Ringkasan
Pengawasan obat dan makanan masih memerlukan penguatan dari berbagai aspek. Secara kelembagaan, perlu kejelasan pembagian peran dan mekanisme koordinasi antara pengawasan produk obat dan makanan baik pusat maupun daerah. Di tingkat pusat, koordinasi ini mencakup beberapa K/L yang berwenang seperti pengawasan produk pangan segar di Kementan, pengawasan produk olahan yang memiliki ijin edar di BPOM, dan pengawasan produk makanan dan minuman secara umum di Kementerian Kesehatan. Di daerah dan pada tataran pelaksanaan koordinasi ini lebih sulit dilakukan dengan semakin meningkatnya produk pangan segar dan industri rumah tangga. Pengembangan laboratorium dan balai pengawasan obat dan makanan belum secara spesifik disesuaikan dengan penanganan risiko keterpaparan produk dan jumlah penduduk dalam suatu area tertentu. Untuk itu, pengembangan loka di daerah perlu di review kembali. Dalam aspek regulasi, penegakan hukum dan pemberian sanksi bagi pelanggaran obat dan makanan perlu diperkuat. Beberapa pelanggaran yang dilakukan ditemukan secara berulang karena sanksi yang diterapkan tidak membuat efek jera. Peran BPOM sebagaimana diamanahkan dalam “Inpres No.3 Tahun 2017 tentang peningkatan efektivitas pengawasan obat dan makanan” yakni sebagai koordinator dalam pengawasan obat dan makanan perlu lebih dioptimalkan.
Secara umum tantangan pengawasan obat dan makanan dalam 5 tahun ke depan mencakup empat aspek, yaitu:
1) aspek kesehatan-menjamin produk obat dan makanan yang beredar memenuhi standar kualitas, keamanan, dan khasiat/efektivitas terutama bagi industri kecil dan mikro;
2) aspek sosial-meningkatkan kepercayaan publik terhadap produk obat dan makanan yang beredar;
3) aspek ekonomi-mendorong daya saing industri obat dan makanan dengan semakin mudahnya perizinan dan sertifikasi obat dan makanan dengan tetap mempertimbangkan kualitas dan jaminan produk halal, dukungan pengembangan produk dan makanan baru dan ketersediaan bahan baku dalam negeri dengan berbagai riset, dan memperluas inovasi dan pemanfaatan teknologi dalam pengawasan obat dan makanan; dan
4) aspek keamanan nasional-meningkatkan penegakan hukum terhadap kasus pelanggaran obat dan makanan serta bioterorisme. Arah kebijakan ke depan difokuskan pada peningkatan pengawasan obat dan makanan yang lebih efektif, efisien, dan berdaya ungkit bagi pencapaian target pembangunan nasional, sehingga memberikan perlindungan menyeluruh bagi kesehatan masyarakat sekaligus peningkatan daya saing obat dan makanan.
Strategi yang
diusulkan, di antaranya:
1) perlindungan publik
dari obat dan makanan yang tidak memenuhi syarat dengan perluasan cakupan dan
kualitas pengawasan pre dan post market obat dan pangan;
2) peningkatan
kemandirian pelaku usaha, pemangku kepentingan dan partisipasi masyarakat;
3) peningkatan
kemampuan penegakan hukum dan peran Badan POM dalam Integrated Criminal Justice
System;
4) percepatan proses
registrasi produk obat dan makanan dengan tetap mengacu pada pemenuhan kualitas
keamanan produk;
5) peningkatan riset di
bidang pengawasan obat dan makanan;
6) peningkatan
kemampuan SDM dan kapasitas laboratorium dan Balai POM; dan
7) perluasan
pemanfaatan teknologi informasi dalam pengawasan obat dan makanan. Strategi
tersebut perlu didukung oleh penguatan kerangka kelembagaan, regulasi dan
pendanaan yang memadai.
Untuk mengukur capaian
kinerja pengawasan obat dan makanan, indikator persentase obat memenuhi syarat
dan persentase makanan memenuhi syarat masih cukup relevan untuk digunakan,
namun perlu perbaikan metodologi. Selain itu, indeks keamanan obat dan makanan
dan indeks pengawasan obat dan makanan sebagai alternatif indikator perlu
dieksplorasi dan dikembangkan dengan menggunakan prinsip-prinsip statistik yang
valid dan reliable.
INTRODUKSI
Dalam rangka penyusunan
RPJMN 2020-2024 yang merupakan tahap akhir dari RPJPN 2005- 2025, Kementerian
PPN/Bappenas melakukan Kajian Analisis Sektor Kesehatan atau Health Sector
Review (HSR) pada tahun 2018. Salah satu tematik topik yang diangkat dalam HSR
tahun 2018 adalah tematik 7 tentang Pengawasan Obat dan Makanan, termasuk
Keamanan Pangan. Tujuan dari kajian ini adalah melakukan identifikasi isu
strategis dan tantangan pengawasan obat dan makanan, menganalisa capaian dan
memberikan rekomendasi dalam bentuk arah kebijakan, strategi, indikator,
kerangka kelembagaan dan regulasi. Masukan dari kajian ini akan menjadi salah
satu referensi dalam menyusun RPJMN 2020-2024 terutama mengenai pengawasan obat
dan makanan.
Komponen Pengawasan
Obat dan Makanan, termasuk pengawalan terhadap Keamanan Pangan sebagai judul
tematik tersendiri merupakan terobosan baru dalam kajian analisis sektor
kesehatan 2018 mengingat dalam kajian analisis sektor kesehatan 2014,
Pengawasan Obat dan Makanan merupakan bagian dari tematik Farmasi dan Teknologi
Kesehatan. Hal ini karena Pengawasan Obat dan Makanan termasuk Keamanan Pangan
merupakan salah satu agenda reformasi pembangunan nasional bidang kesehatan
dengan fungsi yang sangat strategis dalam upaya perlindungan dan peningkatan
kualitas hidup masyarakat Indonesia dan sekaligus untuk mendukung daya saing
nasional bidang usaha obat dan makanan.
Kajian ini akan
dikonsolidasikan dengan kajian tematik lainnya menjadi satu kesatuan laporan
karena seluruh tematik saling berkaitan, melengkapi dan mendukung. Oleh karena
itu, kajian tematik 7 Pengawasan Obat dan Makanan, termasuk Keamanan Pangan
perlu dibaca bersama, termasuk tetapi tidak terbatas, dengan kajian tematik
yang lain, seperti, tematik no 4 (terkait dengan Keamanan Pangan), tematik no 6
(terkait dengan keterpaduan sistem Pengawasan Obat dan Makanan dengan seluruh
sektor farmasi), tematik 9 (terkait ketersediaan obat yang terjamin khasiat,
keamanan dan mutunya dalam pelayanan kesehatan).
ANALISIS
Capaian
Pengawasan Obat dan Makanan
Secara keseluruhan
kinerja pengawasan obat dan makanan dalam mengawal keamanan, khasiat/manfaat
dan mutu obat dan makanan telah mengalami perbaikan secara bermakna.
Berdasarkan evaluasi paruh waktu RPJMN 2015-2019, target pencapaian target
pengawasan obat dan makanan yaitu persentase obat yang memenuhi syarat, telah
melampaui target sasaran (target 92 % dengan realisasi 98%)11 . Di samping itu,
data2 sebagaimana Tabel 1 Kinerja Pengawasan Obat dan Makanan (Umum) Tahun
2017, menunjukkan bahwa dari 4 (empat) indikator, 3 (tiga) di antaranya telah
melampaui target sasaran 2017 dan 2019, yaitu (i) persentase obat yang memenuhi
syarat (99%), (ii) persentase makanan yang memenuhi syarat (92%) dan (iii)
jumlah industri farmasi yang meningkat kemandiriannya (100%). Walaupun 1 (satu)
indikator yaitu persentase industri pangan olahan yang mandiri dalam rangka
menjamin keamanan pangan, realisasi pencapaiannya pada tahun 2017 (6%) masih di
bawah target (7%), tetapi pada dasarnya sudah terjadi peningkatan yang
signifikan dibandingkan dengan pencapaian tahun 2016 (4%).
Pencapaian indikator
pengawasan obat dan makanan tersebut didukung oleh beberapa pencapaian kinerja
yang lain3 , seperti kinerja pengawasan produk obat dan makanan sebelum beredar
(pre-market) sebagaimana Tabel 2
Kinerja pengawasan
pre-market khususnya penilaian dalam proses pendaftaran/registrasi masih
memiliki limitasi karena jenis produk obat dan makanan baru yang perlu
dievaluasi makin beragam, dengan jumlah berkas permohonan cukup banyak per
tahun. Hal ini menjadi tantangan tersendiri di bidang pengawasan pre-market.
Sebagai contoh, untuk produk obat, jumlah berkas permohonan registrasi yang
diterima pada 2014 -2016 berturut-turut berjumlah 15.947 berkas (2014), 13.302
berkas (2015), 15.672 berkas (2016).
Evaluasi yang dilakukan
seringkali terkendala dengan belum adanya standar ilmiah obat baru, sehingga
diperlukan upaya khusus untuk penilaian obat dimaksud bersama pakar. Sesuai
WHO4 , keberadaan pakar dalam proses evaluasi pre-market diperlukan untuk
jaminan proses evaluasi ilmiah yang independent dan mengedepankan fairness.
Selanjutnya, pemohon registrasi (pelaku usaha) memerlukan upaya juga untuk
dapat memberikan data-data sesuai standar yang ditetapkan tersebut.
Untuk mengatasi hal
ini, berbagai upaya deregulasi telah dilakukan, tanpa mengorbankan persyaratan
jaminan khasiat, keamanan dan mutu obat. Di antaranya adalah
(i) percepatan timeline
proses registrasi, misalnya registrasi obat untuk ekspor dari 40 HK menjadi 7
HK, sistem notifikasi untuk registrasi variasi minor (tell and do),
(ii) simplifikasi
prosedur, misalnya peniadaan tahap pra-registrasi untuk registrasi obat generik
lokal dan registrasi variasi major yang tidak perlu uji klinik,
(iii) kemudahan dan
transparansi misalnya dengan optimalisasi sistem registrasi obat online. Hal
ini tertuang dalam Peraturan Kepala Badan No. 24 Tahun 2017 tentang kriteria
dan Tata Laksana Registrasi Obat, yang merupakan perbaikan dari Peraturan
Kepala Badan POM tentang hal sama.
Di samping itu, pencapaian target pengawasan obat dan makanan juga ditunjukkan dari kinerja pengawasan post-market obat dan makanan yang dimaksudkan untuk menjamin konsistensi dan kesinambungan jaminan khasiat/manfaat, keamanan dan mutu obat dan makanan yang beredar. Capaian kinerja pengawasan post-market obat dan makanan (inspeksi sarana distribusi dan produksi) sebagaimana Tabel 3 (Kinerja Pengawasan Obat dan Makanan Post-Market 2017 (Inspeksi Sarana Distribusi dan Produksi).
Dampak yang diharapkan
dari peningkatan kinerja pengawasan obat dan makanan adalah perlindungan
komprehensif terhadap konsumen/masyarakat dari obat dan makanan yang tidak
memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan khasiat/manfaat, produk ilegal/palsu
dan produk yang mengandung bahan yang berbahaya. Selain upaya pengawasan
Pre-Post market obat
dan makanan, telah dilakukan upaya intensifikasi pengawasan obat dan makanan
untuk temuan yang persisten, antara lain terhadap produk obat dan makanan yang
sering mengandung bahan berbahaya, misal Obat Tradisional (OT) yang mengandung
Bahan Kimia Obat (BKO), kosmetika yang mengandung bahan merkuri, hidrokinon,
asam retinoat dan zat warna yang dilarang (merah K10/Rhodamin, merah K3, jingga
K1) serta produk palsu dan ilegal.
Intensifikasi
pengawasan tersebut dilakukan dalam bentuk kerja sama lintas sektor, khususnya
dengan organisasi penegak hukum yang lain, di antaranya adalah Operasi Gabungan
Nasional (OPGABNAS) yang dilakukan serentak pada waktu yang sama di seluruh
Indonesia. Selain itu, secara periodik juga dilakukan Operasi Gabungan Daerah
(OPGABDA) yang dilakukan setiap kwartal/semester di masing-masing provinsi.
Operasi ini
dilaksanakan secara terpadu melibatkan lintas sektor terkait, misalnya
kepolisian daerah, dinas kesehatan, dinas perindustrian-perdagangan. Sasaran
operasi ditujukan kepada sarana produksi, distribusi atau pengecer obat, obat
tradisional, kosmetika, dan makanan yang diduga melakukan pelanggaran terhadap
peraturan perundang-undangan dengan urutan prioritas produk tanpa ijin edar,
produk kedaluwarsa, OT BKO (Obat Tradisional mengandung Bahan Kimia Obat),
pangan dan kosmetik mengandung bahan berbahaya, pangan rusak, dan distribusi
obat keras di sarana tidak berwenang.
Sasaran OBGABNAS 20176
adalah 189 sarana, dengan hasil 176 sarana (93%) melakukan pelanggaran, yang
terdiri dari 7% sarana produksi, 10% sarana importir/distributor, 10% sarana
apotek, 48% sarana toko, 8% sarana toko obat, 2% gudang, 1% salon dan 8% rumah.
Hasil intensifikasi pengawasan obat dan makanan yang diharapkan adalah
penurunan pelanggaran bidang obat dan makanan. Salah satu temuan adalah tren
penurunan di tahun 2017 OT BKO menjadi 0,69%7 , sebagaimana Gambar 2.
Intensifikasi
pengawasan tersebut dilakukan dalam bentuk kerja sama lintas sektor, khususnya
dengan organisasi penegak hukum yang lain, di antaranya adalah Operasi Gabungan
Nasional (OPGABNAS) yang dilakukan serentak pada waktu yang sama di seluruh
Indonesia. Selain itu, secara periodik juga dilakukan Operasi Gabungan Daerah
(OPGABDA) yang dilakukan setiap kwartal/semester di masing-masing provinsi.
Operasi ini dilaksanakan secara terpadu melibatkan lintas sektor terkait,
misalnya kepolisian daerah, dinas kesehatan, dinas perindustrian-perdagangan.
Sasaran operasi ditujukan kepada sarana produksi, distribusi atau pengecer
obat, obat tradisional, kosmetika, dan makanan yang diduga melakukan
pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan dengan urutan prioritas
produk tanpa ijin edar, produk kedaluwarsa, OT BKO (Obat Tradisional mengandung
Bahan Kimia Obat), pangan dan kosmetik mengandung bahan berbahaya, pangan
rusak, dan distribusi obat keras di sarana tidak berwenang.
Sasaran OBGABNAS 20176
adalah 189 sarana, dengan hasil 176 sarana (93%) melakukan pelanggaran, yang
terdiri dari 7% sarana produksi, 10% sarana importir/distributor, 10% sarana
apotek, 48% sarana toko, 8% sarana toko obat, 2% gudang, 1% salon dan 8% rumah.
Hasil intensifikasi pengawasan obat dan makanan yang diharapkan adalah penurunan
pelanggaran bidang obat dan makanan. Salah satu temuan adalah tren penurunan di
tahun 2017 OT BKO menjadi 0,69%7 , sebagaimana Gambar 2.
Salah satu subsistem Sistem Kesehatan Nasional (SKN) adalah sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan, yang meliputi berbagai kegiatan untuk menjamin:
(i) aspek keamanan,
khasiat/ kemanfaatan dan mutu sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan yang
beredar;
(ii) ketersediaan,
pemerataan dan keterjangkauan obat, terutama obat esensial;
(iii) perlindungan
masyarakat dari penggunaan yang salah dan penyalahgunaan obat dan penggunaan
obat yang rasional; serta
(iv) upaya kemandirian di bidang kefarmasian melalui pemanfaatan sumber daya dalam negeri.
Oleh karena
itu dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebagai bagian tak terpisahkan dalam
penyelenggaraan pembangunan kesehatan dalam SKN diberlakukan penjaminan mutu
khususnya untuk produk obat dan makanan yang digunakan. Kegiatan jaminan mutu
produk dalam JKN tersebut harus didukung oleh Sistem Pengawasan Obat dan Makanan
(SISPOM) yang efektif dan efisien dan melibatkan semua pemangku kepentingan
dalam jejaring kerja dan koordinasi yang responsif dan akuntabel, khususnya
terkait:
(i) jaminan
ketersediaan Obat yang aman, berkhasiat, dan bermutu di sarana pelayanan
kesehatan dan beredarnya Makanan yang aman dan bergizi, dan
(ii) jaminan
kesinambungan akses masyarakat terhadap obat dan vaksin dalam pelayanan
kesehatan.
Kondisi ini hanya bisa
tercapai, antara lain, dengan:
(i) upaya pengawasan
intensif dan pembinaan oleh Badan POM terhadap Industri Farmasi dan Pangan agar
mempraktekkan ketentuan Good Manufacturing Practices (GMP) secara konsekuen
dalam produksi obat dan makanan,
(ii) upaya monitoring
dan surveilans mutu obat dan makanan yang beredar, dan
(iii) kawalan rantai distribusi
obat dan Makanan yang menerapkan Good Distribution Practices (GDP) terkait mutu
dan keabsahan obat dan makanan.
Tantangan khusus bagi
BPOM dalam hal ini adalah intensifikasi pengawasan pre-market dan post-market,
serta pembinaan pelaku usaha agar secara mandiri menjamin mutu produknya.
Tantangan lain adalah kurangnya keterpaduan koordinasi (perencanaan dan
pelaksanaan) antara Badan POM dan K/L yang terkait dalam proses pengadaan obat
e-Katalog.
Hal ini terkait dengan
kebijakan penetapan pemenang suplair obat dalam mekanisme E-Katalog yang hanya
menekankan pada harga obat termurah dan diduga dapat terjadi trade-off terhadap
jaminan mutu obat dalam pelaksanaan bisnis farmasi yang tidak profesional.
Misalnya kurangnya kepatuhan penerapan ketentuan GMP sesuai kondisi saat
diberikan Nomor Ijin Edar, dan terjadi peningkatan Toll Manufacturing pemenang suplair obat ke industri farmasi lain
tanpa proses registrasi di Badan POM, dengan alasan bahwa pemenang suplair obat
terikat dengan komitmen waktu suplai padahal proses registrasi obat di Badan
POM memerlukan waktu. Pada dasarnya, jaminan mutu (Quality Assurance) dalam
manajemen suplai obat8 bertujuan untuk memberikan jaminan bahwa setiap produk
obat yang digunakan oleh pasien aman, dan efektif dengan standar mutu yang
sama. Karakteristik dari standar mutu tersebut, antara lain, memiliki Nomor
Ijin Edar, jaminan kemurnian dan potensi, memiliki keseragaman bentuk sediaan,
profil Uji Bio-Availability (bila perlu) yang baik dan merupakan produk dengan
kestabilan sesuai ketentuan.
Jaminan mutu juga sangat tergantung pada kualitas kemasan, transportasi yang digunakan dan kondisi penyimpanan. Jaminan mutu obat yang dipakai dalam JKN harus mencakup seluruh life cycle dari produk obat tersebut. Dampak tidak terpenuhinya jaminan mutu obat dalam JKN, antara lain:
(i) Tujuan penggunaan obat tidak tercapai dan kemungkinan akan meningkatkan biaya pengobatan dan layanan kesehatan akibat risiko dari obat tersebut
(ii) Obat yang tidak memenuhi syarat perlu dilakukan penarikan/recall dan akan berdampak pada kelancaran layanan
(iii) kekosongan
obat apabila tidak ada mekanisme penggantian pasokan yang cepat dan efisien.
Di samping itu,
walaupun persentase obat yang memenuhi syarat menunjukkan profil yang on-track
tetapi tidak diketahui bagaimana kaitannya dengan sasaran agenda pembangunan
nasional dalam meningkatkan kualitas hidup manusia dan masyarakat. Apabila
dilihat dalam 3 (tiga) tahun belakangan ini masih banyak temuan pengawasan obat
yang terkait jaminan mutu dengan masalah terbesar adalah pemenuhan uji
disolusi, dan konsistensi kadar obat, sebagaimana terlihat dalam Gambar 3 Hasil
pengawasan obat tidak memenuhi syarat berdasarkan parameter uji 2015-2017.
Kajian terhadap jenis
obat yang diuji dari hasil pengawasan obat dalam Gambar 3 menunjukkan
menunjukkan bahwa Analgesik/Antipiretik/ Anti-inflamasi dan beberapa jenis obat
life-saving seperti Antibiotika.
(ii) peningkatan kerjasama lintas sektor dalam sinkronisasi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan kesehatan.
Khusus untuk proses pengadaan obat dalam e-katalog, diperlukan kerja sama yang lebih erat antara Badan POM, Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementrian Kesehatan dan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) utamanya terkait persyaratan pemenang suplair obat dan kawalan jaminan mutu obat, dimana diperlukan masukan hasil SISPOM dalam kriteria pemilihan pemenang suplair obat berdasarkan rekam jejak jaminan mutu obat suplair/produsen (Historical Quality Track Records) yang meliputi:
(i) Konsistensi kinerja produsen dalam pemenuhan GMP dan GDP,
(ii) Data temuan ke-berulang-an masalah mutu untuk produk obat tertentu dari produsen tertentu,
(iii) pengaruh riwayat recall terhadap proses resertifikasi dan registrasi obat dan
(iv) sejarah konsistensi komitmen ketersediaan dan
pengiriman sesuai kontrak.
Di sisi lain,
permasalahan keamanan pangan juga telah menjadi keprihatinan dunia. Dipicu oleh
kenyataan bahwa ratusan juta manusia di dunia menderita penyakit menular maupun
tidak menular karena pangan yang tercemar (Food Borne Diseases), maka pada
tahun 1992 dalam forum FAO/WHO International Conference on Nutrition telah
dilakukan deklarasi bahwa memperoleh pangan yang cukup, bergizi dan aman di
konsumsi adalah hak setiap orang. Di Indonesia, kawalan Good Practices pada
Keamanan Pangan sangat kompleks karena melibatkan kemitraan seluruh komponen
pemangku kepentingan yaitu pemerintah (Kementrian Pertanian, Kementrian
Kelautan dan Perikanan, Kementrian Perindustrian, Kementrian Perdagangan,
Kementrian Kesehatan, Badan POM, dan pemerintah daerah), produsen pangan,
distributor terkait dan konsumen. Mata rantai Keamanan Pangan from Farm to
Table9 adalah sebagaimana Gambar 5 (Mata Rantai Keamanan Pangan from Farm to
Table).
Data Badan POM 2013-201712 juga menunjukkan bahwa agen penyebab KLB keracunan pangan ini didominasi oleh agen mikrobiologi (confirmed and suspect) dan disusul oleh agen kimia (confirmed and suspect) sebagaimana Gambar 7 (Profil Etiologi KLB Keamanan Pangan 2013-2017). Beban kedua, secara khusus berkaitan dengan industri pangan Indonesia yang berorientasi ekspor; yang harus menghadapi berbagai isu keamanan pangan baru yang selalu bermunculan dari waktu ke waktu, berubah-ubah dan berbeda dari satu negara ke negara lainnya.
Penyebab penolakan ekspor yang sering juga dialami oleh eksportir Indonesia ke Amerika Serikat adalah ditemukannya residu obat hewan (hormon, antibiotika), dekomposisi (histamin, pertumbuhan mikroba lain, dll), serta alasan lain yang meliputi adanya indikasi praktik tidak saniter, kesalahan pelabelan, dan penggunaan pewarna ilegal. Upaya peningkatan kinerja kawalan Keamanan Pangan14, khususnya untuk mengatasi beban pertama, sejak 2014 telah dikembangkan Program Manajemen Risiko (PMR) yang menekankan kemandirian pelaku usaha dalam penjaminan penerapan Sistem Manajemen Keamanan Pangan.
Konsep ini, menekankan
kepada upaya-upaya preventif oleh pelaku usaha dan pemberian kepercayaan kepada
industri sebagai pihak yang paling bertanggung jawab untuk Keamanan Pangan,
dimana pelaksanaannya diverifikasi oleh pemerintah sebagai regulator.
Pelaksanaan PMR untuk tahap saat ini, difokuskan pada industri pangan yang
memproduksi pangan berisiko tinggi, dan dilaksanakan secara bertahap, sebagai
berikut: · Pada tahun 2015 – 2016 diterapkan secara wajib untuk seluruh
industri pangan yang memproduksi pangan formula bayi, formula lanjutan dan
formula pertumbuhan.
Pada tahun 2017 – 2018
diterapkan bagi industri pangan yang memproduksi pangan steril komersial yang
disterilisasi akhir (Low Acid Canned Food in container sterilization), misal:
ikan dalam kaleng, susu steril dalam kaleng · Pada tahun 2019 dan selanjutnya
akan dikembangkan untuk produk lainnya Target dan capaian Program Manajemen
Risiko (PMR) 2015-2017 adalah sebagaimana tercantum dalam Tabel 4 (Target dan
Capaian PMR Keamanan Pangan 2015-2017).
Mengingat masalah yang mendesak terkait dengan Keamanan Pangan pada saat ini adalah masalah persisten penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP) yang melebihi batas dan penggunaan bahan kimia yang dilarang/berbahaya untuk pangan (misalnya formalin, boraks, zat pewarna non pangan) khususnya pada level industri rumah tangga, jasa boga, dan UMKM15, maka saat ini intensifikasi kawalan Keamanan Pangan juga diprioritaskan pada beberapa program antara, lain, program Pasar Aman dari Bahan Berbahaya, program Desa Pangan Aman, program pengawasan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS), program pembinaan UMKM, serta peningkatan Komunikasi, Informasi dan Edukasi. Hasil pengawasan pangan di pasar dalam rangka program Pasar Aman dari Bahan Berbahaya sepanjang 2013-2017 menunjukkan tren penurunan pangan yang mengandung bahan berbahaya (Boraks, Formalin, Rhodamin B dan Kuning Metanil), sebagaimana ditunjukkan Gambar 8 (Kinerja Program Pasar Aman dari Bahan Berbahaya 2013-2017).
Pengawasan terhadap PJAS dilakukan melalui pengambilan sampel dan pengujian laboratorium terhadap cemaran kimia dan cemaran mikrobiologi (angka kapang dan khamir, MPN Coliform, Angka lempeng Total, Pemanis buatan Siklamat). Hasil evaluasi terhadap Pangan PJAS 2012-2014 menunjukkan bahwa 4 (empat) jenis pangan paling bermasalah, yaitu es, minuman berwarna/sirup, jeli/agar dan bakso. Oleh karena itu selanjutnya pantauan Keamanan PJAS difokuskan pada 4 jenis pangan tersebut. Hasil pengawasan PJAS pada tahun 2015 – 2017 menunjukkan adanya penurunan PJAS yang tidak memenuhi syarat, yaitu pada tahun 2015 terdapat 47% sampel pangan tidak memenuhi syarat (dari 526 sampel), pada tahun 2016 sampel pangan tidak memenuhi syarat menurun menjadi 39% (dari total sampel 627 sampel), dan pada tahun 2017 sampel pangan tidak memenuhi syarat menurun menjadi 19% (dari 1449 sampel). Penyebab PJAS tidak memenuhi syarat antara lain karena:
Hygiene dan sanitasi
yang tidak terpenuhi (ditunjukkan dengan data Angka Kapang dan Khamir, Angka
Lempeng Total bakteri, dan MPN Coliform melebihi batas) · Mengandung pemanis
buatan siklamat yang melebihi batas · Mengandung bahan yang dilarang
ditambahkan di pangan, misal: Rhodamin – B di sirup, Boraks di bakso Walaupun
profil Keamanan Pangan tahun 2017 menunjukkan perbaikan yang signifikan,
intensifikasi kawalan Keamanan Pangan masih terus harus dilakukan karena
realisasi capaian indikator program/kegiatan Keamanan Pangan yang ditetapkan
sebagaimana Tabel 5 (Kinerja Kawalan Keamanan Pangan 2017) yang dilakukan Badan
POM menunjukkan cakupan yang terbatas. Oleh karena itu, upaya kerjasama lintas
sektor antar kementrian/Lembaga from Farm to Table perlu direvitalisasi.
Tabel 5. Kinerja Kawalan Keamanan Pangan 2017
Indikator |
Target |
Realisasi |
Capaian (%) |
Jumlah
desa pangan aman |
100 |
100 |
100 |
Jumlah
desa yang diintervensi keamanan pangan |
2100 |
2094 |
99 |
Jumlah
desa pangan aman di daerah destinasi wisata |
10 |
10 |
100 |
Jumlah
komunitas yang mendapat sosiasilasi keamanan pangan |
110 |
110 |
100 |
Persentase
laporan keracunan pangan yang di tindaklanjuti 100 110 100 |
100 |
110 |
110 |
Jumlah
komunitas desa yang terpapar Keamanan Pangan (5 komunitas/desa/komunitas) |
2.500 |
1.930 |
77 |
Pangan
Jajanan Anak Sekolah (PJAS) |
5.000 |
5.000 |
100 |
Jumlah
usaha pangan (Usaha Mikro Kecil dan Menengah/UMKM) yang diintervensi keamanan
pangan |
21.000 |
20.511 |
97 |
Jumlah
komunitas pelaku usaha pangan desa dalam pemanfaatan dan pengembangan
teknologi |
4.200 |
41.88 |
99 |
Kelembagaan
dalam pengawasan obat dan makanan
Pengawasan obat dan
makanan yang memiliki dimensi luas dan kompleks merupakan komponen pembangunan
kesehatan yang melibatkan multisektor dan multilevel di Pusat dan Daerah,
dengan berbagai pemangku kepentingan. Rantai pengawasan obat dan makanan masih
terfragmentasi dimana sebagian kewenangannya tidak dimiliki Badan POM sebagai
Lembaga Pemerintah Non Kementrian bidang pengawasan obat dan makanan, utamanya
terkait dengan upaya di pemerintah daerah dan penegakan hukum. Agar pelaksanaan
pengawasan Obat dan makanan efektif dan efisien, telah dilakukan berbagai upaya
penguatan SISPOM terhadap 4 (empat) aspek/kerangka, yaitu (i) kerangka regulasi
(dasar hukum, kedudukan, kewenangan), (ii) kerangka kelembagaan (tugas, fungsi,
organisasi), (iii) kerangka sumber daya (SDM, pendanaan/anggaran,
infrastruktur), dan (iv) kerangka koordinasi dan sinergisme lintas sektor
dengan fokus utama penguatan SISPOM adalah sebagai berikut: ·
· Menguatkan kewenangan dan wibawa
kelembagaan Badan POM sebagai penjuru dan instansi terkait untuk secara efektif
melaksanakan pengawasan hulu ke hilir dan tindak lanjut hasil pengawasan
· Meningkatkan koordinasi, kolaborasi dan
komunikasi lintas sektor serta mengembangkan jejaring kemitraan dengan
Kementrian/Lembaga terkait dan pemerintah daerah
· Melaksanakan pelayanan publik yang lebih
efisien dan mendekatkan Badan POM dan instansi terkait pengawasan obat dan
makanan ke masyarakat
· Meningkatkan pengawasan dan penindakan
yang bisa memberikan efek jera terhadap pelanggaran hukum atas jaminan
keamanan, manfaat, dan mutu obat dan makanan
· Meningkatkan pemahaman dan keterlibatan
masyarakat dan pelaku usaha dalam pengawasan obat dan makanan
Penguatan sistem dan kelembagaan
pengawasan obat dan makanan juga dilakukan dengan pelaksanaan benchmarking ke
beberapa institusi bidang pengawasan obat dan makanan di beberapa negara, yang
tergolong negara maju (misalnya US FDA) dan negara emerging (misalnya Chinese
FDA)16. Secara global, Badan Kesehatan Dunia (WHO-World Health Organization)
sesuai mandatnya berupaya memperkuat sistem regulatori obat negara anggotanya,
terutama negara berkembang, antara lain dengan melakukan kajian tingkat
maturity sistem regulatori dimaksud. Untuk itu, WHO telah menyusun Global
Benchmarking Tools yang mencakup organisasi dan fungsi regulatori yang harus
dicakup. Pada bulan Juli 2018, organisasi dan fungsi Badan POM untuk pengawasan
obat dan vaksin dikaji oleh WHO, dengan hasil bahwa Badan POM termasuk NRA
(National Regulatory Authority) dengan fungsi regulatori yang mantap (Maturity
Level 3 dan 4 dari total 5 level).
Dalam rangka penguatan
kelembagaan pengawasan obat dan makanan pada leval pusat telah ditetapkan
Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan,
pada leval daerah, telah dilakukan langkah-langkah strategis sesuai amanat
Nawacita pertama yaitu untuk menghadirkan Negara dalam memberikan jaminan
kepada masyarakat atas keamanan dan mutu obat dan makanan. Langkah-langkah
strategis tersebut, antara lain, meliputi penguatan Unit Pelaksana Teknis (UPT)
Balai besar/Balai POM diseluruh provinsi, dan pembentukan UPT di kabupaten/kota
tertentu secara bertahap sesuai kebutuhan pengawasan sebagaimana diamanatkan
dalam ketentuan pasal 35 Peraturan Presiden No. 80 tahun 2017 tentang Badan
Pengawas Obat dan Makanan. Pada bulan Mei 201719 Kementrian Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) pada prinsipnya mendukung
rencana pembentukan UPT Badan POM di Kabupaten/Kota tertentu tersebut dan pada
bulan Juni 2018 sebanyak 40 Loka POM (UPT level eselon 4) telah disetujui oleh
Kementrian PANRB20. Untuk itu, telah ditetapkan Peraturan BPOM Nomor 11 Tahun
2018 tentang Kriteria Klasifikasi Unit Pelaksana Teknis di lingkungan BPOM dan
Peraturan BPOM Nomor 12 Tahun 2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit
Pelaksana Teknis di Lingkungan BPOM.
Menyadari bahwa dalam
penguatan kelembagaan pengawasan obat dan makanan pada leval daerah perlu
dilakukan dengan lebih strategik, maka telah dilakukan koordinasi dengan
pemerintah daerah, antara lain, dalam bentuk kerjasama formal yang dipayungi
oleh Peraturan/Keputusan Bersama antara Menteri terkait dengan Kepala Badan POM
dan atau Nota Kesepahaman (MOU-Memorandum of Understanding) antara pimpinan
pemerintah kabupaten/kota dengan Kepala Badan POM. Secara umum, pelaksanaan
koordinasi di tingkat pusat telah berjalan dengan baik. Namun di tingkat
daerah, kerjasama lintas sektor sangat bergantung pada komitmen pemerintah daerah
terhadap pentingnya kawalan obat dan makanan yang aman dan bermutu sebagai
bagian program/kegiatan pemerintah daerah. Untuk itu, langkah strategis secara
nasional dalam kaitan ini adalah implementasi Peraturan Menteri Dalam Negeri
No. 41 Tahun 2018 tentang Peningkatan Koordinasi Pengawasan Obat dan Makanan di
daerah sebagai turunan dari Instruksi Presiden No. 3/2017 tentang Peningkatan
Efektivitas Pengawasan Obat dan Makanan. Dengan demikian, diharapkan
pelaksanaan koordinasi pengawasan obat dan makanan di jajaran pemerintah daerah
akan lebih efektif.
Dalam rangka
intensifikasi keamanan pangan, dengan mengacu pada Undang Undang Pangan No. 18
Tahun 2012 tentang Pangan, telah ditetapkan Peraturan Bersama Menteri Dalam
Negeri dan Kepala Badan POM No. 43 Tahun 2013 dan No. 2 Tahun 2013 tentang
Pengawasan Bahan Berbahaya yang Disalahgunakan dalam Pangan, dimana dimandatkan
pembentukan Tim Pengawas Terpadu Bahan Berbahaya yang beranggotakan wakil dari
pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. Tim
dimaksud di daerah diketuai oleh Kepala Dinas yang membidangi Perdagangan dan
beranggotakan seluruh instansi yang terlibat dalam produksi dan peredaran bahan
berbahaya, yaitu (i) Dinas yang membidangi perindustrian dan perdagangan, serta
(i) instansi yang terdampak dengan penyalahgunaan bahan berbahaya yaitu:
BBPOM/BPOM, Dinas yang membidangi pertanian, peternakan, perikanan dan pasar.
Sampai dengan saat ini telah terbentuk sebanyak 23 Tim Pengawas Terpadu
Provinsi dan 73 Tim Pengawas Terpadu Kabupaten/Kota. Namun demikian, pada saat
ini hanya sedikit Tim Pengawas Terpadu yang aktif melakukan pengawasan dan
melaporkan kegiatan yang telah dilakukan ke Kementerian Dalam Negeri dan Badan
POM sebagaimana diatur dalam Peraturan Bersama tersebut. Implementasi yang agak
berhasil-guna sebagian besar diinisiasi kegiatannya oleh Balai Besar/Balai POM,
baik dari sisi penyediaan anggaran pengawasan, kompetensi, maupun penetapan
target pengawasan.
Kendala utama yang
dihadapi dalam koordinasi untuk kegiatan ini adalah (i) setelah Undang Undang
No. 23 Tahun 2014 diterbitkan, persepsi pemerintah daerah adalah tidak merasa
perlu untuk membentuk Tim Pengawas Terpadu Bahan Berbahaya dan menyiapkan
anggaran pengawasan (ii) pemerintah daerah tidak memiliki database sarana
distribusi bahan berbahaya di wilayahnya. Penugasan pemerintah daerah provinsi
untuk menyediakan layanan penerbitan Surat Izin Usaha
Perdagangan Bahan Berbahaya, yang disertai dengan rekomendasi hasil pemeriksaan
dari pemerintah kabupaten/kota dimana sarana pemohon berlokasi, masih belum
terlaksana dengan baik. Sampai dengan saat ini hanya 18 Provinsi yang telah
menyediakan layanan penerbitan izin dimaksud dan proses pelayanan yang
diizinkan tidak seluruhnya mengacu pada Peraturan Menteri Perdagangan No.
44/M-Dag/per/9/2009, dan (iii) Keterbatasan kompetensi petugas daerah untuk
melakukan pengawasan, termasuk pelaksanaan Pro Justitia bagi pelanggaran
terkait. Dengan telah ditetapkannya regulasi baru untuk penguatan kelembagaan
dan koordinasi pengawasan obat dan makanan serta pembentukan 40 Loka POM (level
eselon 4) di beberapa Kabupaten/Kota, perlu diperkuat tata hubungan Balai
Besar/ Balai/Loka POM dan pemerintah daerah. Hal ini menunjukkan perlunya upaya
yang lebih keras untuk penguatan kemampuan Balai Besar/Balai POM. Dalam konteks
ini, sangat diperlukan NSPK yang menjadi acuan kerja sama antara K/L yang
terkait pengawasan obat dan makanan dengan pemerintah daerah, khususnya Dinas
Kesehatan, Dinas Perindustrian/Perdagangan, dan jajaran lintas sektor lainnya.
Tabel 6. Pengawasan
Obat dan Makanan oleh Balai/Balai Besar POM
Indikator |
Target |
Realisasi |
Capaian (%) |
Jumlah
sampel obat KB yang diuji menggunakan parameter kritis |
995 |
981 |
98,59 |
Jumlah
sampel obat yang diuji menggunakan parameter kritis |
57.702 |
56.881 |
98,58 |
Jumlah
sampel makanan yang diuji menggunakan parameter kritis |
24.848 |
24.346 |
97,98 |
Persentase
cakupan pengawasan sarana produksi obat dan makanan |
63 |
46.23 |
73,38 |
Persentase
cakupan pengawasan sarana distribusi obat dan makanan |
25 |
39.52 |
158,08 |
Jumlah
perkara di bidang obat dan makanan |
315 |
306 |
97,14 |
Jumlah
layanan publik BB/BPOM |
40.192 |
56.840 |
141,42 |
Jumlah
komunitas yang diberdayakan |
727 |
713 |
98,07 |
Jumlah
dokumen perencanaan, penganggaran, dan evaluasi yang dilaporkan tepat waktu |
321 |
326 |
101,56 |
Persentase
pemenuhan sarana prasarana sesuai standar |
90 |
80.76 |
89,73 |
Penindakan Pelanggaran Obat dan Makanan
Pengamanan (security)
jaringan peredaran obat dan makanan yang bermutu, aman, dan berkhasiat dari
infiltrasi produk ilegal, di bawah standar (sub-standard) dan palsu (falsified),
merupakan perhatian dunia. Oleh karena itu salah satu fungsi pengawasan obat
dan makanan di samping melindungi masyarakat dari peredaran obat dan makanan
yang tidak aman, bermutu dan bermanfaat, juga perlu melakukan upaya penegakan
hukum (enforcement).
Kegiatan pengawasan
post-market sebagai upaya hilir pengawasan obat dan makanan juga mencakup
kegiatan law enforcement (kegiatan bidang penyidikan dan penindakan) sebagai
salah satu upaya untuk memberikan dampak bermakna tindak lanjut pelanggaran di
bidang obat dan makanan, antara lain, berupa pemberian efek jera pelaku tindak
pidana obat dan makanan yang selanjutnya diharapkan akan berdampak pada
penurunan pelanggaran di bidang obat dan makanan. Untuk memperkuat kegiatan
penyidikan dan penindakan, dilakukan beberapa upaya penguatan, antara lain,
operasi terpadu dan operasi intensif dalam kerangka ICJS (Integrated Criminal
Justice System) yang melibatkan Bareskrim POLRI serta K/L terkait, di samping
kegiatan koordinasi dengan Kejaksaan Agung untuk mempercepat penyelesaian berkas
perkara tahap 1 (penyerahan berkas perkara) hingga tahap 2 (penyerahan barang
bukti dan tersangka). Peningkatan kinerja dan profesionalisme Penyidik Pegawai
Negeri Sipil (PPNS) dioptimalkan guna mendukung kapasitas sumber daya manusia
yang lebih baik. Keberhasilan kegiatan investigasi awal dan penyidikan diukur
dengan beberapa indikator28 dengan realisasi sebagaimana Tabel 7.
Tabel 7. Kinerja
Investigasi dan Penyidikan dalam Rangka Penegakan Hukum Bidang Obat dan Makanan
Indikator |
Target |
Realisasi |
Capaian (%) |
Jumlah intervensi yang diberikan kepada Balai Besar/ Balai POM |
69 |
79 |
114 |
Perkara
yang diselesaikan hingga penyerahan berkas perkara (tahap 1) |
4 |
2 |
50 |
Perkara
yang diselesaikan hingga penyerahan tersangka dan barang bukti (tahap 2) |
2 |
3 |
150 |
SUMBER:
Kementerian PPN/BAPENAS. Kajian Sektor Kesehatan. Belajar dari
Pengawasan Obat dan Makanan, Termasuk Keamanan Pangan. https://www.bappenas.go.id/files/7815/9339/2256/FA_Preview_HSR_Book07.pdf
No comments:
Post a Comment