam penelitian, pemberian subsidi untuk proyek percontohan, pengadaan publik, penyusunan visi yang memberikan panduan, fasilitasi berbagi pengetahuan antarproyek, dukungan pembentukan jaringan inovasi, dan pengurangan hambatan bagi aktor baru [3].
Studi ini menganalisis berbagai tingkat analitik terkait agrivoltaik, mengidentifikasi kepentingan pemangku kepentingan yang relevan, mengevaluasi dukungan pemerintah, dan menarik pelajaran untuk Jepang yang juga bermanfaat bagi negara-negara yang ingin memajukan agrivoltaik.
2. METODOLOGI
Kerangka analitik Geels et al. [2, 4] untuk mengevaluasi dinamika sosio-teknis dalam transisi rendah karbon diterapkan untuk menganalisis dinamika agrivoltaik di Jepang selama dua dekade terakhir. Analisis didasarkan pada berbagai sumber data, termasuk publikasi akademik, laporan pemerintah, data statistik, dan informasi dari pemerintah prefektur serta kota. Selanjutnya, wawancara ahli dilakukan untuk mendapatkan pemahaman lebih dalam tentang topik yang kurang terjangkau oleh sumber yang tersedia.
Tiga wawancara dilakukan dengan petani yang telah mengimplementasikan agrivoltaik, satu wawancara dengan CEO perusahaan pembangkit listrik, dan tiga wawancara dengan staf Kementerian Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan (MAFF), Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri (METI), serta Kementerian Lingkungan Hidup (MOE) pada Maret 2023. Wawancara berlangsung antara 40 menit hingga dua jam dan, kecuali satu wawancara, dilakukan dalam bahasa Jepang. Transkrip wawancara kemudian dianalisis secara kualitatif.
Keterbatasan studi ini adalah ukuran sampel yang relatif kecil yaitu tujuh wawancara. Studi masa depan perlu mencakup posisi aktor yang lebih besar, seperti investor institusional, pengembang proyek skala besar PV surya, lembaga keuangan, serta asosiasi industri pertanian dan energi surya.
3. HASIL
Setelah proyek percontohan pertama pada tahun 2004, agrivoltaik berkembang lambat selama beberapa tahun berikutnya di Jepang. Percepatan perkembangan agrivoltaik baru mulai terjadi pada awal 2010-an. Semua mitra wawancara menekankan bahwa bencana nuklir Fukushima pada Maret 2011, sebagai kejutan eksternal, mengubah pola pikir mereka dan banyak orang Jepang lainnya.
Kebutuhan untuk mengurangi ketergantungan pada tenaga nuklir dan meningkatkan penggunaan energi terbarukan memotivasi banyak pihak untuk berinvestasi dalam proyek PV surya, termasuk agrivoltaik. Selain itu, pengenalan Feed-In Tariffs (FIT) yang murah hati pada tahun 2012 dan diizinkannya instalasi agrivoltaik di semua lahan pertanian dengan persyaratan tertentu pada tahun 2013 memberikan dukungan kebijakan yang diperlukan untuk ekspansi lebih cepat.
Agrivoltaik dengan cepat menyebar ke 46 dari 47 prefektur di Jepang [5]. Hingga tahun 2020, terdapat total 3.474 proyek agrivoltaik yang diizinkan. Jumlah izin baru tertinggi (779) per tahun disetujui pada tahun 2020 [6]. Sebagian besar agrivoltaik berskala kecil, dengan 97% proyek memiliki luas kurang dari satu hektar. Ukuran rata-rata proyek agrivoltaik yang diizinkan hingga tahun 2020 hanya 0,25 hektar.
Pilihan tanaman sangat beragam dengan lebih dari 120 jenis yang dibudidayakan dalam sistem agrivoltaik di Jepang. Sayuran mencakup 35%, tanaman hias (misalnya Japanese cleyera) mencakup 30%, dan buah-buahan mencakup 14%. Hampir 60% petani mengganti jenis tanaman setelah memasang agrivoltaik di lahan mereka, yang menunjukkan bahwa tanaman dipilih secara sengaja untuk tumbuh di bawah panel surya [7].
3.1 Konteks Jepang
Penting untuk memahami konteks unik Jepang guna memahami peran agrivoltaik. Hanya 34% dari total luas lahan di Jepang yang datar, dibandingkan dengan, misalnya, 69% di Jerman atau bahkan 88% di Inggris. Oleh karena itu, konflik penggunaan lahan untuk lahan yang sesuai sangat tinggi di Jepang. Kondisi iklim bervariasi secara signifikan di negara yang membentang lebih dari 3000 km ini. Hokkaido di bagian utara memiliki kondisi cuaca subarktik, sedangkan Okinawa di bagian selatan yang jauh memiliki iklim subtropis. Jenis pertanian yang sesuai pun sangat bervariasi. Selain itu, Jepang terletak di Cincin Api Pasifik, yang membuat negara ini rentan terhadap bahaya alam geofisika seperti gempa bumi, tsunami, dan aktivitas vulkanik. Ditambah lagi, topan, hujan lebat, dan salju deras meningkatkan risiko banjir dan tanah longsor. Oleh karena itu, ketahanan terhadap bencana menjadi prioritas tinggi bagi pemerintah Jepang.
Sektor pertanian di Jepang mengalami penurunan tajam. Jumlah petani menurun sepertiga dari dua juta menjadi 1,3 juta dalam satu dekade terakhir. Tren ini kemungkinan akan berlanjut jika tidak ada langkah penanggulangan yang sesuai, mengingat hanya 19% petani berusia di bawah 60 tahun [8]. Usia rata-rata petani pada tahun 2022 adalah 68,4 tahun [9]. Transisi energi di Jepang masih dalam tahap awal. Pangsa energi terbarukan dalam pembangkitan listrik di Jepang adalah 22,7% pada tahun 2022, yang hanya meningkat 0,3% dibandingkan tahun sebelumnya. Pangsa solar PV menyumbang 9,9% dari total pembangkitan listrik tahunan [10]. Pemerintah menargetkan menjadi netral karbon pada tahun 2050, dengan target energi terbarukan sebesar 36–38% pada tahun 2030 [11]. Secara keseluruhan, Jepang sangat bergantung pada impor di sektor pertanian dan energi. Rasio swasembada pangan berdasarkan pasokan kalori adalah 38% [12], sedangkan tingkat swasembada energi hanya 12% [13].
3.2 Perspektif Pemerintah
Pemerintah nasional dan kementerian terkait menyebutkan perlunya mempromosikan agrivoltaik dalam dokumen strategi utama baru-baru ini. Agrivoltaik disebutkan dalam Follow-up on the Growth Strategy tahun 2019 dan 2020 yang disetujui oleh Kantor Kabinet dan memiliki pengaruh kuat terhadap kebijakan masa depan [14, 15], Basic Energy Plan oleh METI yang memberikan panduan bagi sektor energi [11], dan Basic Plan for Food, Agriculture and Rural Areas oleh MAFF yang menetapkan tujuan jangka menengah hingga panjang bagi sektor pertanian [12].
Kementerian menghubungkan agrivoltaik dengan tujuan masyarakat yang lebih besar. Dalam dokumen pemerintah dan wawancara dengan MAFF, METI, dan MOE, potensi agrivoltaik untuk dekarbonisasi (regional) dengan meningkatkan pangsa energi terbarukan, revitalisasi daerah pedesaan dengan memberikan pendapatan tambahan kepada petani, peningkatan ketahanan pangan dan energi dengan memproduksi listrik dan hasil pertanian di area yang sama, serta peningkatan ketahanan bencana dengan menyediakan listrik selama bencana dan pemadaman listrik, ditekankan.
Meskipun integrasi kebijakan horizontal yang meningkat di tingkat nasional [16] dan pengakuan bahwa agrivoltaik dapat membantu mengatasi masalah masyarakat yang mendesak merupakan hal yang positif, agrivoltaik hanya disebutkan secara singkat dalam dokumen strategi utama yang disebutkan di atas. Visi konkret dan target numerik spesifik untuk agrivoltaik masih belum ada. Untuk menetapkan visi dan target tersebut berdasarkan bukti ilmiah, diperlukan analisis lebih lanjut tentang area, serta potensi teknis dan ekonomi agrivoltaik di Jepang. Pemerintah perlu memfasilitasi penelitian karena pengetahuan di area ini masih belum memadai (lihat Bagian 3.4).
3.3 Kerangka Hukum
Kementerian Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan (MAFF) mengeluarkan arahan tentang agrivoltaik pada Maret 2013 yang memungkinkan agrivoltaik dipasang di semua jenis lahan pertanian jika tiang struktur rangka pemasangan disetujui untuk konversi lahan sementara menjadi lahan non-pertanian oleh dewan pertanian setempat [17]. Persyaratan untuk konversi lahan meliputi:
1. Struktur pemasangan hanya bersifat sementara dan mudah dilepas.
2. Tingkat bayangan memastikan cukup sinar matahari untuk pertumbuhan tanaman.
3. Tinggi panel minimal 2 meter.
4. Sistem agrivoltaik tidak boleh mengganggu praktik pertanian di area sekitarnya.
5. Pengurangan hasil panen harus di bawah 20% dibandingkan rata-rata hasil panen di wilayah tersebut.
Awalnya, durasi izin maksimum ditetapkan selama tiga tahun, setelah itu diperlukan perpanjangan izin. Petani pada prinsipnya harus memberikan laporan tentang produksi pertanian tahunan. Dewan pertanian setempat akan memberikan panduan untuk perbaikan jika pengurangan hasil panen melebihi 20%. Petani harus menunjukkan upaya meningkatkan produksi pertanian atau diperintahkan untuk menghapus sistem agrivoltaik jika panduan diabaikan. Namun, pelaksanaan sanksi ini dipertanyakan karena tidak pasti apakah arahan oleh MAFF dapat diterapkan dalam praktik. Menurut MAFF, tidak ada sistem agrivoltaik yang benar-benar dihapus sejauh ini. Namun, ketidakpastian aturan pengurangan hasil panen 20% menyebabkan keraguan di kalangan petani, investor, dan lembaga keuangan, yang dianggap sebagai penghalang utama ekspansi agrivoltaik menurut para ahli yang diwawancarai.
MAFF memperpanjang durasi izin maksimum menjadi sepuluh tahun dalam arahan kedua pada Mei 2018 jika 1) seorang petani dapat menunjukkan kompetensi dalam praktik pertanian, 2) sistem agrivoltaik dipasang di "lahan pertanian yang rusak," atau 3) sistem dipasang di lahan pertanian tipe 2 atau tipe 3, yaitu lahan berkualitas rendah [18]. Arahan ketiga pada Maret 2021 menghapus persyaratan tinggi untuk agrivoltaik vertikal dan menghapus kebutuhan untuk konversi lahan sementara pada agrivoltaik di lahan yang rusak [19].
Undang-undang paling berpengaruh oleh METI adalah pengenalan Feed-in Tariff (FIT) Act pada 2012. Awalnya, undang-undang ini memberikan tarif yang menguntungkan hingga 42 JPY/kWh untuk listrik dari proyek agrivoltaik selama maksimal 20 tahun. Namun, tarif tersebut menurun menjadi hanya 10 JPY/kWh untuk proyek skala kecil pada tahun 2022. Amandemen kedua dari FIT Act pada April 2022 memberikan perlakuan istimewa untuk beberapa proyek agrivoltaik. Secara umum, proyek solar PV skala kecil (10–50 kW) harus mengalokasikan 30% listrik mereka untuk penggunaan regional. Namun, persyaratan ini dikecualikan untuk proyek agrivoltaik yang menerima izin konversi lahan selama sepuluh tahun dan dapat menjamin pasokan listrik untuk penggunaan regional selama bencana [20].
3.4 Penciptaan dan Berbagi Pengetahuan
Penciptaan dan berbagi pengetahuan sangat penting dalam tahap awal teknologi baru. Proses di Jepang unik dibandingkan banyak negara lain. Meskipun sudah ada ribuan proyek dan pengeluaran domestik bruto Jepang untuk penelitian melebihi rata-rata OECD [21], publikasi akademik tentang agrivoltaik masih sangat terbatas.
Sebagian besar penciptaan pengetahuan tercapai melalui proses belajar sambil melakukan. Khususnya pada tahap awal, petani sering kali melakukan pembelajaran pengalaman dengan membangun proyek mereka sendiri setelah bertukar informasi tentang desain dan bahan yang memungkinkan dengan sesama petani. Di sisi positif, dampak nyata dari proyek dapat segera terlihat tanpa penundaan seperti yang biasanya terjadi dalam penelitian akademis. Namun, pendekatan coba-coba ini mahal dan memerlukan pelopor yang sangat termotivasi untuk bersedia mengambil risiko. Selain itu, analisis sistematis terhadap proyek yang dapat memajukan agrivoltaik secara lebih efisien masih kurang tanpa keterlibatan lembaga penelitian.
Saat ini, masih ada kekurangan peneliti yang berfokus pada agrivoltaik di Jepang, dan para peneliti yang terlibat tidak cukup saling berkoordinasi, menurut salah satu petani yang diwawancarai dan juga terlibat dalam penelitian akademis. Pekerjaan yang terisolasi dengan fokus pada aspek-aspek spesifik agrivoltaik tidak memungkinkan analisis yang lebih holistik. Selain itu, penelitian yang jarang ini masih belum dapat menjangkau para petani dengan cukup cepat. Namun demikian, kegiatan untuk berbagi pengetahuan tentang agrivoltaik meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Jumlah fasilitator yang menyebarkan informasi terus meningkat. Organisasi-organisasi tersebut mencakup mulai dari organisasi nirlaba hingga asosiasi bisnis, serta divisi pemerintah di bawah Kementerian Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan (MAFF). Kegiatan tersebut bervariasi mulai dari berbagi contoh praktik terbaik di situs web hingga mengundang kunjungan lapangan untuk berbagi pengetahuan secara langsung dengan pemangku kepentingan yang relevan.
Namun, informasi tersebut sebagian besar hanya menjangkau pelaku yang sudah terlibat atau sangat tertarik pada agrivoltaik. Akan lebih bermanfaat jika dapat menjangkau audiens yang lebih luas. Hal ini terutama penting karena narasi negatif tentang agrivoltaik (misalnya, dampak visual pada lanskap) mulai perlahan muncul di media sosial.
3.5 Perubahan Teknologi
Penciptaan dan berbagi pengetahuan yang sedang berlangsung telah menghasilkan perubahan dalam desain teknologi agrivoltaik selama dua dekade terakhir. Pada tahap pertama, perubahan teknologi didorong oleh para petani yang menjadi pelopor. Proyek-proyek awal dibangun dengan desain sederhana yang dilakukan sendiri (Do-It-Yourself). Fokus utamanya adalah pada desain yang terjangkau serta mudah dibangun dan dirawat oleh petani sendiri. Misalnya, bahan utama struktur kerangka penyangga adalah pipa tunggal yang mudah diperoleh di toko perangkat keras.
Dengan meningkatnya skala agrivoltaik setelah diperkenalkannya instrumen kebijakan pendukung pada awal 2010-an, desain yang lebih industrial yang mampu menahan bencana alam mulai menyebar. Pada tahap kedua agrivoltaik ini, produsen kerangka penyangga dengan pengalaman dari sistem PV surya di darat semakin banyak terlibat dalam desain teknis sistem agrivoltaik. Selama tahap ini, minat beberapa pemangku kepentingan mulai berbeda, dengan beberapa pihak fokus pada maksimalisasi produksi listrik sementara yang lain tetap memprioritaskan produktivitas pertanian dalam desain mereka.
Tahap berikutnya yang kemungkinan akan memengaruhi desain sistem agrivoltaik adalah elektrifikasi sektor pertanian yang perlahan tumbuh, menurut petani yang diwawancarai. Idealnya, pengembangan bersama oleh berbagai pemangku kepentingan dari sektor pertanian dan energi akan menghasilkan desain yang sesuai dengan kebutuhan yang beragam.
3.6 Lanskap Bisnis
Lanskap sosial-teknis dan dinamika yang telah dijelaskan sebelumnya secara signifikan memengaruhi lanskap bisnis dalam satu dekade terakhir. Pada awalnya, proyek agrivoltaik terutama dipasang oleh petani sendiri atau dalam hubungan dekat dengan produsen listrik secara eksperimental. Namun, pengenalan instrumen kebijakan pendukung pada awal 2010-an mengubah agrivoltaik menjadi model bisnis yang layak secara ekonomi. Tarif FIT (Feed-In Tariff) yang menguntungkan pada awalnya mendorong instalasi proyek PV surya yang lebih murah di darat. Namun, area yang cocok untuk proyek PV surya semacam ini dengan cepat terisi karena keterbatasan lahan di Jepang. Dalam mencari area yang tersedia untuk proyek, produsen listrik beralih ke agrivoltaik karena agrivoltaik memungkinkan pemasangan PV surya di lahan pertanian berkualitas tinggi yang dilarang untuk sistem PV darat. Tarif FIT yang tinggi juga memungkinkan petani terus bereksperimen dengan agrivoltaik meskipun biaya investasinya lebih tinggi. Namun, proporsi pemasang proyek agrivoltaik semakin bergeser ke produsen listrik yang mencakup 73% dari instalasi proyek pada tahun 2020 (7).
Saat ini, sedang dicari model bisnis yang berkelanjutan karena tarif FIT menurun hingga tingkat yang tidak lagi menguntungkan untuk agrivoltaik, menurut petani dan pelaku bisnis yang diwawancarai. Perjanjian Pembelian Listrik (Power Purchase Agreements, PPA) sedang dibahas sebagai pendekatan yang memungkinkan. Namun, masih ada banyak hambatan, terutama untuk proyek agrivoltaik karena petani skala kecil tidak mudah untuk berkomitmen pada kontrak jangka panjang, dan konsumen listrik skala besar lebih memilih kontrak dengan proyek skala besar. Masih harus dilihat apakah proyek agrivoltaik dapat bersaing dengan harga proyek PV surya skala besar di darat. Model bisnis yang sesuai untuk petani skala kecil yang kesulitan menghasilkan uang hanya dari aktivitas pertanian mereka akan sangat penting untuk revitalisasi pedesaan dan kemajuan agrivoltaik yang sebagian besar didorong oleh aktor skala kecil di Jepang. Penelitian lebih lanjut tentang kelayakan ekonomi agrivoltaik pasca-FIT diperlukan untuk memberikan rekomendasi berbasis bukti.
3.7 Penerimaan Sosial
Secara umum, penerimaan pasar untuk agrivoltaik masih rendah di Jepang. Rendahnya kemauan untuk memasang agrivoltaik sebagian dapat dijelaskan oleh insentif ekonomi yang rendah akibat penurunan tarif FIT, kurangnya visi dari pemerintah yang menyebabkan ketidakpastian dan menyulitkan investasi dalam proyek jangka panjang, serta kekhawatiran mengenai aturan pengurangan hasil 20%. Selain itu, banyaknya petani lanjut usia tanpa penerus membuat mereka tidak dapat berkomitmen untuk 20 tahun pertanian yang tepat.
Namun, beberapa faktor kemungkinan akan meningkatkan penerimaan pasar dalam beberapa tahun mendatang. Harga listrik yang tinggi membuat konsumsi sendiri dan PPA menjadi lebih menarik. Secara umum, ada juga peningkatan permintaan energi terbarukan oleh perusahaan yang ingin memenuhi komitmen dekarbonisasi mereka. Lebih lanjut, menurut petani yang diwawancarai, pergeseran pola pikir menuju sektor pertanian yang lebih berkelanjutan perlahan berkembang, terutama di kalangan petani organik yang ingin mandiri dari bahan bakar fosil.
Penerimaan komunitas terhadap agrivoltaik di Jepang masih belum cukup dianalisis. Mitra wawancara belum mengalami oposisi langsung dari penduduk, tetapi beberapa contoh praktik terbaik ini tidak dapat digeneralisasi ke sektor agrivoltaik yang lebih luas, dan lebih banyak penelitian diperlukan. Otoritas lokal dan kementerian yang diwawancarai, bagaimanapun, melihat risiko tinggi meningkatnya konflik dan praktik buruk yang kemungkinan akan berdampak negatif pada dukungan mereka terhadap agrivoltaik. Penting untuk mengurangi ketidakpastian dan mempromosikan proyek yang memberikan manfaat lokal serta komunikasi yang transparan sejak awal proses perencanaan, karena jumlah agrivoltaik akan meningkat dalam beberapa tahun mendatang dan lebih banyak orang akan langsung terpengaruh. Penyebaran narasi negatif tentang agrivoltaik akan menghambat pertumbuhan agrivoltaik dan memicu lebih banyak oposisi seperti yang sudah terjadi pada proyek PV surya skala besar di Jepang.
4. KESIMPULAN
Agrivoltaik muncul lebih dari dua dekade lalu sebagai teknologi ceruk di Jepang. Sejak saat itu, ribuan proyek telah dibangun di seluruh penjuru Jepang. Perluasan agrivoltaik semakin dipercepat, dengan jumlah izin terbanyak per tahun disetujui pada tahun 2020. Banyak pemangku kepentingan mengakui keuntungan agrivoltaik di Jepang. Petani yang kesulitan mendapatkan pendapatan yang cukup dari pertanian dapat memperoleh penghasilan tambahan, produsen listrik dapat memperluas lahan yang tersedia untuk PV surya, dan pemerintah serta kementerian memiliki alat tambahan untuk mencapai tujuan sosial seperti dekarbonisasi, revitalisasi pedesaan, ketahanan pangan dan energi, serta ketahanan terhadap bencana.
Namun, agrivoltaik tetap menjadi teknologi ceruk di Jepang. Mayoritas proyek berskala kecil dan hanya menyumbang kurang dari 1% dari total pembangkitan listrik PV surya [23]. Untuk memajukan agrivoltaik dari teknologi ceruk, direkomendasikan:
1. Pemerintah nasional membuat visi yang jelas khusus untuk agrivoltaik guna memastikan aktor-aktor terkait dan mendorong investasi jangka panjang.
2. Persyaratan untuk konversi penggunaan lahan sementara harus dipertimbangkan kembali guna mengurangi hambatan hukum, seperti aturan pengurangan hasil sebesar 20%.
3. Penelitian tentang agrivoltaik harus dikembangkan dan didukung oleh pemerintah untuk mengurangi ketidakpastian dan menyediakan dasar untuk pengambilan keputusan berbasis ilmiah.
4. Model bisnis baru yang sesuai untuk agrivoltaik perlu dikembangkan dan didukung oleh kerangka hukum.
5. Narasi positif yang berfokus pada manfaat sosial agrivoltaik harus disebarluaskan lebih awal dan secara luas untuk menghindari oposisi.
6. Petani muda perlu tertarik untuk menghentikan penurunan sektor pertanian dan mereka cenderung lebih terbuka untuk menghadapi tantangan baru seperti agrivoltaik.
REFERENSI
1. A. Nagashima, "Sunlight power generation system," Japan, 2005. [Online]. Available: https://patentimages.storage.googleapis.com/d5/39/39/2d03649224ef88/JP20052770 38A.pdf.
2. F. W. Geels, B. K. Sovacool, T. Schwanen, and S. Sorrell, "The Socio-Technical Dynamics of Low-Carbon Transitions," Joule, vol. 1, no. 3, pp. 463-479, 2017, doi: 10.1016/j.joule.2017.09.018.
3. D. G. Victor, F. W. Geels, and S. Sharpe, "Accelerating the Low Carbon Transition: The Case for Stronger, More Targeted and Coordinated International Action," 2019. Accessed: 2023.04.26. [Online]. Available: https://www.brookings.edu/wpcontent/uploads/2019/12/Coordinatedactionreport.pdf.
4. F. W. Geels and V. Johnson, "Towards a modular and temporal understanding of system diffusion: Adoption models and socio-technical theories applied to Austrian biomass district-heating (1979–2013)," Energy Research & Social Science, vol. 38, pp. 138-153, 2018, doi: 10.1016/j.erss.2018.02.010.
5. Ministry of Agriculture Forestry and Fisheries, "Permits for the installation of agricultural power generation facilities by prefecture," (in Japanese), 2022. [Online]. Available: https://www.maff.go.jp/j/nousin/noukei/totiriyo/attach/pdf/einogata-3.pdf.
6. Ministry of Agriculture Forestry and Fisheries (2022). Results of Permission for Conversion of Agricultural Land to Install Photovoltaic Power Generation Facilities. [Online] Available: https://www.maff.go.jp/j/nousin/noukei/totiriyo/attach/pdf/einogata4.pdf.
7. Ministry of Agriculture Forestry and Fisheries, "Status of installation of farm-based photovoltaic installations, etc.," (in Japanese), 2022. [Online]. Available: https://www.maff.go.jp/j/nousin/noukei/totiriyo/attach/pdf/einogata-2.pdf.
8. Ministry of Agriculture Forestry and Fisheries (2020). Census of Agriculture and Forestry 2020.
9. Ministry of Agriculture Forestry and Fisheries (2022). Statistics on Agricultural Labor Force. [Online] Available: https://www.maff.go.jp/j/tokei/sihyo/data/08.html.
10. Institute for Sustainable Energy Policies, "2022 Share of Electricity from Renewable Energy Sources in Japan," 2023. [Online]. Available: https://www.isep.or.jp/en/1436/.
11. Ministry of Economy, Trade and Industry,, "Outline of the 6th Strategic Energy Plan," 2021.
12. Ministry of Agriculture Forestry and Fisheries (2020). Summary of the Basic Plan for Food, Agriculture and Rural Areas. [Online] Available: https://www.maff.go.jp/e/policies/law_plan/attach/pdf/index-13.pdf.
13. Ministry of Agriculture Forestry and Fisheries (2021). Understanding the current energy situation in Japan. [Online] Available: https://www.enecho.meti.go.jp/en/category/special/article/detail_171.html
14. Cabinet Office, "Follow-up on the Growth Strategy," 2019.
15. Cabinet Office, "Follow-up on the Growth Strategy," 2020.
16. C. Doedt, M. Tajima, and T. Iida, "Agrivoltaics in Japan: A Legal Framework Analysis," in AgriVoltaics2022, Piacenza, Italy, 2022.
17. Director-General, Rural Development Bureau,, Ministry of Agriculture,, Forestry and Fisheries, "Notification No. 24 Noushin Article 2657," 2013.
18. Director-General, Rural Development Bureau,, Ministry of Agriculture,, Forestry and Fisheries,, "Notification No. 30 Noushin Article 78," 2018.
19. Director-General, Rural Development Bureau,, Ministry of Agriculture,, Forestry and Fisheries,, "Notification No. 2 Noushin Article 3854," 2021.
20. The Japanese Government, "Amendment of a part of Electricity Business Act to establish a resilient and sustainable electricity supply system (Act No. 49 of 12 June 2020)," 2020.
21. OECD, "Gross domestic spending on R&D," 2023.
22. G. Su, H. Okahashi, and L. Chen, "Spatial Pattern of Farmland Abandonment in Japan: Identification and Determinants," Sustainability, vol. 10, no. 10, p. 3676, 2018, doi: 10.3390/su10103676.
23. T. Magami, "Agenda for diversification and pervasiveness of agrivoltaic systems' facilities and business scheme," (in Japanese), Journal on public affairs, vol. 14, no. 1, pp. 375-397, 2018-03 2018, doi: 10.20776/s18814859-14-1-p375.
SUMBER:
Christian Doedt, Makoto Tajima, and Tetsunari Iida. The Socio-Technical Dynamics of Agrivoltaics in Japan. AgriVoltaics World Conference 2023. Legal Framework & Public Policies. https://doi.org/10.52825/agripv.v2i.990