Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Saturday, 21 August 2021

Kajian Pengawasan Obat dan Makanan

Ringkasan

Pengawasan obat dan makanan masih memerlukan penguatan dari berbagai aspek. Secara kelembagaan, perlu kejelasan pembagian peran dan mekanisme koordinasi antara pengawasan produk obat dan makanan baik pusat maupun daerah. Di tingkat pusat, koordinasi ini mencakup beberapa K/L yang berwenang seperti pengawasan produk pangan segar di Kementan, pengawasan produk olahan yang memiliki ijin edar di BPOM, dan pengawasan produk makanan dan minuman secara umum di Kementerian Kesehatan. Di daerah dan pada tataran pelaksanaan koordinasi ini lebih sulit dilakukan dengan semakin meningkatnya produk pangan segar dan industri rumah tangga. Pengembangan laboratorium dan balai pengawasan obat dan makanan belum secara spesifik disesuaikan dengan penanganan risiko keterpaparan produk dan jumlah penduduk dalam suatu area tertentu. Untuk itu, pengembangan loka di daerah perlu di review kembali. Dalam aspek regulasi, penegakan hukum dan pemberian sanksi bagi pelanggaran obat dan makanan perlu diperkuat. Beberapa pelanggaran yang dilakukan ditemukan secara berulang karena sanksi yang diterapkan tidak membuat efek jera. Peran BPOM sebagaimana diamanahkan dalam “Inpres No.3 Tahun 2017 tentang peningkatan efektivitas pengawasan obat dan makanan” yakni sebagai koordinator dalam pengawasan obat dan makanan perlu lebih dioptimalkan. 


Secara umum tantangan pengawasan obat dan makanan dalam 5 tahun ke depan mencakup empat aspek, yaitu: 

1) aspek kesehatan-menjamin produk obat dan makanan yang beredar memenuhi standar kualitas, keamanan, dan khasiat/efektivitas terutama bagi industri kecil dan mikro; 

2) aspek sosial-meningkatkan kepercayaan publik terhadap produk obat dan makanan yang beredar; 

3) aspek ekonomi-mendorong daya saing industri obat dan makanan dengan semakin mudahnya perizinan dan sertifikasi obat dan makanan dengan tetap mempertimbangkan kualitas dan jaminan produk halal, dukungan pengembangan produk dan makanan baru dan ketersediaan bahan baku dalam negeri dengan berbagai riset, dan memperluas inovasi dan pemanfaatan teknologi dalam pengawasan obat dan makanan; dan 

4) aspek keamanan nasional-meningkatkan penegakan hukum terhadap kasus pelanggaran obat dan makanan serta bioterorisme. Arah kebijakan ke depan difokuskan pada peningkatan pengawasan obat dan makanan yang lebih efektif, efisien, dan berdaya ungkit bagi pencapaian target pembangunan nasional, sehingga memberikan perlindungan menyeluruh bagi kesehatan masyarakat sekaligus peningkatan daya saing obat dan makanan.


Strategi yang diusulkan, di antaranya:

1) perlindungan publik dari obat dan makanan yang tidak memenuhi syarat dengan perluasan cakupan dan kualitas pengawasan pre dan post market obat dan pangan;

2) peningkatan kemandirian pelaku usaha, pemangku kepentingan dan partisipasi masyarakat;

3) peningkatan kemampuan penegakan hukum dan peran Badan POM dalam Integrated Criminal Justice System;

4) percepatan proses registrasi produk obat dan makanan dengan tetap mengacu pada pemenuhan kualitas keamanan produk;

5) peningkatan riset di bidang pengawasan obat dan makanan;

6) peningkatan kemampuan SDM dan kapasitas laboratorium dan Balai POM; dan

7) perluasan pemanfaatan teknologi informasi dalam pengawasan obat dan makanan. Strategi tersebut perlu didukung oleh penguatan kerangka kelembagaan, regulasi dan pendanaan yang memadai.

 

Untuk mengukur capaian kinerja pengawasan obat dan makanan, indikator persentase obat memenuhi syarat dan persentase makanan memenuhi syarat masih cukup relevan untuk digunakan, namun perlu perbaikan metodologi. Selain itu, indeks keamanan obat dan makanan dan indeks pengawasan obat dan makanan sebagai alternatif indikator perlu dieksplorasi dan dikembangkan dengan menggunakan prinsip-prinsip statistik yang valid dan reliable.

 

INTRODUKSI

Dalam rangka penyusunan RPJMN 2020-2024 yang merupakan tahap akhir dari RPJPN 2005- 2025, Kementerian PPN/Bappenas melakukan Kajian Analisis Sektor Kesehatan atau Health Sector Review (HSR) pada tahun 2018. Salah satu tematik topik yang diangkat dalam HSR tahun 2018 adalah tematik 7 tentang Pengawasan Obat dan Makanan, termasuk Keamanan Pangan. Tujuan dari kajian ini adalah melakukan identifikasi isu strategis dan tantangan pengawasan obat dan makanan, menganalisa capaian dan memberikan rekomendasi dalam bentuk arah kebijakan, strategi, indikator, kerangka kelembagaan dan regulasi. Masukan dari kajian ini akan menjadi salah satu referensi dalam menyusun RPJMN 2020-2024 terutama mengenai pengawasan obat dan makanan.

 

Komponen Pengawasan Obat dan Makanan, termasuk pengawalan terhadap Keamanan Pangan sebagai judul tematik tersendiri merupakan terobosan baru dalam kajian analisis sektor kesehatan 2018 mengingat dalam kajian analisis sektor kesehatan 2014, Pengawasan Obat dan Makanan merupakan bagian dari tematik Farmasi dan Teknologi Kesehatan. Hal ini karena Pengawasan Obat dan Makanan termasuk Keamanan Pangan merupakan salah satu agenda reformasi pembangunan nasional bidang kesehatan dengan fungsi yang sangat strategis dalam upaya perlindungan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat Indonesia dan sekaligus untuk mendukung daya saing nasional bidang usaha obat dan makanan.

 

Kajian ini akan dikonsolidasikan dengan kajian tematik lainnya menjadi satu kesatuan laporan karena seluruh tematik saling berkaitan, melengkapi dan mendukung. Oleh karena itu, kajian tematik 7 Pengawasan Obat dan Makanan, termasuk Keamanan Pangan perlu dibaca bersama, termasuk tetapi tidak terbatas, dengan kajian tematik yang lain, seperti, tematik no 4 (terkait dengan Keamanan Pangan), tematik no 6 (terkait dengan keterpaduan sistem Pengawasan Obat dan Makanan dengan seluruh sektor farmasi), tematik 9 (terkait ketersediaan obat yang terjamin khasiat, keamanan dan mutunya dalam pelayanan kesehatan).

 

ANALISIS

Capaian Pengawasan Obat dan Makanan

Secara keseluruhan kinerja pengawasan obat dan makanan dalam mengawal keamanan, khasiat/manfaat dan mutu obat dan makanan telah mengalami perbaikan secara bermakna. Berdasarkan evaluasi paruh waktu RPJMN 2015-2019, target pencapaian target pengawasan obat dan makanan yaitu persentase obat yang memenuhi syarat, telah melampaui target sasaran (target 92 % dengan realisasi 98%)11 . Di samping itu, data2 sebagaimana Tabel 1 Kinerja Pengawasan Obat dan Makanan (Umum) Tahun 2017, menunjukkan bahwa dari 4 (empat) indikator, 3 (tiga) di antaranya telah melampaui target sasaran 2017 dan 2019, yaitu (i) persentase obat yang memenuhi syarat (99%), (ii) persentase makanan yang memenuhi syarat (92%) dan (iii) jumlah industri farmasi yang meningkat kemandiriannya (100%). Walaupun 1 (satu) indikator yaitu persentase industri pangan olahan yang mandiri dalam rangka menjamin keamanan pangan, realisasi pencapaiannya pada tahun 2017 (6%) masih di bawah target (7%), tetapi pada dasarnya sudah terjadi peningkatan yang signifikan dibandingkan dengan pencapaian tahun 2016 (4%).

 


Pencapaian indikator pengawasan obat dan makanan tersebut didukung oleh beberapa pencapaian kinerja yang lain3 , seperti kinerja pengawasan produk obat dan makanan sebelum beredar (pre-market) sebagaimana Tabel 2

 


Kinerja pengawasan pre-market khususnya penilaian dalam proses pendaftaran/registrasi masih memiliki limitasi karena jenis produk obat dan makanan baru yang perlu dievaluasi makin beragam, dengan jumlah berkas permohonan cukup banyak per tahun. Hal ini menjadi tantangan tersendiri di bidang pengawasan pre-market. Sebagai contoh, untuk produk obat, jumlah berkas permohonan registrasi yang diterima pada 2014 -2016 berturut-turut berjumlah 15.947 berkas (2014), 13.302 berkas (2015), 15.672 berkas (2016).

 

Evaluasi yang dilakukan seringkali terkendala dengan belum adanya standar ilmiah obat baru, sehingga diperlukan upaya khusus untuk penilaian obat dimaksud bersama pakar. Sesuai WHO4 , keberadaan pakar dalam proses evaluasi pre-market diperlukan untuk jaminan proses evaluasi ilmiah yang independent dan mengedepankan fairness. Selanjutnya, pemohon registrasi (pelaku usaha) memerlukan upaya juga untuk dapat memberikan data-data sesuai standar yang ditetapkan tersebut.


Hal ini seringkali yang menyebabkan proses pemberian Nomor Ijin Edar lebih lama. Dari database Badan POM5 , diketahui bahwa jumlah berkas permohonan registrasi obat yang evaluasinya dapat diselesaikan tepat waktu dari tahun 2014-2016 rata-rata berkisar 50% per tahun yang berarti ada backlog sekitar 50% per tahun, sebagaimana yang dapat di lihat pada (Gambar 1 Permohonan Registrasi Obat 2014-2016 dan Ketepatan Waktu Proses Pemberian NIE).

 

Untuk mengatasi hal ini, berbagai upaya deregulasi telah dilakukan, tanpa mengorbankan persyaratan jaminan khasiat, keamanan dan mutu obat. Di antaranya adalah

(i) percepatan timeline proses registrasi, misalnya registrasi obat untuk ekspor dari 40 HK menjadi 7 HK, sistem notifikasi untuk registrasi variasi minor (tell and do),

(ii) simplifikasi prosedur, misalnya peniadaan tahap pra-registrasi untuk registrasi obat generik lokal dan registrasi variasi major yang tidak perlu uji klinik,

(iii) kemudahan dan transparansi misalnya dengan optimalisasi sistem registrasi obat online. Hal ini tertuang dalam Peraturan Kepala Badan No. 24 Tahun 2017 tentang kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat, yang merupakan perbaikan dari Peraturan Kepala Badan POM tentang hal sama.

 

Di samping itu, pencapaian target pengawasan obat dan makanan juga ditunjukkan dari kinerja pengawasan post-market obat dan makanan yang dimaksudkan untuk menjamin konsistensi dan kesinambungan jaminan khasiat/manfaat, keamanan dan mutu obat dan makanan yang beredar. Capaian kinerja pengawasan post-market obat dan makanan (inspeksi sarana distribusi dan produksi) sebagaimana Tabel 3 (Kinerja Pengawasan Obat dan Makanan Post-Market 2017 (Inspeksi Sarana Distribusi dan Produksi).



Dampak yang diharapkan dari peningkatan kinerja pengawasan obat dan makanan adalah perlindungan komprehensif terhadap konsumen/masyarakat dari obat dan makanan yang tidak memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan khasiat/manfaat, produk ilegal/palsu dan produk yang mengandung bahan yang berbahaya. Selain upaya pengawasan

 

Pre-Post market obat dan makanan, telah dilakukan upaya intensifikasi pengawasan obat dan makanan untuk temuan yang persisten, antara lain terhadap produk obat dan makanan yang sering mengandung bahan berbahaya, misal Obat Tradisional (OT) yang mengandung Bahan Kimia Obat (BKO), kosmetika yang mengandung bahan merkuri, hidrokinon, asam retinoat dan zat warna yang dilarang (merah K10/Rhodamin, merah K3, jingga K1) serta produk palsu dan ilegal.

 

Intensifikasi pengawasan tersebut dilakukan dalam bentuk kerja sama lintas sektor, khususnya dengan organisasi penegak hukum yang lain, di antaranya adalah Operasi Gabungan Nasional (OPGABNAS) yang dilakukan serentak pada waktu yang sama di seluruh Indonesia. Selain itu, secara periodik juga dilakukan Operasi Gabungan Daerah (OPGABDA) yang dilakukan setiap kwartal/semester di masing-masing provinsi.

 

Operasi ini dilaksanakan secara terpadu melibatkan lintas sektor terkait, misalnya kepolisian daerah, dinas kesehatan, dinas perindustrian-perdagangan. Sasaran operasi ditujukan kepada sarana produksi, distribusi atau pengecer obat, obat tradisional, kosmetika, dan makanan yang diduga melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan dengan urutan prioritas produk tanpa ijin edar, produk kedaluwarsa, OT BKO (Obat Tradisional mengandung Bahan Kimia Obat), pangan dan kosmetik mengandung bahan berbahaya, pangan rusak, dan distribusi obat keras di sarana tidak berwenang.

 

Sasaran OBGABNAS 20176 adalah 189 sarana, dengan hasil 176 sarana (93%) melakukan pelanggaran, yang terdiri dari 7% sarana produksi, 10% sarana importir/distributor, 10% sarana apotek, 48% sarana toko, 8% sarana toko obat, 2% gudang, 1% salon dan 8% rumah. Hasil intensifikasi pengawasan obat dan makanan yang diharapkan adalah penurunan pelanggaran bidang obat dan makanan. Salah satu temuan adalah tren penurunan di tahun 2017 OT BKO menjadi 0,69%7 , sebagaimana Gambar 2.

 

Intensifikasi pengawasan tersebut dilakukan dalam bentuk kerja sama lintas sektor, khususnya dengan organisasi penegak hukum yang lain, di antaranya adalah Operasi Gabungan Nasional (OPGABNAS) yang dilakukan serentak pada waktu yang sama di seluruh Indonesia. Selain itu, secara periodik juga dilakukan Operasi Gabungan Daerah (OPGABDA) yang dilakukan setiap kwartal/semester di masing-masing provinsi. Operasi ini dilaksanakan secara terpadu melibatkan lintas sektor terkait, misalnya kepolisian daerah, dinas kesehatan, dinas perindustrian-perdagangan. Sasaran operasi ditujukan kepada sarana produksi, distribusi atau pengecer obat, obat tradisional, kosmetika, dan makanan yang diduga melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan dengan urutan prioritas produk tanpa ijin edar, produk kedaluwarsa, OT BKO (Obat Tradisional mengandung Bahan Kimia Obat), pangan dan kosmetik mengandung bahan berbahaya, pangan rusak, dan distribusi obat keras di sarana tidak berwenang.

 

Sasaran OBGABNAS 20176 adalah 189 sarana, dengan hasil 176 sarana (93%) melakukan pelanggaran, yang terdiri dari 7% sarana produksi, 10% sarana importir/distributor, 10% sarana apotek, 48% sarana toko, 8% sarana toko obat, 2% gudang, 1% salon dan 8% rumah. Hasil intensifikasi pengawasan obat dan makanan yang diharapkan adalah penurunan pelanggaran bidang obat dan makanan. Salah satu temuan adalah tren penurunan di tahun 2017 OT BKO menjadi 0,69%7 , sebagaimana Gambar 2.

 

Salah satu subsistem Sistem Kesehatan Nasional (SKN) adalah sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan, yang meliputi berbagai kegiatan untuk menjamin:

(i) aspek keamanan, khasiat/ kemanfaatan dan mutu sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan yang beredar;

(ii) ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan obat, terutama obat esensial;

(iii) perlindungan masyarakat dari penggunaan yang salah dan penyalahgunaan obat dan penggunaan obat yang rasional; serta

(iv) upaya kemandirian di bidang kefarmasian melalui pemanfaatan sumber daya dalam negeri. 


Oleh karena itu dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebagai bagian tak terpisahkan dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan dalam SKN diberlakukan penjaminan mutu khususnya untuk produk obat dan makanan yang digunakan. Kegiatan jaminan mutu produk dalam JKN tersebut harus didukung oleh Sistem Pengawasan Obat dan Makanan (SISPOM) yang efektif dan efisien dan melibatkan semua pemangku kepentingan dalam jejaring kerja dan koordinasi yang responsif dan akuntabel, khususnya terkait:

(i) jaminan ketersediaan Obat yang aman, berkhasiat, dan bermutu di sarana pelayanan kesehatan dan beredarnya Makanan yang aman dan bergizi, dan

(ii) jaminan kesinambungan akses masyarakat terhadap obat dan vaksin dalam pelayanan kesehatan.

 

Kondisi ini hanya bisa tercapai, antara lain, dengan:

(i) upaya pengawasan intensif dan pembinaan oleh Badan POM terhadap Industri Farmasi dan Pangan agar mempraktekkan ketentuan Good Manufacturing Practices (GMP) secara konsekuen dalam produksi obat dan makanan,

(ii) upaya monitoring dan surveilans mutu obat dan makanan yang beredar, dan

(iii) kawalan rantai distribusi obat dan Makanan yang menerapkan Good Distribution Practices (GDP) terkait mutu dan keabsahan obat dan makanan.

 

Tantangan khusus bagi BPOM dalam hal ini adalah intensifikasi pengawasan pre-market dan post-market, serta pembinaan pelaku usaha agar secara mandiri menjamin mutu produknya. Tantangan lain adalah kurangnya keterpaduan koordinasi (perencanaan dan pelaksanaan) antara Badan POM dan K/L yang terkait dalam proses pengadaan obat e-Katalog.

 

Hal ini terkait dengan kebijakan penetapan pemenang suplair obat dalam mekanisme E-Katalog yang hanya menekankan pada harga obat termurah dan diduga dapat terjadi trade-off terhadap jaminan mutu obat dalam pelaksanaan bisnis farmasi yang tidak profesional. Misalnya kurangnya kepatuhan penerapan ketentuan GMP sesuai kondisi saat diberikan Nomor Ijin Edar, dan terjadi peningkatan Toll Manufacturing pemenang suplair obat ke industri farmasi lain tanpa proses registrasi di Badan POM, dengan alasan bahwa pemenang suplair obat terikat dengan komitmen waktu suplai padahal proses registrasi obat di Badan POM memerlukan waktu. Pada dasarnya, jaminan mutu (Quality Assurance) dalam manajemen suplai obat8 bertujuan untuk memberikan jaminan bahwa setiap produk obat yang digunakan oleh pasien aman, dan efektif dengan standar mutu yang sama. Karakteristik dari standar mutu tersebut, antara lain, memiliki Nomor Ijin Edar, jaminan kemurnian dan potensi, memiliki keseragaman bentuk sediaan, profil Uji Bio-Availability (bila perlu) yang baik dan merupakan produk dengan kestabilan sesuai ketentuan.

 

Jaminan mutu juga sangat tergantung pada kualitas kemasan, transportasi yang digunakan dan kondisi penyimpanan. Jaminan mutu obat yang dipakai dalam JKN harus mencakup seluruh life cycle dari produk obat tersebut. Dampak tidak terpenuhinya jaminan mutu obat dalam JKN, antara lain:

(i) Tujuan penggunaan obat tidak tercapai dan kemungkinan akan meningkatkan biaya pengobatan dan layanan kesehatan akibat risiko dari obat tersebut 

(ii) Obat yang tidak memenuhi syarat perlu dilakukan penarikan/recall dan akan berdampak pada kelancaran layanan 

(iii) kekosongan obat apabila tidak ada mekanisme penggantian pasokan yang cepat dan efisien.

 

Di samping itu, walaupun persentase obat yang memenuhi syarat menunjukkan profil yang on-track tetapi tidak diketahui bagaimana kaitannya dengan sasaran agenda pembangunan nasional dalam meningkatkan kualitas hidup manusia dan masyarakat. Apabila dilihat dalam 3 (tiga) tahun belakangan ini masih banyak temuan pengawasan obat yang terkait jaminan mutu dengan masalah terbesar adalah pemenuhan uji disolusi, dan konsistensi kadar obat, sebagaimana terlihat dalam Gambar 3 Hasil pengawasan obat tidak memenuhi syarat berdasarkan parameter uji 2015-2017.

 

Kajian terhadap jenis obat yang diuji dari hasil pengawasan obat dalam Gambar 3 menunjukkan menunjukkan bahwa Analgesik/Antipiretik/ Anti-inflamasi dan beberapa jenis obat life-saving seperti Antibiotika.



Anti TB, Anti virus dan Kardio-vaskular termasuk produk obat yang konsisten tidak memenuhi syarat mutu dalam kurun waktu 2015, 2016, 2017, walaupun terjadi pergeseran jenis obat untuk temuan terbanyak dari tahun ke tahun, sebagaimana yang terlihat dalam Gambar 4 (Tren Obat Tidak Memenuhi Syarat Berdasarkan Parameter Uji 2015 sampai dengan Oktober 2017). Hasil temuan tidak memenuhi syarat hanya mencakup < dari 2 % obat yang di-sampling dan diuji (dengan asumsi 98,74% obat memenuhi syarat), tetapi kondisi ini memberikan warning bahwa ada sekelompok masyarakat yang mungkin masih terpapar akan obat yang tidak memenuhi syarat apabila tidak ada koordinasi bidang obat sektor publik.


Upaya keterpaduan SISPOM dan K/L terkait dalam SKN perlu direvitalisasi antara lain melalui :

 (i) peningkatan koordinasi kawalan jaminan mutu produk farmasi dalam JKN dan;

(ii) peningkatan kerjasama lintas sektor dalam sinkronisasi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan kesehatan. 


Khusus untuk proses pengadaan obat dalam e-katalog, diperlukan kerja sama yang lebih erat antara Badan POM, Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementrian Kesehatan dan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) utamanya terkait persyaratan pemenang suplair obat dan kawalan jaminan mutu obat, dimana diperlukan masukan hasil SISPOM dalam kriteria pemilihan pemenang suplair obat berdasarkan rekam jejak jaminan mutu obat suplair/produsen (Historical Quality Track Records) yang meliputi: 

(i) Konsistensi kinerja produsen dalam pemenuhan GMP dan GDP, 

(ii) Data temuan ke-berulang-an masalah mutu untuk produk obat tertentu dari produsen tertentu, 

(iii) pengaruh riwayat recall terhadap proses resertifikasi dan registrasi obat dan 

(iv) sejarah konsistensi komitmen ketersediaan dan pengiriman sesuai kontrak.

 

Di sisi lain, permasalahan keamanan pangan juga telah menjadi keprihatinan dunia. Dipicu oleh kenyataan bahwa ratusan juta manusia di dunia menderita penyakit menular maupun tidak menular karena pangan yang tercemar (Food Borne Diseases), maka pada tahun 1992 dalam forum FAO/WHO International Conference on Nutrition telah dilakukan deklarasi bahwa memperoleh pangan yang cukup, bergizi dan aman di konsumsi adalah hak setiap orang. Di Indonesia, kawalan Good Practices pada Keamanan Pangan sangat kompleks karena melibatkan kemitraan seluruh komponen pemangku kepentingan yaitu pemerintah (Kementrian Pertanian, Kementrian Kelautan dan Perikanan, Kementrian Perindustrian, Kementrian Perdagangan, Kementrian Kesehatan, Badan POM, dan pemerintah daerah), produsen pangan, distributor terkait dan konsumen. Mata rantai Keamanan Pangan from Farm to Table9 adalah sebagaimana Gambar 5 (Mata Rantai Keamanan Pangan from Farm to Table).


Saat ini Indonesia mengalami beban ganda keamanan pangan10. Beban pertama berkaitan dengan masalah-masalah mendasar keamanan pangan; terutama masih belum diaplikasikannya prinsip pembuatan makanan/pangan dengan baik. Sepanjang tahun 2013- 2017 Badan POM11 telah menerima laporan sebanyak 271 Kejadian Luar Biasa Keamanan Pangan (KLB KP) dimana penyebabnya didominasi oleh pangan masakan rumah tangga (36- 49%), disusul oleh pangan jajanan (17-36%), pangan jasa boga (13-28%) dan industri pangan olahan (11-15%) sebagaimana Gambar 6 (Penyebab KLB Keamanan Pangan berdasarkan Jenis Pangan 2013-2017).

 

Data Badan POM 2013-201712 juga menunjukkan bahwa agen penyebab KLB keracunan pangan ini didominasi oleh agen mikrobiologi (confirmed and suspect) dan disusul oleh agen kimia (confirmed and suspect) sebagaimana Gambar 7 (Profil Etiologi KLB Keamanan Pangan 2013-2017). Beban kedua, secara khusus berkaitan dengan industri pangan Indonesia yang berorientasi ekspor; yang harus menghadapi berbagai isu keamanan pangan baru yang selalu bermunculan dari waktu ke waktu, berubah-ubah dan berbeda dari satu negara ke negara lainnya.


Hal ini tercermin dari data penolakan produk pangan ekspor Indonesia di pasar global. Hal ini disebabkan karena keamanan pangan telah menjadi prasyarat yang semakin ketat bagi perdagangan internasional, dan karena itu maka kondisi keamanan pangan juga akan berpengaruh secara langsung pada kinerja ekspor produk pangan dari suatu negara. Sebagai contoh, data US FDA (US Food and Drug Administration) tahun 2011-201413, menunjukkan terjadi penolakan produk pangan Indonesia oleh US FDA karena alasan keamanan pangan sebanyak 1.451 kasus atau sekitar 30 kasus penolakan per bulan. Alasan terbesar penolakan produk pangan Indonesia adalah karena alasan kotor (filthy, 36%), diikuti dengan tercemar Salmonella suatu bakteri patogen penyebab keracunan pangan (31%). 


Penyebab penolakan ekspor yang sering juga dialami oleh eksportir Indonesia ke Amerika Serikat adalah ditemukannya residu obat hewan (hormon, antibiotika), dekomposisi (histamin, pertumbuhan mikroba lain, dll), serta alasan lain yang meliputi adanya indikasi praktik tidak saniter, kesalahan pelabelan, dan penggunaan pewarna ilegal. Upaya peningkatan kinerja kawalan Keamanan Pangan14, khususnya untuk mengatasi beban pertama, sejak 2014 telah dikembangkan Program Manajemen Risiko (PMR) yang menekankan kemandirian pelaku usaha dalam penjaminan penerapan Sistem Manajemen Keamanan Pangan.

 

Konsep ini, menekankan kepada upaya-upaya preventif oleh pelaku usaha dan pemberian kepercayaan kepada industri sebagai pihak yang paling bertanggung jawab untuk Keamanan Pangan, dimana pelaksanaannya diverifikasi oleh pemerintah sebagai regulator. Pelaksanaan PMR untuk tahap saat ini, difokuskan pada industri pangan yang memproduksi pangan berisiko tinggi, dan dilaksanakan secara bertahap, sebagai berikut: · Pada tahun 2015 – 2016 diterapkan secara wajib untuk seluruh industri pangan yang memproduksi pangan formula bayi, formula lanjutan dan formula pertumbuhan. 

 

Pada tahun 2017 – 2018 diterapkan bagi industri pangan yang memproduksi pangan steril komersial yang disterilisasi akhir (Low Acid Canned Food in container sterilization), misal: ikan dalam kaleng, susu steril dalam kaleng · Pada tahun 2019 dan selanjutnya akan dikembangkan untuk produk lainnya Target dan capaian Program Manajemen Risiko (PMR) 2015-2017 adalah sebagaimana tercantum dalam Tabel 4 (Target dan Capaian PMR Keamanan Pangan 2015-2017).




Mengingat masalah yang mendesak terkait dengan Keamanan Pangan pada saat ini adalah masalah persisten penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP) yang melebihi batas dan penggunaan bahan kimia yang dilarang/berbahaya untuk pangan (misalnya formalin, boraks, zat pewarna non pangan) khususnya pada level industri rumah tangga, jasa boga, dan UMKM15, maka saat ini intensifikasi kawalan Keamanan Pangan juga diprioritaskan pada beberapa program antara, lain, program Pasar Aman dari Bahan Berbahaya, program Desa Pangan Aman, program pengawasan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS), program pembinaan UMKM, serta peningkatan Komunikasi, Informasi dan Edukasi. Hasil pengawasan pangan di pasar dalam rangka program Pasar Aman dari Bahan Berbahaya sepanjang 2013-2017 menunjukkan tren penurunan pangan yang mengandung bahan berbahaya (Boraks, Formalin, Rhodamin B dan Kuning Metanil), sebagaimana ditunjukkan Gambar 8 (Kinerja Program Pasar Aman dari Bahan Berbahaya 2013-2017).


Pengawasan terhadap PJAS dilakukan melalui pengambilan sampel dan pengujian laboratorium terhadap cemaran kimia dan cemaran mikrobiologi (angka kapang dan khamir, MPN Coliform, Angka lempeng Total, Pemanis buatan Siklamat). Hasil evaluasi terhadap Pangan PJAS 2012-2014 menunjukkan bahwa 4 (empat) jenis pangan paling bermasalah, yaitu es, minuman berwarna/sirup, jeli/agar dan bakso. Oleh karena itu selanjutnya pantauan Keamanan PJAS difokuskan pada 4 jenis pangan tersebut. Hasil pengawasan PJAS pada tahun 2015 – 2017 menunjukkan adanya penurunan PJAS yang tidak memenuhi syarat, yaitu pada tahun 2015 terdapat 47% sampel pangan tidak memenuhi syarat (dari 526 sampel), pada tahun 2016 sampel pangan tidak memenuhi syarat menurun menjadi 39% (dari total sampel 627 sampel), dan pada tahun 2017 sampel pangan tidak memenuhi syarat menurun menjadi 19% (dari 1449 sampel). Penyebab PJAS tidak memenuhi syarat antara lain karena:


Hygiene dan sanitasi yang tidak terpenuhi (ditunjukkan dengan data Angka Kapang dan Khamir, Angka Lempeng Total bakteri, dan MPN Coliform melebihi batas) · Mengandung pemanis buatan siklamat yang melebihi batas · Mengandung bahan yang dilarang ditambahkan di pangan, misal: Rhodamin – B di sirup, Boraks di bakso Walaupun profil Keamanan Pangan tahun 2017 menunjukkan perbaikan yang signifikan, intensifikasi kawalan Keamanan Pangan masih terus harus dilakukan karena realisasi capaian indikator program/kegiatan Keamanan Pangan yang ditetapkan sebagaimana Tabel 5 (Kinerja Kawalan Keamanan Pangan 2017) yang dilakukan Badan POM menunjukkan cakupan yang terbatas. Oleh karena itu, upaya kerjasama lintas sektor antar kementrian/Lembaga from Farm to Table perlu direvitalisasi.


Tabel 5. Kinerja Kawalan Keamanan Pangan 2017

Indikator

Target

Realisasi

Capaian (%)

Jumlah desa pangan aman

100

100

100

Jumlah desa yang diintervensi keamanan pangan

2100

2094

99

Jumlah desa pangan aman di daerah destinasi wisata

10

10

100

Jumlah komunitas yang mendapat sosiasilasi keamanan pangan

110

110

100

Persentase laporan keracunan pangan yang di tindaklanjuti 100 110 100

100

110

110

Jumlah komunitas desa yang terpapar Keamanan Pangan (5 komunitas/desa/komunitas)

2.500

1.930

77

Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS)

5.000

5.000

100

Jumlah usaha pangan (Usaha Mikro Kecil dan Menengah/UMKM) yang diintervensi keamanan pangan

21.000

20.511

97

Jumlah komunitas pelaku usaha pangan desa dalam pemanfaatan dan pengembangan teknologi

4.200

41.88

99

 


Kelembagaan dalam pengawasan obat dan makanan

Pengawasan obat dan makanan yang memiliki dimensi luas dan kompleks merupakan komponen pembangunan kesehatan yang melibatkan multisektor dan multilevel di Pusat dan Daerah, dengan berbagai pemangku kepentingan. Rantai pengawasan obat dan makanan masih terfragmentasi dimana sebagian kewenangannya tidak dimiliki Badan POM sebagai Lembaga Pemerintah Non Kementrian bidang pengawasan obat dan makanan, utamanya terkait dengan upaya di pemerintah daerah dan penegakan hukum. Agar pelaksanaan pengawasan Obat dan makanan efektif dan efisien, telah dilakukan berbagai upaya penguatan SISPOM terhadap 4 (empat) aspek/kerangka, yaitu (i) kerangka regulasi (dasar hukum, kedudukan, kewenangan), (ii) kerangka kelembagaan (tugas, fungsi, organisasi), (iii) kerangka sumber daya (SDM, pendanaan/anggaran, infrastruktur), dan (iv) kerangka koordinasi dan sinergisme lintas sektor dengan fokus utama penguatan SISPOM adalah sebagai berikut: ·

·   Menguatkan kewenangan dan wibawa kelembagaan Badan POM sebagai penjuru dan instansi terkait untuk secara efektif melaksanakan pengawasan hulu ke hilir dan tindak lanjut hasil pengawasan

·    Meningkatkan koordinasi, kolaborasi dan komunikasi lintas sektor serta mengembangkan jejaring kemitraan dengan Kementrian/Lembaga terkait dan pemerintah daerah

·   Melaksanakan pelayanan publik yang lebih efisien dan mendekatkan Badan POM dan instansi terkait pengawasan obat dan makanan ke masyarakat

·   Meningkatkan pengawasan dan penindakan yang bisa memberikan efek jera terhadap pelanggaran hukum atas jaminan keamanan, manfaat, dan mutu obat dan makanan

·  Meningkatkan pemahaman dan keterlibatan masyarakat dan pelaku usaha dalam pengawasan obat dan makanan

Penguatan sistem dan kelembagaan pengawasan obat dan makanan juga dilakukan dengan pelaksanaan benchmarking ke beberapa institusi bidang pengawasan obat dan makanan di beberapa negara, yang tergolong negara maju (misalnya US FDA) dan negara emerging (misalnya Chinese FDA)16. Secara global, Badan Kesehatan Dunia (WHO-World Health Organization) sesuai mandatnya berupaya memperkuat sistem regulatori obat negara anggotanya, terutama negara berkembang, antara lain dengan melakukan kajian tingkat maturity sistem regulatori dimaksud. Untuk itu, WHO telah menyusun Global Benchmarking Tools yang mencakup organisasi dan fungsi regulatori yang harus dicakup. Pada bulan Juli 2018, organisasi dan fungsi Badan POM untuk pengawasan obat dan vaksin dikaji oleh WHO, dengan hasil bahwa Badan POM termasuk NRA (National Regulatory Authority) dengan fungsi regulatori yang mantap (Maturity Level 3 dan 4 dari total 5 level).

 

Dalam rangka penguatan kelembagaan pengawasan obat dan makanan pada leval pusat telah ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan, pada leval daerah, telah dilakukan langkah-langkah strategis sesuai amanat Nawacita pertama yaitu untuk menghadirkan Negara dalam memberikan jaminan kepada masyarakat atas keamanan dan mutu obat dan makanan. Langkah-langkah strategis tersebut, antara lain, meliputi penguatan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai besar/Balai POM diseluruh provinsi, dan pembentukan UPT di kabupaten/kota tertentu secara bertahap sesuai kebutuhan pengawasan sebagaimana diamanatkan dalam ketentuan pasal 35 Peraturan Presiden No. 80 tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan. Pada bulan Mei 201719 Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) pada prinsipnya mendukung rencana pembentukan UPT Badan POM di Kabupaten/Kota tertentu tersebut dan pada bulan Juni 2018 sebanyak 40 Loka POM (UPT level eselon 4) telah disetujui oleh Kementrian PANRB20. Untuk itu, telah ditetapkan Peraturan BPOM Nomor 11 Tahun 2018 tentang Kriteria Klasifikasi Unit Pelaksana Teknis di lingkungan BPOM dan Peraturan BPOM Nomor 12 Tahun 2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan BPOM.

 

Menyadari bahwa dalam penguatan kelembagaan pengawasan obat dan makanan pada leval daerah perlu dilakukan dengan lebih strategik, maka telah dilakukan koordinasi dengan pemerintah daerah, antara lain, dalam bentuk kerjasama formal yang dipayungi oleh Peraturan/Keputusan Bersama antara Menteri terkait dengan Kepala Badan POM dan atau Nota Kesepahaman (MOU-Memorandum of Understanding) antara pimpinan pemerintah kabupaten/kota dengan Kepala Badan POM. Secara umum, pelaksanaan koordinasi di tingkat pusat telah berjalan dengan baik. Namun di tingkat daerah, kerjasama lintas sektor sangat bergantung pada komitmen pemerintah daerah terhadap pentingnya kawalan obat dan makanan yang aman dan bermutu sebagai bagian program/kegiatan pemerintah daerah. Untuk itu, langkah strategis secara nasional dalam kaitan ini adalah implementasi Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 41 Tahun 2018 tentang Peningkatan Koordinasi Pengawasan Obat dan Makanan di daerah sebagai turunan dari Instruksi Presiden No. 3/2017 tentang Peningkatan Efektivitas Pengawasan Obat dan Makanan. Dengan demikian, diharapkan pelaksanaan koordinasi pengawasan obat dan makanan di jajaran pemerintah daerah akan lebih efektif.

 

Dalam rangka intensifikasi keamanan pangan, dengan mengacu pada Undang Undang Pangan No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, telah ditetapkan Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Kepala Badan POM No. 43 Tahun 2013 dan No. 2 Tahun 2013 tentang Pengawasan Bahan Berbahaya yang Disalahgunakan dalam Pangan, dimana dimandatkan pembentukan Tim Pengawas Terpadu Bahan Berbahaya yang beranggotakan wakil dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. Tim dimaksud di daerah diketuai oleh Kepala Dinas yang membidangi Perdagangan dan beranggotakan seluruh instansi yang terlibat dalam produksi dan peredaran bahan berbahaya, yaitu (i) Dinas yang membidangi perindustrian dan perdagangan, serta (i) instansi yang terdampak dengan penyalahgunaan bahan berbahaya yaitu: BBPOM/BPOM, Dinas yang membidangi pertanian, peternakan, perikanan dan pasar. Sampai dengan saat ini telah terbentuk sebanyak 23 Tim Pengawas Terpadu Provinsi dan 73 Tim Pengawas Terpadu Kabupaten/Kota. Namun demikian, pada saat ini hanya sedikit Tim Pengawas Terpadu yang aktif melakukan pengawasan dan melaporkan kegiatan yang telah dilakukan ke Kementerian Dalam Negeri dan Badan POM sebagaimana diatur dalam Peraturan Bersama tersebut. Implementasi yang agak berhasil-guna sebagian besar diinisiasi kegiatannya oleh Balai Besar/Balai POM, baik dari sisi penyediaan anggaran pengawasan, kompetensi, maupun penetapan target pengawasan.

 

Kendala utama yang dihadapi dalam koordinasi untuk kegiatan ini adalah (i) setelah Undang Undang No. 23 Tahun 2014 diterbitkan, persepsi pemerintah daerah adalah tidak merasa perlu untuk membentuk Tim Pengawas Terpadu Bahan Berbahaya dan menyiapkan anggaran pengawasan (ii) pemerintah daerah tidak memiliki database sarana distribusi bahan berbahaya di wilayahnya. Penugasan pemerintah daerah provinsi untuk menyediakan layanan penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan Bahan Berbahaya, yang disertai dengan rekomendasi hasil pemeriksaan dari pemerintah kabupaten/kota dimana sarana pemohon berlokasi, masih belum terlaksana dengan baik. Sampai dengan saat ini hanya 18 Provinsi yang telah menyediakan layanan penerbitan izin dimaksud dan proses pelayanan yang diizinkan tidak seluruhnya mengacu pada Peraturan Menteri Perdagangan No. 44/M-Dag/per/9/2009, dan (iii) Keterbatasan kompetensi petugas daerah untuk melakukan pengawasan, termasuk pelaksanaan Pro Justitia bagi pelanggaran terkait. Dengan telah ditetapkannya regulasi baru untuk penguatan kelembagaan dan koordinasi pengawasan obat dan makanan serta pembentukan 40 Loka POM (level eselon 4) di beberapa Kabupaten/Kota, perlu diperkuat tata hubungan Balai Besar/ Balai/Loka POM dan pemerintah daerah. Hal ini menunjukkan perlunya upaya yang lebih keras untuk penguatan kemampuan Balai Besar/Balai POM. Dalam konteks ini, sangat diperlukan NSPK yang menjadi acuan kerja sama antara K/L yang terkait pengawasan obat dan makanan dengan pemerintah daerah, khususnya Dinas Kesehatan, Dinas Perindustrian/Perdagangan, dan jajaran lintas sektor lainnya.

 

Tabel 6. Pengawasan Obat dan Makanan oleh Balai/Balai Besar POM

Indikator

Target

Realisasi

Capaian (%)

Jumlah sampel obat KB yang diuji menggunakan parameter kritis

995

981

98,59

Jumlah sampel obat yang diuji menggunakan parameter kritis

57.702

56.881

98,58

Jumlah sampel makanan yang diuji menggunakan parameter kritis

24.848

24.346

97,98

Persentase cakupan pengawasan sarana produksi obat dan makanan

63

46.23

73,38

Persentase cakupan pengawasan sarana distribusi obat dan makanan

25

39.52

158,08

Jumlah perkara di bidang obat dan makanan

315

306

97,14

Jumlah layanan publik BB/BPOM

40.192

56.840

141,42

Jumlah komunitas yang diberdayakan

727

713

98,07

Jumlah dokumen perencanaan, penganggaran, dan evaluasi yang dilaporkan tepat waktu

321

326

101,56

Persentase pemenuhan sarana prasarana sesuai standar

90

80.76

89,73


Penindakan Pelanggaran Obat dan Makanan

Pengamanan (security) jaringan peredaran obat dan makanan yang bermutu, aman, dan berkhasiat dari infiltrasi produk ilegal, di bawah standar (sub-standard) dan palsu (falsified), merupakan perhatian dunia. Oleh karena itu salah satu fungsi pengawasan obat dan makanan di samping melindungi masyarakat dari peredaran obat dan makanan yang tidak aman, bermutu dan bermanfaat, juga perlu melakukan upaya penegakan hukum (enforcement).

 

Kegiatan pengawasan post-market sebagai upaya hilir pengawasan obat dan makanan juga mencakup kegiatan law enforcement (kegiatan bidang penyidikan dan penindakan) sebagai salah satu upaya untuk memberikan dampak bermakna tindak lanjut pelanggaran di bidang obat dan makanan, antara lain, berupa pemberian efek jera pelaku tindak pidana obat dan makanan yang selanjutnya diharapkan akan berdampak pada penurunan pelanggaran di bidang obat dan makanan. Untuk memperkuat kegiatan penyidikan dan penindakan, dilakukan beberapa upaya penguatan, antara lain, operasi terpadu dan operasi intensif dalam kerangka ICJS (Integrated Criminal Justice System) yang melibatkan Bareskrim POLRI serta K/L terkait, di samping kegiatan koordinasi dengan Kejaksaan Agung untuk mempercepat penyelesaian berkas perkara tahap 1 (penyerahan berkas perkara) hingga tahap 2 (penyerahan barang bukti dan tersangka). Peningkatan kinerja dan profesionalisme Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dioptimalkan guna mendukung kapasitas sumber daya manusia yang lebih baik. Keberhasilan kegiatan investigasi awal dan penyidikan diukur dengan beberapa indikator28 dengan realisasi sebagaimana Tabel 7.

Tabel 7. Kinerja Investigasi dan Penyidikan dalam Rangka Penegakan Hukum Bidang Obat dan Makanan

Indikator

Target

Realisasi

Capaian (%)

Jumlah intervensi yang diberikan kepada Balai Besar/ Balai POM

69

79

114

Perkara yang diselesaikan hingga penyerahan berkas perkara (tahap 1)

4

2

50

Perkara yang diselesaikan hingga penyerahan tersangka dan barang bukti (tahap 2)

2

3

150

SUMBER:

Kementerian PPN/BAPENAS.  Kajian Sektor Kesehatan. Belajar dari Pengawasan Obat dan Makanan, Termasuk Keamanan Pangan. https://www.bappenas.go.id/files/7815/9339/2256/FA_Preview_HSR_Book07.pdf

No comments: