Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Tuesday, 4 October 2016

Tiga Daerah Percontohan Bersiap untuk ‘One Health’

Sebagai bentuk komitmen untuk mendukung implementasi Program EPT2, Pemerintah Indonesia telah menunjuk Bengkalis (Provinsi Riau), Ketapang (Provinsi Kalimantan Barat) dan Boyolali (Provinsi Jawa Tengah) sebagai daerah percontohan untuk pencegahan dan pengendalian penyakit menular baru dan zoonosis  menggunakan pendekatan One Health.

Bengkalis, Ketapang dan Boyolali dipilih berdasarkan beberapa faktor, yaitu:
1.     Pemicu munculnya penyakit dan potensi spill-over penyakit dari hewan ke manusia;
2.     Potensi amplifikasi dan penyebaran penyakit;
3.     Dukungan dan antusiasme yang tinggi dari pemerintah daerah.

Pendekatan One Health mengedepankan keterlibatan para pemangku kepentingan di tingkat nasional dan daerah, di mana dukungan politik dan operasional dapat dicapai secara intensif dan berkelanjutan untuk mencegah dan menangani penyakit menular baru (emerging) dan yang muncul kembali (reemerging) secara terpadu.

Melalui pendekatan One Health yang menekankan pada interaksi manusia, hewan dan lingkungan, para pemangku kebijakan disinergikan untuk melakukan kolaborasi multi-sektoral. Dalam hal ini, investigasi wabah penyakit di lapangan dilakukan secara bersama-sama oleh Kementerian Pertanian, Kementerian Kesehatan dan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup.

Penunjukan tiga daerah percontohan tersebut merupakan hasil dari lokakarya yang dilaksanakan pada bulan April 2016, yang mempertemukan para pemangku kebijakan dari berbagai unsur, antara lain Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Komisi Nasional Zoonosis, Kementerian Pertanian, Kementerian Kesehatan, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Kementerian Dalam Negeri, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Pemerintah Provinsi Riau, Provinsi Kalimantan Barat dan Provinsi Jawa Tengah, FAO, USAID, dan WHO.

Sumber :
FAO ECTAD Indonesia News Letter, Edisi 01, Aug – Nov 2016.

Monday, 3 October 2016

Zoonotic Diseases Action Package - ZDAP

 

Paket Aksi Penyakit Zoonosis (Zoonotic Diseases Action Package - ZDAP)

 

I.  Bagaimana negara pemimpin ZDAP melibatkan negara peserta lainnya?

1.Mendorong partisipasi negara-negara dan organisasi lain dalam ZDAP serta mengupayakan agar mereka bergabung dan/atau memainkan peran kepemimpinan dalam ZDAP.

2.Semua negara peserta GHSA harus memperkuat penggunaan PVS secara selaras dengan IHR 2005 dalam kerangka JEE dan alat lainnya, sesuai dengan target yang tercantum dalam Road Map ZDAP, dengan mempertimbangkan pelajaran yang telah diperoleh serta praktik terbaik yang diterapkan di negara lain.

 

II. Apa tantangan dan peluang dalam pelaksanaan peta jalan Paket Aksi GHSA?

  • Tantangan dan peluang yang diidentifikasi dalam penggunaan PVS dan IHR 2005 dalam alat JEE, khususnya di bidang koordinasi, kolaborasi, dan keseimbangan representasi sektor, harus diperbaiki.

 

III. Kegiatan Terkini (2014 - 2016)

1.Membangun komitmen global terhadap pendekatan multisektoral untuk menangani penyakit zoonosis yang muncul dalam mendukung GSHA dalam kerangka kesehatan masyarakat.

2. Strategi ASEAN untuk Eliminasi Rabies dan Rencana Aksinya.

3. Pembaruan kegiatan dengan kelompok pengarah GHSA.

4. Konferensi OIE di Paris pada Juni 2015.

5. Konferensi Internasional ZDAP di Vietnam (Rencana Aksi ZDAP).

6.Lokakarya Asia-Pasifik tentang Kolaborasi Multisektoral untuk Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis di Sapporo, Jepang, tahun 2015.

7.  Eliminasi global rabies yang ditularkan anjing: The Time is Now serta pertemuan teknis awal dengan Pusat Kolaborasi WHO di Jenewa, 2015.

8.     Mengirim penilai untuk JEE.

9. Pertemuan kedua ZDAP di Ritz Carlton Mega Kuningan, Jakarta, 22 Agustus 2016.

 

IV. Apa mekanisme koordinasi dan upaya untuk memperkuat Paket Aksi?

1.Meningkatkan komunikasi (non-teknis) tentang pentingnya dan relevansi zoonosis serta pendekatan One Health kepada masyarakat dan pembuat kebijakan, termasuk dengan kementerian keuangan, dalam negeri, perencanaan, dan interior.

2.Semua negara peserta GHSA harus memperkuat penggunaan PVS dalam harmoni dengan JEE dan alat lainnya sesuai target yang tercantum dalam Road Map ZDAP, dengan mempertimbangkan pelajaran yang telah diperoleh serta praktik terbaik yang diterapkan di negara lain.

 

V. Apa praktik terbaik yang dapat dibagikan?

1. Program pencegahan dan pengendalian zoonosis yang terintegrasi.

2.Peningkatan pengetahuan dan keterampilan di kalangan pekerja kesehatan dan sektor pendidikan.

3. Pemberdayaan masyarakat terintegrasi melalui IEC.

4. Sistem surveilans terpadu, investigasi wabah, dan pelaporan dari kabupaten/kota, provinsi, hingga tingkat pusat (seperti flu burung, rabies, antraks).

5.  Surveilans sentinel untuk zoonosis.

6.  Jaringan Epidemiologi dan Laboratorium Zoonosis (Empat Arah Penghubung).

7.Pertemuan pakar tentang kesehatan manusia dan hewan yang terintegrasi untuk zoonosis.

 

Alat, Panduan, dan Praktik Terbaik untuk Kolaborasi 2016
 

a. Pusat Operasi Darurat (Emergency Operations Center - EOC) dan ZDAP di Vietnam.
b. Rencana Strategis Eliminasi Rabies pada Manusia di Kenya (2014-2020).
c. Proyek dan Mitra GHSA di Vietnam.
d. Tanya Jawab tentang Rabies.
e. Komik Elektronik tentang Zoonosis.
f. Buku Saku Flu Burung.

 

Koordinasi, Kerja Sama, dan Kemitraan Antar Sektor untuk Pengendalian Zoonosis di Indonesia (1972-2016)

 

1.MOU tahun 1972 (Dirjen P2P Kemenkes dan Dirjen Peternakan, Kementan): Memperkuat pengendalian zoonosis.

2.Keputusan Tiga Menteri tahun 1978 (Menteri Kesehatan, Pertanian, Dalam Negeri): Pedoman pengendalian rabies.

3. Komisi Nasional Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan Pandemi tahun 2006 (Keputusan Presiden No. 7 Tahun 2006): Rencana Strategis Nasional untuk Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan Pandemi Influenza.

4.Komisi Nasional Pengendalian Zoonosis tahun 2011 (Keputusan Presiden No. 30 Tahun 2011): Rencana Strategis Nasional untuk Pengendalian Zoonosis Terintegrasi, 2012.

 

Model Logika ZDAP

 

1. Input:

 

a. Kebijakan dan regulasi: Panduan Teknis GHSA dan dokumen IHR.

b. Tenaga kerja dan pelatihan.

c. Dana.

d. Material: Manual dan protokol.

e. Mitra nasional: Pemerintah terkait, sektor publik, dan swasta.

f. Mitra internasional: WHO, FAO, OIE, Bank Dunia, negara mitra GHSA.

 

2. Aktivitas/Proses:


a. Penilaian dan perencanaan.

b. Pengembangan dan implementasi kerangka kerja.

c. Pengembangan tenaga kerja.

d. Kebijakan pencegahan.

e. Tanggap darurat wabah.

f. Kemitraan dan kolaborasi.

g. Komunikasi dan pelaporan.

 

3. Pemantauan dan Evaluasi

 

4. Hasil:

 

a. Jangka pendek (1-3 tahun):

  • Sistem kesehatan, laboratorium, dan surveilans mampu mendeteksi penyakit zoonosis prioritas.

  • Kebijakan nasional untuk mendeteksi, mencegah, dan mengendalikan wabah zoonosis.

  • Respons wabah bersama terhadap ancaman zoonosis secara real-time.

  • Pelatihan staf kesehatan hewan dan masyarakat dalam implementasi pendekatan One Health.

b. Jangka menengah (3-4 tahun):

  • Mengurangi waktu deteksi ancaman zoonosis.

  • Pemberitahuan dini wabah zoonosis di sektor kesehatan hewan dan manusia.

  • Inovasi dalam pencegahan, deteksi, dan respons penyakit zoonosis.

c. Jangka panjang (5+ tahun):

  • Pencegahan epidemi zoonosis yang dapat dicegah pada hewan dan manusia.

  • Mengurangi dampak wabah alami serta pelepasan patogen berbahaya secara internasional atau tidak sengaja.

 

6. Apakah perlu bantuan eksternal untuk memperkuat implementasi Paket Aksi?

1. Meningkatkan kapasitas dan jumlah sumber daya manusia.

2.Dukungan bantuan teknis (WHO dan FAO) untuk pakar zoonosis: rabies, pes, leptospirosis, antraks, dll.

3. Penguatan kapasitas laboratorium untuk zoonosis.

4. Dukungan pengembangan penelitian tentang zoonosis.

 

7. Tonggak dan Kegiatan Utama untuk 2016

1. Kolaborasi pelatihan IHR dan PVS untuk layanan kesehatan manusia dan hewan.

2.Meningkatkan dan memperkuat surveilans serta diagnosis (deteksi dini) kesehatan manusia dan hewan dengan memanfaatkan sistem yang ada.

3.Advokasi kebijakan dan regulasi tentang perdagangan dan produksi unggas serta ternak untuk pemangku kepentingan multisektoral nasional.

4.Memperkuat real-time bio-surveillance untuk implementasi pada hewan dan manusia.

5. Sosialisasi zoonosis bersama untuk tenaga kesehatan manusia dan hewan.

 

8. Rencana Aksi Lima Tahun

1. Menekankan pendekatan One Health di semua sektor pemerintah yang relevan.

2. Melaksanakan program pelatihan gabungan IHR dan PVS untuk layanan kesehatan manusia dan hewan.

3.Meningkatkan kompatibilitas data surveilans diagnostik hewan dan manusia yang ada.

4.Mengembangkan kebijakan nasional multisektoral dan pedoman regulasi yang mendukung produksi serta pemasaran unggas dan ternak.

5.Mendukung implementasi arsitektur nasional untuk real-time bio-surveillance, mencakup populasi hewan dan manusia untuk pemantauan dan pelaporan penyakit.

6.Secara aktif mengusulkan kompetensi inti dan persyaratan sistem untuk implementasi sistem surveilans.

7.Meningkatkan, menghubungkan, dan memperluas kemampuan analitis dalam sistem pelaporan penyakit untuk memastikan informasi yang relevan diterima WHO, FAO, dan OIE.

8.Memperkenalkan kerangka operasional yang mendukung pemberitahuan multisektoral untuk wabah yang dicurigai berasal dari zoonosis pada tahap awal kemunculannya.

9.Memperkenalkan sistem yang mendorong penelitian komplementer untuk tujuan kesehatan masyarakat.

 

9. Penutup

Friday, 30 September 2016

Bukti Nyata Pengendalian Rabies Yang Efektif

 
Pulau Flores dan Pulau Lembata Bukti Nyata Pengendalian Rabies yang Efektif dan Tepat Guna
 
 
Pulau Flores dan Lembata, Nusa Tenggara Timur, telah membuktikan bahwa vaksinasi anjing tidak hanya memberikan solusi bagi pengendalian rabies yang efektif dan tepat guna, tetapi juga membantu memulihkan nilai-nilai sosial, budaya dan ekonomi anjing dalam masyarakat mereka. Ini adalah salah satu capaian penting dari kerjasama yang baru saja berakhir antara Kementerian Pertanian dan Food and Agriculture Organization (FAO), dengan dukungan dana dari World Animal Protection (WAP).

Proyek pengendalian rabies di Pulau Flores dan  Pulau Lembata dilaksanakan mulai September 2013, dan lebih dari 400.000 anjing telah divaksin sepanjang tahun 2014 dan 2015 di 1.300 desa. Sejak dimulainya proyek tersebut, jumlah kasus rabies juga mengalami penurunan yang signifikan pada pertengahan 2016. Selain itu, lebih dari 300 petugas kesehatan hewan (medik veteriner dan paramedik veteriner) telah dilatih untuk meningkatkan kompetensinya dalam pengendalian rabies. Lima laboratorium di Flores juga mendapat penguatan kapasitas, yang diharapkan dapat memberikan pelayanan yang efektif dan efisien untuk kegiatan pemberantasan rabies.

“Peningkatan kapasitas petugas dan laboratorium kesehatan hewan dalam pelaksanaan pengendalian dan pemberantasan rabies di Flores serta Lembata ini sangat penting dalam upaya mengendalikan penyakit di daerah tersebut,” ungkap Drh. I Ketut Diarmita, MP., Direktur Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian.“Dengan adanya petugas yang kompeten ini, terbukti vaksinasi rabies di Flores dan Lembata mampu mengendalikan kasus rabies,” lanjutnya.

Kasus rabies pertama di Flores dilaporkan di Larantuka di Kabupaten Flores Timur pada tahun 1997. Kejadian kasus rabies pertama pada manusia tercatat pada Maret 1998. Wabah rabies merupakan pukulan yang berat bagi penduduk setempat, karena anjing dianggap sebagai aset yang memiliki nilai sosial, budaya, dan ekonomi. Anjing memainkan sejumlah peran penting dalam masyarakat; mereka digunakan untuk perlindungan dari rumah dan properti lainnya, ladang dan tanaman. Mereka juga memainkan peran penting dalam budaya lokal dan acara seremonial. Sebagai hewan peliharaan di dalam sebuah keluarga, anjing dianggap sebagai bagian dari status sosial mereka. Dalam pelaksanaannya, upaya pengendalian rabies di Flores dan Lembata mengalami beberapa tantangan berupa kurangnya tenaga vaksinator, luasnya wilayah, dan belum fokusnya strategi yang diimplementasikan.

Dalam rangka mengoptimalkan upaya pengendalian dan pemberantasan, Direktorat Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, FAO Indonesia dan pemerintah daerah Nusa Tenggara Timur bekerja sama dalam mengendalikan dan memberantas rabies menggunakan pendekatan yang tepat guna, dengan memprioritaskan vaksinasi sebagai strategi utama untuk mengurangi kasus rabies pada hewan. Kerjasama ini didukung penuh oleh World Animal Protection.

Dengan pertimbangan bahwa mayoritas penduduk Flores beragama Katolik, keterlibatan paroki secara aktif dalam kampanye vaksinasi untuk pengendalian dan pemberantasan rabies ini sangat penting.

“Ini adalah salah satu contoh yang baik di mana para pemimpin agama daerah dapat berperan dalam meningkatkan kesadaran dan memobilisasi masyarakat untuk berpartisipasi dalam upaya pengendalian rabies,” kata Dr. James McGrane, Team Leader dari FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases (ECTAD) Indonesia. “Pembelajaran dari Flores dapat digunakan di daerah lain di Indonesia, dan dapat memberikan kontribusi pada pengembangan kerangka kerja global untuk pengendalian dan pemberantasan rabies dengan pendekatan progresif yang saat ini sedang disempurnakan,” tambahnya.

Sejak 2014, Roadmap Nasional untuk Pengendalian dan Pemberantasan Rabies di Indonesia juga telah dikembangkan bersama Kementerian Pertanian, FAO dan World Animal ProtectionRoadmap yang mengedepankan pendekatan yang efektif dan tepat guna tersebut saat ini sedang difinalisasi.

“Selama tiga tahun, kami terus membangun kesadaran bahwa vasinasi anjing adalah cara yang paling efektif untuk mengendalikan rabies,” kata Joanna Tuckwell, Campaign ManagerAsia-PacificWorld Animal Protection. “Harapan kami saat ini, vaksinasi rabies yang dibarengi  dengan pengelolaan populasi anjing yang tepat guna dan edukasi masyarakat lokal tentang kepemilikan yang bertanggungjawab dapat terus didukung di Indonesia – sehingga anjing dan manusia dapat hidup harmonis, dan pada akhirnya Indonesia akan mencapai sasarannya untuk bebas dari rabies.”

Lebih lanjut, Drh. I Ketut Diarmita, MP., menekankan bahwa dalam upaya meraih suksesnya program pengendalian dan pemberantasan rabies, diperlukan adanya komitmen seluruh pemangku kepentingan dalam melaksanakan program yang telah disepakati. Upaya vaksinasi merupakan prioritas utama diikuti dengan strategi lain berupa tata laksana kasus gigitan terpadu yang memungkinkan penanganan korban gigitan pada manusia dan penanganan pada hewan melalui vaksinasi darurat dan euthanasia hewan suspek.

Sumber:
FAO ECTAD Indonesia News Letter, Edisi 01, Aug – Nov 2016.

Indonesia Melawan Ancaman Pandemi Baru

Seiring dengan meningkatnya interaksi antara manusia, hewan dan lingkungan, ancaman pandemi baru bukan lagi tentang “jika terjadi”, karena sejarah mencatat kemunculan penyakit-penyakit zoonosis baru dari masa ke masa. Yang menjadi pertanyaannya sekarang adalah “kapan dan bagaimana penyakit tersebut terjadi”.  Globalisasi yang mempercepat pergerakan lintas batas hewan dan manusia,  kegiatan intensifikasi pertanian, dan meningkatnya permintaan akan ternak yang mengubah ekosistem menjadi tantangan tersendiri bagi banyak negara, tak terkecuali bagi Indonesia yang diidentifikasi sebagai salah satu kantung atau hotspot bagi penyakitpenyakit menular baru di Asia.

Mengingat besarnya ancaman penyakit menular baru (emerging) dan yang muncul kembali (re-emerging) yang dihadapi Indonesia, tahun 2016 menandai arah gerak baru dari kemitraan Pemerintah Indonesia dengan FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases (ECTAD).  Bersama Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH) Kementerian Pertanian, dan dengan dukungan dana dari United States Agency for International Development (USAID), FAO ECTAD meluncurkan Program Emerging Pandemic Threats  (EPT-2). Melibatkan para pemangku kepentingan lintas sektor, Program EPT-2 hadir untuk memerangi penyakit-penyakit yang berasal dari hewan yang dapat mengancam kesehatan manusia – langsung di sumbernya.

Dalam program yang akan berjalan selama empat tahun ke depan ini, FAO ECTAD akan mendampingi Pemerintah Indonesia dalam mendeteksi penyakit dengan lebih cepat, menindaklanjuti dengan tepat, dan memitigasi efeknya pada manusia dan hewan, ketahan dan keselamatan pangan. 

“Harapan saya agar Program EPT2 di Indonesia dapat berjalan dengan baik, karena kemungkinan terjadinya suatu pandemi dipengaruhi banyak faktor pemicunya, sehingga dibutuhkan koordinasi lintas sektoral, “ ujar drh. I Ketut Diarmita, MP., Direktur Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian.

Program ini sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2015 – 2019 tentang Peningkatan Pengendalian Penyakit dan Kesehatan Lingkungan, dan Rencana Strategis Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian (2015-2019) pada sasaran mengenai pengamananan dan penanganan penyakit hewan baru (new emerging) dan yang muncul kembali (re-emerging); dan penguatan sistem surveilans penyakit dan sistem informasi kesehatan hewan nasional.

Hampir 75% dari penyakit emerging dan re-emerging yang menjangkiti manusia di abad 21 ini adalah zoonosis atau berasal dari hewan. Beberapa penyakit yang sudah menjadi ancaman yang nyata saat ini antara lain HIV/AIDS, Severe acute respiratory syndrome  (SARS), Middle East respiratory syndrome Corona Virus (MERS-CoV), virus flu burung H5N1, dan yang paling terbaru adalah virus Zika.

“Cepatnya penyakit-penyakit ini timbul dan menyebar dengan luas menjadi perhatian khusus bagi sektor kesehatan masyarakat, ekonomi dan pembangunan global. Program EPT-2 mendukung Indonesia untuk bersiap siaga menghadapi penyakitpenyakit zoonosis menular baru dan yang muncul kembali,” ujar Dr. James Mc Grane, Team Leader FAO ECTAD di Indonesia.

Sumber :
FAO ECTAD Indonesia News Letter, Edisi 01, Aug – Nov 2016.