Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Monday, 15 December 2025

Klamidiosis Unggas: Penyakit Zoonotik Mematikan dari Burung ke Manusia yang Sering Terabaikan

 


Klamidiosis Unggas 

(Psittakosis, Ornithosis, Demam Burung Nuri)

 

Klamidiosis unggas merupakan infeksi bakteri sistemik yang paling sering disebabkan oleh Chlamydia psittaci. Kalkun dan itik lebih rentan dibandingkan ayam. Penyakit ini memiliki variasi tingkat keparahan, mulai dari subklinis hingga sangat virulen. Tanda-tanda klinis bersifat tidak spesifik, meliputi anoreksia, apati, penurunan produksi telur, diare, leleran mata, serta gangguan pernapasan. Diagnosis dapat dilakukan melalui uji serologis, kultur bakteri, atau pemeriksaan PCR. Penanganan dilakukan dengan pemberian antimikroba, seperti tetrasiklin. Klamidiosis unggas bersifat zoonotik dan dapat menyebabkan pneumonia atipikal pada manusia.

Klamidiosis unggas dapat berupa infeksi subklinis yang tidak tampak secara klinis, atau berkembang menjadi penyakit akut, subakut, maupun kronis pada burung liar dan burung domestik yang ditandai dengan gangguan pernapasan, pencernaan, atau infeksi sistemik. Penyakit ini menimbulkan kerugian ekonomi di berbagai belahan dunia.

Klamidiosis unggas bersifat zoonotik dan dapat menyebabkan pneumonia atipikal pada manusia. Penyakit ini disebut psittakosis atau demam burung nuri pada kelompok burung psitasin, dan ornitosis pada burung nonpsitasin.

 

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS KLAMIDIOSIS UNGGAS

 

Chlamydia psittaci, patogen utama penyebab klamidiosis unggas, merupakan bakteri intraseluler obligat. Berdasarkan ikatan antibodi monoklonal terhadap epitop protein membran luar utama (major outer membrane protein), telah dikenali delapan serotipe unggas; enam di antaranya (A–F) menginfeksi spesies unggas dan berbeda dari serotipe Chlamydia pada mamalia.

Strain C. psittaci diklasifikasikan ke dalam sembilan genotipe berdasarkan perbedaan genetik pada gen omp1. Tujuh genotipe di antaranya (A, B, C, D, E, F, dan E/B) ditemukan pada spesies unggas dan umumnya sesuai dengan serotipe yang ekuivalen. Enam genotipe tambahan kemudian dilaporkan.

Setiap serotipe atau genotipe unggas cenderung berasosiasi dengan jenis burung tertentu (lihat Tabel Hubungan antara Genotipe Chlamydia psittaci pada Unggas dan Jenis Burung). Serotipe A dan D bersifat sangat virulen pada kalkun dan dapat menyebabkan tingkat kematian ≥ 30%. Serotipe B dan E paling sering diisolasi dari burung liar. Serotipe unggas, khususnya A, B, dan E/B, dapat menginfeksi manusia dan mamalia lainnya.

 

Siklus hidup C. psittaci melibatkan empat tahap, yaitu:

• Badan elementer (elementary bodies), berupa partikel infeksius ekstraseluler yang resisten terhadap lingkungan

• Badan intermediat (intermediate bodies), yaitu fase transisi intraseluler dengan morfologi di antara badan elementer dan badan retikulat

• Badan retikulat (reticulate bodies), merupakan tahap replikasi intraseluler

• Badan aberan (aberrant bodies), yaitu partikel intraseluler yang tidak bereplikasi dan terbentuk pada kondisi stres tertentu (misalnya akibat perlakuan antimikroba), yang dapat kembali menjadi badan retikulat setelah faktor stres tersebut menghilang.

 

Chlamydia psittaci, badan elementer

Gambar (Sumber: Dr. Jean Sander.)

Setelah badan elementer terhirup atau tertelan dari lingkungan, partikel tersebut melekat pada sel epitel mukosa dan masuk ke dalam sel melalui proses endositosis. Badan elementer yang berada di dalam endosom pada sitoplasma sel menghambat pembentukan fagolisosom dan kemudian berdiferensiasi menjadi badan retikulat yang aktif secara metabolik namun tidak infeksius. Badan retikulat ini membelah dan berkembang biak melalui pembelahan biner, hingga akhirnya membentuk sejumlah besar badan elementer yang infeksius tetapi tidak aktif secara metabolik. Badan elementer yang baru terbentuk selanjutnya dilepaskan dari sel inang melalui proses lisis.

 

HUBUNGAN ANTARA GENOTIPE UNGGAS CHLAMYDIA PSITTACI DAN JENIS BURUNG


Jenis Burung

A

B

C

D

E

E/B

F

Ayam

+++

+++

+

+

Burung passerin

+

++

Merpati, tekukur

+

++

++

+

Spesies psitasin (burung paruh bengkok)

++

+

+

+

Ratita (burung tak terbang besar)

++

Kalkun

+

+

+

++

+

+

+

Unggas air

+

+

++

+

++

Burung liar

+

++

++

Keterangan:

+++ = Genotipe yang paling sering berasosiasi dengan spesies atau kelompok burung tersebut
++   = Genotipe yang berasosiasi dengan spesies atau kelompok burung tersebut

+     = Genotipe yang lebih jarang berasosiasi dengan spesies atau kelompok burung tersebut

 

Spesies lain dalam famili Chlamydiaceae umumnya memiliki jumlah inang unggas yang lebih terbatas. Spesies Chlamydia lain yang diketahui menginfeksi burung antara lain:

Chlamydia gallinacea: umum pada ayam; juga menginfeksi kalkun dan ayam Mutiara

Chlamydia avium: merpati dan spesies psitasin

Chlamydia buteonis: burung pemangsa

Candidatus Chlamydia ibidis: burung ibis

 

Infeksi C. gallinacea bersifat subklinis, namun dapat menyebabkan penurunan pertambahan bobot badan pada ayam pedaging serta kematian pada telur ayam berembrio yang terinfeksi secara eksperimental. Infeksi C. avium umumnya juga subklinis; meskipun demikian, telah dilaporkan kasus langka penyakit pernapasan pada spesies psitasin dan satu laporan penyakit fatal pada merpati picazuro. Strain Chlamydia abortus yang berkerabat dekat dengan C. psittaci ditemukan pada unggas dan burung liar, namun belum dikaitkan dengan kejadian penyakit. Potensi zoonotik dari spesies Chlamydia tersebut masih perlu ditentukan.

 

EPIDEMIOLOGI KLAMIDIOSIS UNGGAS

 

Klamidiosis unggas merupakan penyakit yang wajib dilaporkan; peraturan pemerintah daerah dan nasional harus dipatuhi sesuai ketentuan yang berlaku. Penyakit ini memiliki distribusi geografis global.

Infeksi klamidia telah diidentifikasi pada sedikitnya 465 spesies burung, terutama burung dalam sangkar (khususnya spesies psitasin), burung yang bersarang secara koloni (misalnya kuntul dan cangak), ratita, burung pemangsa, serta unggas. Di antara spesies domestik, kalkun dan itik paling sering terdampak.

Penularan terutama terjadi melalui rute fekal–oral atau melalui inhalasi. Sekret pernapasan dan feses burung terinfeksi mengandung badan elementer yang resisten terhadap pengeringan dan dapat tetap infeksius selama beberapa bulan apabila terlindungi oleh bahan organik (misalnya litter dan feses). Partikel di udara dan debu berperan dalam penyebaran agen.

Setelah badan elementer terhirup atau tertelan, masa inkubasi umumnya berkisar 3–10 hari, namun dapat mencapai beberapa minggu pada burung yang lebih tua atau setelah paparan dengan dosis rendah. Perjalanan klinis ditentukan oleh faktor inang dan mikroba, rute serta intensitas paparan, dan penanganan yang diberikan.

Penularan melalui artropoda pengisap darah (ektoparasit) dimungkinkan. Penularan vertikal telah didokumentasikan pada beberapa spesies burung, termasuk kalkun, ayam, dan itik.

Sumber potensial C. psittaci meliputi:

• kontak dengan burung terinfeksi yang menunjukkan gejala klinis maupun pembawa tanpa gejala

• penularan vertikal dari burung terinfeksi

• mamalia terinfeksi

• artropoda terinfeksi

• lingkungan yang terkontaminasi

 

Faktor stres (misalnya transportasi, kepadatan tinggi, masa reproduksi, cuaca dingin atau basah, perubahan pakan, atau berkurangnya ketersediaan pakan) serta infeksi penyerta—terutama yang menyebabkan imunosupresi—dapat memicu pelepasan (shedding) agen pada burung yang terinfeksi laten dan menyebabkan kekambuhan gejala klinis. Pada kalkun, infeksi C. psittaci sering terjadi bersamaan dengan Ornithobacterium rhinotracheale. Burung pembawa sering melepaskan agen secara intermiten dalam jangka waktu lama. Persistensi C. psittaci pada kelenjar hidung burung yang terinfeksi kronis diduga menjadi sumber penting pelepasan agen yang berkelanjutan.

Infeksi laten jangka panjang tanpa gejala yang berlangsung berbulan-bulan hingga bertahun-tahun umum terjadi dan dianggap sebagai hubungan normal antara Chlamydia dan inangnya. Prevalensi infeksi sangat bervariasi antarspesies dan antarwilayah geografis, dengan karakteristik sebagai berikut:

• Spesies psitasin paling sering mengalami infeksi yang tampak secara klinis.

• Infeksi bersifat endemik pada flok kalkun komersial; umumnya tanpa gejala atau hanya menunjukkan gejala pernapasan ringan dengan tingkat kematian rendah. Kejadian wabah jarang terjadi.

• Ayam relatif resisten terhadap perkembangan gejala klinis klamidiosis, dan infeksi subklinis sering dijumpai.

• Burung liar sering menunjukkan hasil seropositif terhadap C. psittaci.

 

TEMUAN KLINIS DAN LESI PADA KLAMIDIOSIS UNGGAS

 

Derajat keparahan gejala klinis dan lesi pada klamidiosis unggas bergantung pada virulensi agen penyebab, dosis infeksius, faktor stres, serta tingkat kerentanan spesies burung. Infeksi subklinis sering terjadi.

 

Gejala klinis meliputi:

• sekret hidung dan mata

• konjungtivitis

• sinusitis

• feses berwarna hijau hingga hijau kekuningan, konsistensi lunak hingga berair (diare)

• demam

• inaktivitas
• bulu mengembang/kusam

• kelemahan

• penurunan nafsu makan

• distensi rongga koelom akibat hepatosplenomegali

• penurunan bobot badan

• penurunan produksi telur

 

Pada burung paruh bengkok (nuri/kakatua), gejala pernapasan, kelesuan, kelemahan, feses hijau, dan distensi koelom sering ditemukan. Banyak burung paruh bengkok terinfeksi secara subklinis.

Pada kalkun dan ayam, gejala pernapasan lebih dominan. Diare berair sering dijumpai pada itik. Burung muda lebih rentan mengalami penyakit berat. Ayam relatif resisten terhadap penyakit, dan kematian terutama terjadi pada burung muda. Anak itik dapat menunjukkan gemetar, gangguan keseimbangan saat berjalan, diare berair, konjungtivitis, rinitis, anoreksia, dan penurunan bobot badan.

Konjungtivitis dan rinitis dapat ditemukan pada merpati dewasa. Pada anak merpati (squab), sering dijumpai poliseroitis fibrinosa, hepatitis, dan enteritis.

Hasil pemeriksaan klinikopatologis bervariasi tergantung organ yang terlibat dan tingkat keparahan penyakit. Perubahan hematologis yang paling sering dijumpai adalah anemia dan leukositosis dengan heterofilia dan monositosis. Konsentrasi asam empedu plasma, aktivitas AST, aktivitas LDH, serta kadar asam urat dapat meningkat.

Pemeriksaan radiografi, CT scan, ultrasonografi, dan laparoskopi dapat menunjukkan pembesaran hati dan limpa serta penebalan kantung udara.

Temuan nekropsi pada infeksi klamidiosis akut pada burung meliputi:

• poliseroitis serofibrinosa (airsakulitis, perikarditis, periheitis, peritonitis)

• bronkopneumonia

• nekrosis hati

• hepatomegali

• splenomegali

 

Lihat gambar klamidiosis akut dengan poliseroitis pada merpati serta klamidiosis dengan hepatomegali pada burung lori.

Gambar (Sumber: Dr. A. J. Van Wettere.)

 

Klamidiosis akut pada merpati

Gambar (Sumber: Dr. A. J. Van Wettere.)

 

Klamidiosis pada burung lori (lorikeet)

Gambar (Sumber: Dr. A. J. Van Wettere.)

 

Lesi serupa juga dapat ditemukan pada infeksi bakteri sistemik lainnya dan tidak bersifat spesifik untuk klamidiosis unggas. Inklusi bakteri intrasitoplasmik kecil berbentuk granular dan bersifat basofilik dapat diamati pada berbagai jenis sel (misalnya sel epitel dan makrofag) melalui pemeriksaan sitologi dan histologi.

Pada infeksi kronis, dapat ditemukan pucat serta pembesaran limpa atau hati. Nekrosis dan inklusi bakteri umumnya tidak dijumpai. Pada burung yang terinfeksi laten, lesi biasanya tidak terlihat, meskipun C. psittaci dapat tetap dikeluarkan melalui sekresi saluran pernapasan dan feses.

 

DIAGNOSIS KLAMIDIOSIS UNGGAS

 

Untuk populasi/kawanan:

• uji serologis,

• nekropsi, dan

• uji PCR

 

Untuk individu:

• uji PCR atau kultur bakteri,

• pengukuran titer antibodi dari sampel berpasangan, atau

• kombinasi uji serologis dengan PCR atau kultur

Karena variasi gejala klinis yang luas serta seringnya ditemui pembawa laten, tidak ada satu pun uji diagnostik yang dapat secara andal menentukan infeksi Chlamydia spp. Oleh karena itu, digunakan prosedur untuk mendeteksi keberadaan agen penyebab atau antibodi.

Secara umum, semakin akut penyakit, semakin banyak organisme infeksius yang ada dan semakin mudah diagnosis ditegakkan. Pada burung dengan kondisi akut, temuan klinis—termasuk pemeriksaan hematologi, analisis biokimia, evaluasi radiologis, atau lesi makroskopis yang khas—dapat digunakan sebagai dasar diagnosis sementara.

Kombinasi uji serologis dengan deteksi antigen, uji PCR, atau kultur merupakan skema diagnostik yang praktis untuk mengonfirmasi klamidiosis. Pada burung individu, sampel yang direkomendasikan untuk kultur bakteri atau PCR adalah swab konjungtiva, koana, dan kloaka. Pengambilan sampel berulang selama 3–5 hari dianjurkan untuk mendeteksi pengeluaran agen yang bersifat intermiten pada burung dengan infeksi subklinis.

Antibodi mungkin tidak terdeteksi, tergantung pada jenis uji yang digunakan serta tingkat dan fase infeksi. Uji antibodi sering digunakan untuk membedakan paparan sebelumnya dengan infeksi aktif. Interpretasi titer dari satu sampel serum tunggal sulit dilakukan. Peningkatan titer empat kali lipat antara sampel fase akut dan konvalesen bersifat diagnostik, dan titer tinggi pada sebagian besar sampel dari beberapa burung dalam satu populasi cukup untuk diagnosis presumtif.

Metode serologis meliputi fiksasi komplemen langsung dan modifikasinya, aglutinasi badan elementer, ELISA antibodi, dan imunofluoresensi tidak langsung. Uji aglutinasi badan elementer mendeteksi IgM dan berguna untuk menentukan infeksi baru. Metode fiksasi komplemen lebih sensitif dibandingkan metode aglutinasi. Titer antibodi yang tinggi dapat bertahan selama bertahun-tahun setelah pengobatan dan menyulitkan evaluasi pemeriksaan selanjutnya.

Infeksi oleh spesies Chlamydiaceae lain, seperti C. gallinacea pada ayam serta C. avium pada merpati dan burung paruh bengkok, dapat menyulitkan interpretasi uji serologis karena antibodi yang terdeteksi kemungkinan tidak spesifik terhadap C. psittaci.

Metode deteksi antigen meliputi analisis imunohistokimia (misalnya imunofluoresensi dan imunoperoksidase) serta ELISA. In situ hybridization (ISH) juga dapat digunakan untuk mendeteksi asam nukleat pada irisan jaringan.

Spesifisitas dan sensitivitas kit ELISA yang dikembangkan untuk mendeteksi Chlamydia trachomatis pada manusia masih belum pasti bila digunakan untuk mendeteksi C. psittaci pada burung. Kit tersebut tampak memiliki spesifisitas yang baik namun sensitivitas relatif rendah, sehingga tidak direkomendasikan untuk diagnosis. Kit ini paling berguna pada burung yang menunjukkan gejala klinis.

Uji PCR merupakan metode yang paling sensitif dan spesifik. Tersedia uji PCR untuk Chlamydiaceae maupun C. psittaci. Namun, hasil pemeriksaan dapat berbeda antar laboratorium akibat belum adanya standar primer PCR dan variasi metode laboratorium. Hasil positif palsu juga perlu diwaspadai karena kontaminasi silang dapat terjadi relatif mudah selama pengambilan sampel burung individu di dalam satu kandang atau aviari.

Lesi makroskopis dan histologis tidak bersifat patognomonik. Agen penyebab kadang-kadang dapat diidentifikasi pada sediaan apus tekan dari jaringan yang terlibat (misalnya hati, limpa, dan paru). Klamidia akan berwarna ungu dengan pewarnaan Giemsa dan merah dengan pewarnaan Macchiavello serta Gimenez. Pemeriksaan imunohistokimia lebih sensitif dibandingkan pewarnaan histokimia dalam mendeteksi bakteri pada jaringan, namun reaktivitas silang dengan organisme nonklamidia dapat terjadi.

In situ hybridization dan mikroskop elektron juga dapat digunakan untuk mengonfirmasi diagnosis.

Isolasi dan identifikasi C. psittaci dapat dilakukan pada embrio ayam atau kultur sel (misalnya BGM, L929, Vero) di laboratorium yang memenuhi syarat. Swab kloaka, koana, orofaring, konjungtiva, atau feses (menggunakan media transport khusus Chlamydia) dari burung hidup, atau jaringan (terutama hati dan limpa) dari burung mati, harus disimpan dalam kondisi dingin dan segera dikirim ke laboratorium. Pembekuan, pengeringan, penanganan yang tidak tepat, serta penggunaan media transport yang tidak sesuai dapat memengaruhi viabilitas agen. Laboratorium sebaiknya dihubungi terlebih dahulu untuk petunjuk pengiriman sampel.

Infeksi bersamaan dengan penyakit lain yang lebih mudah didiagnosis (misalnya kolibasillosis, pasteurelosis, infeksi herpesvirus, dan penyakit mikotik) dapat menutupi keberadaan infeksi klamidia. Oleh karena itu, temuan laboratorium harus dikorelasikan dengan gambaran klinis. Klamidiosis harus dibedakan dari penyakit pernapasan dan sistemik lainnya pada burung.

 

PENGOBATAN DAN PENCEGAHAN KLAMIDIOSIS UNGGAS

 

Pendekatan utama:

 

• tetrasiklin

• manajemen all-in all-out, biosekuriti, sanitasi, dan karantina

Pengobatan klamidiosis unggas dapat mencegah kematian dan mengurangi pengeluaran agen, tetapi tidak selalu mampu mengeliminasi infeksi laten; pengeluaran agen dapat muncul kembali.

Tetrasiklin (klortetrasiklin, oksitetrasiklin, doksisiklin) merupakan antimikroba pilihan. Resistensi terhadap tetrasiklin jarang terjadi; namun, penurunan sensitivitas yang memerlukan dosis lebih tinggi semakin sering dilaporkan. Tetrasiklin bersifat bakteriostatik dan hanya efektif terhadap organisme yang sedang aktif membelah, sehingga memerlukan durasi pengobatan yang panjang (2–8 minggu), dengan konsentrasi hambat minimum dalam darah harus dipertahankan secara konsisten.

Doksisiklin saat ini merupakan obat pilihan karena daya serapnya lebih baik, afinitasnya terhadap kalsium lebih rendah, distribusi jaringan lebih luas, dan waktu paruh lebih panjang dibandingkan tetrasiklin lainnya. Pemberian doksisiklin melalui pakan atau air minum juga dapat menghasilkan kadar darah yang memadai serta lebih sedikit mengganggu flora normal usus dibandingkan klortetrasiklin.

Dosis dan lama pengobatan bervariasi antarspesies. Protokol yang berasal dari studi terkontrol pada spesies yang ditangani sebaiknya digunakan bila tersedia. Rujukan tambahan dapat dilihat pada Compendium of Measures to Control Chlamydophila psittaci Infection Among Humans (Psittacosis) and Pet Birds (Avian Chlamydiosis) tahun 2017.

Pada sebagian besar spesies, pengobatan harus dilakukan tanpa jeda selama 45 hari agar antimikroba dapat mencapai C. psittaci pada fase replikasi siklus hidupnya. Pada fase badan elementer di dalam makrofag, bakteri tidak dapat dijangkau oleh antimikroba dan harus berada dalam kondisi aktif membelah agar obat efektif. Apabila tetrasiklin diberikan secara oral, sumber kalsium tambahan dalam pakan (misalnya blok mineral, suplemen, tulang sotong) perlu dikurangi untuk meminimalkan gangguan absorpsi obat.

Pada parkit (budgerigar), pengobatan selama 30 hari dapat efektif; studi terbaru menunjukkan bahwa durasi lebih singkat, yaitu 21–30 hari, juga mungkin efektif. Namun, mengingat parkit dapat membawa dan mengeluarkan C. psittaci tanpa menunjukkan gejala klinis, banyak klinisi tetap memilih pemberian doksisiklin selama 45 hari penuh.

Kejadian wabah klinis pada flok unggas jarang terjadi. Pengobatan flok terinfeksi dengan pakan mengandung klortetrasiklin (441–827 g/ton metrik pakan) selama minimal 2 minggu terbukti efektif menurunkan risiko infeksi bagi pekerja rumah potong. Pakan berobat harus diganti dengan pakan tanpa obat setidaknya 2 hari sebelum pemotongan dan pengolahan. Suplementasi kalsium harus dihentikan selama pengobatan klortetrasiklin, dengan kadar kalsium pakan diturunkan hingga ≤0,7%. Jika eliminasi agen diupayakan, pakan berobat sebaiknya diberikan selama 45 hari.

Residu oksitetrasiklin pada telur ayam petelur dapat bertahan hingga 9 hari, sedangkan residu doksisiklin dapat bertahan hingga 26 hari setelah pemberian 0,5 g/L dalam air minum selama 7 hari. Penggunaan doksisiklin pada unggas pangan merupakan penggunaan extra-label dan tidak disetujui untuk unggas penghasil pangan di Amerika Serikat. Dokter hewan yang akan meresepkan obat ini pada hewan pangan harus memperoleh persetujuan pemerintah terlebih dahulu.

Burung paruh bengkok (psittacine) merupakan kelompok yang paling sering menunjukkan gejala klinis klamidiosis. Merpati juga dapat terinfeksi C. psittaci; meskipun sering tidak menunjukkan gejala klinis seberat burung paruh bengkok, merpati berperan penting sebagai reservoir penularan zoonotik.

Burung terinfeksi umumnya diobati dengan doksisiklin oral selama 45 hari tanpa jeda atau dengan doksisiklin injeksi kerja panjang. Klinisi yang menggunakan doksisiklin injeksi perlu memastikan formulasi yang digunakan, karena beberapa sediaan dilaporkan menyebabkan reaksi jaringan, dan sediaan racikan tertentu dikaitkan secara anekdot dengan kematian mendadak.

Validasi dosis doksisiklin untuk pengobatan klamidia pada burung masih terbatas. Rekomendasi umum menunjukkan dosis oral awal 25 mg/kg setiap 24 jam pada burung paruh bengkok, dengan rentang dosis yang bervariasi antarspesies. Compendium memberikan kisaran dosis sebagai berikut:

• kokatil: 25–35 mg/kg setiap 24 jam

• nuri Senegal serta nuri Amazon dahi biru dan sayap oranye: 25–50 mg/kg setiap 24 jam

• nuri abu-abu Afrika, kakatua Goffin, macaw biru-emas, dan macaw sayap hijau: 25 mg/kg setiap 24 jam

Dosis doksisiklin yang paling sering digunakan untuk pengobatan nuri dan merpati adalah 25–50 mg/kg per oral setiap 12–24 jam. Obat ini dapat menyebabkan regurgitasi, terutama pada macaw dan kakatua, sehingga dianjurkan menggunakan dosis terendah pada spesies tersebut.

Selain doksisiklin, azitromisin oral (40 mg/kg setiap 48 jam selama masa terapi) telah dilaporkan efektif untuk pengobatan pada kokatil.

Doksisiklin injeksi efektif untuk mengobati psittakosis bila diberikan dengan dosis 60–100 mg/kg secara subkutan atau intramuskular setiap 5–7 hari selama 45 hari. Namun, pemberian intramuskular dapat menyebabkan inflamasi dan nekrosis jaringan, sehingga rute subkutan umumnya lebih disarankan.

Semua burung yang pernah kontak dengan burung sakit, meskipun tidak menunjukkan gejala klinis, sebaiknya turut diobati untuk mencegah reinfeksi oleh pembawa subklinis.

Pada flok terinfeksi, penggunaan pakan berklortetrasiklin selama 45 hari secara historis merupakan rekomendasi standar, terutama pada burung impor. Namun, keterbatasan palatabilitas pakan dan tingginya dosis antimikroba yang dibutuhkan untuk mencapai kadar darah terapeutik membatasi penggunaannya.

Bila informasi spesifik tidak tersedia, dosis awal empiris doksisiklin yang disarankan adalah 400 mg/L air minum atau 25–50 mg/kg per oral setiap 12–24 jam selama 45 hari.

 

PENCEGAHAN KLAMIDIOSIS UNGGAS

 

Saat ini belum tersedia vaksin yang efektif untuk klamidiosis unggas.

Penerapan biosekuriti yang tepat sangat penting untuk mencegah masuk dan penyebaran klamidia dalam populasi burung. Standar biosekuriti minimal meliputi:

• karantina dan pemeriksaan semua burung baru

• pencegahan kontak dengan burung liar

• pengaturan lalu lintas untuk meminimalkan kontaminasi silang

• isolasi dan pengobatan burung sakit serta burung kontak

• pembersihan dan disinfeksi menyeluruh terhadap kandang dan peralatan (idealnya dengan sistem all-in all-out)

• penyediaan pakan yang tidak terkontaminasi

• pencatatan pergerakan semua burung

• pemantauan berkelanjutan terhadap keberadaan infeksi klamidia

Agen penyebab peka terhadap panas (dapat diinaktivasi dalam <5 menit pada suhu 56°C) dan sebagian besar disinfektan (misalnya amonium kuarterner 1:1.000, larutan pemutih 1:100, alkohol 70%), tetapi resisten terhadap asam dan basa. Agen ini dapat bertahan selama berbulan-bulan dalam bahan organik seperti litter dan bahan sarang, sehingga pembersihan menyeluruh sebelum disinfeksi sangat diperlukan.

 

RISIKO ZOONOTIK KLAMIDIOSIS UNGGAS

 

Klamidiosis unggas merupakan penyakit zoonotik yang dapat menginfeksi manusia melalui paparan aerosol yang mengandung agen dari saluran pencernaan atau pernapasan burung hidup maupun mati, atau melalui penanganan burung terinfeksi, jaringan (misalnya di rumah potong), atau alas kandang.

Pada manusia, penyakit paling sering terjadi akibat paparan burung paruh bengkok peliharaan dan dapat terjadi meskipun hanya ada kontak singkat dengan satu burung terinfeksi. Kelompok berisiko lainnya meliputi penghobi merpati, dokter hewan, peternak, rehabilitator satwa liar, penjaga kebun binatang, serta pekerja rumah potong dan unit penetasan. Penularan zoonotik C. psittaci pada pekerja industri perunggasan kemungkinan masih kurang terlaporkan.

Individu dianjurkan mengambil tindakan pencegahan (misalnya penggunaan masker debu, pelindung wajah atau kacamata, sarung tangan, penggunaan disinfektan deterjen untuk membasahi bulu, serta meja pemeriksaan dengan sistem ventilasi buang) saat menangani burung hidup atau mati yang terinfeksi.

Infeksi pada manusia bervariasi dari tanpa gejala hingga munculnya gejala mirip influenza dan penyakit pernapasan seperti pneumonia. Dalam kasus jarang, dapat terjadi endokarditis, miokarditis, hepatitis, dan ensefalitis. Individu dengan gangguan sistem imun memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami gejala klinis klamidiosis unggas.

 

POIN PENTING

 

• Klamidiosis unggas merupakan infeksi bakteri sistemik yang disebabkan oleh Chlamydia psittaci.

• Diagnosis pada burung dilakukan melalui uji serologis, nekropsi, dan PCR.

• Klortetrasiklin dan doksisiklin digunakan dalam pengobatan klamidiosis.

• Klamidiosis merupakan penyakit yang wajib dilaporkan, dan kasus pada manusia paling sering terkait dengan paparan burung paruh bengkok peliharaan.

 

Untuk Informasi Lebih Lanjut

 

Vanrompay D. Avian chlamydiosis. Dalam: Swayne DE (ed.); Boulianne M, Logue CM, McDougald LR, Nair V, Suarez DL (associate eds.). Diseases of Poultry. Edisi ke-14. Wiley Blackwell; 2020:1086–1108.

Balsamo G, Maxted AM, Midla JW, dkk. Compendium of measures to control Chlamydia psittaci infection among humans (psittacosis) and pet birds (avian chlamydiosis), 2017. Journal of Avian Medicine and Surgery. 2017;31(3):262–282.

Ravichandran K, Anbazhagan S, Karthik K, Angappan M, Dhayananth B. A comprehensive review on avian chlamydiosis: a neglected zoonotic disease. Tropical Animal Health and Production. 2021;53(4):414.

Zwijnenberg RJG, Vulto AG, Van Miert ASJPAM, Lumeij JT. Evaluation of antibiotics for racing pigeons (Columba livia var. domestica) available in The Netherlands. Journal of Veterinary Pharmacology and Therapeutics. 1992;15(4):364–378.

Gonzalez MS. Psittacine neonatology and pediatrics. Veterinary Clinics of North America: Exotic Animal Practice. 2024;27(2):263–293.

 

REFERENSI

 

  1. Guzman, DSM, Diaz-Figueroa O, Tully T Jr, et al. Evaluating 21-day doxycycline and azithromycin treatments for experimental Chlamydophila psittaci infection in cockatiels (Nymphicus hollandicus)J Avian Med Surg. 2010;24(1);2010:35-45. doi:10.1647/2009-009R.1
  2. Flammer K, Papich M. Assessment of plasma concentrations and effects of injectable doxycycline in three psittacine speciesJ Avian Med Surg, 2005;19(3):216-224.  doi:10.1647/2004-007.1
  3. Sanchez-Megallon Guzman D, Beaufrere H, Welle KR, Heatley JJ, Visser M, Harms CA. Birds. In: Carpenter JW, Harms CA, eds. Carpenter's Exotic Animal Formulary. 6th ed. Elsevier Saunders; 2023:232.

 

SUMBER:

Arnaud J. Van Wettere, DVM, PhD, DACVP & Mohamed El-Gazzar, DVM, MAM, PhD, DACPV 2025. Klamidiosis Unggas (Psittacosis, Ornithosis, Parrot Fever). MSD Manual I Veterinari Manual. https://www.msdvetmanual.com/poultry/avian-chlamydiosis/avian-chlamydiosis.


#KlamidiosisUnggas
#Psittakosis
#PenyakitZoonotik
#KesehatanUnggas
#ChlamydiaPsittaci