Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Monday, 15 February 2021

Diagnosis Banding COVID-19

Diagnosis Banding untuk Penyakit Coronavirus (COVID-19): Di Luar Fitur Radiologis


Kami membaca dengan penuh minat artikel AJR terbaru “Coronavirus Disease 2019 (COVID-19): Role of Chest CT in Diagnosis and Management” [1]. Para penulis menyarankan bahwa CT dada dapat berguna sebagai metode standar untuk diagnosis cepat COVID-19 dengan tingkat kesalahan diagnosis yang rendah (3,9%, 2/51) [1].


Karena severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2), virus penyebab COVID-19, penularannya menyebar dari manusia ke manusia, tidak semua pasien yang terinfeksi SARS-CoV-2 akan menunjukkan hasil positif pada uji reverse transcription–polymerase chain reaction (RT-PCR) sebelum CT dada menunjukkan tanda-tanda COVID-19 [2]. Karena diagnosis dini dan akurat dari dugaan COVID-19 sangat penting untuk isolasi atau pengobatan agar seefektif mungkin, kami ingin berbagi pemikiran tentang proses diagnostik yang harus digunakan untuk pasien dengan dugaan infeksi SARS-CoV-2 jika hasil uji awal. RT-PCR negatif.

 

Menurut pendapat kami, faktor-faktor yang relevan dengan diagnosis banding adalah riwayat pajanan, hasil uji RT-PCR, temuan CT, hasil uji laboratorium, dan manifestasi klinis infeksi SARS-CoV-2. Dengan informasi tentang masing-masing faktor ini, kasus yang dicurigai dapat dengan diyakini dikategorikan ke dalam salah satu dari lima kategori berikut: (1) pasti COVID-19, (2) sangat mungkin COVID-19, (3) mungkin COVID-19, (4) mungkin bukan COVID-19, dan (5) sangat mungkin bukan COVID- 19.

 

Berkenaan dengan kategori pertama, RT-PCR dianggap sebagai standar acuan untuk skrining infeksi SARS-CoV-2. Jika uji RT-PCR awal memberikan hasil positif untuk SARS-CoV-2, pasien harus dianggap pasti mengidap COVID-19, terlepas dari apakah ada faktor lain juga.

 

Pasien dengan hasil uji awal RT-PCR negatif tetapi kombinasi dari faktor-faktor relevan lainnya, seperti riwayat pajanan pada orang yang terinfeksi, adanya fitur CT dada yang khas, hasil uji laboratorium yang menunjukkan COVID-19, dan manifestasi klinis batuk dan demam, harus dianggap sangat mungkin mengidap COVID-19. Satu penelitian terbaru dari daerah dengan tingkat infeksi yang tinggi menunjukkan bahwa CT dada memiliki sensitivitas 98% untuk diagnosis COVID-19 dengan pengujian RT-PCR sebagai standar referensi [2]. Pada pasien dengan COVID-19 di mana uji laboratorium menunjukkan hasil abnormal dari jenis yang biasanya terkait dengan penyakit, demam dan batuk adalah manifestasi klinis yang paling sering terlihat [3, 4].

 

Satu penelitian sebelumnya melaporkan bahwa interval rata-rata ± SD antara hasil RT-PCR yang awalnya negatif dan kemudian positif adalah 5,1 ± 1,5 hari (kisaran, 4-8 hari); interval rata-rata antara hasil RT-PCR yang awalnya positif hingga kemudian negatif adalah 6,2 ± 2,3 hari (kisaran, 4-15 hari) [2]. Mengingat keterlambatan dalam RT-PCR mendeteksi virus, pasien dengan hasil tes RT-PCR awal negatif, riwayat pajanan pada orang yang terinfeksi, dan perkembangan temuan CT yang cocok dengan kerangka waktu karakteristik harus dipertimbangkan mungkin memiliki COVID-19. Temuan CT telah dilaporkan bervariasi pada berbagai tahap penyakit [3, 5]. Penampakan yang terutama terdiri dari ground-glass opacification (GGO) dengan konsolidasi yang lebih sedikit dilaporkan menjadi manifestasi utama pada gambar CT yang diperoleh sebelum timbulnya gejala dan hingga seminggu setelah onset gejala. GGO menurun pada tahap yang lebih lanjut dari COVID-19 pneumonia, tetapi konsolidasi atau konsolidasi campuran dan GGO meningkat, dan pola retikuler terlihat pada tahap selanjutnya (lebih dari seminggu setelah onset gejala) [3]. Karena interval waktu dan temuan CT tampaknya terkait erat, kasus pasien yang dilacak denan temuan CT-nya harus diklasifikasikan sebagai kemungkinan terinfeksi SARS-CoV-2.

 

Pasien dalam kategori keempat memiliki riwayat terpapar pada orang yang terinfeksi, tetapi hasil skrining awal uji RT-PCR negatif, dan temuan CT tidak menunjukkan perkembangan khas untuk COVID-19 dalam kerangka waktu yang berlaku.

 

Pasien dengan riwayat terpapar orang yang terinfeksi tetapi tidak ada faktor lain yang harus dipertimbangkan sangat mungkin tidak terinfeksi.

 

Ketika dihadapkan pada kemungkinan kasus COVID-19, ahli radiologi harus menganalisis secara komprehensif riwayat paparan, temuan CT, hasil tes laboratorium, dan manifestasi klinis untuk mengkategorikan situasi dengan benar jika hasil tes RT-PCR awal negatif.  Karena hasil awal RT-PCR tidak selalu positif pada pasien dengan infeksi SARS-CoV-2, gambar CT dada dapat memainkan peran penting dalam mendeteksi lesi di parenkim paru [6, 7]. Dengan kata lain, CT dada dan hasil RT-PCR harus dipertimbangkan sebagai metode verifikasi untuk diagnosis komprehensif pada pasien dengan dugaan COVID-19, dikombinasikan dengan riwayat pajanan, hasil uji laboratorium, dan manifestasi klinis.

 

DAFTAR PUSTAKA

1. Li Y, Xia L. Coronavirus disease 2019 (COVID-19): role of chest CT in diagnosis and management. AJR 2020 Mar 4 [Epub ahead of print]

2. Ai T, Yang Z, Hou H, et al. Correlation of chest CT and RT-PCR testing in coronavirus disease 2019 (COVID-19) in China: a report of 1014 cases. Radiology 2020 Feb 26 [Epub ahead of print]

3. Shi H, Han X, Jiang N, et al. Radiological findings from 81 patients with COVID-19 pneumonia in Wuhan, China: a descriptive study. Lancet Infect Dis 2020 Feb 24 [Epub ahead of print]

4. Guan WJ, Ni ZY, Hu Y, et al.; China Medical Treatment Expert Group for COVID-19. Clinical characteristics of coronavirus disease 2019 in China. N Engl J Med 2020 Feb 28 [Epub ahead of print]

5. Pan F, Ye T, Sun P, et al. Time course of lung changes on chest CT during recovery from 2019 novel coronavirus (COVID-19) pneumonia. Radiology 2020 Feb 13 [Epub ahead of print]

6. Fang Y, Zhang H, Xie J, et al. Sensitivity of chest CT for COVID-19: comparison to RT-PCR. Radiology 2020 Feb 19 [Epub ahead of print]

7. Hao W. Clinical features of atypical 2019 novel coronavirus pneumonia with an initially negative RT-PCR assay. J Infect 2020 Feb 21 [Epub ahead of print]

SUMBER:

Pinggui Lei, and Pingxian Wang. 2020. Differential Diagnosis for Coronavirus Disease (COVID-19): Beyond Radiologic Features.  AJR 2020; 215:W19 ISSN-L 0361–803X/20/2151–W19 © American Roentgen Ray Society. doi.org/10.2214/AJR.20.23119 WEB

Saturday, 13 February 2021

Pedoman Penyusunan Naskah Akademik


Pedoman Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Perundang-undangan

 

I. SISTEMATIKA NASKAH AKADEMIK JUDUL NASKAH AKADEMIK

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

B. IDENTIFIKASI MASALAH

C. TUJUAN DAN KEGUNAAN

D. METODE PENELITIAN

BAB II ASAS-ASAS YANG DIGUNAKAN DALAM PENYUSUNAN NORMA

BAB III MATERI MUATAN RUU DAN KETERKAITANNYA DENGAN HUKUM POSITIF

BAB IV PENUTUP

LAMPIRAN KONSEP AWAL RANCANGAN UNDANG-UNDANG

 

II. PENJELASAN SISTEMATIKA NASKAH AKADEMIK

JUDUL NASKAH AKADEMIK Memuat jenis dan nama peraturan perundang-undangan

 

BAB I PENDAHULUAN

 

A. Latar Belakang

Pemikiran mengenai alasan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis, yang mendasari pentingnya materi hukum yang bersangkutan segera diatur dalam peraturan perundang-undangan.

 

1. Landasan Filosofis

Memuat pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum serta cita-cita moral yang luhur yang meliputi suasana kebatinan serta watak dari bangsa Indonesia yang termaktub dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.

 

2. Landasan Yuridis

Memuat suatu tinjauan terhadap peraturan perundang-undangan yang ada kaitannya dengan judul Naskah Akademik Peraturan Perundang-Undangan yang telah ada dan masih berlaku (hukum positif). Yang termasuk dalam peraturan perundang-undangan pada landasan yuridis adalah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

 

3. Landasan Sosiologis

Memuat suatu tinjauan terhadap gejala-gejala sosial-ekonomi-politik yang berkembang di masyarakat yang mendorong perlu dibuatnya Naskah Akademik. Landasan/alasan sosiologis sebaiknya juga memuat analisis kecenderungan sosiologis-futuristik tentang sejauh mana tingkah laku sosial itu sejalan dengan arah dan tujuan pembangunan hukum nasional yang ingin dicapai.

 

B. Identifikasi Masalah

Memuat permasalahan apa saja yang akan dituangkan dalam ruang lingkup naskah akademik. Identifikasi masalah ini diperlukan untuk mengarahkan agar penelitian/kajian Naskah Akademik ini dapat menjelaskan urgensi perlunya disusun Naskah Akademik peraturan perundang-undangan tersebut.

Identifikasi masalah dapat dirumuskan dalam bentuk pointer-pointer pertanyaan atau deskripsi secara umum yang mencerminkan permasalahan yang mana harus diatasi dengan norma-norma dalam suatu peraturan perundangundangan.

 

C. Tujuan dan Kegunaan

Uraian tentang maksud/tujuan dan kegunaan penyusunan naskah akademik.

1. Tujuan Memuat sasaran utama (tujuan) dibuatnya Naskah Akademik Peraturan Perundang-Undangan, yakni sebagai landasan ilmiah bagi penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan, yang memberikan arah, dan menetapkan ruang lingkup bagi penyusunan peraturan perundang-undangan.

 

2. Kegunaan Memuat pernyataan tentang manfaat disusunnya

Naskah Akademik tersebut, yakni selain untuk bahan masukan bagi pembuat Rancangan Peraturan Perundang-undangan juga dapat berguna bagi pihakpihak yang berkepentingan. Contoh: Menjadi dokumen resmi yang menyatu dengan konsep Rancangan Undang-Undang yang akan dibahas bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat dalam penyusunan prioritas Prolegnas (untuk suatu Naskah Akademik RUU).

 

D. Metode Penelitian

Uraian tentang metode penelitian yang digunakan dalam melakukan penelitian sebagai bahan penunjang penyusunan naskah akademik. Metode ini terdiri dari metode pendekatan dan metode analisis data. Metode penelitan di bidang hukum dilakukan melalui pendekatan Yuridis Normatif maupun Yuridis Empiris dengan menggunakan data sekunder maupun data primer.

1.  Metode yuridis normatif dilakukan melalui studi pustaka yang menelaah (terutama) data sekunder, baik yang berupa perundang-undangan maupun hasil-hasil penelitian, hasil pengkajian dan referensi lainnya.

2.  Sedangkan pendekatan Yuridis Empiris dapat dilakukan dengan menelaah data primer yang diperoleh/dikumpulkan langsung dari masyarakat. Data primer dapat diperoleh dengan cara: pengamatan (observasi), diskusi (Focus Group Discussion), wawancara, mendengar pendapat narasumber atau para ahli, menyebarkan kuestioner dan sebagainya.

3.  Pada umumnya metode penelitian pada Naskah Akademik menggunakan pendekatan yuridis normatif yang utamanya menggunakan data sekunder, yang dianalisis secara kualitatif. Namun demikian, data primer juga sangat diperlukan sebagai penunjang dan untuk mengkonfirmasi data sekunder.

 

BAB II ASAS-ASAS YANG DIGUNAKAN DALAM PENYUSUNAN NORMA

Memuat elaborasi berbagai teori, gagasan, pendapat ahli dan konsepsi yang digunakan sebagai pisau analisis dalam menentukan asas-asas (baik hukum maupun non hukum) yang akan dipakai dalam peraturan perundangundangan. Analisis terhadap penentuan asas-asas ini juga memperhatikan berbagai aspek bidang kehidupan terkait dengan peraturan perundang-undangan yang akan dibuat, yang berasal dari hasil penelitian.

 

BAB III MATERI MUATAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN KETERKAITANNYA DENGAN HUKUM POSITIF

Berisi materi muatan yang akan diatur dalam Peraturan Perundang-undangan dan kajian/analisis keterkaitan materi dimaksud dengan hukum positif, sehingga Peraturan Perundang-undangan yang dibuat tidak tumpang tindih dengan hukum positif.

 

A. Kajian/analisis tentang keterkaitan dengan hukum positif terkait dapat disajikan dalam bentuk matriks atau secara deskriptif, dalam rangka mengharmonisasikan dengan hukum positif yang telah ada, sehingga tidak tumpang tindih.

 

B. Materi muatan Peraturan Perundang-undangan di antaranya mencakup:

1. Ketentuan Umum 

Memuat rumusan akademik mengenai batasan pengertian/definisi beserta alternatifnya, singkatan atau akronim yang digunakan dalam peraturan.

2. Ketentuan Asas dan Tujuan 

Rumusan akademik mengenai pasal-pasal mengenai asas dan tujuan. (sebagaimana yang telah dielaborasi pada BAB II).

3. Materi Pengaturan 

Berisi rumusan-rumusan akademik materi muatan peraturan perundang-undangan yang perlu diatur serta pemikiran-pemikiran normanya yang dikemukakan secara alternatif bila dimungkinkan. Penyajian rumusan-rumusan akademik disusun secara sistematik dalam bab-bab sesuai dengan kelompok substansi yang akan diatur.

4. Ketentuan Sanksi (bila diperlukan) 

Memuat rumusan akademik mengenai ketentuan sanksi administratif, perdata, pidana, sesuai dengan sifat pelanggaran atau kejahatan dalam masing-masing bab substansi.

 

5. Ketentuan Peralihan (bila diperlukan)

Bab ketentuan peralihan ini diperlukan apabila materi hukum tersebut telah pernah diatur sebelumnya dan kemudian diatur kembali. Ketentuan peralihan dapat memuat pokok pemikiran antara lain yang menyangkut:

- Penerapan peraturan perundang-undangan baru terhadap keadaan yang terdapat pada waktu peraturan perundang-undangan mulai berlaku.

- Bagaimana seharusnya pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan yang baru itu.

- Kemungkinan adanya penyimpangan. Aturan khusus bagi keadaan hubungan yang sudah ada pada saat mulai berlakunya peraturan yang baru.

- dan sebagainya.

 

6. Ketentuan Penutup

Ketentuan Penutup dapat memuat rumusan norma beserta alternatifnya, yang antara lain mengenai:

- Penunjukan organ atau alat perlengkapan yang melaksanakan undang-undang.

- Nama singkat undang-undang.

- Status peraturan perundang-undangan yang sudah ada.

- Saat mulai berlakunya undang-undang tersebut.

- Ketentuan tentang pengaruh undang-undang yang baru terhadap undang-undang yang lain.

- Kedudukan peraturan perundang-undangan yang pernah berlaku dan mengatur materi yang sama.

Thursday, 11 February 2021

Permukiman Terapung dan Mitigasi Banjir


Pengelolaan Permukiman Terapung Berbasis Kearifan Lokal untuk 

Mitigasi Bencana Banjir

Kondisi iklim yang ekstrim terhadap sumber air membuat permukiman terapung memiliki potensi bencana yang lebih besar dibandingkan dengan permukiman di darat. Salah satu cara untuk mengatasi bencana permukiman terapung di danau adalah melalui pengelolaan permukiman di atas air dengan kearifan lokal. Maka dari itu perlu dilakukan pengembangan model pengaturan lingkungan permukiman apung untuk mengatasi bencana secara efektif untuk kelangsungan hidup. Metode penelitian kualitatif dengan analisis yang tepat yaitu Model Spradley digunakan untuk mengidentifikasi pembangunan struktur permukiman guna memaksimalkan model yang ada dalam menghadapi bencana. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa model pengelolaan lingkungan cenderung bergerombol dan tersebar tidak teratur berdasarkan kearifan lokal sesuai dengan arah angin, vegetasi pelampung, kawasan sakral, keberadaan tiang, dan lintasan perahu.

 

1.  Danau sebagai permukiman terapung


Danau yang berukuran besar selain biasa menjadi daerah penangkapan ikan juga dijadikan alternatif tempat hidup di atas air. Karakteristik pasang surut di danau tersebut sangat mempengaruhi pengelolaan danau sebagai tempat hidup dan daerah penangkapan ikan (Naing, 2008).  Permukiman terapung di danau besar biasanya dikelola dengan kearifan lokal terkait dengan sistem pengelolaan sumber daya alam dan pengetahuan berdasarkan hukum adat, selain peraturan pemerintah daerah. Selain itu juga berkaitan dengan cara pandang berupa sistem keyakinan dan interpretasi lingkungan dunia di sekitarnya (Naing, 2008).


Posisi pemukiman terapung menciptakan pola berdasarkan kondisi geografis / aturan alam dan beberapa warisan kearifan lokal selama puluhan tahun. Aturan tersebut meliputi penempatan rumah pada vegetasi, tempat sakral dan jalur perahu. Maka perlu dipelajari model tata kelola lingkungan ini agar bisa memitigasi bencana akibat angin kencang dan gelombang aliran air.

 

Penting untuk mengkaji pola permukiman pada permukiman terapung untuk mengatasi bencana. Studi harus dimaksudkan untuk menemukan model pola tata kelola lingkungan dalam penanggulangan bencana berbasis kearifan lokal.

 

2.  Kajian permukiman terapung


Kajian sebaiknya menggunakan metode kualitatif untuk mengeksplorasi objek alam permukiman terapung di danau besar di Indonesia. Teknik pengumpulan data adalah observasi partisipan, wawancara mendalam, studi dokumentasi melalui foto atau perekaman gambar melalui film serta rekonstruksi skala sosial. Selain itu, pengumpulan data juga menggunakan teknik triangulasi.


Kajian sebaiknya menggunakan model analisis dari Spradley (1980), karena kegiatan analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif, dari domain yang luas kemudian difokuskan pada tahap analisis dari tema analisis domain, taksonomi, komponensial dan budaya. Proses kajian kualitatif diawali dengan “key informant” yang dapat diandalkan untuk “membuka pintu” bagi yang ingin mengkaji lanjutan dalam rangka memasuki objek kajian berikutnya.

 

Informan terdiri dari warga permukiman apung, dan pemerintah terkait. Kajian dilakukan dengan melakukan wawancara kepada informan dan mencatat hasil wawancara tersebut. Setelah itu perhatian kita tertuju pada objek kajian dan mulai mengajukan pertanyaan deskriptif, dilanjutkan dengan analisis hasil wawancara.

 

Berdasarkan hasil analisis wawancara, dilakukan analisis domain. Kajian menentukan fokus dan taksonomi analisis. Berdasarkan analisis taksonomi, peneliti mengajukan pertanyaan kontras dan dilanjutkan dengan analisis komponensial. Hasil analisis komponen menjadi dasar untuk menemukan tema budaya. Berdasarkan temuan kajian tersebut dituliskan laporannya secara etno-arsitektural.

 

3. Pemanfaatan ruang di danau besar


Danau besar dengan luas lebih dari 10.000 ha merupakan lokasi perairan yang potensial. Danau besar merupakan salah satu sumber air tawar besar yang dapat digunakan sebagai tempat hidup diatas air dengan sistem pemukiman apung, vegetasi apung sebagai tempat berkembang biak berbagai jenis burung langka dan bisa dijadikan sebagai tujuan wisata. Berbagai aturan adat dan penambahan peraturan pemerintah diberlakukan untuk mencegah penyalahgunaan danau yang dapat merusak beberapa ekosistem di habitatnya dan melestarikan secara turun-temurun dalam memanfaatkan danau.

 

Aturan adat berkaitan dengan pemanfaatan danau sebagai lokasi penangkapan ikan, aturan lokasi tempat tinggal, larangan menangkap ikan di daerah tertentu dan daerah untuk tumbuh tumbuhan apung. Perlu diatur tempat-tempat yang merupakan lokasi pembenihan ikan di tepi danau. Kawasan danau bisa dikuasai oleh beberapa kelompok berdasarkan lelang oleh pemerintah atas persetujuan tetua adat dalam kurun waktu tertentu atau seacara berkala.

 

Bagi masyarakat nelayan yang tidak memiliki cukup kemampuan untuk membeli tempat dimaksud, dapat memanfaatkan lokasi memancing di luar daerah dengan membuat penangkaran di tengah danau. Untuk keberlangsungan sumber daya alam perlu disediakan kawasan khusus yang terletak di tengah danau pada tempat-tempat tertentu diberi tanda tiang tinggi sebagai tempat kawasan yang dilarang untuk melakukan pemasangan alat tangkap atau kegiatan memancing.

 

Sebagai contoh sangat menarik hasil penelian Naidah Naing tentang model pengelolaan permukiman terapung berbasis kearifan lokal untuk mitigasi bencana di Danau Tempe menyampaikan bahwa:

 

a.  Orientasi permukiman terapung

Beberapa teori orientasi menyatakan bahwa setiap suku memiliki orientasi yang berbeda-beda untuk menempatkan rumahnya dalam kelompok pemukiman. Itu tergantung pada perkembangan budaya di masyarakat. Ini terkait dengan arah, jalur, dan simpul pelampung pemukiman.  Arah pertentangan kontekstual yang biasa digunakan untuk posisi rumah terhadap benda / rumah lain dalam sebuah rumah. Selain posisi horizontal, juga terdapat pertentangan kontekstual lain untuk menggambarkan pergerakan vertikal air. Penentuan arah didasarkan pada posisi rumah terhadap air danau atau posisi tanah terhadap danau.

 

b. Jalur masuk dan keluar

Permukiman apung di Danau Tempe memiliki pola tata letak berdasarkan jalur masuk dan keluar kapal. Jalur perahu di sekitar pemukiman pelampung terletak di depan, kiri, kanan dan belakang. Setiap rumah mempunyai jarak tertentu dengan rumah lainnya. Tata letak permukiman terapung tidak diatur oleh konsep alam semesta seperti yang dikemukakan Indorf (2002), yang berlaku untuk beberapa lahan permukiman tradisional di Indonesia, tetapi didasarkan pada kemudahan aksesibilitas. Jalur perahu digunakan sebagai pedoman untuk mengakses kelompok pemukiman apung di Danau Tempe. Pengelolaan lintasan perahu juga terkait dengan mitigasi bencana. Jarak tertentu antara rumah dan lintasan perahu berarti gelombang yang ditimbulkan oleh getaran mesin tidak membuat pelampung permukiman bergerak atau bergeser menjauh dari tempatnya.

 

c.   Tiang tunggal tengah

Penilaian arah angin menunjukkan bahwa permukiman apung tidak memiliki orientasi tetap pada empat mata angin. Namun arah angin dapat mempengaruhi arah permukiman apung ini. Hal ini dipengaruhi oleh keberadaan tiang sebagai titik tunggal dalam pengelolaan permukiman apung sebagai pusat horizontal rumah. Tiang yang rapat dapat diartikan sebagai alat untuk mengubah permukiman apung di atas air.  Tiang tunggal sebagai poros rumah dapat sewaktu-waktu mengubah orientasi rumah, tergantung kondisi angin.  Minimal ruang permukiman dua kali panjang pelampung membuat permukiman pelampung tidak pernah berpotongan meski dalam kondisi berangin.

 

d.  Posisi permukiman apung terhadap vegetasi

Terdapat vegetasi apung di sekitar pemukiman apung di Danau Tempe, seperti eceng gondok dan bayam untuk melindungi pemukiman apung dari angin dan gelombang keras. Di tengah rumpun tumbuhan ditanam bambu ke dasar danau untuk menahan tumbuhan ini dari gelombang keras. Angin kencang atau badai dapat menimbulkan gelombang di danau, arah angin akan dibelokkan dan tertahan oleh vegetasi, sehingga rumah dan lingkungan sekitar dapat terlindung dari hambat gelombang.

 

e.   Posisi permukiman terhadap tempat tertentu

Terkait dengan posisi pemukiman, beberapa tempat tertentu oleh masyarakat harus dihindari. Citra lingkungan berkaitan dengan adat istiadat dan kepercayaan yaitu tempat tertentu tersebut tidak dapat digunakan untuk pemukiman. Menurut kearifan lokal, permukiman apung harus dijauhkan dari tempat tersebut karena jika terlalu dekat maka dapat menibulkan rumah terbalik, namun hal ini dapat dijelaskan secara ilmiah. Ada gundukan tanah di permukaan dasar danau yang berkontur di setiap titik tempat tertentu tersebut. Permukiman apung yang bergerak di tempat tertentu akan terbalik karena menabrak gundukan di tempat tersebut. Hal ini untuk menghindari bencana akibat kontur dasar Danau Tempe.

 

4. Kesimpulan

 

Pola pemukiman apung merupakan perpaduan antara pola tidak beraturan dan mengelompok berdasarkan ikatan / kekerabatan. Untuk mengantisipasi bencana, model pengelolaan permukiman terapung dipengaruhi oleh: (1) Arah angin terdiri dari arah mutlak dan kontekstual mengikuti arah angin dan pergerakan air; (2) Jalur perahu dekat permukiman terapung; (3) Tiang tengah berfungsi untuk membuat rumah lebih fleksibel terhadap pergerakan angin, sehingga berdampak pada ketahanan struktur dan material rumah; (4) Lokasi permukiman apung pada vegetasi, berfungsi sebagai pelindung permukiman dari angin dan ombak yang kuat; (5) Mengapungkan posisi permukiman dari tempat tertentu, menurut kepercayaan masyarakat di Danau Tempe beberapa tempat harus dijauhkan dari permukiman.

 

5. Saran

 

Pengelolaan permukiman terapung perlu dilestarikan sebagai kearifan lokal. Struktur sistem permukiman apung dengan tiang pengikat telah terbukti mampu memitigasi bencana selama puluhan tahun di atas air, sehingga kehidupan di atas air dapat terus berjalan. Walaupun secara umum tata letak permukiman apung telah mampu menanggulangi bencana, namun masih terdapat beberapa kelemahan yang perlu disempurnakan seiring pemasangan beberapa rumah secara berkelompok. Selain itu, diperlukan penambahan bambu di sekitar kelompok pemukiman pelampung untuk memecah hembusan angin.

 

SUMBER:

Naidah Naing.  2020. Model of settlements float management based on local wisdom for disaster mitigation in Tempe Lake – Indonesia

 

Sunday, 7 February 2021

Jenis dan Bentuk Karya Tulis Ilmiah


Menurut Pedoman Penyusunan Karya Tulis Ilmiah bagi Pejabat Fungsional Rumpun Ilmu Hayat Lingkup Pertanian dengan penjelasan sebagai berikut.

A. JENIS KARYA TULIS ILMIAH

Terdapat beberapa jenis karya tulis ilmiah, namun mengacu pada Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi tentang jabatan fungsional RIHP dan angka kreditnya, pedoman ini mengkategorikan menjadi dua jenis, yaitu :

1. Hasil penelitian/pengkajian/survei/evaluasi;

2. Makalah hasil tinjauan/telaahan/ulasan.

 

B. BENTUK KARYA TULIS ILMIAH

Karya tulis ilmiah dapat berbentuk buku dan non buku. Jumlah minimal halaman dalam pedoman ini dimaksudkan hanya untuk batang tubuh karya tulis ilmiah (tidak termasuk halaman judul, kata pengantar, daftar isi/tabel/gambar), dengan persyaratan sebagai berikut:

1. KARYA TULIS ILMIAH DALAM BENTUK BUKU

Karya tulis ilmiah dalam bentuk buku terdiri atas karya tulis ilmiah yang dipublikasikan dan karya tulis ilmiah yang tidak dipublikasikan.

 

a. Karya tulis ilmiah dalam bentuk buku dipublikasikan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1) Diterbitkan oleh suatu lembaga/organisasi profesi atau penerbit yang berbadan hukum dan diedarkan secara internasional/nasional;

2) Memiliki International Standard of Book Numbers (ISBN).

 

b. Karya tulis ilmiah dalam bentuk buku tidak dipublikasikan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1) Didokumentasikan pada perpustakaan instansi/lembaga, yang dibuktikan dengan nomor katalog buku perpustakaan dan surat keterangan dari perpustakaan instansi. 2) Jumlah minimal 20 halaman atau minimal 5000 kata dengan spasi 1.5, karakter huruf arial, dan ukuran huruf 12.

 

2. KARYA TULIS ILMIAH DALAM BENTUK NON BUKU

Karya tulis ilmiah dalam bentuk non buku terdiri atas karya tulis ilmiah yang dipublikasikan dan karya tulis ilmiah yang tidak dipublikasikan.

a. Karya tulis ilmiah dalam bentuk non buku yang dipublikasikan, terdiri atas:

Karya tulis ilmiah dalam bentuk non buku yang dipublikasikan dapat berbentuk jurnal/majalah, proceeding dan internet.

1) Jurnal dan majalah, harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a) diterbitkan oleh suatu lembaga/organisasi ilmiah/profesi atau penerbit berbadan hukum, baik nasional maupun internasional;

b) memiliki International Standard of Serial Numbers (ISSN).

2) Proceeding yang diterbitkan oleh panitia/penyelenggara forum ilmiah tertentu baik di dalam maupun luar negeri.

3) Internet yang diterbitkan melalui website lembaga/organisasi ilmiah.

 

b. Karya tulis ilmiah dalam bentuk non buku yang tidak dipublikasikan

Karya tulis ilmiah dalam bentuk non buku yang tidak dipublikasikan, dapat berbentuk naskah ataupun makalah.

1) Naskah sebagai bahan/referensi di perpustakaan instansi/lembaga, dengan kriteria:

a) Didokumentasi pada perpustakaan instansi/ lembaga, yang dibuktikan dengan nomor katalog buku perpustakaan dan surat keterangan dari perpustakaan instansi.

b) Jumlah minimal 5 halaman atau minimal 1500 kata, ukuran kertas A4 dengan spasi 1.5, karakter huruf arial, dengan ukuran huruf 12.

 

2) Makalah dalam pertemuan ilmiah, dengan kriteria:

a) Makalah yang dijilid dalam bentuk “buku”

(1) Didokumentasi pada perpustakaan instansi/lembaga, yang dibuktikan dengan nomor katalog buku perpustakaan dan surat keterangan dari perpustakaan instansi.

(2) Melampirkan sertifikat/surat keterangan dari instansi/lembaga penyelenggara sebagai penyaji dalam pertemuan ilmiah.

(3) Jumlah minimal 10 halaman atau minimal 2500 kata, spasi 1.5, karakter huruf arial, dengan ukuran huruf 12.

 

b) Majalah

(1) Didokumentasi pada perpustakaan instansi/ lembaga, yang dibuktikan dengan nomor katalog buku perpustakaan dan surat keterangan dari perpustakaan instansi.

(2) Melampirkan sertifikat/surat keterangan dari instansi/lembaga penyelenggara sebagai penyaji dalam pertemuan ilmiah. (3) Jumlah minimal 5 halaman atau minimal 1500 kata, spasi 1.5, karakter huruf arial, dengan ukuran huruf 12.

 

SUMBER:

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 34/Permentan/OT.140/6/2011 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN KARYA TULIS ILMIAH BAGI PEJABAT FUNGSIONAL RUMPUN ILMU HAYAT LINGKUP PERTANIAN