Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Tuesday, 12 May 2020

Asal-usul Coronavirus Penyebab COVID-19



Sejak laporan pertama COVID-19 di Wuhan, Provinsi Hubei, China, telah banyak didiskusikan tentang asal-usul virus penyebabnya yaitu, SARS-CoV-2.  SARS-CoV-2 merupakan coronavirus ketujuh yang diketahui menginfeksi manusia.  Coronavirus sebelumnya SARS-CoV, MERS-CoV, dan SARS-CoV-2 yang telah menyebabkan penyakit berat, sedangkan HKU1, NL63, OC43 dan 229E menyebabkan penyakit dengan gejala ringan.

CIRI-CIRI PENTING GENOM SARS-CoV-19

Genom adalah keseluruhan informasi genetik yang dimiliki organisme.  Dua ciri genom yang menonjol coronavirus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 yaitu : (1) SARS-CoV-2 bisa berikatan dengan reseptor ACE2 manusia, tempat masuknya virus; dan (2) ‘Protein Spike’ (S) SARS-CoV-2 memiliki ‘Tapak Pemotongan Polibasa Furin’ pada perbatasan S1 dan S2 (dua subunit ‘Protein Spike’) melalui penyisipan 12 nukleotida.

1. Mutasi domain pengikat-reseptor SARS-CoV-2
Domain pengikat-reseptor (RBD) pada ‘Protein Spike’ merupakan bagian yang paling mudah berubah-rubah dari genom coronavirus.  Enam asam amino RBD tersebut terbukti sangat penting untuk mengikat reseptor ACE2 yang berperan dalam menentukan sebaran (jenis) inang untuk coronavirus yang mirip-SARS-CoV.  Berdasar pada urutan asam amino (koordinat) pada SARS-CoV, 6 residu RBD tersebut adalah Y442, L472, N479, D480, T487 dan Y4911, sesuai dengan koordinat pada SARS-CoV-2 L455, F486, Q493, S494, N501 dan Y505.  Lima dari enam residu tersebut berbeda antara SARS-CoV-2 dan SARS-CoV.  Atas dasar studi struktur dan percobaan biokimia, SARS-CoV-2 memiliki RBD yang bisa berikatan dengan afinitas tinggi terhadap ACE2 manusia, musang, kucing dan spesies lain dengan homologi reseptor tinggi.

Dengan analisis di atas menunjukkan bahwa SARS-CoV-2 dapat mengikat ACE2 manusia sangat rekat, namun pada analisis komputasi diperkirakan interaksinya kurang ideal; urutan asam amino RBD SARS-CoV-2 berbeda dengan urutan asam amino RBD pada SARS-CoV yang menjadi pengikat reseptor optimal.  Dengan demikian, pengikatan afinitas tinggi dari Protein Spike SARS-CoV-2 pada ACE2-manusia kemungkinan besar merupakan hasil seleksi alam pada ACE2 manusia; atau pada ACE2-mirip-manusia yang menyebabkan munculnya pengikat reseptor optimal lain.  Hal ini merupakan bukti kuat bahwa SARS-CoV-2 bukan produk dari manipulasi yang disengaja (Kristian G. A. et al, 2020).

2. ‘Tapak Pemotongan Polibasa’ Furin dan Glycan berikatan-O’
Ciri penting kedua SARS-CoV-2 yakni adanya ‘Tapak Pemotongan Polibasa’ dengan urutan RRAR pada bagian persimpangan dua subunit ‘Protein Spike’ S1 dan S2 yang memungkinkan terjadi pemotongan yang efektif oleh furin dan protease lain sehingga bisa berperan dalam menentukan infektivitas virus dan jarak inang.  Selain itu, pada SARS-CoV-2 juga terdapat satu proline tersisip paling depan pada tapak ini; dengan demikian, urutan sisipannya menjadi PRRA.  Pergantian dengan proline ini diperkirakan menghasilkan penambahan ‘Glycan berikatan-O’ ke S673, T678 dan S686, yang mengapit ‘Tapak Pemotongan Polibasa’ dan unik bagi SARS-CoV-2.  ‘Tapak Pemotongan Polibasa’ tidak tampak dalam betacoronavirus yang berhubungan dengan 'garis keturunan B', meskipun betacoronavirus manusia lainnya, termasuk HKU1 ('garis keturunan A'), memiliki tapak-tapak tersebut dan prediksi ‘Glycan berikatan-O’. Mengingat tingkat variasi genetik pada ‘Protein Spike’, ada kemungkinan bahwa virus mirip-SARS-CoV-2 dengan ‘Tapak Pemotongan Polibasa’ sebagian atau penuh akan ditemukan pada spesies lain.

Kepentingan fungsi ‘Tapak Pemotongan Polibasa’ pada SARS-CoV-2 tidak diketahui.  ‘Tapak Pemotongan Polibasa’ penting untuk menentukan dampaknya pada penularan dan patogenesis pada hewan model.  Percobaan pada SARS-CoV telah menunjukkan bahwa penyisipan ‘Tapak pemotongan furin’ pada persimpangan S1 dan S2 meningkatkan fusi sel-sel tanpa mempengaruhi masuknya virus.  Selain itu, pemotongan Spike MERS-CoV memungkinkan mirip-MERS coronavirus dari kelelawar bisa menginfeksi sel manusia.  

Untuk referensi kita bandingkan dengan virus avian influenza (Flu Burung) yang mengalami replikasi virus dan penularan secara cepat pada populasi ayam yang padat sehingga menimbulkan ‘Tapak Pemotongan Polibasa’ pada Protein Hemagglutinin (HA), yang fungsinya mirip pada ‘Protein Spike’ coronavirus.  Akuisisi ‘Tapak Pemotongan Polibasa’ pada HA, dengan penyisipan atau rekombinasi telah mengubah virus avian influenza patogenesitas rendah atau low-pathogenicity avian influenza (LPAI) menjadi virus yang sangat pathogen atau High-pathogenicity avian influenza (HPAI).  Akuisisi ‘Tapak Pemotongan Polibasa’ pada Protein HA juga terbukti setelah melalui pasase virus berulang-kali pada kultur sel atau pada hewan (Ito, et al. 2001).

Fungsi prediksi ‘Glycan berikatan-O’ tidak jelas, namun virus dapat membuat 'domain mirip-mucin' yang melindungi epitop atau residu utama pada ‘Protein Spike’ SARS-CoV-2.  Beberapa virus menggunakan 'domain mirip-mucin' sebagai perisai glycan yang berperan dalam penghindaran kekebalan tubuh (Immune Evasion).  Immune Evasion merupakan strategi yang digunakan oleh mikroorganisme penyebab penyakit untuk menghindari respon imun inang untuk memaksimalkan kemungkinan mikroorganisme tersebut ditularkan ke inang lain.  Meskipun prediksi ‘Glikosilasi berikatan-O’ kuat, namun studi percobaan diperlukan untuk menentukan apakah Tapak ini digunakan pada SARS-CoV-2.  Glikosilasi berikatan-O’ merupakan proses perlekatan molekul gula ke atom oksigen serin (Ser) atau residu treonin (Thr) dalam protein.

TEORI ASAL-MULA SARS-CoV-2

Menurut Kristian G. A. et. al. (2020), mustahil SARS-CoV-2 muncul melalui manipulasi laboratorium berasal dari coronavirus mirip-SARS-CoV.  RBD SARS-CoV-2 bisa optimal mengikat ACE2 manusia dengan solusi efisien yang berbeda daripada yang diperkirakan sebelumnya.  Lebih lanjut, jika manipulasi genetik telah dilakukan, salah satu dari beberapa ‘sistem genetik terbalik’ yang tersedia untuk betacoronavirus mungkin digunakan.  Namun, data genetik menunjukkan bahwa SARS-CoV-2 tidak berasal dari “virus backbone” yang digunakan sebelumnya. Terdapat dua skenario yang dapat menjelaskan asal-mula SARS-CoV-2 yaitu: (1) seleksi alam pada inang hewan sebelum pemindahan zoonosis; dan (2) seleksi alam pada manusia setelah pemindahan zoonosis.

1. Seleksi alam pada inang hewan sebelum pemindahan zoonosis

Karena banyak kasus awal COVID-19 terkait dengan pasar Huanan di Wuhan, ada kemungkinan sumber hewan berada di tempat tersebut.  Mengingat kesamaan dari SARS-CoV-2 dengan coronavirus kelelawar, mirip-SARS-CoV, terdapat kemungkinan bahwa kelelawar berfungsi sebagai inang reservoir bagi nenek moyang virus tersebut.  Meskipun virus RaTG13 dari kelelawar Rhinolophus affinis, secara keseluruhan ~ 96% identik dengan SARS-CoV-2, Spike-nya menyimpang pada RBD, hal ini menunjukkan virus tersebut tidak bisa mengikat secara efisien pada ACE2 manusia.

Pada Trenggiling Jawa (Manis javanica) yang diimpor secara ilegal ke provinsi Guangdong ditemukan coronavirus mirip dengan SARS-CoV-2.  Meskipun seluruh genom virus kelelawar RaTG13 terdekat dengan SARS-CoV-2, namun beberapa coronavirus Trenggiling menunjukkan kemiripan yang kuat dengan SARS-CoV-2 pada RBD, termasuk keenam residu utama RBD.  Hal ini menunjukkan bahwa ‘Protein Spike’ SARS-CoV-2 bisa optimal mengikat ACE2-mirip-manusia adalah hasil dari seleksi alam.

Sejauh ini, baik betacoronavirus kelelawar atau betacoronavirus trenggiling tidak memiliki ‘Tapak Pemotongan Polibasa’.  Meskipun belum ada coronavirus hewan yang diidentifikasi sebagai nenek moyang langsung SARS-CoV-2, namun identifikasi keanekaragaman coronavirus pada kelelawar dan spesies lainnya perlu diupayakan secara masif.  Mutasi, penyisipan, dan penghilangan asam amino dapat terjadi pada persimpangan S1 dan S2 coronavirus, yang menunjukkan bahwa ‘Tapak Pemotongan Polibasa’ dapat timbul karena proses evolusi alami.  Virus prekursor dapat memperoleh ‘Tapak Pemotongan Polibasa’ dan mutasi pada ‘Protein Spike’ yang cocok untuk mengikat ACE2 manusia.  Pada inang hewan diperlukan kepadatan populasi yang tinggi sehingga terjadi seleksi alam secara efisien.  Dan didapat pengkodean gen ACE2-mirip-manusia secara nyata.

2. Seleksi alam pada manusia setelah pemindahan zoonosis

Ada kemungkinan, nenek moyang SARS-CoV-2 melompat ke manusia, memperoleh cirir genom yang dijelaskan di atas melalui adaptasi selama penularan dari manusia ke manusia yang tidak terdeteksi.  Setelah diperoleh, adaptasi ini akan memungkinkan pandemi tercetus dan menghasilkan kluster kasus yang cukup besar yang memicu harus dibangun sistem surveilans untuk mendeteksi kasus-kasus tersbut.

Semua sequence (urutan) genom SARS-CoV-2 sejauh ini memiliki ciri genom yang dijelaskan di atas dan karenanya memiliki nenek moyang bersama.  Keberadaan RBD dalam trenggiling yang sangat mirip dengan SARS-CoV-2 berarti dapat disimpulkan bahwa kemungkinan juga terjadi pada virus yang melompat ke manusia.  Hal ini meninggalkan penyisipan ‘Tapak Pemotongan Polibasa’ terjadi selama penularan dari manusia ke manusia.

Perkiraan waktu kemunculan nenek moyang terbaru SARS-CoV-2 yang dibuat dengan data sequence saat ini mengarahkan kemunculan virus tersebut pada akhir November 2019 hingga awal Desember 2019, sesai dengan kasus paling awal dikonfirmasi.  Oleh karena itu, skenario ini mengasumsikan periode penularan tidak dikenal pada manusia antara kejadian zoonosis awal dan akuisisi ‘Tapak Pemotongan Polibasa’.  Peluang yang cukup bisa muncul jika ada banyak kejadian zoonosis sebelumnya yang menghasilkan rantai pendek penularan dari manusia ke manusia melalui jangka waktu yang lama.  Hal ini berdasar pada situasi MERS-CoV, di mana semua kasus manusia adalah hasil dari lompatan berulang virus dari unta dromedaris, menghasilkan infeksi tunggal atau rantai penularan pendek hingga berakhir, tanpa adaptasi untuk penularan berkelanjutan.

Studi sampel manusia dari Bank Sampel dapat memberikan informasi tentang apakah penyebaran tersembunyi telah terjadi.  Studi serologis retrospektif dari sampel lama yang dikoleksi sebelumnya juga bisa menjadi data yang sangat informatif, dan beberapa studi seperti itu sebelumnya menunjukkan terdapat paparan rendah terhadap coronavirus mirip-SARS-CoV di wilayah tertentu di Tiongkok.  Namun, secara kritis, studi-studi ini tidak dapat membedakan apakah pajanan disebabkan oleh infeksi sebelumnya dengan SARS-CoV, SARS-CoV-2 atau coronavirus mirip-SARS-CoV lainnya.  Studi serologis lanjutan harus dilakukan untuk menentukan sejauh mana paparan manusia sebelumnya terhadap SARS-CoV-2.

3. Seleksi melalui pasase virus

Penelitian dasar telah malakukan pasase SARS-CoV-like coronavirus kelelawar pada kultur sel dan / atau model hewan telah berlangsung selama beberapa tahun dalam laboratorium BSL2 di dunia, dan ada infeksi SARS-CoV pada manusia terjadi dalam laboratorium yang didokumentasikan secara ilmiah.  Maka dari itu kita harus memeriksa kemungkinan lepasnya SARS-CoV-2 dari laboratorium SARS-CoV-2 yang tidak disengaja.

Secara teori, ada kemungkinan bahwa SARS-CoV-2 memperoleh mutasi RBD selama adaptasi dalam kultur sel, seperti yang telah diamati dalam studi SARS-CoV.  Namun, penemuan coronavirus mirip-SARS-CoV dari trenggiling dengan RBD yang hampir identik, memberikan penjelasan yang jauh lebih kuat dan lebih sederhana tentang bagaimana SARS-CoV-2 diperoleh melalui rekombinasi atau mutasi.

Akuisisi dari kedua ‘Tapak Pemotongan Polibasa’ dan prediksi ‘Glycan berikatan-O’ juga menyangkal skenario berbasis kultur.  ‘Tapak Pemotongan Polibasa’ baru hanya bisa diperoleh apabila telah melalui pasase virus yang berlangsung lama seperti yang terjadi pada virus avian influenza LPAI secara in vitro atau in vivo.  Lebih lanjut, generasi hipotetis SARS-CoV-2 melalui pasase virus pada kultur sel atau pasase pada hewan, diperlukan isolasi virus nenek moyang terlebih dahulu dengan kesamaan genetik yang sangat tinggi. Generasi selanjutnya ‘Tapak Pemotongan Polibasa’ membutuhkan pasase virus berulang pada kultur sel atau hewan dengan reseptor ACE2-mirip-manusia, tetapi kajian tahapan tersebut belum pernah dijelaskan sebelumnya.  Akhirnya, generasi prediksi ‘Glycan berikatan-O’ juga tidak mungkin terjadi karena perlu dilakukan pasase pada kultur sel dan keterlibatan sistem kekebalan tubuh.

KESIMPULAN

Pemahaman secara rinci virus hewan melompati batas spesies sehingga menginfeksi manusia akan membantu pencegahan kejadian zoonosis di kemudian hari.  Sebagai contoh, jika SARS-CoV-2 pra-adaptasi dalam spesies hewan lain, maka ada risiko muncul kembali kejadian di kemudian hari.  Sebaliknya, jika proses adaptasi terjadi pada manusia, bahkan jika pemindahan zoonosis berulang terjadi, virus-virus tidak mungkin ”memicu wabah” tanpa serangkaian mutasi yang sama.

Lebih banyak data ilmiah diperoleh akan memperkuat bukti untuk mendukung posisi satu hipotesis berada di atas hipotesis yang lain; mengumpulkan data Sequence virus terkait SARS-CoV yang berasal dari hewan akan menjadi cara paling pasti untuk mengungkapkan asal-mula virus ini.

DAFTAR PUSTAKA

1.            Alexander, D. J. & amp; Brown, I. H. Rev. Sci. Tech. 28, 19–38 (2009).
2.            Almazán, F. et al. Virus Res. 189, 262–270 (2014).
3.            Bagdonaite, I. & Wandall, H. H. Glycobiology 28, 443–467 (2018).
4.            Chan, C.-M. et al. Exp. Biol. Med. 233, 1527–1536 (2008).
5.            Corman, V. M., Muth, D., Niemeyer, D. & Drosten, C. Adv. Virus Res. 100, 163–188 (2018).
6.            Cui, J., Li, F. & Shi, Z.-L. Nat. Rev. Microbiol. 17, 181–192 (2019.
7.            Dong, E., Du, H. & Gardner, L. Lancet Infect. Dis. https://doi.org/10.1016/S1473-3099(20)30120-1 (2020).
8.            Dudas, G., Carvalho, L. M., Rambaut, A. & Bedford, T. eLife 7, e31257 (2018).
9.            Follis, K. E., York, J. & Nunberg, J. H. Virology 350, 358–369 (2006).
10.       Ge, X.-Y. et al. Nature 503, 535–538 (2013).
11.       Gorbalenya, A. E. et al. bioRxiv https://doi.org/10.1101/2020.02.07.937862. (2020).
12.       Huang, C. et al. Lancet https://doi.org/10.1016/S0140-6736(20)30183-5 (2020).
13.       Ito, T. et al. J. Virol. 75, 4439–4443 (2001).
14.       Jiang, S. et al. Lancet https://doi.org/10.1016/S0140-6736(20)30419-0 (2020).
15.       Kristian G. A. et al, 2020. Nature Medicine volume 26, pages 450–452 (2020).
16.       Letko,M.,Marzi,A&Munster,V.Nat.Microbiol https://doi.org/10.1038/s41564-020-0688-y (2020).
17.       Lim, P. L. et al. N. Engl. J. Med. 350, 1740–1745 (2004).
18.       Liu, P., Chen, W. & Chen, J.-P. Viruses 11, 979 (2019).
19.       Menachery, V. D. et al. J. Virol. https://doi.org/10.1128/JVI.01774-19 (2019).
20.       Nao, N. et al. MBio 8, e02298-16 (2017).
21.       Rambaut, A. Virological.org http://virological.org/t/356 (2020).
22.       Sheahan, T. et al. J. Virol. 82, 2274–2285 (2008).
23.       Walls, A. C. et al. bioRxiv https://doi.org/10.1101/2020.02.19.956581 (2020).
24.       Wan, Y., Shang, J., Graham, R., Baric, R. S. & Li, F. J. Virol. https://doi.org/10.1128/JVI.00127-20 (2020).
25.       Wang, N. et al. Virol. Sin. 33, 104–107 (2018).
26.       Wong, M. C., et al. bioRxiv https://doi.org/10.1101/2020.02.07.939207 (2020).
27.       Wrapp, D. et al. Science https://doi.org/10.1126/science.abb2507 (2020).
28.       Wu, F. et al. Nature https://doi.org/10.1038/s41586-020-2008-3 (2020).
29.       Yamada, Y. & Liu, D. X. J. Virol. 83, 8744–8758 (2009).
30.       Zhang, T., Wu, Q. & Zhang, Z. bioRxiv https://doi.org/10.1101/2020.02. 19.950253 (2020).
31.        Zhou, P. et al. Nature https://doi.org/10.1038/s41586-020-2012-7 (2020).

Friday, 8 May 2020

Leptospirosis pada Ruminansia



Serovar leptospira yang sangat penting pada sapi adalah Hardjo dan Pomona di Amerika Utara, dengan serovar Grippotyphosa, Bratislava, Icterohaemorrhagiae, dan Canicola sesekali terlibat.

AGEN PENYEBAB

Penyebab leptospirosis yang paling umum didokumentasikan di antara sapi di AS dan di sebagian besar dunia adalah serovar Hardjo, di mana sapi adalah tuan rumah pemeliharaan.

FAKTOR-FAKTOR RISIKO

Faktor-faktor risiko infeksi Hardjo pada sapi telah dilaporkan mencakup ternak terbuka, akses ke sumber air yang terkontaminasi, penggembalaan bersama dengan domba, dan penggunaan pemuliaan alami. Serovar hardjo memiliki kemampuan untuk menjajah dan bertahan dalam saluran genital sapi dan sapi jantan yang terinfeksi.

SIFAT PENYAKIT

Banyak infeksi leptospiral pada sapi bersifat subklinis, terutama pada hewan yang tidak bunting dan tidak menyusui.  Leptospirosis akut atau subakut paling sering dikaitkan dengan infeksi inang insidental dan terjadi selama fase infeksi leptospiremik. Tanda-tanda klinis yang terkait dengan infeksi kronis biasanya dikaitkan dengan kehilangan reproduksi melalui aborsi dan kelahiran mati. Kolonisasi persisten oleh serovar Hardjo dari uterus dan saluran telur dapat dikaitkan dengan infertilitas yang ditandai dengan peningkatan layanan per konsepsi dan interval melahirkan yang lama.  Jarang, penyakit akut parah terjadi pada sapi muda yang terinfeksi serovar insidental, terutama serovar Pomona dan lebih jarang Icterohemorrhagiae.

TANDA-TANDA KLINIS

Tanda-tanda klinis yaitu demam tinggi, anemia hemolitik, hemoglobinuria, penyakit kuning, kongesti paru, kadang-kadang meningitis, dan kematian.  Pada sapi menyusui, infeksi insidental dapat dikaitkan dengan agalaktia dengan sejumlah kecil susu berwarna.  Bentuk yang tidak terlalu parah dari “sindrom tetesan susu” ini dapat terjadi pada sapi menyusui yang terinfeksi Hardjo tanpa adanya bukti klinis infeksi lainnya.  Pada sapi menyusui, infeksi insidental telah dilaporkan menyebabkan susu berwarna darah.

Fase kronis penyakit dikaitkan dengan infeksi janin pada sapi hamil yang mengalami aborsi, lahir mati, atau kelahiran prematur dan anak sapi yang terinfeksi lemah. Betis yang terinfeksi tetapi sehat juga dapat dilahirkan. Aborsi atau lahir mati biasanya merupakan satu-satunya manifestasi infeksi tetapi kadang-kadang dapat dikaitkan dengan episode penyakit hingga 6 minggu (Pomona) atau 12 minggu (Hardjo) sebelumnya.  Aborsi yang terkait dengan infeksi inang insidental cenderung terjadi terlambat dan dalam kelompok atau disebut "aborsi badai."  Sebaliknya, aborsi yang terjadi setelah infeksi serovar Hardjo cenderung lebih sporadis dan dapat terjadi pertengahan hingga akhir kebuntingan dan beberapa bulan setelah infeksi awal.

DIAGNOSIS INFEKSI

Diagnosis infeksi inang insidental pada sapi relatif mudah.  Secara umum, hewan yang terinfeksi mengembangkan titer tinggi ke serovar yang menginfeksi; titer antibody > 1: 800 pada saat aborsi dianggap sebagai bukti leptospirosis.  Leptospira dapat ditunjukkan dalam plasenta dan janin dalam beberapa kasus dengan imunofluoresensi, PCR, dan imunohistokimia.  Diagnosis infeksi Serovar Hardjo lebih sulit dan memerlukan kombinasi pendekatan.  Serologi saja seringkali gagal mengidentifikasi hewan yang terinfeksi serovar Hardjo, karena seronegatif shedder umum terjadi pada kawanan sapi yang terinfeksi. 

Strategi pengujian diagnostik yang direkomendasikan termasuk penggunaan utama dari suatu tes (immunofluorescence atau PCR) untuk mendeteksi organisme dalam urin dari sampel ternak dalam kawanan diikuti dengan pengujian serologis untuk memberikan wawasan tentang kemungkinan serovar Leptospira yang menginfeksi.

Sapi dengan leptospirosis akut dapat diobati dengan label dosis tetrasiklin, oxytetracycline, penicillin, ceftiofur, tilmicosin, atau tulathromycin.  Leptospira juga sangat rentan terhadap eritromisin , tiamulin, dan tylosin, meskipun antibiotik ini tidak dapat diandalkan untuk menghilangkan keadaan pembawa ginjal.  Oxytetracycline injeksi jangka panjang (20 mg / kg) dan ceftiofur pelepasan berkelanjutan telah terbukti efektif menghilangkan penumpahan pada ternak yang terinfeksi serovar Hardjo.  Vaksinasi dapat dikombinasikan dengan pengobatan antibiotik dalam menghadapi wabah leptospirosis, tetapi vaksinasi saja tidak akan mengurangi pengeluaran urin. Semua waktu penarikan yang tepat harus diperhatikan.

VAKSIN LEPTOSPIROSIS

Vaksin leptospirosis sapi yang tersedia di AS dan Kanada bersifat pentavalen dan mengandung serovar leptospiral Pomona, Grippotyphosa, Canicola, Icterohaemorrhagiae, dan Hardjo.  Vaksin-vaksin ini memberikan perlindungan yang baik terhadap penyakit yang disebabkan oleh masing-masing serovar ini, dengan kemungkinan pengecualian serovar Hardjo. Bukti eksperimental dan lapangan menunjukkan bahwa beberapa vaksin leptospirosis lima arah tradisional tidak memberikan perlindungan yang baik dari infeksi serovar Hardjo.  Vaksin baru telah diperkenalkan untuk mengatasi masalah ini.  Jika tujuan utama dari program vaksinasi adalah perlindungan ternak terhadap Hardjo, perawatan harus diambil dalam pemilihan produk vaksin. Secara umum, vaksinasi tahunan untuk semua sapi dalam kawanan tertutup atau daerah dengan insiden rendah, atau vaksinasi dua kali setahun dalam kawanan terbuka atau area dengan insiden tinggi, adalah pendekatan yang paling efektif untuk mengendalikan.

Relatif terhadap sapi dan babi, domba dan kambing telah dianggap resisten terhadap infeksi leptospiral, dengan seroprevalensi rendah dan hanya sejumlah kecil serogrup yang terlibat dalam penyakit klinis. Domba dapat berfungsi sebagai tempat pemeliharaan Serovar Hardjo dan karenanya menyebarkan infeksi kepada ternak. Infeksi insidental dapat menyebabkan berjangkitnya penyakit akut sporadik yang ditandai dengan hematuria, hemoglobinuria, ikterus, dan kematian (biasanya pada anak domba), dan aborsi sesekali.

Sumber:
Thomas J Divers. Leptosirosis in Ruminant in Merck Manual, 2018

Tingkat Rawat Inap dan Karakteristik Pasien

 

Tingkat Rawat Inap dan Karakteristik Pasien Rawat Inap COVID-19

 
Tingkat Rawat Inap dan Karakteristik Pasien Rawat Inap COVID-19 yang Dikonfirmasi Laboratorium 2019 - COVID-NET, di 14 Negara, 1-30 Maret 2020Strategi untuk mencegah COVID-19, termasuk jarak sosial, kebersihan pernafasan, dan penutup wajah di ruang publik di mana langkah-langkah jarak sosial sulit dipertahankan, sangat penting untuk melindungi orang dewasa yang lebih tua dan mereka yang memiliki kondisi mendasar.  Pemantauan tingkat rawat inap yang sedang berlangsung sangat penting untuk memahami epidemiologi yang berkembang dari COVID-19 di Amerika Serikat dan untuk memandu perencanaan dan penentuan prioritas sumber daya perawatan kesehatan

Sejak SARS-CoV-2, coronavirus baru yang menyebabkan penyakit coronavirus 2019 (COVID-19), pertama kali terdeteksi pada Desember 2019 ( 1 ), sekitar 1,3 juta kasus telah dilaporkan di seluruh dunia ( 2 ), termasuk sekitar 330.000 di Amerika Serikat ( 3 ) Untuk melakukan pengawasan berbasis populasi untuk rawat inap terkait-COVID-19 yang dikonfirmasi laboratorium di Amerika Serikat, COVID-19-Associated Hospitalization Surveillance Network (COVID-NET) dibuat menggunakan infrastruktur yang ada dari Jaringan Surveilans Rawat Inap Influenza (FluSurv- NET) ( 4 ) dan Jaringan Surveilans Rumah Sakit Respiratory Syncytial Virus (RSV-NET).  Laporan ini menyajikan tingkat rawat inap terkait-COVID-19 yang bertingkat usia untuk pasien yang dirawat selama 1-28 Maret 2020, dan data klinis pada pasien yang dirawat selama 1-30 Maret 2020, bulan pertama pengawasan AS.  Di antara 1.482 pasien yang dirawat di rumah sakit dengan COVID-19, 74,5% berusia ≥50 tahun, dan 54,4% adalah laki-laki. Tingkat rawat inap di antara pasien yang diidentifikasi melalui COVID-NET selama periode 4 minggu ini adalah 4,6 per 100.000 populasi.  Angka tertinggi (13,8) di antara orang dewasa berusia ≥65 tahun.  Di antara 178 (12%) pasien dewasa dengan data tentang kondisi yang mendasari pada 30 Maret 2020, 89,3% memiliki satu atau lebih kondisi mendasar; yang paling umum adalah hipertensi (49,7%), obesitas (48,3%), penyakit paru-paru kronis (34,6%), diabetes mellitus (28,3%), dan penyakit kardiovaskular (27,8%). 

Temuan ini menunjukkan bahwa orang dewasa yang lebih tua memiliki peningkatan tingkat rawat inap terkait COVID-19 dan mayoritas orang yang dirawat di rumah sakit dengan COVID-19 memiliki kondisi medis yang mendasarinya.  Temuan ini menggarisbawahi pentingnya tindakan pencegahan (misalnya, jarak sosial, kebersihan pernapasan, dan memakai penutup wajah di pengaturan publik di mana langkah-langkah jarak sosial sulit untuk dipertahankan) untuk melindungi orang dewasa yang lebih tua dan orang-orang dengan kondisi medis yang mendasarinya, serta umum publik.  Selain itu, orang dewasa yang lebih tua dan orang-orang dengan kondisi medis yang mendasari serius harus menghindari kontak dengan orang yang sakit dan segera menghubungi penyedia layanan kesehatan mereka jika mereka memiliki gejala yang konsisten dengan COVID-19 ( 5 ).  Pemantauan berkelanjutan tingkat rawat inap, karakteristik klinis, dan hasil pasien rawat inap akan menjadi penting untuk lebih memahami epidemiologi COVID-19 yang berkembang di Amerika Serikat dan spektrum klinis penyakit, dan untuk membantu memandu perencanaan dan penentuan prioritas sumber daya sistem perawatan kesehatan.

COVID-NET melakukan pengawasan berbasis populasi untuk rawat inap terkait-COVID-19 yang dikonfirmasi laboratorium di antara orang-orang dari segala usia di 99 negara di 14 negara bagian (California, Colorado, Connecticut, Georgia, Iowa, Maryland, Michigan, Michigan, Minnesota, New Mexico, New York, Ohio, Oregon, Tennessee, dan Utah), didistribusikan di seluruh 10 wilayah Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan AS.  Daerah tangkapan air mewakili sekitar 10% dari populasi AS.  Pasien harus menjadi penghuni area tangkapan COVID-NET yang ditunjuk dan dirawat di rumah sakit dalam waktu 14 hari dari tes positif SARS-CoV-2 untuk memenuhi definisi kasus surveilans.  Tes diminta atas kebijaksanaan merawat penyedia layanan kesehatan.  Laboratorium-dikonfirmasi SARS-CoV-2 didefinisikan sebagai hasil positif oleh setiap tes yang telah menerima Otorisasi Penggunaan Darurat untuk pengujian SARS-CoV-2.  Tingkat rawat inap bertingkat usia mingguan diperkirakan menggunakan jumlah daerah tangkapan yang dirawat di rumah sakit dengan COVID-19 yang dikonfirmasi laboratorium sebagai pembilang dan estimasi populasi postcensal bridging-race National 2018 perkiraan populasi untuk penyebut.

Pada 3 April , 2020, tingkat rawat inap COVID-NET diterbitkan setiap minggu secara online.  Untuk setiap kasus, petugas surveilans terlatih melakukan abstraksi bagan medis menggunakan formulir laporan kasus standar untuk mengumpulkan data tentang karakteristik pasien, kondisi medis yang mendasari, perjalanan klinis, dan hasil.  Surveilans COVID-NET dimulai pada tanggal 23 Maret 2020, dengan identifikasi kasus retrospektif dari pasien yang dirawat selama 1-22 Maret 2020, dan identifikasi kasus prospektif selama 23-30 Maret 2020. Data klinis tentang kondisi dan gejala yang mendasari saat masuk disajikan sampai 30 Maret; tingkat rawat inap diperbarui setiap minggu dan, oleh karena itu, disajikan hingga 28 Maret (minggu epidemiologis 13).

Tingkat rawat inap terkait COVID-19 di antara pasien yang diidentifikasi untuk periode 4 minggu yang berakhir 28 Maret 2020, adalah 4,6 per 100.000 populasi.  Tingkat rawat inap meningkat dengan bertambahnya usia, dengan angka 0,3 pada orang berusia 0–4 tahun, 0,1 pada mereka yang berusia 5-17 tahun, 2,5 pada mereka yang berusia 18-49 tahun, 7,4 pada mereka yang berusia 50-64 tahun, dan 13,8 pada mereka berusia ≥65 tahun.  Angka tertinggi di antara orang berusia ≥65 tahun, berkisar antara 12,2 pada mereka yang berusia 65-74 tahun hingga 17,2 pada mereka yang berusia ≥85 tahun. Lebih dari setengah (805; 54,4%) rawat inap terjadi di antara pria;  Tingkat rawat inap terkait COVID-19 lebih tinggi di antara laki-laki daripada di antara perempuan (5,1 berbanding 4,1 per 100.000 populasi).  Di antara 1.482 rawat inap terkait-COVID-19 yang dikonfirmasi laboratorium, enam (0,4%) masing-masing adalah pasien berusia 0–4 tahun dan 5–17 tahun, 366 (24,7%) berusia 18-49 tahun, 461 (31,1%) berusia 50-64 tahun, dan 643 (43,4%) berusia ≥65 tahun. Di antara pasien dengan ras / etnis data (580), 261 (45,0%) adalah kulit putih non-hispanik (putih), 192 (33,1%) adalah kulit hitam non-Hispanik (hitam), 47 (8,1%) adalah Hispanik, 32 (5,5) %) adalah orang Asia, dua (0,3%) adalah orang Indian Amerika / Alaska Asli, dan 46 (7,9%) adalah ras lain atau tidak dikenal. Tarif sangat bervariasi menurut situs surveilans COVID-NET.

Selama 1-30 Maret, kondisi dan gejala medis yang mendasari saat masuk dilaporkan sekitar 180 (12,1%) orang dewasa yang dirawat di rumah sakit ( Tabel ); 89,3% memiliki satu atau lebih kondisi mendasar. Yang paling sering dilaporkan adalah hipertensi (49,7%), obesitas (48,3%), penyakit paru-paru kronis (34,6%), diabetes mellitus (28,3%), dan penyakit kardiovaskular (27,8%).  Di antara pasien berusia 18-49 tahun, obesitas adalah kondisi mendasar yang paling umum, diikuti oleh penyakit paru-paru kronis (terutama asma) dan diabetes mellitus.  Di antara pasien berusia 50-64 tahun, obesitas paling banyak terjadi, diikuti oleh hipertensi dan diabetes mellitus; dan di antara mereka yang berusia> 65 tahun, hipertensi paling umum, diikuti oleh penyakit kardiovaskular dan diabetes mellitus. Di antara 33 perempuan berusia 15-49 tahun dirawat di rumah sakit dengan COVID-19, tiga (9,1%) hamil.  Di antara 167 pasien dengan data yang tersedia, interval median dari onset gejala sampai masuk adalah 7 hari (rentang interkuartil [IQR] = 3-9 hari).Tanda dan gejala yang paling umum saat masuk termasuk batuk (86,1%), demam atau kedinginan (85,0%), dan sesak napas (80,0%).  Gejala gastrointestinal juga sering terjadi; 26,7% mengalami diare, dan 24,4% mengalami mual atau muntah.

DISKUSI

Selama 1-28 Maret 2020, tingkat rawat inap terkait-COVID-19 yang dikonfirmasi laboratorium secara keseluruhan adalah 4,6 per 100.000 populasi; tingkat meningkat dengan usia, dengan tingkat tertinggi di antara orang dewasa berusia ≥65 tahun.  Sekitar 90% dari pasien rawat inap yang diidentifikasi melalui COVID-NET memiliki satu atau lebih kondisi yang mendasarinya, yang paling umum adalah obesitas, hipertensi, penyakit paru-paru kronis, diabetes mellitus, dan penyakit kardiovaskular.
Menggunakan infrastruktur yang ada dari dua platform surveilans virus pernapasan, COVID-NET diimplementasikan untuk menghasilkan tingkat rawat inap yang kuat, mingguan, bertingkat usia menggunakan metode pengumpulan data standar. Data ini sedang digunakan, bersama dengan data dari platform surveilans lain (https://www.cdc.gov/coronavirus/2019-ncov/covid-data/covidview.html), untuk memantau aktivitas dan keparahan penyakit COVID-19 di Amerika Serikat.  Selama bulan pertama surveilans, tingkat rawat inap COVID-NET berkisar dari 0,1 per 100.000 populasi pada orang berusia 5-17 tahun hingga 17,2 per 100.000 populasi pada orang dewasa berusia ≥85 tahun, sedangkan tingkat rawat inap kumulatif influenza kumulatif selama 4 minggu pertama setiap influenza musim (minggu epidemiologis 40-43) selama 5 musim terakhir berkisar antara 0,1 pada orang berusia 5-17 tahun hingga 2,2-5,4 pada orang dewasa berusia ≥85 tahun ( 6 ).  Tingkat COVID-NET selama periode surveilans 4 minggu pertama ini adalah awal dan harus ditafsirkan dengan hati-hati; mengingat sifat pandemi COVID-19 yang berkembang pesat, angka ini diperkirakan akan meningkat ketika kasus-kasus tambahan diidentifikasi dan ketika kapasitas pengujian SARS-CoV-2 di Amerika Serikat meningkat.

Dalam populasi, sekitar 49% penduduk adalah laki-laki dan 51% penduduk adalah perempuan, sedangkan 54% dari pasien rawat inap terkait COVID-19 terjadi pada laki-laki dan 46% terjadi pada perempuan.  Data ini menunjukkan bahwa laki-laki mungkin terpengaruh secara tidak proporsional oleh COVID-19 dibandingkan dengan perempuan.  Demikian pula, dalam populasi tangkapan COVID-NET, sekitar 59% penduduk berkulit putih, 18% berkulit hitam, dan 14% berkebangsaan Hispanik; Namun, di antara 580 pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit dengan data ras / etnis, sekitar 45% berkulit putih, 33% berkulit hitam, dan 8% berkebangsaan Hispanik, menunjukkan bahwa populasi kulit hitam mungkin dipengaruhi secara tidak proporsional oleh COVID-19.  Temuan ini, termasuk dampak potensial dari jenis kelamin dan ras pada tingkat rawat inap terkait COVID-19, perlu dikonfirmasi dengan data tambahan.

Sebagian besar pasien yang dirawat di rumah sakit memiliki kondisi yang mendasarinya, beberapa di antaranya diketahui berhubungan dengan penyakit COVID-19 yang parah, termasuk penyakit paru-paru kronis, penyakit kardiovaskular, diabetes mellitus ( 5 ).  Menurut data dari Survei Pemeriksaan Kesehatan dan Gizi Nasional, prevalensi hipertensi di antara orang dewasa AS secara keseluruhan adalah 29%, berkisar antara 7,5% -63% pada semua kelompok umur ( 7 ), dan prevalensi obesitas yang disesuaikan berdasarkan usia adalah 42% (kisaran di seluruh kelompok umur = 40% –43%) ( 8 ). Di antara pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit, prevalensi hipertensi adalah 50% (kisaran di semua kelompok umur = 18% -73%), dan prevalensi obesitas adalah 48% (kisaran di semua kelompok umur = 41% -59%). Selain itu, prevalensi beberapa kondisi dasar yang diidentifikasi melalui COVID-NET mirip dengan yang untuk pasien influenza yang dirawat di rumah sakit yang diidentifikasi melalui FluSurv-NET selama musim influenza 2014–15 hingga 2018–19: 41% -51% pasien memiliki penyakit kardiovaskular (tidak termasuk hipertensi), 39% -45% memiliki penyakit metabolik kronis, 33% -40% memiliki obesitas, dan 29% -31% memiliki penyakit paru-paru kronis ( 6 ).  Di antara wanita berusia 15-49 tahun dirawat di rumah sakit dengan COVID-19, 9% hamil, yang mirip dengan perkiraan 9,9% dari populasi umum wanita berusia 15-44 tahun yang hamil pada waktu tertentu berdasarkan data 2010.  Data ini mirip dengan laporan lain dari Amerika Serikat ( 9 ) dan Cina ( 1 ), temuan ini menunjukkan bahwa sebagian besar pasien AS yang dirawat di rumah sakit dengan COVID-19 lebih tua dan memiliki kondisi medis yang mendasarinya.

Temuan dalam laporan ini tunduk pada setidaknya tiga batasan.  Pertama, tingkat rawat inap berdasarkan usia dan situs COVID-NET adalah awal dan mungkin berubah karena kasus tambahan diidentifikasi dari periode pengawasan ini. Kedua, sedangkan data kasus minimum untuk menghasilkan tingkat rawat inap bertingkat usia mingguan biasanya tersedia dalam 7 hari setelah identifikasi kasus.  Data awal menunjukkan bahwa rawat inap terkait COVID-19 di Amerika Serikat paling tinggi di antara orang dewasa yang lebih tua, dan hampir 90% orang yang dirawat di rumah sakit memiliki satu atau lebih kondisi medis yang mendasarinya. 

Temuan tersebut menggarisbawahi pentingnya tindakan pencegahan (misalnya, jarak sosial, kebersihan pernapasan, dan memakai penutup wajah di tempat publik di mana tindakan jarak sosial sulit dipertahankan) untuk melindungi orang dewasa yang lebih tua dan orang-orang dengan kondisi medis yang mendasarinya.  Pemantauan berkelanjutan tingkat rawat inap, karakteristik klinis, dan hasil pasien rawat inap akan menjadi penting untuk lebih memahami epidemiologi COVID-19 yang berkembang di Amerika Serikat dan spektrum klinis penyakit, dan untuk membantu memandu perencanaan dan penentuan prioritas sumber daya sistem perawatan kesehatan. 

Referensi
1. Guan WJ, Ni ZY, Hu Y, et al.; China Medical Treatment Expert Group for Covid-19. Clinical characteristics of coronavirus disease 2019 in China. N Engl J Med 2020;NEJMoa2002032. CrossRefexternal icon PubMedexternal icon
2. Johns Hopkins University & Medicine. COVID-19 map. Baltimore, MD: Johns Hopkins University; 2020. https://coronavirus.jhu.edu/map.htmlexternal icon
3. CDC. Coronavirus disease 2019 (COVID-19): cases in U.S. Atlanta, GA: US Department of Health and Human Services, CDC; 2020. https://www.cdc.gov/coronavirus/2019-ncov/cases-updates/cases-in-us.html
4. Chaves SS, Lynfield R, Lindegren ML, Bresee J, Finelli L. The US Influenza Hospitalization Surveillance Network. Emerg Infect Dis 2015;21:1543–50. CrossRefexternal icon PubMedexternal icon
5. CDC. Coronavirus disease 2019 (COVID-19): people who need to take extra precautions. Atlanta, GA: US Department of Health and Human Services, CDC; 2020. https://www.cdc.gov/coronavirus/2019-ncov/need-extra-precautions/index.html
6. CDC. FluView interactive: laboratory-confirmed influenza hospitalizations. Atlanta, GA: US Department of Health and Human Services, CDC; 2020. https://www.cdc.gov/flu/weekly/fluviewinteractive.htm
7. National Center for Health Statistics. Hypertension prevalence and control among adults: United States, 2015–2016. NCHS data brief, no. 289. Hyattsville, MD: US Department of Health and Human Services, CDC, National Center for Health Statistics; 2017. https://www.cdc.gov/nchs/products/databriefs/db289.htm
8. National Center for Health Statistics. Prevalence of obesity and severe obesity among adults: United States, 2017–2018. NCHS data brief, no. 360. Hyattsville, MD: US Department of Health and Human Services, CDC, National Center for Health Statistics; 2020. https://www.cdc.gov/nchs/products/databriefs/db360.htm
9. Chow N, Fleming-Dutra K, Gierke R, et al.; CDC COVID-19 Response Team. Preliminary estimates of the prevalence of selected underlying health conditions among patients with coronavirus disease 2019 — United States, February 12–March 28, 2020. MMWR Morb Mortal Wkly Rep 2020;69:382–6. CrossRefexternal icon PubMedexternal icon
10. Reed C, Chaves SS, Daily Kirley P, et al. Estimating influenza disease burden from population-based surveillance data in the United States. PLoS One 2015;10:e0118369. CrossRefexternal icon PubMedexternal icon










x