Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Saturday, 2 May 2020

Asal-mula Terdekat SARS-CoV-2

Sejak laporan pertama COVID-19 di Wuhan, Provinsi Hubei, China, [1, 2]  telah banyak didiskusikan tentang asal-usul virus penyebabnya yaitu, SARS-CoV-2, [3] yang juga disebut sebagai HCoV-19. [4]  Sekarang kasus infeksi SARS-CoV-2 tersebar luas, dan pada 11 Maret 2020, terdapat 121.564 kasus telah dikonfirmasi di lebih dari 110 negara, dengan 4.373 kematian. [5]

SARS-CoV-2 merupakan coronavirus ketujuh yang diketahui menginfeksi manusia; SARS-CoV, MERS-CoV, dan SARS-CoV-2 dapat menyebabkan penyakit berat, sedangkan HKU1, NL63, OC43 dan 229E menyebabkan penyakit dengan gejala ringan [6]Kristian G. Andersen et al. (2020) mengkaji tentang asal-usul SARS-CoV-2 dari sisi analisis komparatif data genom, [31] penelitinya memberikan perspektif tentang fitur-fitur penting dari genom SARS-CoV-2 dan mendiskusikan skenario munculnya virus tersebut.  Analisis Kristian G. Andersen et al. (2020) menunjukkan bahwa SARS-CoV-2 bukan merupakan virus yang dikonstruksi di laboratorium atau virus hasil manipulasi secara sengaja. [31]

FITUR-FITUR PENTING GENOM SARS-CoV-19

Perbandingan antara virus alfacorona dan betacorona mengidentifikasi dua fitur genom yang menonjol dari SARS-CoV-2: (i) berdasarkan studi struktur [7,8,9] dan percobaan biokimia [1,9,10], SARS-CoV-2 tampaknya menjadi optimal mengikat reseptor manusia ACE2; dan (ii) Protein Spike SARS-CoV-2 memiliki situs pembelahan (cleavage site) fungsional polybasic (furin) di perbatasan S1-S2 melalui penyisipan 12 nukleotida, [8] yang menyebabkan penambahan yang diperkirakan tiga O-linked glycans pada sekitar situs tersebut.

1. Mutasi pada domain pengikatan-reseptor dari SARS-CoV-2
Domain pengikatan-reseptor atau receptor-binding domain (RBD) dalam Protein Spike adalah bagian yang paling variabel dari genom coronavirus. [1,2]  Enam asam amino RBD telah terbukti sangat penting untuk mengikat reseptor ACE2 dan untuk menentukan host range (kisaran inang) virus seperti SARS-CoV. [7]  Dengan koordinat berdasarkan SARS-CoV, residu-residunya adalah Y442, L472, N479, D480, T487 dan Y4911, yang sesuai dengan L455, F486, Q493, S494, N501 dan Y505 di SARS-CoV-2 [7].  Lima dari enam residu tersebut berbeda antara SARS-CoV-2 dan SARS-CoV (Gbr. 1a).  Atas dasar studi struktur [7,8,9] dan percobaan biokimia, [1,9,10] SARS-CoV-2 tampaknya memiliki RBD yang berikatan dengan afinitas tinggi terhadap ACE2 dari manusia, musang, kucing dan spesies lain dengan homologi reseptor tinggi. [7]

Gambar 1: Gambaran Protein Spike pada manusia SARS-CoV-2 dan coronavirus terkait




Sumber: Kristian G. Andersen et al. (2020) [31]


a, Mutasi pada residu kontak dari Protein Spike SARS-CoV-2.  Protein Spike SARS-CoV-2 (bilah merah di atas) disejajarkan dengan coronavirus seperti SARS-CoV dan SARS-CoV itu sendiri.  Residu utama dalam Protein Spike yang melakukan kontak dengan reseptor ACE2 ditandai dengan kotak biru di kedua SARS-CoV-2 dan virus terkait, termasuk SARS-CoV (strain Urbani). [31]
b, Akuisisi situs pembelahan polibasa (polybasic cleavage site) dan O-linked glycans.  Baik situs pembelahan polibasa (polybasic cleavage site) dan tiga O-linked glycans yang diprediksi berdekatan adalah unik untuk SARS-CoV-2 dan sebelumnya tidak terlihat pada betacoronaviruses lineage BSequence yang ditampilkan berasal dari NCBI GenBank, kode aksesi MN908947, MN996532, AY278741, KY417146 dan MK211376Sequence pangolin (Trenggiling) coronavirus adalah konsensus yang dihasilkan dari SRR10168377 dan SRR10168378 (NCBI BioProject PRJNA573298). [29,30]

Sementara analisis di atas menunjukkan bahwa SARS-CoV-2 dapat mengikat ACE2 manusia dengan afinitas tinggi, analisis komputasi memprediksi bahwa interaksi tidak ideal. [7] dan bahwa urutan RBD berbeda dari yang ditunjukkan dalam SARS-CoV menjadi optimal untuk pengikatan reseptor. [7,11]  Dengan demikian, pengikatan afinitas tinggi dari Protein Spike SARS-CoV-2 pada ACE2 manusia kemungkinan besar merupakan hasil seleksi alam pada ACE2 yang menyerupai manusia atau manusia yang memungkinkan timbulnya solusi pengikatan optimal lainnya. Hal ini merupakan bukti kuat bahwa SARS-CoV-2 bukan produk dari manipulasi yang disengaja. [31]

2. Situs Pembelahan Polybasa Furin dan O-linked glycan

Fitur penting kedua SARS-CoV-2 adalah situs pembelahan polibasa (polybasic cleavage site) (RRAR) pada bagian transisi S1 dan S2, dua subunit dari Spike [8] (Gbr. 1b).  Hal ini memungkinkan pembelahan yang efektif oleh furin dan protease lain dan memiliki peran dalam menentukan infektivitas virus dan kisaran inang [12].  Selain itu, pada SARS-CoV-2 juga terdapat satu proline terdepan disisipkan pada situs ini; dengan demikian, urutan yang disisipkan adalah PRRA (Gbr. 1b).  Pergantian yang dibuat dengan proline ini diperkirakan menghasilkan penambahan O-linked glycans ke S673, T678 dan S686, yang mengapit situs pembelahan dan unik bagi SARS-CoV-2 (Gbr.1b).  Situs pembelahan polibasa (polybasic cleavage site) belum teramati dalam betacoronavirus yang terkait 'lineage B', meskipun betacoronavirus manusia lainnya, termasuk HKU1 (lineage A), memiliki situs-situs tersebut dan memprediksi O-linked glycans. [13]  Mengingat tingkat variasi genetik dalam Spike, ada kemungkinan bahwa virus mirip SARS-CoV-2 dengan situs pembelahan polibasa (polybasic cleavage site) sebagian atau penuh akan ditemukan pada spesies lain. [31]

Konsekuensi fungsi situs pembelahan polibasa (polybasic cleavage site) pada SARS-CoV-2 tidak diketahui, dan penting untuk menentukan dampaknya pada transmisi dan patogenesis pada model hewan. [31]  Eksperimen dengan SARS-CoV telah menunjukkan bahwa penyisipan situs pembelahan furin (furin cleavage site) di persimpangan S1-S2 meningkatkan fusi sel-sel tanpa mempengaruhi entri virus.  Selain itu, pembelahan efisien Spike MERS-CoV memungkinkan coronavirus mirip MERS dari kelelawar untuk menginfeksi sel manusia [15].  Pada virus avian influenza, replikasi dan penularan cepat pada populasi ayam yang sangat padat diperoleh situs pembelahan polibasa (polybasic cleavage site) dalam Protein Hemagglutinin (HA), [16] yang memiliki fungsi yang mirip dengan Protein Spike coronavirus.  Akuisisi situs pembelahan polibasa (polybasic cleavage site) pada HA, dengan penyisipan atau rekombinasi, mengubah patogenesitas rendah virus avian influenza atau low-pathogenicity avian influenza (LPAI) menjadi bentuk yang sangat pathogen atau High-pathogenicity avian influenza (HPAI). [16]  Akuisisi situs pembelahan polibasa (polybasic cleavage site oleh HA juga telah diamati setelah melaui pasase virus berulang pada kultur sel atau pada hewan. [17]

Fungsi O-linked glycan yang diprediksi tidak jelas, tetapi virus dapat membuat 'domain mirip musin' (mucin-like domains) yang melindungi epitop atau residu utama pada Protein Spike SARS-CoV-2. [18]  Beberapa virus menggunakan 'domain mirip musin' (mucin-like domains) sebagai perisai glycans yang berperan dalam imunoevasi. [18]  Meskipun prediksi O-linked glycosylation kuat, studi eksperimental diperlukan untuk menentukan apakah situs ini digunakan dalam SARS-CoV-2. [31]

TEORI ASAL-MULA SARS-CoV-2

Mustahil SARS-CoV-2 muncul melalui manipulasi laboratorium terkait coronavirus mirip SARS-CoV (SARS-CoV-like coronavirus). [31] Seperti disebutkan di atas, RBD SARS-CoV-2 dioptimalkan untuk mengikat ACE2 manusia dengan solusi efisien yang berbeda daripada yang diprediksi sebelumnya. [7,11]  Lebih lanjut, jika manipulasi genetik telah dilakukan, salah satu dari beberapa sistem genetika-balik (reverse-genetic system) yang tersedia untuk betacoronavirus mungkin akan digunakan. [19].  Namun, data genetik menunjukkan bahwa SARS-CoV-2 tidak berasal dari “tulang punggung virus” yang digunakan sebelumnya. [20]  Sebagai gantinya, Kristian G. Andersen et al. (2020) mengusulkan dua skenario masuk akal yang dapat menjelaskan asal-mula SARS-CoV-2: (i) seleksi alam pada inang hewan sebelum pemindahan zoonosis; dan (ii) seleksi alam pada manusia setelah pemindahan zoonosis. [31] Penelitinya juga membahas apakah seleksi selama pasase virus dapat memunculkan SARS-CoV-2.

1. Seleksi alam pada inang hewan sebelum transfer zoonosis
Karena banyak kasus-kasus awal COVID-19 terkait dengan pasar Huanan di Wuhan, [1,2] terdapat kemungkinan bahwa sumber hewan berada di tempat tersebut.  Mengingat kesamaan dari SARS-CoV-2 dengan coronavirus kelelawar, [2] mirip SARS-CoV, terdapat kemungkinan bahwa kelelawar berfungsi sebagai inang reservoir bagi progenitor virus tersebut.  Meskipun virus RaTG13, sampel dari kelelawar Rhinolophus affinis, secara keseluruhan ~ 96% identik dengan SARS-CoV-2, Spike-nya menyimpang pada RBD, hal ini menunjukkan bahwa virus tersebut tidak bisa mengikat secara efisien pada ACE2 manusia. [7] (Gbr. 1a)

Trenggiling Jawa (Manis javanica) yang diimpor secara ilegal ke provinsi Guangdong mengandung coronavirus mirip dengan SARS-CoV-2. [21]  Meskipun virus kelelawar RaTG13 masih terdekat dengan SARS-CoV-2 di seluruh genom, [1] beberapa coronavirus pangolin (trenggiling) menunjukkan kemiripan yang kuat dengan SARS-CoV-2 pada RBD, termasuk keenam residu utama RBD [21] (Gbr.1).  Hal ini jelas menunjukkan bahwa Protein Spike SARS-CoV-2 optimal mengikat ACE2 mirip-manusia adalah hasil dari seleksi alam.
Sejauh ini, baik betacoronavirus kelelawar atau betacoronavirus trenggiling tidak memiliki situs pembelahan polibasa (polybasic cleavage site).  Meskipun tidak ada coronavirus hewan yang telah diidentifikasi mirip dengan yang telah bertindak sebagai progenitor langsung SARS-CoV-2, namun identifikasi keanekaragaman coronavirus pada kelelawar dan spesies lainnya perlu diusahakan secara masif.  Mutasi, penyisipan, dan penghapusan dapat terjadi di dekat pertemuan S1-S2 dari coronavirus, [22] yang menunjukkan bahwa situs pembelahan polibasa (polybasic cleavage site) dapat timbul karena proses evolusi alami.  Agar virus prekursor dapat memperoleh situs pembelahan polibasa (polybasic cleavage site) dan mutasi pada Protein Spike yang cocok untuk mengikat ACE2 manusia; pada inang hewan mungkin diperlukan kepadatan populasi yang tinggi (untuk memungkinkan seleksi alam berlangsung secara efisien) dan pengkodean gen ACE2 mirip-manusia secara nyata.

  2. Seleksi alam pada manusia setelah transfer zoonosis


Ada kemungkinan bahwa progenitor SARS-CoV-2 melompat ke manusia, memperoleh fitur genom yang dijelaskan di atas melalui adaptasi selama transmisi manusia ke manusia yang tidak terdeteksi.  Setelah diperoleh, adaptasi ini akan memungkinkan pandemi tercetus dan menghasilkan kluster kasus yang cukup besar yang memicu sistem surveilans untuk mendeteksi kasus-kasus tersbut. [1,2]


Semua sequence genom SARS-CoV-2 sejauh ini memiliki fitur genom yang dijelaskan di atas dan karenanya diturunkan dari progenitor bersama yang dimilikinya.  Keberadaan RBD dalam trenggiling yang sangat mirip dengan SARS-CoV-2 berarti dapat disimpulkan bahwa kemungkinan juga terjadi pada virus yang melompat ke manusia.  Hal ini meninggalkan penyisipan situs pembelahan polibasa (polybasic cleavage site) terjadi selama penularan dari manusia ke manusia.

Perkiraan waktu kemunculan progenitor terbaru SARS-CoV-2 yang dibuat dengan data sequence saat ini mengarahkan kemunculan virus tersebut pada akhir November 2019 hingga awal Desember, 2019 [23] cocok dengan kasus terdahulu yang paling awal dikonfirmasi. [24]  Oleh karena itu, skenario ini mengasumsikan periode penularan tidak dikenal pada manusia antara peristiwa zoonosis awal dan akuisisi situs pembelahan polibasa (polybasic cleavage site).  Peluang yang cukup bisa muncul jika ada banyak kejadian zoonosis sebelumnya yang menghasilkan rantai pendek penularan dari manusia ke manusia selama periode yang panjang.  Hal ini merupakan dasar situasi pada MERS-CoV, di mana semua kasus manusia adalah hasil dari lompatan berulang virus dari unta dromedaris, menghasilkan infeksi tunggal atau rantai transmisi pendek sehingga berakhir, tanpa adaptasi untuk transmisi berkelanjutan. [25]

Studi sampel manusia yang dibelokkan dapat memberikan informasi tentang apakah penyebaran samar telah terjadi.  Studi serologis retrospektif juga bisa informatif, dan beberapa studi seperti itu telah dilakukan menunjukkan paparan tingkat rendah untuk coronavirus seperti SARS-CoV di daerah tertentu di Cina. [26]  Namun, secara kritis, studi-studi ini tidak dapat membedakan apakah pajanan disebabkan oleh infeksi sebelumnya dengan SARS-CoV, SARS-CoV-2 atau coronavirus yang menyerupai SARS-CoV lainnya.  Studi serologis lebih lanjut harus dilakukan untuk menentukan sejauh mana paparan manusia sebelumnya terhadap SARS-CoV-2.

3. Seleksi selama pasase virus

Penelitian dasar yang melibatkan pasase coronavirus kelelawar mirip SARS-CoV pada kultur sel dan / atau model hewan telah berlangsung selama bertahun-tahun di laboratorium Biosafety Level 2 (BSL2) di seluruh dunia [27], dan terdapat kejadian yang didokumentasikan secara ilmiah terdapat infeksi SARS-CoV yang didapatkan di laboratorium. [28]  Karena itu kita harus memeriksa kemungkinan lepasnya SARS-CoV-2 dari laboratorium SARS-CoV-2 yang tidak disengaja.

Secara teori, ada kemungkinan bahwa SARS-CoV-2 memperoleh mutasi RBD (Gbr. 1a) selama adaptasi terhadap bagian dalam kultur sel, seperti yang telah diamati dalam studi SARS-CoV. [11]  Namun, penemuan coronavirus mirip-SARS-CoV dari trenggiling dengan RBD yang hampir identik, memberikan penjelasan yang jauh lebih kuat dan lebih rumit tentang bagaimana SARS-CoV-2 mendapatkannya melalui rekombinasi atau mutasi [19].

Akuisisi dari kedua situs pembelahan polibasa (polybasic cleavage site) dan diprediksi O-linked glycans juga menyangkal skenario berbasis kultur.  Situs pembelahan polibasa baru hanya bisa diperoleh apabila telah melalui pasase virus yang berlangsung lama contohnya virus avian influenza patogenesitas rendah in vitro atau in vivo [17].  Lebih lanjut, generasi hipotetis SARS-CoV-2 melalui pasase virus pada kultur sel atau pasase pada hewan, diperlukan isolasi virus progenitor terlebih dahulu dengan kesamaan genetik yang sangat tinggi; yang ini belum dijelaskan. Generasi selanjutnya situs pembelahan polibasa (polybasic cleavage site) kemudian membutuhkan pasase virus berulang pada kultur sel atau hewan dengan reseptor ACE2 yang mirip dengan manusia, tetapi kajian tahapan tersebut belum pernah dijelaskan sebelumnya.  Akhirnya, generasi O-linked glycans yang diprediksi juga tidak mungkin terjadi karena perlu pasase virus pada kultur sel, dan keterlibatan sistem kekebalan tubuh. [31]

KESIMPULAN
Di tengah-tengah darurat kesehatan masyarakat global COVID-19, wajar kalau kita bertanya-tanya dari mana asal-mula penyebab pandemi ini.  Pemahaman secara rinci virus hewan melompati batas spesies, (menginfeksi manusia) akan membantu pencegahan kejadian zoonosis di kemudian hari.  Sebagai contoh, jika SARS-CoV-2 pra-adaptasi dalam spesies hewan lain, maka ada risiko muncul kembali kejadian di kemudian hari.  Sebaliknya, jika proses adaptasi terjadi pada manusia, bahkan jika pemindahan zoonosis berulang terjadi, virus-virus tidak mungkin ”memicu wabah” tanpa serangkaian mutasi yang sama. [31]

Mengidentifikasi kerabat virus terdekat SARS-CoV-2 yang bersirkulasi pada hewan akan sangat membantu penelitian fungsi virus.  Ketersediaan data sequence RaTG13 kelelawar dapat membantu mengungkap mutasi RBD utama dan situs pembelahan polibasa (polybasic cleavage site).

Pembahasan fitur genom dapat menjelaskan sebagian dari infeksi dan penularan SARS-CoV-2 pada manusia; meskipun bukti menunjukkan bahwa SARS-CoV-2 bukan virus yang dimanipulasi secara sengaja. Pada saat ini tidak mungkin untuk membuktikan atau menyangkal teori-teori lain tentang asal-mula SARS-CoV-2 yang telah dijelaskan. [31]  Kristian G. Andersen et al. (2020) mengkaji fitur-fitur utama SARS-CoV-2, termasuk optimalisasi RBD dan situs pembelahan polibasa (polybasic cleavage site), dalam coronavirus yang terkait di alam.  Kristian G. Andersen et al. (2020) menyatakan tidak percaya bahwa semua jenis skenario berbasis laboratorium dapat diterima. [31]

Lebih banyak data ilmiah dapat memperkuat bukti untuk mendukung posisi satu hipotesis berada di atas hipotesis yang lain; mengumpulkan data Sequence virus terkait yang berasal dari hewan akan menjadi cara paling pasti untuk mengungkapkan asal-mula virus ini. [31] Sebagai contoh, studi ke depan dari situs pembelahan polibasa (polybasic cleavage site) sebagian atau penuh terbentuk pada virus mirip SARS-CoV-2 asal hewan akan mendukung lebih lanjut hipotesis seleksi alam.  Akan banyak membantu dengan lebih banyak data-data terkait fungsi dan genetik SARS-CoV-2, termasuk studi pada hewan.  Identifikasi inang perantara potensial dari SARS-CoV-2, serta sequence virus dari kasus yang paling awal, juga akan menjadi data yang sangat informatif.  Terlepas dari mekanisme yang pasti dari mana SARS-CoV-2 berasal melalui seleksi alam, surveilans berkelanjutan pneumonia pada manusia dan hewan-hewan lainnya sangat penting. [31]

Daftar Pustaka
1.       Zhou, P. et al. Nature https://doi.org/10.1038/s41586-020-2012-7 (2020).
2.       Wu, F. et al. Nature https://doi.org/10.1038/s41586-020-2008-3 (2020).
3.       Gorbalenya, A. E. et al. bioRxiv https://doi.org/10.1101/2020.02.07.937862 (2020).
4.       Jiang, S. et al. Lancet https://doi.org/10.1016/S0140-6736(20)30419-0 (2020).
5.    Dong, E., Du, H. & Gardner, L. Lancet Infect. Dis. https://doi.org/10.1016/S1473-3099(20)30120-1 (2020).
6.     Corman, V. M., Muth, D., Niemeyer, D. & Drosten, C. Adv. Virus Res. 100, 163–188 (2018).
7.   Wan, Y., Shang, J., Graham, R., Baric, R. S. & Li, F. J. Virol. https://doi.org/10.1128/JVI.00127-20 (2020).
8.      Walls, A. C. et al. bioRxiv https://doi.org/10.1101/2020.02.19.956581 (2020).
9.      Wrapp, D. et al. Science https://doi.org/10.1126/science.abb2507 (2020).
10.    Letko, M., Marzi, A. & Munster, V. Nat. Microbiol. https://doi.org/10.1038/s41564-020-0688-y (2020).
11.       Sheahan, T. et al. J. Virol. 82, 2274–2285 (2008).
12.       Nao, N. et al. MBio 8, e02298-16 (2017).
13.       Chan, C.-M. et al. Exp. Biol. Med. 233, 1527–1536 (2008).
14.       Follis, K. E., York, J. & Nunberg, J. H. Virology 350, 358–369 (2006).
15.       Menachery, V. D. et al. J. Virol. https://doi.org/10.1128/JVI.01774-19 (2019).
16.       Alexander, D. J. & Brown, I. H. Rev. Sci. Tech. 28, 19–38 (2009).
17.       Ito, T. et al. J. Virol. 75, 4439–4443 (2001).
18.       Bagdonaite, I. & Wandall, H. H. Glycobiology 28, 443–467 (2018).
19.       Cui, J., Li, F. & Shi, Z.-L. Nat. Rev. Microbiol. 17, 181–192 (2019.
20.       Almazán, F. et al. Virus Res. 189, 262–270 (2014).
21.       Zhang, T., Wu, Q. & Zhang, Z. bioRxiv https://doi.org/10.1101/2020.02. 19.950253 (2020).
22.       Yamada, Y. & Liu, D. X. J. Virol. 83, 8744–8758 (2009).
23.       Rambaut, A. Virological.org http://virological.org/t/356 (2020).
24.       Huang, C. et al. Lancet https://doi.org/10.1016/S0140-6736(20)30183-5 (2020).
25.       Dudas, G., Carvalho, L. M., Rambaut, A. & Bedford, T. eLife 7, e31257 (2018).
26.       Wang, N. et al. Virol. Sin. 33, 104–107 (2018).
27.       Ge, X.-Y. et al. Nature 503, 535–538 (2013).
28.       Lim, P. L. et al. N. Engl. J. Med. 350, 1740–1745 (2004).
29.       Wong, M. C., et al. bioRxiv https://doi.org/10.1101/2020.02.07.939207 (2020).
30.       Liu, P., Chen, W. & Chen, J.-P. Viruses 11, 979 (2019).
31.      Kristian G. A., et al. Nature Medicine volume 26, pages 450–452 (2020).

No comments: