Lumpy
skin disease (LSD) adalah penyakit virus sapi yang
muncul, yang endemik di sebagian besar negara Afrika dan beberapa negara Timur
Tengah, dan peningkatan risiko penyebaran penyakit ke seluruh Asia dan Eropa
harus dipertimbangkan. Penyebaran penyakit yang cepat baru-baru ini di
negara-negara bebas penyakit saat ini menunjukkan pentingnya memahami batasan
dan rute distribusi. Agen penyebab, Capripoxvirus, juga dapat menyebabkan cacar
domba dan cacar kambing. Kerugian ekonomi akibat penyakit ini sangat
memprihatinkan, karena sangat mengancam perdagangan internasional dan dapat
digunakan sebagai agen bioterorisme ekonomi.
Distribusi capripoxvirus
tampaknya meluas karena akses terbatas ke vaksin yang efektif dan kemiskinan di
dalam komunitas pertanian. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh dampak
ekonomi dari pandemi Covid-19 dan pengenaan sanksi yang melumpuhkan di daerah
endemik, serta meningkatnya perdagangan hewan hidup dan produk hewan secara
legal dan ilegal, serta perubahan iklim global. Tinjauan ini dirancang untuk
memberikan informasi yang ada tentang berbagai aspek penyakit seperti
klinikopatologi, penularan, epidemiologi, diagnosis, tindakan pencegahan dan
pengendalian, dan peran potensial satwa liar dalam penyebaran penyakit lebih
lanjut.
1.
PENDAHULUAN
Penyakit kulit lumpy (LSD),
ancaman utama bagi peternakan, dapat menyebabkan penyakit akut atau subakut
pada sapi dan kerbau (Givens, 2018; Tuppurainen, Venter, et al., 2017). Semua
umur dan breed sapi dapat terkena, tetapi terutama sapi muda dan sapi pada
puncak laktasi (Tuppurainen et al., 2011). Alasan mengapa Organisasi Kesehatan
Hewan Dunia (OIE) menempatkan penyakit lintas batas ini pada daftar penyakit
yang dapat dilaporkan adalah karena kerugian ekonomi yang signifikan dan
potensi penyebaran yang cepat (Tuppurainen & Oura, 2012). Penyebaran
penyakit baru-baru ini di negara-negara bebas penyakit menunjukkan pentingnya
penularannya, serta pengendalian dan pemberantasannya (Sprygin et al., 2019).
Lumpy skin disease virus (LSDV) adalah DNA untai ganda yang mengandung sekitar
150 pasangan kilobase (kbp) dengan ukuran yang relatif besar (230-260 nm),
tertutup dalam amplop lipid dan termasuk dalam genus Capripoxvirus, yang secara
genetik terkait dengan domba. virus cacar (SPPV) dan cacar kambing (GTPV)
(Bhanuprakash et al., 2006; Buller et al., 2005; Givens, 2018). Virus ini
adalah yang paling signifikan secara ekonomi dalam famili Poxviridae yang
menyerang ruminansia domestik.
Kapsid atau nukleokapsid
virus berbentuk bata atau oval yang berisi genom dan badan lateral. Hibridisasi
silang DNA yang ekstensif antar spesies menyebabkan reaksi silang serologis dan
proteksi silang antar anggota. Meskipun Capripoxviruses umumnya dianggap
sebagai host spesifik, SPPV dan GTPV strain secara alami atau eksperimental
dapat menginfeksi silang dan menyebabkan penyakit pada kedua spesies inang.
Sebaliknya, LSDV secara eksperimental dapat menginfeksi domba dan kambing,
tetapi tidak dilaporkan adanya infeksi alami pada domba dan kambing dengan
LSDV.
2
PATOLOGI KLINIK
Gambaran klinis penyakit ini
termasuk demam, tidak nafsu makan, sekret hidung, air liur dan air mata,
pembesaran kelenjar getah bening, penurunan produksi susu yang signifikan,
penurunan berat badan dan terkadang kematian (Abutarbush et al., 2013;
Annandale et al., 2014). ; Babiuk dkk., 2008; Tasioudi dkk., 2016). Lebih
lanjut, penyakit ini ditandai dengan nodul kulit yang tegas, sedikit terangkat,
berbatas tegas (Gambar 1) berdiameter 2-7 cm dan biasanya muncul di leher,
kaki, ekor dan punggung, segera setelah awal demam (Beard, 2016). ; Sevik &
Dogan, 2017). Nodul nekrotik dan ulseratif meningkatkan risiko myiasis (Beard,
2016). Edema pada kaki dan kepincangan diamati pada beberapa kasus (Tuppurainen
& Oura, 2012). LSDV dapat menyebabkan aborsi (Radostitis et al., 2006),
mastitis dan orchitis (Awadin et al., 2011). Namun, nodul tidak diamati pada
janin yang diaborsi (Sevik & Dogan, 2017). Dengan nekropsi, edema paru dan
kemacetan, nodul di seluruh paru-paru dan saluran pencernaan sering diamati
(Zeynalova et al., 2016). Jaringan seperti moncong, rongga hidung, laring,
trakea, bagian dalam bibir, bantalan gigi, gingiva, abomasum, ambing, puting
susu, rahim, vagina dan testis mungkin terpengaruh. Komplikasi penyakit berat
dilaporkan sebagai keratitis, disentri, ketimpangan, pneumonia, mastitis dan
myiasis (Al-Salihi & Hassan, 2015; Tuppurainen et al., 2017).
Gambar 1. Penyakit kulit
benjolan. Lesi nodular yang menonjol dan berbatas tegas
Pemeriksaan histopatologi
nodul kulit dapat mengungkapkan patognomonik eosinofilik intrasitoplasma badan
inklusi dalam keratinosit, makrofag, sel endotel dan perisit dan berhubungan
dengan degenerasi balon sel spinosum. Infiltrasi jaringan dermal superfisial dari
daerah yang terkena oleh sel-sel inflamasi seperti makrofag, limfosit dan
eosinofil terlihat. Selain itu, vaskulitis luas dan nekrosis koagulatif parah
pada otot subkutan dapat diamati dalam beberapa kasus (Constable et al., 2017;
Sevik et al., 2016). Penyakit kulit pseudo-lumpy, urtikaria, streptotrikosis
(infeksi Dermatophilus congolensis), kurap, infeksi Hypoderma bovis,
fotosensitisasi, stomatitis papular sapi, penyakit kaki dan mulut, diare virus
pada sapi dan demam catarrhal ganas semuanya dipertimbangkan dalam diagnosis
banding LSD (Abutarbush , 2017).
3
PATOGENESIS
Setelah infeksi LSDV,
replikasi virus, viremia, demam, lokalisasi kulit virus dan pengembangan nodul
terjadi (Constable et al., 2017). Secara eksperimental, setelah inokulasi virus
intradermal, kejadian berikut dilaporkan:
4 sampai 7 hari pasca
infeksi (DPI): pembengkakan lokal sebagai nodul atau plak 1-3 cm di tempat
inokulasi
6 hingga 18 DPI: viremia dan
pelepasan virus melalui pelepasan oral dan hidung
7 hingga 19 DPI: limfadenopati
regional dan perkembangan nodul kulit umum
42 hari setelah demam:
adanya virus dalam air mani (Coetzer, 2004).
Replikasi intraseluler virus
dalam fibroblas, makrofag, perisit dan sel endotel menyebabkan vaskulitis dan
limfangitis pada jaringan yang terkena (Coetzer, 2004).
Tampaknya anak sapi muda,
sapi menyusui dan hewan kurus lebih rentan terhadap infeksi alami, mungkin
karena penurunan kekebalan humoral (Babiuk, Bowden, Boyle, et al., 2008). Hewan
yang telah pulih dari infeksi alami oleh virus telah menunjukkan kekebalan
seumur hidup. Anak sapi dari induknya yang terinfeksi resisten terhadap
penyakit klinis selama kurang lebih 6 bulan karena diperolehnya antibodi
maternal (Tuppurainen et al., 2005). Hewan yang terkena dampak membersihkan infeksi
dan belum ada status pembawa yang diketahui untuk LSDV (Tuppurainen,
Alexandrov, et al., 2017).
4
TRANSMISI
Penyakit kulit lumpy dapat
menyerang sapi, kerbau, dan ruminansia liar. Tampaknya domba dan kambing tidak
terinfeksi virus (El-Nahas et al., 2011; Lamien, Le Goff, et al., 2011). LSDV
dapat tetap hidup untuk waktu yang lama di lingkungan pada suhu kamar, terutama
di keropeng kering. Dilaporkan bahwa virus bertahan dalam nodul kulit nekrotik
hingga 33 hari atau lebih, dalam kulit kering hingga 35 hari dan setidaknya 18
hari di kulit kering udara. Virus dapat diinaktivasi pada suhu 55°C selama 2
jam dan 65°C selama 30 menit (Mulatu & Feyisa, 2018). Sumber utama infeksi
dianggap lesi kulit karena virus menetap di lesi atau keropeng untuk waktu yang
lama. Virus ini juga diekskresikan melalui darah, sekresi hidung dan air mata,
air liur, air mani dan susu (dapat ditularkan ke anak sapi yang menyusui).
LSDV ditularkan melalui
arthropoda, khususnya serangga penghisap darah (Chihota, Rennie, Kitching,
& Mellor, 2001, 2003; MacLachlan & Dubovi, 2011), pakan dan air yang
terkontaminasi dan penularan langsung pada stadium lanjut penyakit melalui air
liur, sekresi hidung dan air mani (Annandale et al., 2014; Chihota et al.,
2001; Irons et al., 2005; Tuppurainen, Venter, et al., 2017). Beberapa
penelitian menunjukkan tidak ada korelasi positif antara kepadatan ternak dan
tingkat infeksi, yang menunjukkan rendahnya pentingnya penularan virus
langsung, setidaknya pada tahap awal penyakit, dibandingkan dengan signifikansi
yang lebih tinggi dari penularan tidak langsung (Carn & Kitching, 1995;
Magori-Cohen et al., 2012).
Karena sebagian besar wabah
LSD terjadi di musim panas saat arthropoda paling aktif, hal ini dapat
mengindikasikan keterlibatan berbagai spesies vektor, terutama serangga
penghisap darah, dalam penyebaran virus (Kahana-Sutin et al., 2017; Sprygin et
al., 2018). ).
Beberapa penelitian telah
menyarankan kemungkinan peran kutu keras dalam penularan virus (Lubinga et al.,
2015; Tuppurainen et al., 2011, 2013). Virus LSDdan antigen virus ditemukan
dalam air liur dan berbagai organ kutu, termasuk hemosit, kelenjar ludah dan
usus tengah dalam air liur dan berbagai organ kutu seperti hemosit, kelenjar
ludah dan usus tengah (Lubinga et al., 2013,). 2014). Selanjutnya, penularan
virus secara transstadial dan mekanis oleh kutu dibuktikan berdasarkan bukti
molekuler (Tuppurainen & Oura, 2012). Namun, keterikatan mereka yang
berkepanjangan pada inang tidak menjelaskan terjadinya epidemi yang luas dengan
cepat. Oleh karena itu, tampaknya kutu dapat bertindak sebagai reservoir virus
(Kahana-Sutin et al., 2017).
Aedes aegypti merupakan
satu-satunya dipteran yang mampu menularkan virus secara penuh kepada ternak
yang rentan (Chihota et al., 2001). Nyamuk seperti Culicoides nubeculosus,
Culex quinquefasciatus Say dan Anopheles stephensi Liston tidak dapat
menularkan virus (Chihota et al., 2003).
Meskipun Stomoxys calcitrans
telah terlihat pada wabah LSD dan telah menularkan virus capripox ke domba dan
kambing (Baldacchino et al., 2013; Yeruham et al., 1995), transmisi LSDV ke
hewan yang rentan telah gagal (Chihota et al., 2003). Karena LSDV telah
terdeteksi di Culicoides punctatus,
mungkin berperan dalam penularan virus (Sevik & Dogan, 2017). Disebutkan
pula bahwa rasio populasi serangga penggigit terhadap populasi inang
berkorelasi positif dengan kemungkinan penularan (Gubbins et al., 2008).
Dalam studi eksperimental,
persistensi virus LSD ditunjukkan dalam air mani sapi dengan PCR dan isolasi
virus (Annandale et al., 2010; Givens, 2018; Irons et al., 2005). Selain itu,
air mani juga menyebabkan penularan virus ke sapi dara yang diinseminasi
(Annandale et al., 2014).
5
EPIDEMIOLOGI
5.1 Distribusi geografis
LSDV didiagnosis pertama
kali di Zambia pada tahun 1929 dan kemudian dilaporkan di beberapa wilayah
negara Afrika (Wainwright et al., 2013). Penyakit ini telah diidentifikasi di
Arab Saudi, Lebanon, Yordania, Irak, Israel, Turki dan Iran (Abutarbush et al.,
2013; Al-Salihi & Hassan, 2015; Ben-Gera et al., 2015; Ince et al., 2016;
Sameea Yousefi dkk., 2017). Sejak 2015, telah menyebar ke Rusia, Azerbaijan,
Armenia, Yunani dan Bulgaria, Albania, Kosovo, Serbia dan Montenegro (Beard,
2016; EFSA, 2017; OIE, 2015; Ripani & Pacholek, 2015; Tasioudi et al.,
2016; Wainwright dkk., 2013; Zeynalova dkk., 2016). Oleh karena itu,
peningkatan risiko penyebaran penyakit ke seluruh Eropa dan Asia harus
dipertimbangkan (Gambar 2).
Gambar 2. Situasi global LSD(FAO,
2016)
Jumlah KLB LSDdi berbagai
negara dilaporkan pada tahun 2014-2016 oleh OIE (Gambar 3). Misalnya, jumlah
wabah LSD di beberapa negara Timur Tengah dengan batas yang luas adalah 6, 8,
1.294, 1, 16, 1 dan 330 di Iran, Irak, Turki, Kazakhstan, Azerbaijan, Armenia
dan Rusia (OIE WAHID, 2018).
Gambar 3. Jumlah KLB LSD di berbagai negara selama 2014–2016 (OIE, 2018)
5.2
Morbiditas dan Morbiditas
Belum ada laporan mengenai
masa inkubasi infeksi LSDV pada kondisi lapangan (OIE, 2018). Meskipun angka
kesakitan bervariasi antara 5% dan 45% (kadang sampai 100%), angka kematian
biasanya di bawah 10% (kadang sampai 40%) (Coetzer, 2004). Misalnya, tingkat
morbiditas dan mortalitas wabah dilaporkan masing-masing sebesar 8,7% dan 0,4%,
di Yunani (Tasioudi et al., 2016) dan 12,3% dan 6,4%, di Turki (Sevik &
Dogan, 2017). Tingkat keparahan penyakit klinis sering dipengaruhi oleh umur
hewan, breed, status imun dan masa produksi (Tuppurainen, Venter, et al.,
2017).
5.3
Faktor risiko
Faktor risiko yang terkait dengan
penyebaran LSD termasuk iklim yang hangat dan lembab, kondisi yang mendukung
kelimpahan populasi vektor, seperti yang terlihat setelah hujan musiman, dan
pengenalan hewan baru ke kawanan.
Ukuran kawanan, populasi
vektor, jarak ke danau, migrasi kawanan, pengangkutan hewan yang terinfeksi ke
daerah bebas penyakit, padang rumput umum dan sumber air semuanya dianggap
sebagai faktor risiko lain, yang dapat meningkatkan prevalensi penyakit (Gari
et al. ., 2010; Ince et al., 2016; Sevik & Dogan, 2017). Selain itu, arah
dan kekuatan angin kemungkinan berkontribusi terhadap penyebaran virus (Chihota
et al., 2003; Rouby & Aboulsoud, 2016).
Semua umur dan ras ternak,
serta kedua jenis kelamin, rentan terhadap penyakit ini (Tuppurainen et al.,
2011). Juga, faktor risiko yang terkait dengan seropositif LSDV termasuk usia,
jenis kelamin, jenis pengelolaan, curah hujan tahunan rata-rata dan sumber air
umum (Ochwo et al., 2019).
5.4
Peran satwa liar dalam penyebaran penyakit
Seropositif dapat
menunjukkan kemungkinan peran hewan dalam epidemiologi penyakit (Barnard,
1997). Tampaknya kasus klinis ringan pada satwa liar mudah terlewatkan karena
sulit atau tidak mungkin untuk memantau lesi kulit (Barnard, 1997).
Kerentanan springbok, impala
dan jerapah terhadap virus telah dibuktikan (Lamien, Le Goff, et al., 2011; Le
Goff et al., 2009; Young et al., 1970). Spesies lain yang telah seropositif
untuk virus termasuk kerbau Afrika, rusa kutub biru, eland, jerapah, impala dan
kudu besar (Barnard, 1997; Davies, 1982; Fagbo et al., 2014). Penyakit ini
dilaporkan pada kijang Arab oleh Greth et al., (1992). Namun, peran satwa liar
dalam epidemiologi LSD belum dipahami dengan baik (Tuppurainen, Venter, et al.,
2017).
6
DAMPAK EKONOMI
Penyakit kulit benjolan
telah menyebabkan kerugian ekonomi yang serius di negara-negara yang terkena
dampak. Penyakit ini menyebabkan penurunan produksi susu yang cukup besar (dari
10% menjadi 85%) karena demam tinggi dan mastitis sekunder. Konsekuensi lain
dari penyakit ini termasuk kulit yang rusak, penurunan tingkat pertumbuhan pada
sapi potong, infertilitas sementara atau permanen, aborsi, biaya pengobatan dan
vaksinasi dan kematian hewan yang terinfeksi (Alemayehu et al., 2013; Babiuk,
Bowden, Boyle, et al. ., 2008; Sajid et al., 2012; Sevik & Dogan, 2017).
Total biaya wabah LSD di 393
ternak yang disurvei adalah 822 940,7 GBP di Turki (Sevik & Dogan, 2017).
Di Ethiopia, perkiraan kerugian finansial adalah 6,43 USD dan 58 USD per ekor
untuk zebu lokal dan Holstein Friesian, masing-masing (Gari et al., 2010).
Total kerugian produksi akibat penyakit ini diperkirakan mencapai 45%-65% pada
peternakan sapi industri (Tuppurainen & Oura, 2012). Agen penyebab,
capripoxvirus, dapat menyebabkan penyakit cacar domba dan juga penyakit
kambing, dan penyakit ini memiliki signifikansi ekonomi, mengingat bahwa mereka
menghadirkan hambatan besar untuk perdagangan internasional dan dapat
disalahgunakan sebagai agen bioterorisme ekonomi.
7
DIAGNOSIS
Meskipun diagnosis klinis primer LSD, diagnosis dikonfirmasi dengan menggunakan PCR konvensional (Orlova et al., 2006; Tuppurainen et al., 2005; Zheng et al., 2007) atau teknik PCR waktu nyata (Balinsky et al., 2008; Bowden et al., 2008). Sebuah teknik PCR real-time juga telah ditetapkan, membedakan antara LSDV, domba dan kambing poxviruses (Lamien, Lelenta, et al., 2011). Untuk membedakan LSDV virulen dari strain vaksin, Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) juga telah digunakan (Menasherow et al., 2014). Selanjutnya, mikroskop elektron, isolasi virus, netralisasi virus dan teknik serologis telah digunakan untuk deteksi LSDV seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1 (OIE, 2018). Disebutkan bahwa metode molekuler lebih tepat, handal dan cepat dibandingkan dengan metode lain (Stubbs et al., 2012). Di antara teknik serologis, tes netralisasi virus, yang lambat dan mahal dengan spesifisitas tinggi dan sensitivitas rendah, adalah satu-satunya tes yang saat ini divalidasi/valid (Beard, 2016). Babiuk, Bowden, Parkyn, dkk. (2008) menetapkan deteksi imunohistokimia antigen LSDV dalam studi eksperimental.
TABEL 1. Teknik yang berbeda
untuk diagnosis LSD
Catatan
: tidak sesuai dengan
tujuannya; +: dapat digunakan dalam beberapa situasi, tetapi penerapannya
dibatasi oleh beberapa faktor seperti keandalan, biaya, dll.; ++: metode yang
sesuai; +++: metode yang disarankan.
IFAT menunjukkan Tes
Antibodi Fluorescent Tidak Langsung; dan PCR, reaksi berantai polimerase.
Terlepas dari spesifisitas
dan sensitivitas tes western blot, tes ini mahal dan sulit dilakukan (OIE,
2018).
8
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN
Penyebaran capripoxvirus
tampaknya semakin meluas karena terbatasnya akses terhadap vaksin yang efektif
dan kemiskinan di komunitas petani di daerah endemik, serta meningkatnya
perdagangan hewan hidup legal dan ilegal, selain perubahan iklim global.
Vaksinasi merupakan satu-satunya cara yang efektif untuk mengendalikan penyakit
di daerah endemik seiring dengan pembatasan pergerakan dan pemindahan hewan
yang terkena (Sevik & Dogan, 2017). Pengobatan LSD hanya simptomatik dan
ditargetkan untuk mencegah komplikasi bakteri sekunder menggunakan kombinasi
antimikroba, anti-inflamasi, terapi suportif dan solusi anti-septik (Salib
& Osman, 2011). Pemusnahan hewan yang terkena dampak, pembatasan pergerakan
dan vaksinasi wajib dan konsisten telah direkomendasikan sebagai strategi
pengendalian (Beard, 2016; OIE WAHIS, 2016; Tuppurainen, Venter, et al., 2017).
Namun, mengenai peran vektor arthropoda, eliminasi penyakit kemungkinan akan
sulit dan keterlambatan dalam pemindahan hewan yang terinfeksi meningkatkan
risiko penularan LSD (Tuppurainen, Venter, et al., 2017). Selain itu, faktor
risiko harus dipertimbangkan dalam kegiatan pengendalian (Sevik & Dogan,
2017). Mendidik dokter hewan dan pekerja peternakan akan memungkinkan mereka
melakukan diagnosis kasus klinis secara tepat waktu, membantu memperlambat
penyebaran penyakit (Beard, 2016).
Anggota capripoxvirus
diketahui memberikan perlindungan silang. Oleh karena itu, vaksin hidup yang
dilemahkan secara homolog (strain Neethling LSDV) dan heterolog (virus sheeppox
atau goatpox) dapat digunakan untuk melindungi ternak dari infeksi LSD (OIE,
2013). Di negara-negara bebas LSD yang menggunakan vaksin cacar domba untuk
melindungi domba dari cacar domba, direkomendasikan untuk menggunakan vaksin
yang sama selama wabah LSD karena potensi masalah keamanan yang terkait dengan
penggunaan vaksin LSDV hidup yang dilemahkan (Tuppurainen & Oura, 2012).
Selanjutnya, konfirmasi diagnosis klinis yang cepat sangat penting sehingga
tindakan pemberantasan, seperti karantina, pemotongan hewan yang terkena dan
kontak, pembuangan bangkai yang tepat, pembersihan dan disinfeksi tempat, dan
pengendalian serangga dapat diterapkan sebagai sesegera mungkin selama letusan
(Constable et al., 2017; Tuppurainen et al., 2005). Selain itu, pembatasan
impor yang ketat terhadap ternak, karkas, kulit dan semen dari daerah endemik
harus diterapkan di daerah bebas penyakit (Sevik & Dogan, 2017).
Diketahui bahwa kekebalan
lengkap terhadap LSD tidak diberikan oleh vaksin cacar domba bekas (Brenner et
al., 2009). Namun demikian, mereka digunakan di beberapa negara seperti Irak,
Iran, Turki dan negara-negara Afrika dengan tumpang tindih antara LSD, SPP dan
GTP (Sameea Yousefi et al., 2017).
Vaksin yang dapat diakses
secara komersial terhadap LSD adalah vaksin hidup yang dilemahkan. Meskipun
lesi kulit telah berkembang pada beberapa hewan yang divaksinasi setelah
terpapar virus, ada lebih banyak kasus klinis pada kelompok yang tidak
divaksinasi dibandingkan dengan kelompok yang divaksinasi (Brenner et al.,
2009; Stram et al., 2008). Vaksin murah ini dapat memberikan perlindungan yang
memadai melalui program vaksinasi tahunan (Tuppurainen, Venter, et al., 2017).
Saat ini, keamanan dan kemanjuran vaksin inaktif yang baru dikembangkan telah
dikonfirmasi dalam studi lapangan oleh Hamdi et al. (2020).
Vaksin hidup menghasilkan
respon imun yang kuat dan tahan lama, serta efisien dalam pengendalian
penyebaran penyakit (Tuppurainen et al., 2020). Namun, vaksin hidup dapat
menyebabkan peradangan lokal dan penyakit ringan dengan lesi kulit (Bedekovic
et al., 2017). Meskipun vaksin inaktif mahal dan memerlukan beberapa kali
pemberian, vaksin tersebut aman dan memungkinkan untuk menggabungkannya dengan
antigen lain untuk membuat vaksin polivalen yang dapat digunakan di negara
bebas penyakit. Selain itu, vaksin inaktif dapat diterapkan pada tahap akhir
pemberantasan penyakit sebagai bagian dari strategi yang menggunakan vaksin
hidup terlebih dahulu (Hamdi et al., 2020).
Karena ada kemungkinan
rekombinasi antara galur liar dan vaksin hidup, risiko koinfeksi harus
dipertimbangkan dengan penggunaan vaksin hidup (Sprygin et al., 2018). Infeksi
alami mungkin diperburuk oleh vaksinasi hewan yang terinfeksi (Sprygin et al.,
2019). Juga, vaksin ini tidak direkomendasikan di negara bebas penyakit.
Pembeda yang terinfeksi dari hewan yang divaksinasi (DIVA) harus dikembangkan
untuk negara-negara non-endemik, ini juga akan menjadi alat yang efektif untuk
negara-negara endemik (Tuppurainen, Venter, et al., 2017).
9
KESIMPULAN
Penyebaran penyakit
baru-baru ini ke daerah bebas penyakit menunjukkan signifikansi epidemiologis
dan ekonominya. Mempertimbangkan batas-batas negara-negara Timur Tengah yang
luas, pergerakan hewan di antara negara-negara ini harus dikontrol dengan penuh
perhatian oleh otoritas veteriner.
Selain itu, dengan
memperhatikan berbagai aspek penyakit, seperti penularan dan epidemiologi, dan
penerapan tindakan pencegahan yang efektif seperti vaksinasi, dapat
menghasilkan pengendalian penyakit yang lebih baik.
Oleh karena itu, diagnosis
yang akurat dan tepat waktu di daerah endemik, vaksinasi dengan strain homolog
LSDV, pengendalian vektor, pembatasan pergerakan hewan dan pengujian LSDV
terhadap pejantan yang digunakan untuk pembiakan sangat dianjurkan sebagai alat
untuk mengendalikan penyebaran lebih lanjut.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Abutarbush, S. M. (2017). Lumpy skin disease
(Knopvelsiekte, PseudoUrticaria, Neethling Virus Disease, Exanthema Nodularis
Bovis). In J. Bayry (Ed.), Emerging and re-emerging infectious diseases of
livestock (pp. 309– 326). Springer International Publishing.
3.
Abutarbush, S. M., Ababneh, M. M., Al Zoubi,
I. G., Al Sheyab, O. M., Al Zoubi, M. G., Alekish, M. O., & Al Gharabat, R.
J. (2013). Lumpy skin disease in Jordan: Disease emergence, clinical signs,
complications and preliminary-associated economic losses. Transboundary and
Emerging Diseases, 62, 549– 554. https://doi.org/10.1111/tbed.12177
4.
Wiley Online
Library PubMed
Web
of Science®Google Scholar
5.
Alemayehu, G., Zewde, G., & Admassu, B.
(2013). Risk assessments of lumpy skin diseases in Borena bull market chain and
its implication for livelihoods and international trade. Tropical Animal Health
and Production, 45, 1153– 1159. https://doi.org/10.1007/s11250-012-0340-9
6.
Crossref
PubMed
Web
of Science®Google Scholar
7.
Al-Salihi, K. A., & Hassan, I. Q. (2015).
Lumpy skin disease in Iraq: Study of the disease emergence. Transboundary and
Emerging Diseases, 62, 457– 462. https://doi.org/10.1111/tbed.12386
8.
Wiley Online
Library CAS
PubMed
Web
of Science®Google Scholar
9.
Annandale, C. H., Holm, D. E., Ebersohn, K.,
& Venter, E. H. (2014). Seminal transmission of lumpy skin disease virus in
heifers. Transboundary and Emerging Diseases, 61, 443– 448. https://doi.org/10.1111/tbed.12045
10. Wiley Online
Library CAS
PubMed
Web
of Science®Google Scholar
11. Annandale,
C. H., Irons, P. C., Bagla, V. P., Osuagwuh, U. I., & Venter, E. H. (2010).
Sites of persistence of lumpy skin disease virus in the genital tract of
experimentally infected bulls. Reproduction in Domestic Animals, 45, 250– 255. https://doi.org/10.1111/j.1439-0531.2008.01274.x
12. Wiley
Online Library CAS
PubMed
Web
of Science®Google Scholar
13. Awadin,
W., Hussein, H., Elseady, Y., Babiuk, S., & Furuoka, H. (2011). Detection
of lumpy skin disease virus antigen and genomic DNA in formalin-fixed
paraffin-embedded tissues from an Egyptian outbreak in 2006. Transboundary and
Emerging Diseases, 58, 451– 457. https://doi.org/10.1111/j.1865-1682.2011.01238.x
14. Wiley
Online Library CAS
PubMed
Web
of Science®Google Scholar
15. Babiuk,
S., Bowden, T. R., Boyle, D. B., Wallace, D. B., & Kitching, R. P. (2008).
Capripoxviruses: An emerging worldwide threat to sheep, goats and cattle.
Transboundary and Emerging Diseases, 55, 263– 272. https://doi.org/10.1111/j.1865-1682.2008.01043.x
16. Wiley
Online Library CAS
PubMed
Web
of Science®Google Scholar
17. Babiuk,
S., Bowden, T. R., Parkyn, G., Dalman, B., Manning, L., Neufeld, J.,
Embury-Hyatt, C., Copps, J., & Boyle, D. B. (2008). Quantification of lumpy
skin disease virus following experimental infection in cattle. Transboundary
and Emerging Diseases, 55, 299– 307. https://doi.org/10.1111/j.1865-1682.2008.01024.x
18. Wiley
Online Library CAS
PubMed
Web
of Science®Google Scholar
19. Baldacchino,
F., Muenworn, V., Desquesnes, M., Desoli, F., Charoenviriyaphap, T., &
Duvallet, G. (2013). Transmission of pathogens by Stomoxys flies (Diptera,
Muscidae): A review. Parasite, 20, 26.
20. Crossref
PubMed
Web
of Science®Google Scholar
21. Balinsky,
C. A., Delhon, G., Smoliga, G., Prarat, M., French, R. A., Geary, S. J., Rock,
D. L., & Rodriguez, L. L. (2008). Rapid preclinical detection of Sheeppox
virus by a real-time PCRassay. Journal of Clinical Microbiology, 46, 438– 442. https://doi.org/10.1128/JCM.01953-07
22. Crossref
CAS
PubMed
Web
of Science®Google Scholar
23. Barnard,
B. J. H. (1997). Antibodies against some viruses of domestic animals in South
African wild animals. Onderstepoort Journal of Veterinary Research, 64, 95–
110.
24. CAS
PubMed
Web
of Science®Google Scholar
25. Beard,
P. M. (2016). Lumpy skin disease: A direct threat to Europe. Veterinary Record,
178(22), 557– 558. https://doi.org/10.1136/vr.i2800
26. Wiley Online
Library PubMed
Web
of Science®Google Scholar
27. Bedekovic,
T., Simic, I., Kresic, N., & Lojkic, I. (2017). Detection of lumpy skin
disease virus in skin lesions, blood, nasal swabs and milk following preventive
vaccination. Transboundary and Emerging Diseases, 65(2), 491– 496.
28. Wiley Online
Library PubMed
Web
of Science®Google Scholar
29. Ben-Gera,
J., Klement, E., Khinich, E., Stram, Y., & Shpigel, N. Y. (2015).
Comparison of the efficacy of Neethling lumpy skin disease virus and x10RM65
sheep-pox live attenuated vaccinesfor the prevention of lumpy skin disease –
The results of a randomized controlled field study. Vaccine, 33, 4837– 4842. https://doi.org/10.1016/j.vaccine.2015.07.071
30. Crossref
CAS
PubMed
Web
of Science®Google Scholar
31. Bhanuprakash,
V., Indrani, B. K., Hosamani, M., & Singh, R. K. (2006). The current status
of sheep pox disease. Comparative Immunology, Microbiology and Infectious
Diseases, 29, 27– 60. https://doi.org/10.1016/j.cimid.2005.12.001
32. Crossref
CAS
PubMed
Web
of Science®Google Scholar
33. Bowden,
T. R., Babiuk, S. L., Parkyn, G. R., Copps, J. S., & Boyle, D. B. (2008).
Capripoxvirus tissue tropism and shedding: A quantitative study in
experimentally infected sheep and goats. Virology, 371, 380– 393. https://doi.org/10.1016/j.virol.2007.10.002
34. Crossref
CAS
PubMed
Web
of Science®Google Scholar
35. Brenner,
J., Bellaiche, M., Gross, E., Elad, D., Oved, Z., Haimovitz, M., Wasserman, A.,
Friedgut, O., Stram, Y., Bumbarov, V., & Yadin, H. (2009). Appearance of
skin lesions in cattle populations vaccinated against lumpy skin disease:
Statutory challenge. Vaccine, 27, 1500– 1503. https://doi.org/10.1016/j.vaccine.2009.01.020
36. Crossref
CAS
PubMed
Web
of Science®Google Scholar
37. Buller,
R. M., Arif, B. M., Black, D. N., Dumbell, K. R., Esposito, J. J., Lefkowitz,
E. J., McFadden, G., Moss, B., Mercer, A. A., Moyer, R. W., Skinner, M. A.,
& Tripathy, D. N. (2005). Family Poxviridae. In C. M. Fauquet, M. A. Mayo,
J. Maniloff, U. Desselberger, & L. A. Ball (Eds.), Virus taxonomy:
Classification and nomenclature of viruses. Eighth Report of the International
Committee on Taxonomy of Viruses (pp. 117– 133). Elsevier Academic Press.
38. Google Scholar
39. Carn,
V. M., & Kitching, R. P. (1995). An investigation of possible routes of
transmission of lumpy skin disease virus (Neethling). Epidemiology and
Infection, 114, 219– 226. https://doi.org/10.1017/S0950268800052067
40. Crossref
CAS
PubMed
Web
of Science®Google Scholar
41. Chihota,
C. M., Rennie, L. F., Kitching, R. P., & Mellor, P. S. (2001). Mechanical
transmission of lumpy skin disease virus by Aedes aegypti (Diptera: Culicidae).
Epidemiology and Infection, 126, 317– 321.
42. Crossref
CAS
PubMed
Web
of Science®Google Scholar
43. Chihota,
C. M., Rennie, L. F., Kitching, R. P., & Mellor, P. S. (2003). Attempted
mechanical transmission of lumpy skin disease virus by biting insects. Medical
and Veterinary Entomology, 17, 294– 300. https://doi.org/10.1046/j.1365-2915.2003.00445.x
44. Wiley
Online Library CAS
PubMed
Web
of Science®Google Scholar
45. Coetzer,
J. A. W. (2004). Lumpy skin disease. In J. A. W. Coetzer, & R. C. Tustin
(Eds.), Infectious diseases of livestock, ( 2nd ed., pp. 1268– 1276).
University Press Southern Africa.
46. Google Scholar
47. Constable,
P. D., Hinchcliff, K. W., Done, S. H., & Grundberg, W. (2017). Veterinary
medicine: A textbook of the diseases of cattle, horses, sheep, pigs, and goats
( 11th ed., p. 1591). Elsevier.
48. Google Scholar
49. Davies,
F. G. (1982). Observations on the epidemiology of lumpy skin disease in Kenya.
Journal of Hygiene (London), 88, 95– 102. https://doi.org/10.1017/S002217240006993X
50. Crossref
CAS
PubMed
Web
of Science®Google Scholar
51. El-Nahas,
E. M., El-Habbaa, A. S., El-bagoury, G. F., & Radwan, M. E. I. (2011).
Isolation and identification of lumpy skin disease virus from naturally
infected buffaloes at Kaluobia. Egypt. Global Veterinaria, 7, 234– 237.
52. CAS
Google Scholar
53. European
Food Safety Authority (EFSA). (2017). Lumpy skin disease: I. Data collection
and analysis. EFSA Journal, 15(4), 4773.
54. Wiley
Online Library PubMed
Web
of Science®Google Scholar
55. Fagbo,
S., Coetzer, J. A. W., & Venter, E. H. (2014). Seroprevalence of Rift
Valley fever and lumpy skin disease in African buffalo (Syncerus caffer) in the
Kruger National Park and HluhluweiMfolozi Park, South Africa. Journal of the
South African Veterinary Association, 85, 1075.
56. Crossref
PubMed
Web
of Science®Google Scholar
57. FAO.
(2016). Food and Agriculture Organization of the United Nations, Global animal
disease intelligence report - Annual Issue NO. 5.
58. Google Scholar
59. Gari,
G., Waret-Szkuta, A., Grosbois, V., Jacquiet, P., & Roger, F. (2010). Risk
factors associated with observed clinical lumpy skin disease in Ethiopia.
Epidemiology and Infection, 138, 1657– 1666. https://doi.org/10.1017/S0950268810000506
60. Crossref
CAS
PubMed
Web
of Science®Google Scholar
61. Givens,
M. D. (2018). Review: Risks of disease transmission through semen in cattle.
Animal, 12(S1), s165– s171.
62. Crossref
CAS
PubMed
Web
of Science®Google Scholar
63. Greth,
A., Gourreau, J. M., Vassart, M., Nguyen, B. V., Wyers, M., & Lefevre, P.
C. (1992). Capripoxvirus disease in an Arabian oryx (Oryx leucoryx) from Saudi
Arabia. Journal of Wildlife Diseases, 28, 295– 300. https://doi.org/10.7589/0090-3558-28.2.295
64. Crossref
CAS
PubMed
Web
of Science®Google Scholar
65. Gubbins,
S., Carpenter, S., Baylis, M., Wood, J. L., & Mellor, P. S. (2008).
Assessing the risk of blue tongue to UK livestock: Uncertainty and sensitivity
analyses of a temperature dependent model for the basic reproduction number.
Journal of the Royal Society Interface, 20, 363– 371. https://doi.org/10.1098/rsif.2007.1110
66. Crossref
Web
of Science®Google Scholar
67. Hamdi,
J., Boumart, Z., Daouam, S., El Arkam, A., Bamouh, Z., Jazouli, M., Tadlaoui,
K. O., Fihri, O. F., Gavrilov, B., & El Harrak, M. (2020). Development and
evaluation of an inactivated lumpy skin disease vaccine for cattle. Veterinary
Microbiology, 245, 108689. https://doi.org/10.1016/j.vetmic.2020.108689
68. Crossref
CAS
PubMed
Web
of Science®Google Scholar
69. Ince,
Ö. B., Çakir, S., & Dereli, M. A. (2016). Risk analysis of lumpy skin
disease in Turkey. Indian Journal of Animal Research, 50(6), 1013– 1017. https://doi.org/10.18805/ijar.9370
70. Web
of Science®Google Scholar
71. Irons,
P. C., Tuppurainen, E. S., & Venter, E. H. (2005). Excretion of lumpy skin
disease virus in bull semen. Theriogenology, 63, 1290– 1297. https://doi.org/10.1016/j.theriogenology.2004.06.013
72. Crossref
CAS
PubMed
Web
of Science®Google Scholar
73. Kahana-Sutin,
E., Klement, E., Lensky, I., & Gottlieb, Y. (2017). High relative abundance
of the stable fly Stomoxys calcitrans is associated with lumpy skin disease
outbreaks in Israeli dairy farms. Medical and Veterinary Entomology, 31, 150–
160.
74. Wiley Online
Library CAS
PubMed
Web
of Science®Google Scholar
75. Lamien,
C. E., Le Goff, C., Silber, R., Wallace, D. B., Gulyaz, V., Tuppurainen, E.,
Madani, H., Caufour, P., Adam, T., El Harrak, M., Luckins, A. G., Albina, E.,
& Diallo, A. (2011). Use of the Capripoxvirus homologue of Vaccinia virus
30 kDa RNA polymerase subunit (RPO30) gene as a novel diagnostic and genotyping
target: Development of a classical PCR method to differentiate Goat poxvirus
from Sheep poxvirus. Veterinary Microbiology, 149, 30– 39. https://doi.org/10.1016/j.vetmic.2010.09.038
76. Crossref
CAS
PubMed
Web
of Science®Google Scholar
77. Lamien,
C. E., Lelenta, M., Goger, W., Silber, R., Tuppurainen, E., Matijevic, M., Luckins,
A. G., & Diallo, A. (2011). Real time PCR method for simultaneous
detection, quantitation and differentiation of capripoxviruses. Journal of
Virological Methods, 171, 134– 140. https://doi.org/10.1016/j.jviromet.2010.10.014
78. Crossref
CAS
PubMed
Web
of Science®Google Scholar
79. Le
Goff, C., Lamien, C. E., Fakhfakh, E., Chadeyras, A., Aba-Adulugba, E., Libeau,
G., Tuppurainen, E., Wallace, D. B., Adam, T., Silber, R., Gulyaz, V., Madani,
H., Caufour, P., Hammami, S., Diallo, A., & Albina, E. (2009). Capripoxvirus
G-protein-coupled chemokine receptor: A host-range gene suitable for virus
animal origin discrimination. Journal of General Virology, 90, 1967– 1977. https://doi.org/10.1099/vir.0.010686-0
80. Crossref
CAS
PubMed
Web
of Science®Google Scholar
81. Lubinga,
J. C., Clift, S. J., Tuppurainen, E. S. M., Stoltsz, W. H., Babiuk, S.,
Coetzer, J. A. W., & Venter, E. H. (2014). Demonstration of lumpy skin
disease virus infection in Amblyomma hebraeum and Rhipicephalus appendiculatus
ticks using immunohistochemistry. Ticks and Tick-borne Diseases, 5, 113– 120.
82. Crossref
PubMed
Web
of Science®Google Scholar
83. Lubinga,
J. C., Tuppurainen, E. S., Mahlare, R., Coetzer, J. A., Stoltsz, W. H., &
Venter, E. H. (2015). Evidence of transstadial and mechanical transmission of
lumpy skin disease virus by Amblyomma hebraeum ticks. Transboundary and
Emerging Diseases, 62, 174– 182.
84. Wiley Online
Library CAS
PubMed
Web
of Science®Google Scholar
85. Lubinga,
J. C., Tuppurainen, E. S., Stoltsz, W. H., Ebersohn, K., Coetzer, J. A., &
Venter, E. H. (2013). Detection of lumpy skin disease virus in saliva of ticks
fed on lumpy skin disease virus-infected cattle. Experimental and Applied
Acarology, 61, 129– 138.
86. Crossref
CAS
PubMed
Web
of Science®Google Scholar
87. MacLachlan,
N. J., & Dubovi, E. J. (2011). Fenner’s veterinary virology, 4th ed.
Academic Press.
88. Google Scholar
89. Magori-Cohen,
R., Louzoun, Y., Herziger, Y., Oron, E., Arazi, A., Tuppurainen, E., Shpigel,
N. Y., & Klement, E. (2012). Mathematical modelling and evaluation of the
different routes of transmission of lumpy skin disease virus. Veterinary
Research, 43, 1
90. Crossref
PubMed
Web
of Science®Google Scholar
91. Menasherow,
S., Rubinstein-Giuni, M., Kovtunenko, A., Eyngor, Y., Fridgut, O., Rotenberg,
D., Khinich, Y., & Stram, Y. (2014). Development of an assay to
differentiate between virulent and vaccine strains of lumpy skin disease virus
(LSDV). Journal of Virological Methods, 199, 95– 101.
92. Crossref
CAS
PubMed
Web
of Science®Google Scholar
93. Mulatu,
E., & Feyisa, A. (2018). Review: Lumpy skin disease. Journal of Veterinary
Science and Technology, 9, 3.
95. Ochwo,
S., VanderWaal, K., Munsey, A., Nkamwesiga, J., Ndekezi, C., Auma, E., &
Mwiine, F. N. (2019). Seroprevalence and risk factors for lumpy skin disease
virus seropositivity in cattle in Uganda. BMC Veterinary Research, 15, 236.
96. Crossref
PubMed
Web
of Science®Google Scholar
97. OIE.
(2013). World Organization for Animal Health. Lumpy Skin Disease. Technical
Disease Card.
98. Google Scholar
99. OIE.
(2015). OIE (World Organisation for Animal Health). Lumpy Skin Disease. World
Animal Health Information Database. 2015: Available at http://www.oie.int/wahis_2/public/wahid
100. Google Scholar
101. OIE
WAHIS. (2016). Lumpy skin disease. In OIE (Ed.). OIE Terrestrial Manual 2010
5-Office International des Epizooties (OIE), 2010.
102. Google Scholar
103. OIE
Terrestrial Manual. (2018). chapter 3.4.12, Lumpy skin disease (NB: Version
adopted in May 2017).
104. Google Scholar
105. OIE
WAHID. (2018). World animal health information database. URL: http://www.oie.int/wahis_2/public/wahid.php/Wahidhome/Home.
Accessed 17 December 2018
106. Google Scholar
107. Orlova,
E. S., Shcherbakov, A. V., Diev, V. I., & Zakharov, V. M. (2006).
Differentiation of capripoxvirus species and strains by polymerase chain
reaction. Molecular Biology (NY), 40, 139– 145.
108. Crossref
CAS
Web
of Science®Google Scholar
109. Radostitis,
O. M., Gay, C. C., Hinchcliff, K. W., & Constable, P. D. (2006). Veterinary
medicine, text book of the disease of cattle, sheep, goat, pig and horses (
10th ed). Elsevier.
110. Google Scholar
111. Ripani,
A., & Pacholek, X. (2015). Lumpy skin disease: Emerging disease in the
Middle East-Threat to EuroMed countries. 10th JPC REMESA, Heraklion, Greece,
16–17 March, 1–24.
112. Google Scholar
113. Rouby,
S., & Aboulsoud, E. (2016). Evidence of intrauterine transmission of lumpy
skin disease virus. Veterinary Journal, 209, 193– 195.
114. Crossref
PubMed
Web
of Science®Google Scholar
115. Sajid,
A., Chaudhary, Z., Sadique, U., Maqbol, A., Anjum, A., Qureshi, M., Hassan, Z.
U., Idress, M., & Shahid, M. (2012). Prevalence of goat poxdisease in
Punjab province of Pakistan. Journal of Animal and Plant Sciences, 22, 28– 32.
116. Web
of Science®Google Scholar
117. Salib,
F. A., & Osman, A. H. (2011). Incidence of lumpy skin disease among
Egyptian cattle in Giza Governorate. Egypt. Veterinary World, 4, 162– 167.
118. Google Scholar
119. Sameea
Yousefi, P., Mardani, K., Dalir-Naghadeh, B., & Jalilzadeh-Amin, G. (2017).
Epidemiological study of lumpy skin disease outbreaks in North-western Iran.
Transboundary and Emerging Diseases, 64, 1782– 1789.
120. Wiley Online
Library CAS
PubMed
Web
of Science®Google Scholar
121. Sevik,
M., Avci, O., Dogan, M., & Ince, O. (2016). Serum biochemistry of lumpy
skin disease virus-infected cattle. BioMed Research International, 2016,
6257984.
122. Crossref
PubMed
Web
of Science®Google Scholar
123. Sevik,
M., & Dogan, M. (2017). Epidemiological and molecular studies on lumpy skin
disease outbreaks in Turkey during 2014–2015. Transboundary and Emerging
Diseases, 64(4), 1268– 1279. https://doi.org/10.1111/tbed.12501
124. Wiley Online Library
CAS
PubMed
Web
of Science®Google Scholar
125. Sprygin,
A., Babin, Y., Pestova, Y., Kononova, S., Wallace, D. B., Van Schalkwyk, A.,
Byadovskaya, O., Diev, V., Lozovoy, D., & Kononov, A. (2018). Analysis and
insights into recombination signals in lumpy skin disease virus recovered in
the field. PLoS One, 13(12), e0207480. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0207480
126. Crossref
PubMed
Web
of Science®Google Scholar
127. Sprygin,
A., Pestova, Y., Wallace, D. B., Tuppurainen, E., & Kononov, A. V. (2019).
Transmission of lumpy skin disease virus: A short review. Virus Research, 269,
197637. https://doi.org/10.1016/j.virusres.2019.05.015
128. Crossref
CAS
PubMed
Web
of Science®Google Scholar
129. Stram,
Y., Kuznetzova, L., Friedgut, O., Gelman, B., Yadin, H., &
Rubinstein-Guini, M. (2008). The use of lumpy skin disease virus genome termini
for detection and phylogenetic analysis. Journal of Virological Methods, 151,
225– 229. https://doi.org/10.1016/j.jviromet.2008.05.003
130. Crossref
CAS
PubMed
Web
of Science®Google Scholar
131. Stubbs,
S., Oura, C. A., Henstock, M., Bowden, T. R., King, D. P., & Tuppurainen,
E. S. (2012). Validation of a high-throughput real-time polymerase chain
reaction assay for the detection of capripoxviral DNA. Journal of Virological
Methods, 179, 419– 422. https://doi.org/10.1016/j.jviromet.2011.11.015
132. Crossref
CAS
PubMed
Web
of Science®Google Scholar
133. Tasioudi,
K. E., Antoniou, S. E., Iliadou, P., Sachpatzidis, A., Plevraki, E.,
Agianniotaki, E. I., Fouki, C., Mangana-Vougiouka, O., Chondrokouki, E., &
Dile, C. (2016). Emergence of lumpy skin disease in Greece, 2015. Transboundary
and Emerging Diseases, 63, 260– 265. https://doi.org/10.1111/tbed.12497
134. Wiley Online
Library CAS
PubMed
Web
of Science®Google Scholar
135. Tuppurainen,
E. S. M., Alexandrov, T., & Beltran-Alcrudo, D. (2017). Lumpy skin disease
field manual - A manual for veterinarians. FAO Animal Production and Health
Manual, 20, 1– 60.
136. Google Scholar
137. Tuppurainen,
E. S. M., Antoniou, S. E., Tsiamadis, E., Topkaridou, M., Labus, T., Debeljak,
Z., Plavsic, B., Miteva, A., Alexandrov, T., Pite, L., Boci, J., Marojevic, D.,
Kondratenko, V., Atanasov, Z., Murati, B., Acinger-Rogic, Z., Kohnle, L.,
Calistri, P., & Broglia, A. (2020). Field observations and experiences
gained from the implementation of control measures against lumpy skin disease
in South-East Europe between 2015 and 2017. Preventive Veterinary Medicine,
181, 104600. https://doi.org/10.1016/j.prevetmed.2018.12.006
138. Crossref
CAS
PubMed
Web
of Science®Google Scholar
139. Tuppurainen,
E. S., Lubinga, J. C., Stoltsz, W. H., Troskie, M., Carpenter, S. T., Coetzer,
J. A., Venter, E. H., & Oura, C. A. (2013). Evidence of vertical
transmission of lumpy skin disease virus in Rhipicephalus decoloratus ticks.
Ticks and Tick-borne Diseases, 4, 329– 333. https://doi.org/10.1016/j.ttbdis.2013.01.006
140. Crossref
PubMed
Web
of Science®Google Scholar
141. Tuppurainen,
E. S. M., & Oura, C. A. L. (2012). Review: Lumpy skin disease: An emerging
threat to Europe, the Middle East and Asia. Transboundary and Emerging
Diseases, 59, 40– 48. https://doi.org/10.1111/j.1865-1682.2011.01242.x
142. Wiley
Online Library CAS
PubMed
Web
of Science®Google Scholar
143. Tuppurainen,
E. S., Stoltsz, W. H., Troskie, M., Wallace, D. B., Oura, C. A., Mellor, P. S.,
Coetzer, J. A., & Venter, E. H. (2011). A potential role for ixodid (Hard)
tick vectors in the transmission of lumpy skin disease virus in cattle. Transboundary
and Emerging Diseases, 58, 93– 104. https://doi.org/10.1111/j.1865-1682.2010.01184.x
144. Wiley
Online Library CAS
PubMed
Web
of Science®Google Scholar
145. Tuppurainen,
E. S. M., Venter, E. H., & Coetzer, J. A. W. (2005). The detection of lumpy
skin disease virus in samples of experimentally infected cattle using different
diagnostic techniques. Onderstepoort Journal of Veterinary Research, 72, 153–
164. https://doi.org/10.4102/ojvr.v72i2.213
146. Crossref
CAS
PubMed
Web
of Science®Google Scholar
147. Tuppurainen,
E. S., Venter, E. H., Shisler, J. L., Gari, G., Mekonnen, G. A., Juleff, N., Lyons,
N. A., De Clercq, K., Upton, C., Bowden, T. R., Babiuk, S., & Babiuk, L. A.
(2017). Review: Capripoxvirus diseases: Current status and opportunities for
control. Transboundary and Emerging Diseases, 64(3), 729– 745. https://doi.org/10.1111/tbed.12444
148. Wiley Online
Library CAS
PubMed
Web
of Science®Google Scholar
149. Wainwright,
S., El Idrissi, A., Mattioli, R., Tibbo, M., Njeumi, F., & Raizman, E.
(2013). Emergence of lumpy skin disease in the Eastern Mediterranean Basin
countries. FAO Empres Watch, 29, 1– 6.
150. Google Scholar
151. Yeruham,
I., Nir, O., Braverman, Y., Davidson, M., Grinstein, H., Haymovitch, M., &
Zamir, O. (1995). Spread of lumpy skin disease in Israeli dairy herds.
Veterinary Record, 137, 91– 93. https://doi.org/10.1136/vr.137.4.91
152. Crossref
CAS
PubMed
Web
of Science®Google Scholar
153. Young,
E., Basson, P. A., & Weiss, K. E. (1970). Experimental infection of game
animals with lumpy skin disease virus prototype strain Neethling. Onderstepoort
Journal of Veterinary Research, 37, 79– 87.
154. CAS
PubMed
Google Scholar
155. Zeynalova,
S., Asadov, K., Guliyev, F., Vatani, M., & Aliyev, V. (2016). Epizootology
and molecular diagnosis of lumpy skin disease among livestock in Azerbaijan.
Frontiers in Microbiology, 7, 1022. https://doi.org/10.3389/fmicb.2016.01022
eCollection 2016
156. Crossref
PubMed
Web
of Science®Google Scholar
157. Zheng,
M., Liu, Q., Jin, N. Y., Guo, J. G., Huang, X., Li, H. M., Zhu, W., &
Xiong, Y. (2007). A duplex PCR assay for simultaneous detection and
differentiation of Capripoxvirus and Orf virus. Molecular and Cellular Probes,
21, 276– 281. https://doi.org/10.1016/j.mcp.2007.01.005
158. Crossref
CAS
PubMed
Web
of Science®Google Scholar
SUMBER:
Fatemeh Namazi, Azizollah Khodakaram Tafti. 2021. Lumpy
skin disease, an emerging transboundary viral disease: A review. Veterinary Medicine
and Science. Vol 7. Issue 3. May 2021. PP: 888-896. https://doi.org/10.1002/vms3.434.
No comments:
Post a Comment