Sejak
laporan pertama COVID-19 di Wuhan, Provinsi Hubei, China, [1, 2] telah
banyak didiskusikan tentang asal-usul virus penyebabnya yaitu, SARS-CoV-2, [3] yang juga disebut sebagai HCoV-19. [4] Sekarang
kasus infeksi SARS-CoV-2 tersebar luas, dan pada 11 Maret 2020, terdapat 121.564
kasus telah dikonfirmasi di lebih dari 110 negara, dengan 4.373 kematian. [5]
SARS-CoV-2 merupakan coronavirus ketujuh yang
diketahui menginfeksi manusia; SARS-CoV, MERS-CoV, dan SARS-CoV-2 dapat menyebabkan
penyakit berat, sedangkan HKU1, NL63, OC43 dan 229E menyebabkan penyakit dengan
gejala ringan [6]. Kristian G. Andersen et al. (2020) mengkaji tentang asal-usul
SARS-CoV-2 dari sisi analisis komparatif data genom, [31] penelitinya
memberikan perspektif tentang fitur-fitur penting dari genom SARS-CoV-2 dan
mendiskusikan skenario munculnya virus tersebut. Analisis Kristian G. Andersen et al. (2020) menunjukkan bahwa
SARS-CoV-2 bukan merupakan virus yang dikonstruksi di laboratorium atau virus hasil
manipulasi secara sengaja. [31]
FITUR-FITUR PENTING GENOM SARS-CoV-19
Perbandingan
antara virus alfacorona dan betacorona mengidentifikasi dua fitur genom yang
menonjol dari SARS-CoV-2: (i) berdasarkan studi struktur [7,8,9] dan
percobaan biokimia [1,9,10],
SARS-CoV-2 tampaknya menjadi optimal mengikat reseptor manusia ACE2; dan (ii) Protein Spike SARS-CoV-2 memiliki situs
pembelahan (cleavage site) fungsional polybasic (furin) di perbatasan
S1-S2 melalui penyisipan 12 nukleotida, [8]
yang menyebabkan penambahan yang diperkirakan tiga O-linked glycans pada sekitar situs tersebut.
1.
Mutasi pada domain pengikatan-reseptor dari SARS-CoV-2
Domain
pengikatan-reseptor atau receptor-binding domain (RBD) dalam Protein
Spike adalah bagian yang paling
variabel dari genom coronavirus. [1,2] Enam asam amino RBD telah terbukti sangat
penting untuk mengikat reseptor ACE2 dan untuk menentukan host range (kisaran inang) virus seperti SARS-CoV. [7] Dengan koordinat berdasarkan SARS-CoV, residu-residunya
adalah Y442, L472, N479, D480, T487 dan Y4911, yang sesuai dengan L455, F486,
Q493, S494, N501 dan Y505 di SARS-CoV-2 [7]. Lima dari enam residu tersebut berbeda antara
SARS-CoV-2 dan SARS-CoV (Gbr. 1a). Atas dasar studi struktur [7,8,9] dan
percobaan biokimia, [1,9,10] SARS-CoV-2
tampaknya memiliki RBD yang berikatan dengan afinitas tinggi terhadap ACE2 dari
manusia, musang, kucing dan spesies lain dengan homologi reseptor tinggi. [7]
Sumber:
Kristian G. Andersen et al.
(2020) [31]
a, Mutasi pada residu kontak dari Protein Spike SARS-CoV-2. Protein Spike SARS-CoV-2 (bilah merah di atas) disejajarkan dengan coronavirus seperti SARS-CoV dan SARS-CoV itu sendiri. Residu utama dalam Protein Spike yang melakukan kontak dengan reseptor ACE2 ditandai dengan kotak biru di kedua SARS-CoV-2 dan virus terkait, termasuk SARS-CoV (strain Urbani). [31]
b, Akuisisi situs pembelahan
polibasa (polybasic cleavage site) dan
O-linked glycans. Baik situs pembelahan polibasa (polybasic cleavage site) dan tiga O-linked glycans yang diprediksi
berdekatan adalah unik untuk SARS-CoV-2 dan sebelumnya tidak terlihat pada
betacoronaviruses lineage B. Sequence
yang ditampilkan berasal dari NCBI GenBank, kode aksesi MN908947, MN996532, AY278741, KY417146
dan MK211376. Sequence
pangolin (Trenggiling) coronavirus adalah konsensus yang dihasilkan dari SRR10168377
dan SRR10168378
(NCBI BioProject PRJNA573298). [29,30]
Sementara analisis di atas menunjukkan bahwa
SARS-CoV-2 dapat mengikat ACE2 manusia dengan afinitas tinggi, analisis
komputasi memprediksi bahwa interaksi tidak ideal. [7] dan
bahwa urutan RBD berbeda dari yang ditunjukkan dalam SARS-CoV menjadi optimal
untuk pengikatan reseptor. [7,11] Dengan demikian, pengikatan afinitas tinggi
dari Protein Spike SARS-CoV-2 pada
ACE2 manusia kemungkinan besar merupakan hasil seleksi alam pada ACE2 yang
menyerupai manusia atau manusia yang memungkinkan timbulnya solusi pengikatan
optimal lainnya. Hal ini merupakan bukti kuat bahwa SARS-CoV-2 bukan produk
dari manipulasi yang disengaja. [31]
2. Situs Pembelahan Polybasa Furin dan O-linked
glycan
Fitur penting kedua SARS-CoV-2 adalah situs
pembelahan polibasa (polybasic cleavage
site) (RRAR) pada bagian transisi S1 dan S2, dua subunit dari Spike [8]
(Gbr. 1b). Hal ini memungkinkan pembelahan yang efektif
oleh furin dan protease lain dan memiliki peran dalam menentukan infektivitas
virus dan kisaran inang [12]. Selain itu, pada SARS-CoV-2 juga terdapat
satu proline terdepan disisipkan pada situs ini; dengan demikian, urutan yang
disisipkan adalah PRRA (Gbr. 1b). Pergantian yang dibuat dengan proline ini diperkirakan
menghasilkan penambahan O-linked glycans
ke S673, T678 dan S686, yang mengapit situs pembelahan dan unik bagi SARS-CoV-2
(Gbr.1b). Situs pembelahan polibasa (polybasic cleavage site) belum teramati
dalam betacoronavirus yang terkait 'lineage
B', meskipun betacoronavirus manusia lainnya, termasuk HKU1 (lineage A), memiliki situs-situs
tersebut dan memprediksi O-linked
glycans. [13] Mengingat tingkat variasi genetik dalam Spike, ada kemungkinan bahwa virus mirip
SARS-CoV-2 dengan situs pembelahan polibasa (polybasic cleavage site) sebagian atau penuh akan ditemukan pada
spesies lain. [31]
Konsekuensi fungsi situs pembelahan polibasa (polybasic cleavage site) pada SARS-CoV-2
tidak diketahui, dan penting untuk menentukan dampaknya pada transmisi dan
patogenesis pada model hewan. [31] Eksperimen dengan SARS-CoV telah menunjukkan
bahwa penyisipan situs pembelahan furin (furin
cleavage site) di persimpangan S1-S2 meningkatkan fusi sel-sel tanpa
mempengaruhi entri virus. Selain itu,
pembelahan efisien Spike MERS-CoV
memungkinkan coronavirus mirip MERS dari kelelawar untuk menginfeksi sel
manusia [15]. Pada virus avian influenza, replikasi dan
penularan cepat pada populasi ayam yang sangat padat diperoleh situs pembelahan
polibasa (polybasic cleavage site)
dalam Protein Hemagglutinin (HA), [16]
yang memiliki fungsi yang mirip dengan Protein
Spike coronavirus. Akuisisi situs
pembelahan polibasa (polybasic cleavage
site) pada HA, dengan penyisipan atau rekombinasi, mengubah patogenesitas rendah
virus avian influenza atau low-pathogenicity
avian influenza (LPAI) menjadi bentuk yang sangat pathogen atau High-pathogenicity avian influenza (HPAI).
[16] Akuisisi situs pembelahan polibasa (polybasic cleavage site oleh HA juga
telah diamati setelah melaui pasase virus berulang pada kultur sel atau pada
hewan. [17]
Fungsi O-linked
glycan yang diprediksi tidak jelas, tetapi virus dapat membuat 'domain mirip
musin' (mucin-like domains) yang
melindungi epitop atau residu utama pada Protein
Spike SARS-CoV-2. [18] Beberapa virus menggunakan 'domain mirip
musin' (mucin-like domains) sebagai
perisai glycans yang berperan dalam
imunoevasi. [18] Meskipun prediksi O-linked glycosylation kuat, studi eksperimental diperlukan
untuk menentukan apakah situs ini digunakan dalam SARS-CoV-2. [31]
TEORI ASAL-MULA SARS-CoV-2
Mustahil SARS-CoV-2 muncul melalui manipulasi
laboratorium terkait coronavirus mirip SARS-CoV (SARS-CoV-like coronavirus). [31] Seperti
disebutkan di atas, RBD SARS-CoV-2 dioptimalkan untuk mengikat ACE2 manusia dengan
solusi efisien yang berbeda daripada yang diprediksi sebelumnya. [7,11] Lebih lanjut, jika manipulasi genetik telah
dilakukan, salah satu dari beberapa sistem genetika-balik (reverse-genetic system) yang tersedia untuk
betacoronavirus mungkin akan digunakan. [19]. Namun, data genetik menunjukkan bahwa
SARS-CoV-2 tidak berasal dari “tulang punggung virus” yang digunakan sebelumnya.
[20] Sebagai gantinya, Kristian G. Andersen et al. (2020) mengusulkan dua skenario masuk
akal yang dapat menjelaskan asal-mula SARS-CoV-2: (i) seleksi alam pada inang hewan
sebelum pemindahan zoonosis; dan (ii) seleksi alam pada manusia setelah pemindahan
zoonosis. [31]
Penelitinya juga membahas apakah seleksi selama pasase virus dapat memunculkan
SARS-CoV-2.
1.
Seleksi alam pada inang hewan sebelum transfer zoonosis
Karena
banyak kasus-kasus awal COVID-19 terkait dengan pasar Huanan di Wuhan, [1,2]
terdapat kemungkinan bahwa sumber hewan berada di tempat tersebut. Mengingat kesamaan dari SARS-CoV-2 dengan
coronavirus kelelawar, [2] mirip
SARS-CoV, terdapat kemungkinan bahwa kelelawar berfungsi sebagai inang reservoir
bagi progenitor virus tersebut. Meskipun virus RaTG13, sampel dari kelelawar Rhinolophus affinis, secara keseluruhan
~ 96% identik dengan SARS-CoV-2, Spike-nya
menyimpang pada RBD, hal ini menunjukkan bahwa virus tersebut tidak bisa mengikat
secara efisien pada ACE2 manusia. [7] (Gbr. 1a)
Trenggiling
Jawa (Manis javanica) yang diimpor secara ilegal ke provinsi Guangdong
mengandung coronavirus mirip dengan SARS-CoV-2. [21] Meskipun
virus kelelawar RaTG13 masih terdekat dengan SARS-CoV-2 di seluruh genom, [1] beberapa coronavirus pangolin (trenggiling) menunjukkan
kemiripan yang kuat dengan SARS-CoV-2 pada RBD, termasuk keenam residu utama
RBD [21] (Gbr.1). Hal ini jelas
menunjukkan bahwa Protein Spike
SARS-CoV-2 optimal mengikat ACE2 mirip-manusia adalah hasil dari seleksi alam.
Sejauh
ini, baik betacoronavirus kelelawar atau betacoronavirus trenggiling tidak
memiliki situs pembelahan polibasa (polybasic
cleavage site). Meskipun tidak ada coronavirus hewan yang telah diidentifikasi
mirip dengan yang telah bertindak sebagai progenitor
langsung SARS-CoV-2, namun identifikasi keanekaragaman coronavirus pada
kelelawar dan spesies lainnya perlu diusahakan secara masif. Mutasi, penyisipan, dan penghapusan dapat
terjadi di dekat pertemuan S1-S2 dari coronavirus, [22]
yang menunjukkan bahwa situs pembelahan polibasa (polybasic cleavage site) dapat timbul karena proses evolusi
alami. Agar virus prekursor dapat
memperoleh situs pembelahan polibasa (polybasic
cleavage site) dan mutasi pada Protein
Spike yang cocok untuk mengikat ACE2 manusia; pada inang hewan mungkin diperlukan
kepadatan populasi yang tinggi (untuk memungkinkan seleksi alam berlangsung
secara efisien) dan pengkodean gen ACE2 mirip-manusia secara nyata.
2.
Seleksi alam pada manusia setelah transfer zoonosis
Ada
kemungkinan bahwa progenitor
SARS-CoV-2 melompat ke manusia, memperoleh fitur genom yang dijelaskan di atas
melalui adaptasi selama transmisi manusia ke manusia yang tidak terdeteksi. Setelah diperoleh, adaptasi ini akan memungkinkan
pandemi tercetus dan menghasilkan kluster kasus yang cukup besar yang memicu
sistem surveilans untuk mendeteksi kasus-kasus tersbut. [1,2]
Semua sequence
genom SARS-CoV-2 sejauh ini memiliki fitur genom yang dijelaskan di atas dan
karenanya diturunkan dari progenitor
bersama yang dimilikinya. Keberadaan RBD
dalam trenggiling yang sangat mirip dengan SARS-CoV-2 berarti dapat disimpulkan
bahwa kemungkinan juga terjadi pada virus yang melompat ke manusia. Hal ini meninggalkan penyisipan situs
pembelahan polibasa (polybasic cleavage
site) terjadi selama penularan dari manusia ke manusia.
Perkiraan waktu kemunculan progenitor terbaru SARS-CoV-2 yang dibuat dengan data sequence saat ini mengarahkan kemunculan
virus tersebut pada akhir November 2019 hingga awal Desember, 2019 [23] cocok
dengan kasus terdahulu yang paling awal dikonfirmasi. [24] Oleh karena itu, skenario ini mengasumsikan
periode penularan tidak dikenal pada manusia antara peristiwa zoonosis awal dan
akuisisi situs pembelahan polibasa (polybasic
cleavage site). Peluang yang cukup
bisa muncul jika ada banyak kejadian zoonosis sebelumnya yang menghasilkan
rantai pendek penularan dari manusia ke manusia selama periode yang
panjang. Hal ini merupakan dasar situasi
pada MERS-CoV, di mana semua kasus manusia adalah hasil dari lompatan berulang
virus dari unta dromedaris, menghasilkan infeksi tunggal atau rantai transmisi pendek sehingga
berakhir, tanpa adaptasi untuk transmisi berkelanjutan. [25]
Studi sampel manusia yang dibelokkan dapat
memberikan informasi tentang apakah penyebaran samar telah terjadi. Studi serologis retrospektif juga bisa
informatif, dan beberapa studi seperti itu telah dilakukan menunjukkan paparan
tingkat rendah untuk coronavirus seperti SARS-CoV di daerah tertentu di Cina. [26] Namun, secara kritis, studi-studi ini tidak
dapat membedakan apakah pajanan disebabkan oleh infeksi sebelumnya dengan
SARS-CoV, SARS-CoV-2 atau coronavirus yang menyerupai SARS-CoV lainnya. Studi serologis lebih lanjut harus dilakukan
untuk menentukan sejauh mana paparan manusia sebelumnya terhadap SARS-CoV-2.
3.
Seleksi selama pasase virus
Penelitian
dasar yang melibatkan pasase coronavirus kelelawar mirip SARS-CoV pada kultur
sel dan / atau model hewan telah berlangsung selama bertahun-tahun di
laboratorium Biosafety Level 2 (BSL2)
di seluruh dunia [27],
dan terdapat kejadian yang didokumentasikan secara ilmiah terdapat infeksi
SARS-CoV yang didapatkan di laboratorium. [28] Karena itu kita harus memeriksa kemungkinan lepasnya
SARS-CoV-2 dari laboratorium SARS-CoV-2 yang tidak disengaja.
Secara teori, ada kemungkinan bahwa SARS-CoV-2
memperoleh mutasi RBD (Gbr. 1a)
selama adaptasi terhadap bagian dalam kultur sel, seperti yang telah diamati
dalam studi SARS-CoV. [11] Namun, penemuan coronavirus mirip-SARS-CoV
dari trenggiling dengan RBD yang hampir identik, memberikan penjelasan yang
jauh lebih kuat dan lebih rumit tentang bagaimana SARS-CoV-2 mendapatkannya
melalui rekombinasi atau mutasi [19].
Akuisisi dari kedua situs pembelahan polibasa (polybasic cleavage site) dan diprediksi O-linked glycans juga menyangkal
skenario berbasis kultur. Situs
pembelahan polibasa baru hanya bisa diperoleh apabila telah melalui pasase virus
yang berlangsung lama contohnya virus avian influenza patogenesitas rendah in vitro atau in vivo [17]. Lebih lanjut, generasi hipotetis SARS-CoV-2 melalui
pasase virus pada kultur sel atau pasase pada hewan, diperlukan isolasi virus progenitor terlebih dahulu dengan
kesamaan genetik yang sangat tinggi; yang ini belum dijelaskan. Generasi
selanjutnya situs pembelahan polibasa (polybasic
cleavage site) kemudian membutuhkan pasase virus berulang pada kultur sel
atau hewan dengan reseptor ACE2 yang mirip dengan manusia, tetapi kajian tahapan
tersebut belum pernah dijelaskan sebelumnya. Akhirnya, generasi O-linked glycans yang diprediksi juga tidak mungkin terjadi karena perlu
pasase virus pada kultur sel, dan keterlibatan sistem kekebalan tubuh. [31]
KESIMPULAN
Di tengah-tengah darurat kesehatan masyarakat
global COVID-19, wajar kalau kita bertanya-tanya dari mana asal-mula penyebab
pandemi ini. Pemahaman secara rinci
virus hewan melompati batas spesies, (menginfeksi manusia) akan membantu
pencegahan kejadian zoonosis di kemudian hari.
Sebagai contoh, jika SARS-CoV-2 pra-adaptasi dalam spesies hewan lain,
maka ada risiko muncul kembali kejadian di kemudian hari. Sebaliknya, jika proses adaptasi terjadi pada
manusia, bahkan jika pemindahan zoonosis berulang terjadi, virus-virus tidak
mungkin ”memicu wabah” tanpa serangkaian mutasi yang sama. [31]
Mengidentifikasi kerabat virus terdekat
SARS-CoV-2 yang bersirkulasi pada hewan akan sangat membantu penelitian fungsi
virus. Ketersediaan data sequence RaTG13 kelelawar dapat membantu
mengungkap mutasi RBD utama dan situs pembelahan polibasa (polybasic cleavage site).
Pembahasan fitur genom dapat menjelaskan sebagian
dari infeksi dan penularan SARS-CoV-2 pada manusia; meskipun bukti menunjukkan
bahwa SARS-CoV-2 bukan virus yang dimanipulasi secara sengaja. Pada saat ini
tidak mungkin untuk membuktikan atau menyangkal teori-teori lain tentang
asal-mula SARS-CoV-2 yang telah dijelaskan. [31] Kristian G. Andersen et al. (2020) mengkaji fitur-fitur utama
SARS-CoV-2, termasuk optimalisasi RBD dan situs pembelahan polibasa (polybasic cleavage site), dalam coronavirus
yang terkait di alam. Kristian G. Andersen et al. (2020) menyatakan tidak percaya
bahwa semua jenis skenario berbasis laboratorium dapat diterima. [31]
Lebih banyak data ilmiah dapat memperkuat bukti
untuk mendukung posisi satu hipotesis berada di atas hipotesis yang lain; mengumpulkan
data Sequence virus terkait yang
berasal dari hewan akan menjadi cara paling pasti untuk mengungkapkan asal-mula
virus ini. [31] Sebagai contoh, studi ke depan dari situs pembelahan
polibasa (polybasic cleavage site) sebagian
atau penuh terbentuk pada virus mirip SARS-CoV-2 asal hewan akan mendukung
lebih lanjut hipotesis seleksi alam. Akan
banyak membantu dengan lebih banyak data-data terkait fungsi dan genetik SARS-CoV-2,
termasuk studi pada hewan. Identifikasi inang
perantara potensial dari SARS-CoV-2, serta sequence
virus dari kasus yang paling awal, juga akan menjadi data yang sangat
informatif. Terlepas dari mekanisme yang pasti dari mana SARS-CoV-2 berasal melalui
seleksi alam, surveilans berkelanjutan pneumonia pada manusia dan hewan-hewan
lainnya sangat penting. [31]
Daftar Pustaka
1. Zhou,
P. et al. Nature https://doi.org/10.1038/s41586-020-2012-7 (2020).
2. Wu,
F. et al. Nature https://doi.org/10.1038/s41586-020-2008-3 (2020).
3. Gorbalenya,
A. E. et al. bioRxiv https://doi.org/10.1101/2020.02.07.937862 (2020).
4. Jiang,
S. et al. Lancet https://doi.org/10.1016/S0140-6736(20)30419-0 (2020).
5. Dong,
E., Du, H. & Gardner, L. Lancet Infect. Dis. https://doi.org/10.1016/S1473-3099(20)30120-1 (2020).
6. Corman,
V. M., Muth, D., Niemeyer, D. & Drosten, C. Adv. Virus Res. 100,
163–188 (2018).
7. Wan,
Y., Shang, J., Graham, R., Baric, R. S. & Li, F. J. Virol. https://doi.org/10.1128/JVI.00127-20 (2020).
8. Walls,
A. C. et al. bioRxiv https://doi.org/10.1101/2020.02.19.956581 (2020).
9. Wrapp,
D. et al. Science https://doi.org/10.1126/science.abb2507 (2020).
10. Letko,
M., Marzi, A. & Munster, V. Nat. Microbiol. https://doi.org/10.1038/s41564-020-0688-y (2020).
11.
Sheahan,
T. et al. J. Virol. 82, 2274–2285 (2008).
12.
Nao,
N. et al. MBio 8, e02298-16 (2017).
13.
Chan,
C.-M. et al. Exp. Biol. Med. 233, 1527–1536 (2008).
14.
Follis,
K. E., York, J. & Nunberg, J. H. Virology 350, 358–369
(2006).
15.
Menachery,
V. D. et al. J. Virol. https://doi.org/10.1128/JVI.01774-19 (2019).
16.
Alexander,
D. J. & Brown, I. H. Rev. Sci. Tech. 28, 19–38 (2009).
17.
Ito,
T. et al. J. Virol. 75, 4439–4443 (2001).
18.
Bagdonaite,
I. & Wandall, H. H. Glycobiology 28, 443–467 (2018).
19.
Cui,
J., Li, F. & Shi, Z.-L. Nat. Rev. Microbiol. 17, 181–192
(2019.
20.
Almazán,
F. et al. Virus Res. 189, 262–270 (2014).
21. Zhang,
T., Wu, Q. & Zhang, Z. bioRxiv https://doi.org/10.1101/2020.02.
19.950253
(2020).
22.
Yamada,
Y. & Liu, D. X. J. Virol. 83, 8744–8758 (2009).
23.
Rambaut,
A. Virological.org http://virological.org/t/356 (2020).
24.
Huang,
C. et al. Lancet https://doi.org/10.1016/S0140-6736(20)30183-5 (2020).
25.
Dudas,
G., Carvalho, L. M., Rambaut, A. & Bedford, T. eLife 7,
e31257 (2018).
26.
Wang,
N. et al. Virol. Sin. 33, 104–107 (2018).
27.
Ge,
X.-Y. et al. Nature 503, 535–538 (2013).
28.
Lim,
P. L. et al. N. Engl. J. Med. 350, 1740–1745 (2004).
29.
Wong,
M. C., et al. bioRxiv https://doi.org/10.1101/2020.02.07.939207 (2020).
30.
Liu,
P., Chen, W. & Chen, J.-P. Viruses 11, 979 (2019).
31. Kristian G. A., et al. Nature
Medicine volume 26, pages 450–452 (2020).
No comments:
Post a Comment