Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Saturday, 23 November 2024

Chlamydiaceae: Penyakit pada Inang Primer, dan Zoonosis


Abstrak

 

Bakteri dari keluarga Chlamydiaceae adalah jenis mikroorganisme Gram-negatif yang ditandai oleh gaya hidupnya sebagai parasit intraseluler obligat. Mayoritas anggota keluarga Chlamydiaceae dikenal sebagai organisme patogen yang utamanya menginfeksi permukaan mukosa inang, baik pada manusia maupun hewan. Sebagai contoh, Chlamydia trachomatis adalah agen etiologi yang terkenal untuk penyakit menular seksual pada mata dan alat kelamin, sementara C. pneumoniae telah dikaitkan dengan pneumonia yang diperoleh di masyarakat pada manusia. Spesies Chlamydia lainnya, seperti C. abortus, C. caviae, C. felis, C. muridarum, C. pecorum, dan C. psittaci, merupakan patogen penting yang terkait dengan tingkat morbiditas tinggi pada hewan. Yang lebih penting, beberapa patogen hewan ini telah diidentifikasi sebagai agen zoonosis yang menimbulkan ancaman infeksi signifikan terhadap kesehatan manusia melalui penularan silang. Tinjauan ini memberikan ringkasan singkat tentang karakteristik dan mekanisme penularan anggota keluarga Chlamydiaceae yang telah diketahui sebelumnya, serta sejumlah organisme Chlamydia baru yang baru-baru ini dijelaskan.

 

1. Pendahuluan

 

Keluarga Chlamydiaceae terdiri atas kelompok mikroorganisme Gram-negatif, intraseluler obligat yang memiliki kecenderungan menginfeksi area mukosa, yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia dan hewan. Salah satu ciri khas yang dimiliki oleh seluruh anggota Chlamydiaceae adalah siklus perkembangan bifasik yang konservatif, yang bergantian antara reticulate body dan elementary body sebagai tahapan replikasi dan infeksi. Organisme ini juga mampu memasuki tahap persisten sebagai strategi bertahan dalam menghadapi berbagai kondisi buruk, seperti imunitas inang dan kekurangan nutrisi, yang memungkinkan mereka bertahan lama di dalam sel inang [1]. Sifat persisten dan asimtomatik dari infeksi Chlamydiaceae pada manusia sering kali menyebabkan kurangnya diagnosis dan penundaan pengobatan, sehingga meningkatkan beban global penyakit akibat Chlamydia. Sayangnya, hingga saat ini belum ada vaksin pencegahan yang efektif untuk manusia.

 

Dalam beberapa tahun terakhir, jumlah anggota keluarga Chlamydiaceae terus bertambah. Saat ini, keluarga ini mencakup 13 spesies dari genus Chlamydia, yaitu C. trachomatis, C. pneumoniae, C. abortus, C. caviae, C. felis, C. muridarum, C. pecorum, C. psittaci, C. suis, C. avium, C. gallinacea, C. serpentis, dan C. poikilothermis, serta tiga anggota takson Candidatus, yaitu Ca. C. ibidis, Ca. C. corallus, dan Ca. C. sanzinia [2]. Spesies tertentu seperti C. trachomatis dan C. pneumoniae telah dikenal sebagai agen penyebab infeksi saluran genital pada wanita atau trachoma, dan infeksi saluran pernapasan. Sementara itu, Chlamydiaceae lain seperti C. abortus, C. caviae, C. felis, C. pecorum, C. psittaci, dan C. suis menginfeksi hewan sebagai inang primernya. Beberapa spesies ini menyebabkan kerugian ekonomi yang besar dengan menginfeksi ternak, sedangkan yang lain menimbulkan ancaman signifikan bagi manusia karena potensinya untuk ditularkan secara zoonosis. Tinjauan ini merangkum karakteristik dan mekanisme penularan Chlamydiaceae yang telah diketahui (Tabel 1), termasuk spesies yang baru dilaporkan, yaitu C. avium, C. gallinacea, C. serpentis, C. poikilothermis, Ca. C. ibidis, Ca. C. corallus, dan Ca. C. sanzinia.

 

Tabel 1. Daftar anggota keluarga Chlamydiaceae dan penyakit yang disebabkan oleh masing-masing spesies pada inang primer dan manusia. PID: penyakit radang panggul.

Spesies

Inang Primer

Penyakit pada Inang Primer

Penularan ke Manusia

C. abortus

Ruminansia kecil seperti domba dan kambing

Aborsi pada akhir kebuntingan atau kelahiran janin lemah/mati [3]

Kemungkinan melalui kontak erat dengan jaringan terinfeksi; menyebabkan aborsi, kelahiran mati, septikemia gestasional, PID, dan pneumonia atipikal [4,5,6,7,8,9].

C. avium

Burung seperti merpati dan burung psittacine

Penyakit pernapasan pada burung psittacine dan merpati [10,11,12,13]

Tidak diketahui.

C. caviae

Marmut, kucing, anjing, kelinci, dan kuda

Konjungtivitis dan infeksi saluran urogenital [14,15,16]

Kemungkinan melalui kontak erat; menyebabkan konjungtivitis ringan atau pneumonia komunitas berat [14,17,18].

Ca. C. corallus

Ular

Tidak diketahui

Tidak diketahui.

C. felis

Kucing dan anjing

Konjungtivitis dengan penyakit pernapasan minimal, serta infeksi saluran reproduksi atas [19,20]

Kemungkinan menyebabkan konjungtivitis pada manusia [21].

C. gallinacea

Unggas domestik seperti ayam, bebek, ayam mutiara, kalkun

Penurunan bobot tubuh [22]

Kemungkinan menyebabkan pneumonia atipikal [13,23].

Ca. C. ibidis

Burung ibis liar

Tidak diketahui

Tidak diketahui.

C. muridarum

Rodensia seperti tikus dan ayam

Infeksi servikovaginal, penyumbatan oviduk, pembentukan hidrosalping pada tikus betina [24,25]

-

C. pecorum

Koala, hewan ternak seperti sapi, domba, kambing, kerbau air, babi, bandicoot, dan merpati

Pneumonia, konjungtivitis, kebutaan, inkontinensia urin, sistitis, nefritis, aborsi, infertilitas, poliartritis, ensefalomielitis sporadis pada sapi, dan enteritis [26,27,28,29,30,31,32]

Tidak diketahui.

C. pneumoniae

Manusia dan berbagai mamalia non-manusia serta reptil seperti koala, kuda, bandicoot, ular, iguana, bunglon, katak, dan kura-kura

Manusia:
• Pneumonia yang didapat dari komunitas, artritis reaktif, penyakit paru obstruktif kronik, dan faringitis [33,34,35,36,37,38,39,40,41,42].
• Terlibat dalam timbulnya dan perkembangan asma, sirosis bilier primer, aterosklerosis, artritis reaktif, dan kanker paru-paru [34,35,43,44,45,46,47,48,49].

Hewan:

• Sebagian besar belum dijelaskan. Koala yang terinfeksi menunjukkan gejala terkait penyakit pernapasan, termasuk bersin, batuk, kongesti dada, kesulitan bernapas, rinitis, serta keluarnya cairan dari hidung [50].

Tidak diketahui, namun adanya genotipe hewan pada manusia menunjukkan kemungkinan penularan zoonosis [51,52].

Ca. C. sanzinia

Ular

Tidak diketahui

Tidak diketahui.

C. psittaci

Unggas

Psittakosis/ornithosis: konjungtivitis, rinitis, blefaritis [53,54]

Kemungkinan melalui inhalasi; menyebabkan demam, menggigil, sakit kepala, mialgia, dan malaise, dengan atau tanpa gejala pernapasan [55].

C. trachomatis

Manusia

Laki-laki:
• Uretritis non-gonokokal, prostatitis, epididimitis, epididimis orkitis, serta vesikulitis seminalis [56,57,58,59,60].
• Diduga berperan dalam infertilitas karena adanya bukti penurunan volume semen, apoptosis sperma, dan fragmentasi DNA sperma setelah infeksi [61,62,63,64,65].

Perempuan:
• Servisitis mukopurulen, uretritis, dan salpingitis [56,59,60].
• Komplikasi obstetri dan ginekologi yang merugikan, termasuk salpingitis atau penyakit radang panggul (PID), kehamilan ektopik, infertilitas faktor tuba (TFI), persalinan prematur, pecahnya selaput ketuban secara dini, dan keguguran spontan [66,67,68,69,70,71,72].
• Paparan bakteri pada bayi dapat menyebabkan konjungtivitis dan infeksi saluran pernapasan bawah pada bayi baru lahir [73,74].
• Sindrom Fitz-Hugh-Curtis [75,76,77].
• Kanker serviks dan ovarium [78,79].

Kedua jenis kelamin:
• Trachoma [80,81].
• Limfogranuloma venereum (LGV) [82,83].
• Artritis reaktif [34,35].


C. serpentis

Ular

Tidak diketahui

Tidak diketahui.

C. suis

Babi

Gangguan pernapasan [84], konjungtivitis [85], enteritis [86], dan kegagalan reproduksi

Kemungkinan melalui kontak erat; tidak ada gejala yang dilaporkan [87,88,89].

 

1.1. Chlamydia trachomatis

 

C. trachomatis terutama menginfeksi epitel mukosa saluran reproduksi, menyebabkan penyakit menular seksual pada manusia [56]. Infeksi genital C. trachomatis merupakan salah satu infeksi menular seksual (IMS) yang paling umum dan dapat disembuhkan di dunia, dengan sekitar 131 juta kasus infeksi terjadi setiap tahun secara global [90]. Hingga saat ini, total 19 serovar C. trachomatis telah diklasifikasikan berdasarkan spesifisitas antibodi terhadap protein membran luar utama (major outer membrane protein atau MOMP) dengan masing-masing serovar menunjukkan tropisme jaringan yang berbeda [91,92].

 

Serovar A, B, Ba, dan C menyebabkan infeksi mata dan menjadi penyebab infeksi trachoma yang dapat menyebabkan kebutaan. Penyakit ini banyak ditemukan di komunitas miskin dengan akses terbatas terhadap layanan kesehatan, khususnya di Timur Tengah, Asia, dan Afrika. Serovar D, Da, E, F, G, Ga, H, I, Ia, J, dan K bertanggung jawab atas infeksi saluran urogenital, sedangkan serovar L (L1, L2, L2a, L3) menyerang sistem limfatik dan kelenjar getah bening, menyebabkan lymphogranuloma venereum (LGV). LGV lebih umum terjadi di wilayah tropis seperti Asia Tenggara, India, Karibia, Afrika, dan Amerika Selatan [24,80,83,92,93,94]. Namun, laporan wabah LGV semakin meningkat di wilayah maju seperti Eropa, Australia, dan Amerika Utara, terutama pada pria yang berhubungan seksual dengan pria (MSM) yang sering kali terinfeksi bersamaan dengan HIV [93,95,96,97,98,99,100,101,102].

 

Meskipun sebagian besar dapat disembuhkan (≥97%) dengan rejimen antibiotik yang sesuai seperti azitromisin dan doksisiklin [103,104], proporsi tinggi kasus asimtomatik (50–70%) menjadi tantangan besar dalam upaya pengendalian infeksi C. trachomatis. Pengendalian patogen ini juga dipersulit oleh tingginya angka reinfeksi; perempuan muda pekerja, individu dengan tingkat pendidikan rendah, serta mereka yang memiliki banyak pasangan seksual adalah kelompok yang berisiko lebih tinggi untuk mengalami reinfeksi [105].

 

Infeksi C. trachomatis dapat menyebabkan berbagai patologi saluran urogenital. Pada perempuan, infeksi ini dapat menyebabkan servitis mukopurulen, uretritis, dan salpingitis, sedangkan pada laki-laki, infeksi ini secara klinis muncul sebagai uretritis non-gonokokal, prostatitis, epididimitis, orchitis epididimis, serta vesikulitis seminalis [56,57,58,59,60]. Tanpa pengobatan yang memadai, infeksi lokal dari serviks dapat naik ke rahim dan tuba falopi, yang dapat menyebabkan perkembangan salpingitis atau penyakit radang panggul (PID) [66,72]. Infeksi C. trachomatis juga meningkatkan kemungkinan koinfeksi dengan human papilloma virus (HPV), Neisseria gonorrhoeae, dan HIV [106,107,108,109,110]. Paparan perinatal terhadap C. trachomatis dapat menyebabkan konjungtivitis dan infeksi saluran pernapasan bawah pada bayi baru lahir [73,74].

 

Patogenesis penyakit akibat C. trachomatis dikaitkan dengan sekresi molekul imunogenik patogen seperti faktor aktivitas protease klamidia (chlamydial protease-like activity factor atau CPAF) yang melumpuhkan aktivitas neutrofil [111,112], faktor virulensi seperti plasmid 7,5 kb [113,114], dan kemampuan patogen untuk mengubah profil proteom sel inang [115,116].

 

Bukti yang ada menunjukkan bahwa infeksi C. trachomatis meningkatkan risiko jangka panjang yang merugikan. Wanita dengan satu diagnosis positif C. trachomatis genital memiliki kemungkinan 30% lebih tinggi untuk mengalami PID, kehamilan ektopik, dan infertilitas akibat kerusakan tuba (TFI), dengan risiko PID meningkat 20% setelah beberapa kali diagnosis infeksi klamidia [71]. Berbagai komplikasi kebidanan dan ginekologi serius lainnya juga dikaitkan dengan infeksi klamidia, seperti kelahiran prematur, pecahnya membran dini, dan keguguran spontan [67,68,69,70]. Selain itu, C. trachomatis juga merupakan agen penyebab Fitz-Hugh-Curtis syndrome [75,76,77], dan penelitian meta-analisis menunjukkan hubungan positif antara infeksi C. trachomatis dan kanker serviks [78]. Studi serologi secara terpisah menunjukkan bahwa antibodi terhadap C. trachomatis terkait dengan risiko dua kali lebih tinggi untuk kanker ovarium [79]. Pada pria, infeksi C. trachomatis telah ditemukan berkaitan dengan volume sperma yang berkurang, apoptosis spermatozoa, dan fragmentasi DNA sperma, menunjukkan kemungkinan peran C. trachomatis dalam menyebabkan infertilitas pria [61,62,63,64,65].

 

Selain kaitannya dengan berbagai patologi sistem reproduksi dan mata pada manusia, C. trachomatis diakui sebagai pemicu infeksi untuk artritis reaktif, yang diyakini terjadi melalui penyebaran bakteri ke sendi sehingga menyebabkan peradangan persisten [34,35]. Meskipun model non-manusia seperti tikus saat ini digunakan dalam penelitian infeksi genital [117], C. trachomatis dianggap sebagai patogen khusus manusia tanpa bukti infeksi alami pada hewan tersebut [118].

 

1.2. Chlamydia pneumoniae

 

C. pneumoniae pertama kali diidentifikasi sebagai spesies terpisah dalam genus Chlamydia pada tahun 1989 dan merupakan patogen pernapasan umum dengan distribusi luas di seluruh dunia [119,120]. Penularan bakteri ini terjadi terutama melalui jalur pernapasan tanpa keterlibatan reservoir hewan, meskipun mode penularan alternatif melalui permukaan yang terkontaminasi telah disarankan [121,122]. Infeksi C. pneumoniae sebagian besar bersifat asimtomatik, tetapi penyakit dapat muncul sebagai pneumonia komunitas, penyakit paru obstruktif kronis, dan faringitis [33,36,37,38,39,40,41,42].

 

Patogen ini juga diduga sebagai penyebab asma, sirosis bilier primer, aterosklerosis, dan keganasan, serta diketahui berhubungan dengan timbulnya artritis reaktif meskipun dengan frekuensi yang lebih rendah dibandingkan dengan C. trachomatis [34,35,43,44,45,46,47,48,49]. Prevalensi antibodi global terhadap C. pneumoniae cukup tinggi; prevalensi ini meningkat secara proporsional dengan usia, di mana tingkat antibodi terus naik dari usia dua hingga sembilan tahun, mencapai 50% pada usia 20 tahun, dan memuncak pada 80% pada pria dan 70% pada wanita di usia lanjut [123].

 

Meskipun manusia adalah reservoir utama infeksi, C. pneumoniae juga telah diidentifikasi pada hewan non-manusia seperti koala, kuda, bandicoot, dan berbagai jenis reptil seperti ular, iguana, bunglon, katak, dan kura-kura [51,124,125]. Hampir semua isolat C. pneumoniae dari hewan memiliki plasmid 7,5 kb yang juga ditemukan pada banyak organisme klamidia lainnya seperti C. trachomatis dan C. muridarum, tetapi tidak terdapat pada isolat manusia [126]. Diasumsikan bahwa strain C. pneumoniae manusia mungkin berasal dari hewan non-manusia yang secara bertahap beradaptasi dengan inang manusia melalui kehilangan gen dan plasmid tertentu, sehingga akhirnya menghindari kebutuhan akan reservoir hewan [127].

 

Fitur klinis yang terkait dengan infeksi C. pneumoniae pada hewan kurang terdefinisi, tetapi koala yang terinfeksi menunjukkan banyak gejala penyakit pernapasan seperti bersin, batuk, kongesti dada, kesulitan bernapas, rinitis, dan keluarnya cairan dari hidung [50]. Zoonosis belum dijelaskan pada isolat C. pneumoniae hewan, tetapi temuan dari studi sebelumnya yang menunjukkan keberadaan genotipe C. pneumoniae hewan pada manusia mengindikasikan kemungkinan transmisi lintas spesies ke manusia [51,52].

 

1.3. Chlamydia abortus

 

C. abortus telah menarik perhatian penelitian yang signifikan karena potensinya sebagai penyebab infeksi zoonosis, kepentingannya dalam kedokteran hewan, dan dampaknya terhadap ekonomi. Hingga saat ini, C. abortus telah ditemukan menginfeksi berbagai jenis hewan dan sangat berkaitan dengan kejadian aborsi enzoitik pada ruminansia. Bakteri ini terdeteksi pada berbagai hewan seperti kambing, domba, unggas, yak, babi, dan hewan berbulu yang dibudidayakan. Selama infeksi, patogen menargetkan plasenta, yang menyebabkan aborsi pada tahap akhir kehamilan atau kelahiran anak yang lebih lemah jika kehamilan berlanjut sampai akhir. Aborsi infeksius yang disebabkan oleh C. abortus terjadi selama infeksi primer, tetapi tidak memengaruhi kehamilan berikutnya. Infeksi C. abortus dan kasus aborsi selanjutnya terutama ditemukan pada ruminansia domestik seperti domba dan kambing. Akibatnya, patogen ini telah menyebabkan dampak negatif yang besar pada industri peternakan di berbagai negara di dunia.

 

C. abortus adalah patogen zoonotik yang terdokumentasi dengan baik dan paling sering memengaruhi wanita hamil. Wanita yang terpapar jaringan hewan ruminansia kecil yang terinfeksi selama kehamilan berisiko mengalami aborsi, kelahiran mati, dan septikemia gestasional. Infeksi C. abortus di luar kehamilan yang memanifestasikan sebagai penyakit radang panggul (PID) juga telah dilaporkan. Baru-baru ini, pneumonia atipikal terkait C. abortus dilaporkan di Spanyol.

 

1.4. Chlamydia caviae

 

C. caviae dikenal luas karena kemampuannya menyebabkan infeksi pada marmut. Infeksi pada marmut dapat asimptomatik, tetapi tanda klinis dapat berupa konjungtivitis ringan hingga berat dengan keluarnya cairan mata serosa hingga purulen yang menutup kelopak mata. Penyakit seperti kemosis konjungtiva, hipertrofi folikular, dan pannus dapat berkembang segera setelah infeksi dengan konjungtivitis yang bersifat sembuh sendiri. Selain penularan melalui kontak dekat, patogen juga dapat ditularkan secara seksual, dan perjalanan klinis infeksi saluran urogenital pada marmut menyerupai banyak aspek infeksi C. trachomatis pada manusia seperti uretritis, sistitis, dan infeksi yang naik ke tuba falopi dan endometrium. Anak marmut yang lahir dari induk terinfeksi dapat tertular bakteri, yang menyebabkan konjungtivitis.


DNA C. caviae kadang-kadang ditemukan pada kucing, anjing, kelinci, dan kuda, menunjukkan kemungkinan terjadinya infeksi alami, tetapi patologi pada hewan-hewan ini belum terdokumentasi dengan jelas. Kasus penularan zoonosis terkait C. caviae jarang dilaporkan. Dalam sebagian besar kasus, infeksi terjadi akibat paparan marmut yang sakit. Namun, laporan baru-baru ini mengidentifikasi infeksi dengan asal-usul yang tidak diketahui, meskipun penularan melalui kontak tidak sengaja dengan hewan lain tidak dapat dikesampingkan. Individu yang terinfeksi dilaporkan mengalami konjungtivitis ringan dan kondisi pernapasan parah akibat pneumonia komunitas. Oleh karena itu, potensi zoonosis C. caviae tidak boleh diremehkan.

 

1.5. Chlamydia felis

 

Paparan terhadap C. felis menyebabkan perkembangan konjungtivitis pada kucing, biasanya disertai dengan tanda-tanda pernapasan minimal. Gejala awal infeksi pada kucing umumnya berupa penyakit mata unilateral, yang dapat berkembang menjadi konjungtivitis bilateral disertai hiperemia membran niktitan, blefarospasme, ketidaknyamanan mata, keluarnya cairan, dan kemosis konjungtiva. Patogen ini ditularkan antar kucing melalui kontak langsung dengan bahan infeksius, terutama sekresi mata. Infeksi eksperimental pada saluran genital kucing dengan C. felis menyebabkan salpingitis kronis dengan infeksi tuba falopi.

 

Seroprevalensi C. felis cukup tinggi di banyak negara, termasuk Tiongkok, Italia, Jepang, dan Slovakia, khususnya di antara kucing liar (>10%) dan kucing peliharaan (>3%). Meskipun bakteri ini terutama dibawa oleh kucing, anjing juga dilaporkan sebagai reservoir penting C. felis. Interaksi kucing dan anjing dengan manusia dapat memfasilitasi penyebaran C. felis ke manusia. Penelitian seroepidemiologi di Jepang menemukan prevalensi antibodi terhadap C. felis Fe/Pn1 pada 1,7% populasi umum dan 8,8% dokter hewan di klinik hewan kecil.


Bukti yang menghubungkan C. felis dengan penyakit parah pada manusia masih ambigu. Namun, beberapa laporan kasus menunjukkan keterkaitan infeksi ini dengan konjungtivitis pada manusia, khususnya individu imunokompromais atau mereka yang memiliki kontak dekat dengan hewan peliharaan.

 

1.6. Chlamydia muridarum

 

C. muridarum (agen pneumonitis tikus) adalah patogen yang biasanya menginfeksi tikus tetapi kadang-kadang ditemukan pada ayam. Dua strain C. muridarum yang dikenal saat ini adalah isolat Nigg dan Weiss, yang memiliki karakteristik virulensi dan pertumbuhan yang berbeda. Isolat Nigg membentuk inklusi lebih besar secara in vitro dibandingkan isolat Weiss, tetapi isolat Weiss menunjukkan virulensi lebih tinggi in vivo melalui infeksi intravaginal atau pernapasan. Model infeksi C. muridarum pada tikus digunakan secara luas untuk mempelajari infeksi C. trachomatis pada manusia karena banyak patologi yang dikorelasikan dengan klamidiosis manusia.

 

1.7. Chlamydia pecorum

 

C. pecorum merupakan patogen yang berkontribusi pada penurunan populasi koala secara signifikan. Prevalensi C. pecorum di kalangan koala diperkirakan mencapai 50–90% dan sebagian besar asimptomatik. Penularan utamanya adalah melalui jalur seksual, tetapi penularan alternatif melalui konsumsi materi feses induk juga dimungkinkan. Infeksi ini menyebabkan pneumonia, konjungtivitis, kebutaan, infeksi usus laten, serta penyakit saluran kemih dan reproduksi pada koala. Selain koala, C. pecorum juga menginfeksi hewan lain seperti domba, sapi, kerbau, babi, bandicoot, dan rusa semi-domestikasi. Risiko zoonosis dari C. pecorum saat ini masih belum diketahui.

 

1.8. Chlamydia psittaci

 

C. psittaci adalah agen penyebab utama zoonosis psittacosis yang tersebar luas, juga dikenal sebagai ornithosis atau demam burung nuri. Patogen ini terutama menginfeksi burung, tetapi dapat menyebar ke organisme lain, termasuk manusia, melalui infeksi saluran pernapasan [53]. Metode serotipe menggunakan antibodi monoklonal terhadap MOMP mengungkapkan enam serotipe burung (A–F) dan dua serotipe mamalia (WC dan M56), masing-masing dengan tingkat spesifisitas inang yang berbeda. Serotipe A terutama ditemukan pada burung psittacine, B pada merpati, C pada bebek dan angsa, D pada kalkun, E pada merpati dan spesies burung lainnya, dan F pada burung parkit dan kalkun [152,153]. Genotipe molekuler yang menargetkan gen OmpA yang mengkode MOMP mengungkapkan genotipe tambahan, termasuk E/B yang ditemukan pada merpati, serta tipe I dan J yang memiliki kesamaan genetik tinggi dengan genotipe C. psittaci F dan C. abortus, masing-masing [154,155].

 

Pada burung psittacine, infeksi dapat ditularkan dari induk ke anak melalui regurgitasi, menyebabkan klamidiosis kronis. Gejala infeksi pada burung meliputi konjungtivitis, rinitis, dan blefaritis. Burung yang terinfeksi dapat menyebarkan bakteri melalui kotoran atau cairan hidung, sehingga meningkatkan risiko penularan zoonosis melalui inhalasi tetesan udara atau partikel debu yang terinfeksi [53,54]. Pada manusia, hal ini dapat menyebabkan gejala seperti demam, menggigil, sakit kepala, mialgia, dan rasa lelah, dengan atau tanpa gejala pernapasan [55]. Kemampuan C. psittaci untuk menyebar melalui udara membuat Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat mengklasifikasikannya sebagai agen biologis penting Kategori B yang berpotensi disalahgunakan sebagai senjata biologis [156]. Pandemi yang melibatkan lebih dari 700 kasus psittacosis manusia dilaporkan terkait pengiriman besar-besaran burung nuri yang terinfeksi dari Argentina antara tahun 1929–1930 [157]. Selain itu, wabah lain dilaporkan lebih kecil dan jarang terjadi, seperti insiden di Prancis pada tahun 2013 yang melibatkan delapan wanita yang terinfeksi setelah membersihkan ayam terinfeksi [158].

 

1.9. Chlamydia suis

 

C. suis adalah spesies Chlamydiaceae yang paling umum ditemukan pada populasi babi dan menyebabkan penyakit mulai dari asimtomatik hingga infeksi pernapasan ringan [84], konjungtivitis [85], enteritis [86], dan kegagalan reproduksi [159]. Saat ini, babi adalah satu-satunya inang alami yang diketahui. Penularan zoonosis C. suis telah dideskripsikan pada pekerja di rumah potong babi melalui skrining, meskipun tidak ada tanda-tanda infeksi simptomatik yang jelas [87,88,89,142,143]. Isolasi strain C. suis yang resisten terhadap tetrasiklin menimbulkan kekhawatiran besar di industri peternakan babi, terutama terkait kemungkinan transfer horizontal gen resistensi tetrasiklin Tet(C) ke patogen klamidia manusia lainnya [160].

 

C. suis adalah organisme intraseluler obligat pertama yang terbukti mengembangkan resistensi antibiotik melalui mekanisme transfer gen horizontal. Isolasi strain C. suis yang resisten terhadap tetrasiklin telah dilaporkan sejak 1998 pada babi terinfeksi di Amerika Serikat [161], dan kemudian di beberapa negara Eropa [162,163,164]. Hal ini terutama disebabkan oleh penggunaan antibiotik dalam industri peternakan intensif dan pengobatan infeksi yang tidak memadai [165].

 

1.10. Spesies Chlamydiaceae Lainnya

 

C. avium, C. gallinacea, dan Ca. C. ibidis adalah tiga spesies klamidia avian yang baru dideskripsikan. Sejauh ini, C. avium terdeteksi pada merpati dan burung psittacine, sedangkan C. gallinacea endemik pada unggas domestik dan mampu menginfeksi ayam, bebek, guinea fowl, kalkun, serta kemungkinan burung lainnya [12,13,22,23,158,166,167,168,169,170,171]. Sementara itu, ibis sakral liar adalah satu-satunya reservoir hewan yang diketahui untuk Ca. C. ibidis [172].

 

Patogenisitas dan patologi spesies klamidia ini belum diteliti secara mendalam. Bukti terbatas menunjukkan bahwa C. avium dan C. gallinacea dapat menyebabkan penyakit pernapasan pada burung psittacine dan merpati, serta penurunan berat badan pada ayam [10,11,12,13,22]. Ketiga agen klamidia avian ini tidak diketahui patogenik pada manusia. Meski demikian, potensi zoonosis telah diusulkan untuk C. gallinacea di Prancis, di mana beberapa insiden pneumonia atipikal dilaporkan di antara pekerja rumah potong hewan [13,23].

 

Sebaliknya, C. serpentis, C. poikilothermis, Ca. C. corallus, dan Ca. C. sanzinia adalah organisme klamidia yang ditemukan pada ular penangkaran. Jangkauan inang untuk isolat klamidia ini belum terdefinisi, dan saat ini ular adalah satu-satunya hewan yang diketahui menjadi inangnya. Pengetahuan tentang potensi patogenisitas bakteri ini masih terbatas, karena tidak ada patologi yang dikaitkan dengan spesies ini pada hewan maupun manusia [173,174,175].

 

2. Kesimpulan

 

Tinjauan berbagai jenis Chlamydiaceae memberikan pemahaman yang lebih baik tentang patogenesis bakteri pada inang utama dan manusia. Sebagian besar penyakit yang disebabkan oleh spesies Chlamydiaceae pada inang utama menyerupai karakteristik penyakit pada manusia, sehingga dapat menjadi model untuk memahami rute penularan, patogenesis, serta pengembangan strategi terapeutik dan vaksinasi. Studi Chlamydiaceae pada berbagai inang sangat penting, mengingat kekhawatiran yang meningkat tentang isu kesehatan masyarakat seperti resistensi antibiotik melalui mekanisme transfer gen horizontal di antara bakteri ini. Penggunaan antibiotik secara intensif dalam industri peternakan perlu dikendalikan untuk mengatasi masalah ini. Terakhir, meskipun beberapa spesies baru telah dilaporkan, interpretasi harus dilakukan dengan hati-hati, karena beberapa klasifikasi hanya bergantung pada perbedaan sekuens, yang dianggap kecil dan tidak memadai [176].

 

REFERENSI

 

1.Hogan R.J., Mathews S.A., Mukhopadhyay S., Summersgill J.T., Timms P. Chlamydial persistence: Beyond the biphasic paradigm. Infect. Immun. 2004;72:1843–1855.

2.Bommana S., Polkinghorne A. Mini Review: Antimicrobial Control of Chlamydial Infections in Animals: Current Practices and Issues. Front. Microbiol. 2019;10:113.

3.Longbottom D., Livingstone M., Maley S., van der Zon A., Rocchi M., Wilson K., Wheelhouse N., Dagleish M., Aitchison K., Wattegedera S., et al. Intranasal Infection with Chlamydia abortus Induces Dose-Dependent Latency and Abortion in Sheep. PLoS ONE. 2013;8:e57950.

4.Walder G., Hotzel H., Brezinka C., Gritsch W., Tauber R., Wurzner R., Ploner F. An unusual cause of sepsis during pregnancy: Recognizing infection with Chlamydophila abortus. Obstet. Gynecol. 2005;106:1215–1217.

5.Pospischil A., Thoma R., Hilbe M., Grest P., Gebbers J.O. Abortion in woman caused by caprine Chlamydophila abortus (Chlamydia psittaci serovar 1) Swiss Med. Wkly. 2002;132:64–66.

6.Ortega N., Caro M.R., Gallego M.C., Murcia-Belmonte A., Álvarez D., Del Río L., Cuello F., Buendía A.J., Salinas J. Isolation of Chlamydia abortus from a laboratory worker diagnosed with atypical pneumonia. Ir. Vet. J. 2016;69

7.Walder G., Meusburger H., Hotzel H., Oehme A., Neunteufel W., Dierich M.P., Wurzner R. Chlamydophila abortus pelvic inflammatory disease. Emerg. Infect. Dis. 2003;9:1642–1644.

8.Roberts W., Grist N.R., Giroud P. Human abortion associated with infection by ovine abortion agent. Br. Med. J. 1967;4:37.

9.Essig A., Longbottom D. Chlamydia abortus: New Aspects of Infectious Abortion in Sheep and Potential Risk for Pregnant Women. Curr. Clin. Microbiol. Rep. 2015;2:22–34.

10.Gasparini J., Erin N., Bertin C., Jacquin L., Vorimore F., Frantz A., Lenouvel P., Laroucau K. Impact of urban environment and host phenotype on the epidemiology of Chlamydiaceae in feral pigeons (Columba livia) Environ. Microbiol. 2011;13:3186–3193.

11.Sachse K., Kuehlewind S., Ruettger A., Schubert E., Rohde G. More than classical Chlamydia psittaci in urban pigeons. Vet. Microbiol. 2012;157:476–480.

12.Sachse K., Laroucau K. Two more species of Chlamydia—does it make a difference? Pathog. Dis. 2014;73:1–3.

13.Sachse K., Laroucau K., Riege K., Wehner S., Dilcher M., Creasy H.H., Weidmann M., Myers G., Vorimore F., Vicari N., et al. Evidence for the existence of two new members of the family Chlamydiaceae and proposal of Chlamydia avium sp. nov. and Chlamydia gallinacea sp. nov. Syst. Appl. Microbiol. 2014;37:79–88.

14.Lutz-Wohlgroth L., Becker A., Brugnera E., Huat Z.L., Zimmermann D., Grimm F., Haessig M., Greub G., Kaps S., Spiess B., et al. Chlamydiales in guinea-pigs and their zoonotic potential. J. Vet. Med. Ser. A. 2006;53:185–193.

15.Mount D.T., Bigazzi P.E., Barron A.L. Experimental genital infection of male guinea pigs with the agent of guinea pig inclusion conjunctivitis and transmission to females. Infect. Immun. 1973;8:925–930.

16.Rodolakis A., Yousef Mohamad K. Zoonotic potential of Chlamydophila. Vet. Microbiol. 2010;140:382–391.

17.Ramakers B.P., Heijne M., Lie N., Le T.-N., van Vliet M., Claessen V.P.J., Tolsma P.J.P., De Rosa M., Roest H.I.J., Vanrompay D., et al. Zoonotic Chlamydia caviae presenting as community-acquired pneumonia. N. Engl. J. Med. 2017;377:992–994.

18.Van Grootveld R., Bilsen M.P., Boelsums T.L., Heddema E.R., Groeneveld G.H., Gooskens J., de Boer M.G.J. Chlamydia caviae Causing Community-Acquired Pneumonia: An Emerging Zoonosis. Vector Borne Zoonotic Dis. 2018;18:635–637.

19.Masubuchi K., Nosaka H., Iwamoto K., Kokubu T., Yamanaka M., Shimizu Y. Experimental infection of cats with Chlamydophila felis. J. Vet. Med. Sci. 2002;64:1165–1168.

20.Gruffydd-Jones T., Addie D., Belak S., Boucraut-Baralon C., Egberink H., Frymus T., Hartmann K., Hosie M.J., Lloret A., Lutz H., et al. Chlamydophila felis infection. ABCD guidelines on prevention and management. J. Feline Med. Surg. 2009;11:605–609.

21.Browning G.F. Is Chlamydophila felis a significant zoonotic pathogen? Aust. Vet. J. 2004;82:695–696. doi: 10.1111/j.1751-0813.2004.tb12160.x. [DOI] [PubMed] [Google Scholar]

22.Guo W., Li J., Kaltenboeck B., Gong J., Fan W., Wang C. Chlamydia gallinacea, not C. psittaci, is the endemic chlamydial species in chicken (Gallus gallus) Sci. Rep. 2016;6:19638.

23.Laroucau K., Vorimore F., Aaziz R., Berndt A., Schubert E., Sachse K. Isolation of a new chlamydial agent from infected domestic poultry coincided with cases of atypical pneumonia among slaughterhouse workers in France. Infect. Genet. Evol. 2009;9:1240–1247.

24.Moore T., Ekworomadu C.O., Eko F.O., MacMillan L., Ramey K., Ananaba G.A., Patrickson J.W., Nagappan P.R., Lyn D., Black C.M., et al. Fc receptor-mediated antibody regulation of T cell immunity against intracellular pathogens. J. Infect. Dis. 2003;188:617–624.

25.Whary M.T., Baumgarth N., Fox J.G., Barthold S.W. Chapter 3—Biology and Diseases of Mice. In: Fox J.G., Anderson L.C., Otto G.M., Pritchett-Corning K.R., Whary M.T., editors. Laboratory Animal Medicine. 3rd ed. Academic Press; Cambridge, MA, USA: 2015. pp. 43–149.

26.Walker E., Moore C., Shearer P., Jelocnik M., Bommana S., Timms P., Polkinghorne A. Clinical, diagnostic and pathologic features of presumptive cases of Chlamydia pecorum-associated arthritis in Australian sheep flocks. BMC Vet. Res. 2016;12:193.

27.Fabijan J., Caraguel C., Jelocnik M., Polkinghorne A., Boardman W.S.J., Nishimoto E., Johnsson G., Molsher R., Woolford L., Timms P., et al. Chlamydia pecorum prevalence in South Australian koala (Phascolarctos cinereus) populations: Identification and modelling of a population free from infection. Sci. Rep. 2019;9:6261.

28.Rekiki A., Bouakane A., Hammami S., El Idrissi A.H., Bernard F., Rodolakis A. Efficacy of live Chlamydophila abortus vaccine 1B in protecting mice placentas and foetuses against strains of Chlamydophila pecorum isolated from cases of abortion. Vet. Microbiol. 2004;99:295–299.

29.Greco G., Corrente M., Buonavoglia D., Campanile G., Di Palo R., Martella V., Bellacicco A.L., D’Abramo M., Buonavoglia C. Epizootic abortion related to infections by Chlamydophila abortus and Chlamydophila pecorum in water buffalo (Bubalus bubalis) Theriogenology. 2008;69:1061–1069.

30.Giannitti F., Anderson M., Miller M., Rowe J., Sverlow K., Vasquez M., Canton G. Chlamydia pecorum: Fetal and placental lesions in sporadic caprine abortion. J. Vet. Diagn. Invest. 2016;28:184–189.

31.Jelocnik M., Forshaw D., Cotter J., Roberts D., Timms P., Polkinghorne A. Molecular and pathological insights into Chlamydia pecorum-associated sporadic bovine encephalomyelitis (SBE) in Western Australia. BMC Vet. Res. 2014;10:121.

32.Ohtani A., Kubo M., Shimoda H., Ohya K., Iribe T., Ohishi D., Endoh D., Omatsu T., Mizutani T., Fukushi H., et al. Genetic and antigenic analysis of Chlamydia pecorum strains isolated from calves with diarrhea. J. Vet. Med. Sci. 2015;77:777–782.

33.Marrie T.J., Peeling R.W., Reid T., De Carolis E., Canadian Community-Acquired Pneumonia Investigators Chlamydia species as a cause of community-acquired pneumonia in Canada. Eur. Respir. J. 2003;21:779–784.

34.Gaston J.S. Immunological basis of Chlamydia induced reactive arthritis. Sex Transm. Infect. 2000;76:156–161.

35.Carter J.D., Hudson A.P. Reactive arthritis: Clinical aspects and medical management. Rheum. Dis. Clin. North Am. 2009;35:21–44.

36.Monno R., de Vito D., Losito G., Sibilio G., Costi A., Fumarola L., D’Aprile A., Marcuccio P. Chlamydia pneumoniae in community-acquired pneumonia: Seven years of experience. J. Infect. 2002;45:135–138.

37.Blasi F., Damato S., Cosentini R., Tarsia P., Raccanelli R., Centanni S., Allegra L., Chlamydia InterAction with COPD (CIAC) Study Group Chlamydia pneumoniae and chronic bronchitis: Association with severity and bacterial clearance following treatment. Thorax. 2002;57:672–676.

38.Falck G., Heyman L., Gnarpe J., Gnarpe H. Chlamydia pneumoniae and chronic pharyngitis. Scand. J. Infect. Dis. 1995;27:179–182.

39.Falck G., Engstrand I., Gad A., Gnarpe J., Gnarpe H., Laurila A. Demonstration of Chlamydia pneumoniae in patients with chronic pharyngitis. Scand. J. Infect. Dis. 1997;29:585–589.

40.Karnak D., Beng-sun S., Beder S., Kayacan O. Chlamydia pneumoniae infection and acute exacerbation of chronic obstructive pulmonary disease (COPD) Respir. Med. 2001;95:811–816.

41.Von Hertzen L., Alakarppa H., Koskinen R., Liippo K., Surcel H.M., Leinonen M., Saikku P. Chlamydia pneumoniae infection in patients with chronic obstructive pulmonary disease. Epidemiol. Infect. 1997;118:155–164.

42.Lieberman D., Ben-Yaakov M., Lazarovich Z., Ohana B., Boldur I. Chlamydia pneumoniae infection in acute exacerbations of chronic obstructive pulmonary disease: Analysis of 250 hospitalizations. Eur. J. Clin. Microbiol. Infect. Dis. 2001;20:698–704.

43.Cook P.J., Davies P., Tunnicliffe W., Ayres J.G., Honeybourne D., Wise R. Chlamydia pneumoniae and asthma. Thorax. 1998;53:254–259.

44.Zhan P., Suo L.J., Qian Q., Shen X.K., Qiu L.X., Yu L.K., Song Y. Chlamydia pneumoniae infection and lung cancer risk: A meta-analysis. Eur. J. Cancer. 2011;47:742–747.

45.Koutsoumpas A.L., Kriese S., Rigopoulou E.I. Popular and unpopular infectious agents linked to primary biliary cirrhosis. Auto Immun. Highlights. 2012;3:95–104.

46.Di Pietro M., Filardo S., de Santis F., Sessa R. Chlamydia pneumoniae infection in atherosclerotic lesion development through oxidative stress: A brief overview. Int. J. Mol. Sci. 2013;14:15105–15120.

47.Joshi R., Khandelwal B., Joshi D., Gupta O.P. Chlamydophila pneumoniae infection and cardiovascular disease. N. Am. J. Med. Sci. 2013;5:169–181.

48.Di Pietro M., Filardo S., de Santis F., Mastromarino P., Sessa R. Chlamydia pneumoniae and oxidative stress in cardiovascular disease: State of the art and prevention strategies. Int. J. Mol. Sci. 2014;16:724–735.

49.Hahn D.L., Schure A., Patel K., Childs T., Drizik E., Webley W. Chlamydia pneumoniae-specific IgE is prevalent in asthma and is associated with disease severity. PLoS ONE. 2012;7:e35945.

50.Mitchell C.M., Mathews S.A., Theodoropoulos C., Timms P. In vitro characterisation of koala Chlamydia pneumoniae: Morphology, inclusion development and doubling time. Vet. Microbiol. 2009;136:91–99.

51.Kutlin A., Roblin P.M., Kumar S., Kohlhoff S., Bodetti T., Timms P., Hammerschlag M.R. Molecular characterization of Chlamydophila pneumoniae isolates from Western barred bandicoots. J. Med. Microbiol. 2007;56:407–417.

52.Cochrane M., Walker P., Gibbs H., Timms P. Multiple genotypes of Chlamydia pneumoniae identified in human carotid plaque. Microbiology. 2005;151:2285–2290.

53.Harkinezhad T., Geens T., Vanrompay D. Chlamydophila psittaci infections in birds: A review with emphasis on zoonotic consequences. Vet. Microbiol. 2009;135:68–77.

54.Andersen A.A. Comparison of pharyngeal, fecal, and cloacal samples for the isolation of Chlamydia psittaci from experimentally infected cockatiels and turkeys. J. Vet. Diagn. Investig. 1996;8:448–450.

55.Beeckman D.S.A., Vanrompay D.C.G. Zoonotic Chlamydophila psittaci infections from a clinical perspective. Clin. Microbiol. Infect. 2009;15:11–17.

56.Brunham R.C., Rey-Ladino J. Immunology of Chlamydia infection: Implications for a Chlamydia trachomatis vaccine. Nat. Rev. Immunol. 2005;5:149–161.

57.Furuya R., Takahashi S., Furuya S., Takeyama K., Masumori N., Tsukamoto T. Chlamydial seminal vesiculitis without symptomatic urethritis and epididymitis. Int. J. Urol. 2006;13:466–467.

58.Furuya R., Takahashi S., Furuya S., Takeyama K., Tsukamoto T. A patient with seminal vesiculitis prior to acute chlamydial epididymitis. J. Infect. Chemother. 2005;11:250–252.

59.Mackern-Oberti J.P., Motrich R.D., Breser M.L., Sanchez L.R., Cuffini C., Rivero V.E. Chlamydia trachomatis infection of the male genital tract: An update. J. Reprod. Immunol. 2013;100:37–53.

60.Moss N.J., Ahrens K., Kent C.K., Klausner J.D. The decline in clinical sequelae of genital Chlamydia trachomatis infection supports current control strategies. J. Infect. Dis. 2006;193:1336–1338.

61.Sellami H., Znazen A., Sellami A., Mnif H., Louati N., Ben Zarrouk S., Keskes L., Rebai T., Gdoura R., Hammami A. Molecular detection of Chlamydia trachomatis and other sexually transmitted bacteria in semen of male partners of infertile couples in Tunisia: The effect on semen parameters and spermatozoa apoptosis markers. PLoS ONE. 2014;9:e98903.

62.Gallegos G., Ramos B., Santiso R., Goyanes V., Gosalvez J., Fernandez J.L. Sperm DNA fragmentation in infertile men with genitourinary infection by Chlamydia trachomatis and Mycoplasma. Fertil. Steril. 2008;90:328–334.

63.Moazenchi M., Totonchi M., Salman Yazdi R., Hratian K., Mohseni Meybodi M.A., Ahmadi Panah M., Chehrazi M., Mohseni Meybodi A. The impact of Chlamydia trachomatis infection on sperm parameters and male fertility: A comprehensive study. Int. J. STD AIDS. 2018;29:466–473.

64.Dehghan Marvast L., Aflatoonian A., Talebi A.R., Ghasemzadeh J., Pacey A.A. Semen inflammatory markers and Chlamydia trachomatis infection in male partners of infertile couples. Andrologia. 2016;48:729–736.

65.Lopez-Hurtado M., Velazco-Fernandez M., Pedraza-Sanchez M.J.E., Flores-Salazar V.R., Villagrana Zesati R., Guerra-Infante F.M. Molecular detection of Chlamydia trachomatis and semen quality of sexual partners of infertile women. Andrologia. 2018;50.

66.Owusu-Edusei K., Jr., Bohm M.K., Chesson H.W., Kent C.K. Chlamydia screening and pelvic inflammatory disease: Insights from exploratory time-series analyses. Am. J. Prev. Med. 2010;38:652–657.

67.Ahmadi A., Khodabandehloo M., Ramazanzadeh R., Farhadifar F., Roshani D., Ghaderi E., Farhangi N. The Relationship between Chlamydia trachomatis Genital Infection and Spontaneous Abortion. J. Reprod. Infertil. 2016;17:110–116.

68.Baud D., Goy G., Jaton K., Osterheld M.C., Blumer S., Borel N., Vial Y., Hohlfeld P., Pospischil A., Greub G. Role of Chlamydia trachomatis in miscarriage. Emerg. Infect. Dis. 2011;17:1630–1635.

69.Blas M.M., Canchihuaman F.A., Alva I.E., Hawes S.E. Pregnancy outcomes in women infected with Chlamydia trachomatis: A population-based cohort study in Washington State. Sex Transm. Infect. 2007;83:314–318.

70.Rours G.I., Duijts L., Moll H.A., Arends L.R., de Groot R., Jaddoe V.W., Hofman A., Steegers E.A., Mackenbach J.P., Ott A., et al. Chlamydia trachomatis infection during pregnancy associated with preterm delivery:

71.Davies B., Turner K.M., Frolund M., Ward H., May M.T., Rasmussen S., Benfield T., Westh H., Danish Chlamydia Study Group Risk of reproductive complications following chlamydia testing: A population-based retrospective cohort study in Denmark. Lancet Infect. Dis. 2016;16:1057–1064.

72.Darville T., Hiltke T.J. Pathogenesis of genital tract disease due to Chlamydia trachomatis. J. Infect. Dis. 2010;201:S114–S125.

73.Zikic A., Schunemann H., Wi T., Lincetto O., Broutet N., Santesso N. Treatment of Neonatal Chlamydial Conjunctivitis: A Systematic Review and Meta-analysis. J. Pediatric Infect. Dis. Soc. 2018;7:e107–e115.

74.Mishra K.N., Bhardwaj P., Mishra A., Kaushik A. Acute Chlamydia trachomatis respiratory infection in infants. J. Glob. Infect. Dis. 2011;3:216–220.

75.Wang S.P., Eschenbach D.A., Holmes K.K., Wager G., Grayston J.T. Chlamydia trachomatis infection in Fitz-Hugh-Curtis syndrome. Am. J. Obstet. Gynecol. 1980;138:1034–1038.

76.Katzman D.K., Friedman I.M., McDonald C.A., Litt I.F. Chlamydia trachomatis Fitz-Hugh-Curtis syndrome without salpingitis in female adolescents. Am. J. Dis. Child. 1988;142:996–998.

77.Ekabe C.J., Kehbila J., Njim T., Kadia B.M., Tendonge C.N., Monekosso G.L. Chlamydia trachomatis-induced Fitz-Hugh-Curtis syndrome: A case report. BMC Res. Notes. 2017;10:10.

78.Zhu H., Shen Z., Luo H., Zhang W., Zhu X. Chlamydia Trachomatis Infection-Associated Risk of Cervical Cancer: A Meta-Analysis. Medicine. 2016;95:e3077.

79.Trabert B., Waterboer T., Idahl A., Brenner N., Brinton L.A., Butt J., Coburn S.B., Hartge P., Hufnagel K., Inturrisi F., et al. Antibodies Against Chlamydia trachomatis and Ovarian Cancer Risk in Two Independent Populations. J. Natl. Cancer Inst. 2018.

80.Sommer A., Taylor H.R., Ravilla T.D., West S., Lietman T.M., Keenan J.D., Chiang M.F., Robin A.L., Mills R.P., Council of the American Ophthalmological Society Challenges of ophthalmic care in the developing world. JAMA Ophthalmol. 2014;132:640–644.

81.Mabey D.C., Solomon A.W., Foster A. Trachoma. Lancet. 2003;362:223–229.

82.Caldwell H.D., Wood H., Crane D., Bailey R., Jones R.B., Mabey D., Maclean I., Mohammed Z., Peeling R., Roshick C., et al. Polymorphisms in Chlamydia trachomatis tryptophan synthase genes differentiate between genital and ocular isolates. J. Clin. Invest. 2003;111:1757–1769.

83.White J.A. Lymphogranuloma venereum (LGV) Medicine. 2014;38:267–269.

84.Reinhold P., Kirschvink N., Theegarten D., Berndt A. An experimentally induced Chlamydia suis infection in pigs results in severe lung function disorders and pulmonary inflammation. Vet. Res. 2008;39:35.

85.Chahota R., Ogawa H., Ohya K., Yamaguchi T., Everett K.D.E., Fukushi H. Involvement of multiple Chlamydia suis genotypes in porcine conjunctivitis. Transbound. Emerg. Dis. 2018;65:272–277.

86.Rogers D.G., Andersen A.A. Intestinal lesions caused by two swine Chlamydial isolates in gnotobiotic pigs. J. Vet. Diagn. Investig. 1996;8:433–440.

87.De Puysseleyr L., De Puysseleyr K., Braeckman L., Morré S.A., Cox E., Vanrompay D. Assessment of Chlamydia suis Infection in Pig Farmers. Transbound. Emerg. Dis. 2017;64:826–833.

88.Evelien K., Laura V.d.B., Mathias V.G., Servaas M., Daisy V. Co-occurrence of Chlamydia suis DNA and Chlamydia suis-specific antibodies in the human eye. Vector Borne Zoonotic Dis. 2018.

89.De Puysseleyr K., De Puysseleyr L., Dhondt H., Geens T., Braeckman L., Morré S.A., Cox E., Vanrompay D. Evaluation of the presence and zoonotic transmission of Chlamydia suis in a pig slaughterhouse. BMC Infect. Dis. 2014;14:560.

90.Newman L., Rowley J., Vander Hoorn S., Wijesooriya N.S., Unemo M., Low N., Stevens G., Gottlieb S., Kiarie J., Temmerman M. Global Estimates of the Prevalence and Incidence of Four Curable Sexually Transmitted Infections in 2012 Based on Systematic Review and Global Reporting. PLoS ONE. 2015;10:e0143304.

91.Caldwell H.D., Kromhout J., Schachter J. Purification and partial characterization of the major outer membrane protein of Chlamydia trachomatis. Infect. Immun. 1981;31:1161–1176.

92.Bebear C., de Barbeyrac B. Genital Chlamydia trachomatis infections. Clin. Microbiol. Infect. 2009;15:4–10.

93.Ceovic R., Gulin S.J. Lymphogranuloma venereum: Diagnostic and treatment challenges. Infect. Drug Resist. 2015;8:39–47.

94.Mabey D.C., Hu V., Bailey R.L., Burton M.J., Holland M.J. Towards a safe and effective chlamydial vaccine: Lessons from the eye. Vaccine. 2014;32:1572–1578.

95.Stark D., van Hal S., Hillman R., Harkness J., Marriott D. Lymphogranuloma venereum in Australia: Anorectal Chlamydia trachomatis serovar L2b in men who have sex with men. J. Clin. Microbiol. 2007;45:1029–1031.

96.Simms I., Ward H., Martin I., Alexander S., Ison C. Lymphogranuloma venereum in Australia. Sex Health. 2006;3:131–133.

97.McLean C.A., Stoner B.P., Workowski K.A. Treatment of Lymphogranuloma venereum. Clin. Infect. Dis. 2007;44:S147–S152.

98.Nieuwenhuis R.F., Ossewaarde J.M., Gotz H.M., Dees J., Thio H.B., Thomeer M.G., den Hollander J.C., Neumann M.H., van der Meijden W.I. Resurgence of lymphogranuloma venereum in Western Europe: An outbreak of Chlamydia trachomatis serovar l2 proctitis in The Netherlands among men who have sex with men. Clin. Infect. Dis. 2004;39:996–1003.

99.Hughes G., Alexander S., Simms I., Conti S., Ward H., Powers C., Ison C., Group L.G.V.I. Lymphogranuloma venereum diagnoses among men who have sex with men in the U.K.: Interpreting a cross-sectional study using an epidemic phase-specific framework. Sex Transm. Infect. 2013;89:542–547.

100.Saxon C., Hughes G., Ison C., Group U.L.C.-F. Asymptomatic Lymphogranuloma Venereum in Men who Have Sex with Men, United Kingdom. Emerg. Infect. Dis. 2016;22:112–116.

101.De Vrieze N.H., de Vries H.J. Lymphogranuloma venereum among men who have sex with men. An epidemiological and clinical review. Expert Rev. Antiinfect. Ther. 2014;12:697–704.

102.Lanjouw E., Ouburg S., de Vries H.J., Stary A.R., Radcliffe K., Unemo M. 2015 European guideline on the management of Chlamydia trachomatis infections. Int. J. STD AIDS. 2015;27:333–348.

103.Lau C.Y., Qureshi A.K. Azithromycin versus doxycycline for genital chlamydial infections: A meta-analysis of randomized clinical trials. Sex Transm. Dis. 2002;29:497–502.

104.Miller K.E. Diagnosis and treatment of Chlamydia trachomatis infection. Am. Fam. Physician. 2006;73:1411–1416.

105.Walker J., Tabrizi S.N., Fairley C.K., Chen M.Y., Bradshaw C.S., Twin J., Taylor N., Donovan B., Kaldor J.M., McNamee K., et al. Chlamydia trachomatis incidence and re-infection among young women—Behavioural and microbiological characteristics. PLoS ONE. 2012;7:e37778.

106.Forward K.R. Risk of coinfection with Chlamydia trachomatis and Neisseria gonorrhoeae in Nova Scotia. Can. J. Infect. Dis. Med. Microbiol. 2010;21:e84–e86.

107.Vielot N., Hudgens M.G., Mugo N., Chitwa M., Kimani J., Smith J. The Role of Chlamydia trachomatis in High-Risk Human Papillomavirus Persistence Among Female Sex Workers in Nairobi, Kenya. Sex Transm. Dis. 2015;42:305–311.

108.Guy R., Ward J., Wand H., Rumbold A., Garton L., Hengel B., Silver B., Taylor-Thomson D., Knox J., McGregor S., et al. Coinfection with Chlamydia trachomatis, Neisseria gonorrhoeae and Trichomonas vaginalis: A cross-sectional analysis of positivity and risk factors in remote Australian Aboriginal communities. Sex Transm. Infect. 2015;91:201–206.

109.Vonck R.A., Darville T., O’Connell C.M., Jerse A.E. Chlamydial infection increases gonococcal colonization in a novel murine coinfection model. Infect. Immun. 2011;79:1566–1577.

110.Fleming D.T., Wasserheit J.N. From epidemiological synergy to public health policy and practice: The contribution of other sexually transmitted diseases to sexual transmission of HIV infection. Sex Transm. Infect. 1999;75:3–17.

111.Cheong H.C., Lee C.Y.Q., Cheok Y.Y., Shankar E.M., Sabet N.S., Tan G.M.Y., Movahed E., Yeow T.C., Sulaiman S., Wong W.F., et al. CPAF, HSP60 and MOMP antigens elicit pro-inflammatory cytokines production in the peripheral blood mononuclear cells from genital Chlamydia trachomatis-infected patients. Immunobiology. 2019;224:34–41.

112.Fenner A. Chlamydia paralyses neutrophils via CPAF. Nat. Rev. Urol. 2018;15:526–527.

113.Rockey D.D. Unraveling the basic biology and clinical significance of the chlamydial plasmid. J. Exp. Med. 2011;208:2159–2162.

114.Yeow T.C., Wong W.F., Sabet N.S., Sulaiman S., Shahhosseini F., Tan G.M., Movahed E., Looi C.Y., Shankar E.M., Gupta R., et al. Prevalence of plasmid-bearing and plasmid-free Chlamydia trachomatis infection among women who visited obstetrics and gynecology clinics in Malaysia. BMC Microbiol. 2016;16:45.

115.Olive A.J., Haff M.G., Emanuele M.J., Sack L.M., Barker J.R., Elledge S.J., Starnbach M.N. Chlamydia trachomatis-induced alterations in the host cell proteome are required for intracellular growth. Cell Host Microbe. 2014;15:113–124.

116.Tan G.M., Lim H.J., Yeow T.C., Movahed E., Looi C.Y., Gupta R., Arulanandam B.P., Abu Bakar S., Sabet N.S., Chang L.Y., et al. Temporal proteomic profiling of Chlamydia trachomatis-infected HeLa-229 human cervical epithelial cells. Proteomics. 2016;16:1347–1360.

117.De Clercq E., Kalmar I., Vanrompay D. Animal models for studying female genital tract infection with Chlamydia trachomatis. Infect. Immun. 2013;81:3060–3067.

118.Witkin S.S., Minis E., Athanasiou A., Leizer J., Linhares I.M. Chlamydia trachomatis: The Persistent Pathogen. Clin. Vaccine Immunol. 2017;24.

119.Longbottom D., Coulter L.J. Animal chlamydioses and zoonotic implications. J. Comp. Pathol. 2003;128:217–244.

120.Kuo C.C., Jackson L.A., Campbell L.A., Grayston J.T. Chlamydia pneumoniae (TWAR) Clin. Microbiol. Rev. 1995;8:451–461.

121.Verkooyen R.P., Harreveld S., Joulandan S.A.M., Diepersloot R.J., Verbrugh H.A. Survival of Chlamydia pneumoniae following contact with various surfaces. Clin. Microbiol. Infect. 1995;1:114–118.

122.Contini C., Seraceni S., Cultrera R., Castellazzi M., Granieri E., Fainardi E. Chlamydophila pneumoniae Infection and Its Role in Neurological Disorders. Interdiscip. Perspect. Infect. Dis. 2010;2010:273573.

123.Grayston J.T. Background and current knowledge of Chlamydia pneumoniae and atherosclerosis. J. Infect. Dis. 2000;181:S402–S410.

124.Coles K.A., Timms P., Smith D.W. Koala biovar of Chlamydia pneumoniae infects human and koala monocytes and induces increased uptake of lipids in vitro. Infect. Immun. 2001;69:7894–7897.

125.Bodetti T.J., Jacobson E., Wan C., Hafner L., Pospischil A., Rose K., Timms P. Molecular evidence to support the expansion of the hostrange of Chlamydophila pneumoniae to include reptiles as well as humans, horses, koalas and amphibians. Syst. Appl. Microbiol. 2002;25:146–152.

126.Shima K., Wanker M., Skilton R.J., Cutcliffe L.T., Schnee C., Kohl T.A., Niemann S., Geijo J., Klinger M., Timms P., et al. The Genetic Transformation of Chlamydia pneumoniae. mSphere. 2018;3.

127.Myers G.S., Mathews S.A., Eppinger M., Mitchell C., O’Brien K.K., White O.R., Benahmed F., Brunham R.C., Read T.D., Ravel J., et al. Evidence that human Chlamydia pneumoniae was zoonotically acquired. J. Bacteriol. 2009;191:7225–7233.

128.Li Z., Liu P., Cao X., Lou Z., Zaręba-Marchewka K., Szymańska-Czerwińska M., Niemczuk K., Hu B., Bai X., Zhou J. First Report of Chlamydia abortus in Farmed Fur Animals. BioMed. Res. Int. 2018;2018:4289648.

129.Campos-Hernandez E., Vazquez-Chagoyan J.C., Salem A.Z., Saltijeral-Oaxaca J.A., Escalante-Ochoa C., Lopez-Heydeck S.M., de Oca-Jimenez R.M. Prevalence and molecular identification of Chlamydia abortus in commercial dairy goat farms in a hot region in Mexico. Trop. Anim. Health Prod. 2014;46:919–924.

130.Szeredi L., Jánosi S., Tenk M., Tekes L., Bozsó M., Deim Z., Molnár T. Epidemiological and pathological study on the causes of abortion in sheep and goats in Hungary (1998–2005) Acta Vet. Hung. 2006;54:503–515.

131.Salinas J., Ortega N., Borge C., Rangel M.J., Carbonero A., Perea A., Caro M.R. Abortion associated with Chlamydia abortus in extensively reared Iberian sows. Vet. J. 2012;194:133–134.

132.Szymańska-Czerwińska M., Mitura A., Zaręba K., Schnee C., Koncicki A., Niemczuk K. Poultry in Poland as Chlamydiaceae carrier. J. Vet. Res. 2017;61:411.

133.Li Z., Cao X., Fu B., Chao Y., Cai J., Zhou J. Identification and characterization of Chlamydia abortus isolates from yaks in Qinghai, China. BioMed. Res. Int. 2015;2015:658519.

134.Di Paolo L.A., Alvarado Pinedo M.F., Origlia J., Fernández G., Uzal F.A., Travería G.E. First report of caprine abortions due to Chlamydia abortus in Argentina. Vet. Med. Sci. 2019.

135.Gaede W., Reckling K.F., Schliephake A., Missal D., Hotzel H., Sachse K. Detection of Chlamydophila caviae and Streptococcus equi subsp. zooepidemicus in horses with signs of rhinitis and conjunctivitis. Vet. Microbiol. 2010;142:440–444.

136.Pantchev A., Sting R., Bauerfeind R., Tyczka J., Sachse K. Detection of all Chlamydophila and Chlamydia spp. of veterinary interest using species-specific real-time PCR assays. Comp. Immunol. Microbiol. Infect. Dis. 2010;33:473–484.

137.Wu S.M., Huang S.Y., Xu M.J., Zhou D.H., Song H.Q., Zhu X.Q. Chlamydia felis exposure in companion dogs and cats in Lanzhou, China: A public health concern. BMC Vet. Res. 2013;9:104.

138.Halanova M., Sulinova Z., Cislakova L., Trbolova A., Palenik L., Weissova T., Halan M., Kalinova Z., Holickova M. Chlamydophila felis in cats—Are the stray cats dangerous source of infection? Zoonoses Public Health. 2011;58:519–522.

139.Di Francesco A., Piva S., Baldelli R. Prevalence of Chlamydophila felis by PCR among healthy pet cats in Italy. New Microbiol. 2004;27:199–201.

140.Azuma Y., Hirakawa H., Yamashita A., Cai Y., Rahman M.A., Suzuki H., Mitaku S., Toh H., Goto S., Murakami T., et al. Genome sequence of the cat pathogen, Chlamydophila felis. DNA Res. 2006;13:15–23.

141.Yan C., Fukushi H., Matsudate H., Ishihara K., Yasuda K., Kitagawa H., Yamaguchi T., Hirai K. Seroepidemiological investigation of feline chlamydiosis in cats and humans in Japan. Microbiol. Immunol. 2000;44:155–160.

142.Hartley J.C., Stevenson S., Robinson A.J., Littlewood J.D., Carder C., Cartledge J., Clark C., Ridgway G.L. Conjunctivitis Due to Chlamydophila felis (Chlamydia psittaci Feline Pneumonitis Agent) Acquired From a Cat: Case Report with Molecular Characterization of Isolates from the Patient and Cat. J. Infect. 2001;43:7–11.

143.Wons J., Meiller R., Bergua A., Bogdan C., Geißdörfer W. Follicular Conjunctivitis due to Chlamydia felis—Case Report, Review of the Literature and Improved Molecular Diagnostics. Front. Med. 2017;4.

144.Ramsey K.H., Sigar I.M., Schripsema J.H., Denman C.J., Bowlin A.K., Myers G.A.S., Rank R.G. Strain and Virulence Diversity in the Mouse Pathogen Chlamydia muridarum. Infect. Immun. 2009;77:3284–3293.

145.Cochrane M., Armitage C.W., O’Meara C.P., Beagley K.W. Towards a Chlamydia trachomatis vaccine: How close are we? Future Microbiol. 2010;5:1833–1856.

146.Kaushic C., Jerse A.E., Beagley K.W. Chapter 107—Animal Models of Immunity to Female Genital Tract Infections and Vaccine Development. In: Mestecky J., Strober W., Russell M.W., Kelsall B.L., Cheroutre H., Lambrecht B.N., editors. Mucosal Immunology. 4th ed. Academic Press; Cambridge, MA, USA: USA 2015. pp. 2059–2096.

147.Puerta Suarez J., Sanchez L.R., Salazar F.C., Saka H.A., Molina R., Tissera A., Rivero V.E., Cardona Maya W.D., Motrich R.D. Chlamydia trachomatis neither exerts deleterious effects on spermatozoa nor impairs male fertility. Sci. Rep. 2017;7:1126.

148.Phillips S., Robbins A., Loader J., Hanger J., Booth R., Jelocnik M., Polkinghorne A., Timms P. Chlamydia pecorum gastrointestinal tract infection associations with urogenital tract infections in the koala (Phascolarctos cinereus) PLoS ONE. 2018;13:e0206471.

149.Wan C., Loader J., Hanger J., Beagley K., Timms P., Polkinghorne A. Using quantitative polymerase chain reaction to correlate Chlamydia pecorum infectious load with ocular, urinary and reproductive tract disease in the koala (Phascolarctos cinereus) Aust. Vet. J. 2011;89:409–412.

150.Sanchez Romano J., Leijon M., Hagstrom A., Jinnerot T., Rockstrom U.K., Tryland M. Chlamydia pecorum Associated With an Outbreak of Infectious Keratoconjunctivitis in Semi-domesticated Reindeer in Sweden. Front. Vet. Sci. 2019;6:14.

151.Mohamad K.Y., Rodolakis A. Recent advances in the understanding of Chlamydophila pecorum infections, sixteen years after it was named as the fourth species of the Chlamydiaceae family. Vet. Res. 2010;41:27.

152.Andersen A.A. Serotyping of Chlamydia psittaci isolates using serovar-specific monoclonal antibodies with the microimmunofluorescence test. J. Clin. Microbiol. 1991;29:707–711.

153.Vanrompay D., Andersen A.A., Ducatelle R., Haesebrouck F. Serotyping of European isolates of Chlamydia psittaci from poultry and other birds. J. Clin. Microbiol. 1993;31:134–137.

154.Madani S.A., Peighambari S.M. PCR-based diagnosis, molecular characterization and detection of atypical strains of avian Chlamydia psittaci in companion and wild birds. Avian Pathol. 2013;42:38–44.

155.Stenzel T., Pestka D., Choszcz D. The prevalence and genetic characterization of Chlamydia psittaci from domestic and feral pigeons in Poland and the correlation between infection rate and incidence of pigeon circovirus. Poult. Sci. 2014;93:3009–3016.

156.Rotz L.D., Khan A.S., Lillibridge S.R., Ostroff S.M., Hughes J.M. Public health assessment of potential biological terrorism agents. Emerg. Infect. Dis. 2002;8:225–230.

157.Schachter J., Dawson C.R. Human chlamydial infections. PSG Publishing Company; Littleton, MA, USA: 1978. pp. 63–96.

158.Laroucau K., Aaziz R., Meurice L., Servas V., Chossat I., Royer H., de Barbeyrac B., Vaillant V., Moyen J.L., Meziani F., et al. Outbreak of psittacosis in a group of women exposed to Chlamydia psittaci-infected chickens. Eurosurveillance. 2015;20:21155.

159.Schautteet K., Beeckman D.S.A., Delava P., Vanrompay D. Possible pathogenic interplay between Chlamydia suis, Chlamydophila abortus and PCV-2 on a pig production farm. Vet. Rec. 2010;166:329–333.

160.Joseph S.J., Marti H., Didelot X., Read T.D., Dean D. Tetracycline selective pressure and homologous recombination shape the evolution of Chlamydia suis: A recently identified zoonotic pathogen. Genome Biol. Evol. 2016;8:2613–2623.

161.Andersen A., Rogers D. Resistance to tetracycline and sulfadiazine in swine C. trachomatis isolates; Proceedings of the Ninth International Symposium on Human Chlamydial Infection; San Francisco, CA, USA. 1998; pp. 313–316.

162.Di Francesco A., Donati M., Rossi M., Pignanelli S., Shurdhi A., Baldelli R., Cevenini R. Tetracycline-resistant Chlamydia suis isolates in Italy. Vet. Rec. 2008;163:251–252.

163.Schautteet K., de Clercq E., Miry C., van Groenweghe F., Delava P., Kalmar I., Vanrompay D. Tetracycline-resistant Chlamydia suis in cases of reproductive failure on Belgian, Cypriote and Israeli pig production farms. J. Med. Microbiol. 2013;62:331–334.

164.Wanninger S., Donati M., Di Francesco A., Hässig M., Hoffmann K., Seth-Smith H.M.B., Marti H., Borel N. Selective pressure promotes tetracycline resistance of Chlamydia suis in fattening pigs. PLoS ONE. 2016;11:e0166917.

165.Clarke I.N. Evolution of Chlamydia trachomatis. Ann. N. Y. Acad. Sci. 2011;1230:E11–E18.

166.Burt S.A., Roring R.E., Heijne M. Chlamydia psittaci and C. avium in feral pigeon (Columba livia domestica) droppings in two cities in the Netherlands. Vet. Q. 2018;38:63–66.

167.Donati M., Laroucau K., Guerrini A., Balboni A., Salvatore D., Catelli E., Lupini C., Levi A., di Francesco A. Chlamydiosis in Backyard Chickens (Gallus gallus) in Italy. Vector Borne Zoonotic Dis. 2018;18:222–225.

168.Heijne M., van der Goot J.A., Fijten H., van der Giessen J.W., Kuijt E., Maassen C.B.M., van Roon A., Wit B., Koets A.P., Roest H.I.J. A cross sectional study on Dutch layer farms to investigate the prevalence and potential risk factors for different Chlamydia species. PLoS ONE. 2018;13:e0190774.

169.Pisanu B., Laroucau K., Aaziz R., Vorimore F., Le Gros A., Chapuis J.-L., Clergeau P. Chlamydia avium detection from a ring-necked parakeet (Psittacula krameri) in France. J. Exot. Pet Med. 2018;27:68–74.

170.Zocevic A., Vorimore F., Marhold C., Horvatek D., Wang D., Slavec B., Prentza Z., Stavianis G., Prukner-Radovcic E., Dovc A., et al. Molecular characterization of atypical Chlamydia and evidence of their dissemination in different European and Asian chicken flocks by specific real-time PCR. Environ. Microbiol. 2012;14:2212–2222.

171.Zocevic A., Vorimore F., Vicari N., Gasparini J., Jacquin L., Sachse K., Magnino S., Laroucau K. A real-time PCR assay for the detection of atypical strains of Chlamydiaceae from pigeons. PLoS ONE. 2013;8:e58741.

172.Vorimore F., Hsia R.C., Huot-Creasy H., Bastian S., Deruyter L., Passet A., Sachse K., Bavoil P., Myers G., Laroucau K. Isolation of a New Chlamydia species from the Feral Sacred Ibis (Threskiornis aethiopicus): Chlamydia ibidis. PLoS ONE. 2013;8:e74823.

173.Staub E., Marti H., Biondi R., Levi A., Donati M., Leonard C.A., Ley S.D., Pillonel T., Greub G., Seth-Smith H.M.B., et al. Novel Chlamydia species isolated from snakes are temperature-sensitive and exhibit decreased susceptibility to azithromycin. Sci. Rep. 2018;8:5660.

174.Taylor-Brown A., Spang L., Borel N., Polkinghorne A. Culture-independent metagenomics supports discovery of uncultivable bacteria within the genus Chlamydia. Sci. Rep. 2017;7:10661.

175.Taylor-Brown A., Bachmann N.L., Borel N., Polkinghorne A. Culture-independent genomic characterisation of Candidatus Chlamydia sanzinia, a novel uncultivated bacterium infecting snakes. BMC Genom. 2016;17:710.

176.Schachter J., Stephens R., Timms P., Kuo C., Bavoil P.M., Birkelund S., Boman J., Caldwell H., Campbell L., Chernesky M. Radical changes to chlamydial taxonomy are not necessary just yet. Int. J. Syst. Evol. Microbiol. 2001;51:249.

SUMBER

Heng Choon Cheong, Chalystha Yie Qin Lee, Yi Ying Cheok, Grace Min Yi Tan, Chung Yeng Looi, Won Fen Wong. 2019. Chlamydiaceae: Diseases in Primary Hosts and Zoonosis. Microorganisms. 2019 May 24;7(5):146.

No comments: