Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Friday, 22 March 2024

Cegah Infeksi Cacing Pita dari Hewan

 

Pencegahan Infeksi Cacing Pita dari Hewan Ternak


Infeksi cacing pita atau penyakit taeniasis/sistiserkosis menurut WHO merupakan salah satu 17 “penyakit tropis terabaikan” yang menyerang masyarakat miskin di dunia. Diperkirakan 2,5 juta orang terinfeksi cacing pita dan terdapat 50.000 kematian setiap tahunnya akibat serangan cacing pita pada sistem saraf pusat.

 

Selain kejadian ini, sering dilaporkan gejala berat infeksi cacing pita berupa meningitis atau peradangan selaput meningen otak yang sering menyebabkan epilepsi dan dapat berakhir dengan kematian. Penyakit ini digolongkan penyakit zoonosis karena ditularkan dari hewan ke manusia dan sebaliknya. Begitu bahayanya penyakit ini dan bersifat zoonosis, maka penanganan penyakit infeksi cacing pita perlu mendapat perhatian khusus.

 

Terdapat dua jenis cacing pita utama yang menyebabkan penyakit taeniasis/sistiserkosis yaitu Taenia solium dan Taenia saginata. Taenia solium dengan inang antara babi. Sedangkan Taenia saginata inang antaranya sapi. Taeniasis adalah penyakit cacing pita yang disebabkan oleh cacing taenia dewasa, sedangkan sistiserkosis adalah penyakit pada jaringan lunak yang disebabkan oleh larva dari salah satu spesies cacing taenia.

 

Gejala penyakit

 

Sebagian besar kasus taeniasis/sistiserkosis umumnya asimtomatik atau tak tampak gejalanya. Namun, ada beberapa penderita yang mengalami berbagai keluhan atau gejala. Gejala yang muncul bergantung pada bentuk cacing pita yang masuk ke dalam tubuh. Gejala yang dapat terjadi pada penderita infeksi cacing pita yaitu rasa nyeri pada perut bagian atas; berat badan turun tanpa sebab yang jelas; mual dan muntah; nafsu makan menurun; gangguan pencernaan (diare); peradangan sekitar anus; dan terlihat cacing atau telur cacing pada tinja.

Jika larva cacing bermigrasi keluar dari usus dan membentuk kista pada jaringan tubuh lain, maka penderita taeniasis/sistiserkosis akan merasakan beberapa gejala seperti: munculnya benjolan dibawah kulit; sakit kepala; batuk atau nyeri pada paru-paru; reaksi alergi terhadap larva; dan gejala syaraf termasuk kejang-kejang. Sistiserkosis di mata dapat menimbulkan keluhan berupa penurunan penglihatan, nyeri, dan kemerahan mata yang berulang.

 

Distribusi global

 

Data mengenai epidemiologi taeniasis/sistiserkosis tidak menggambarkan infeksi oleh taenia yang sebenarnya, karena banyak infeksi yang bersifat asimptomatik atau tidak memperlihatkan gejala klinis. Secara umum, prevalensi atau angka kejadian penyakit taeniasis/sistiserkosis lebih banyak ditemukan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

 

Infeksi Taenia solium lebih banyak ditemukan di negara-negara berkembang seperti negara-negara di Afrika, Asia, dan Amerika latin. Sementara itu, infeksi Taenia saginata lebih sporadik dan dapat ditemukan di negara-negara maju di Eropa, Selandia Baru, dan Australia. Taenia asiatica hanya ada di Asia, seperti Indonesia, Kore Selatan, India atau Thailand.

 

Angka kejadian penyakit akibat Taenia solium di negara-negara Afrika, Amerika Latin, dan Asia secara berurutan adalah 7,30%, 4,08%, dan 3,98%. Angka seroprevalensi untuk Taenia solium di negara-negara tersebut secara berurutan adalah 17,37%, 13,03%, dan 15,68% (Coral-Almeida M dkk., 2019). Analisis yang dilakukan oleh tim peneliti Saratsis A dkk.(2019) prevalensi infeksi Taenia saginata di negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara berdasarkan pemeriksaan mikroskop berkisar 0,02–8,6%.

 

Kejadian di Indonesia

 

Berdasarkan data WHO pada tahun 2015, Indonesia merupakan salah satu negara endemis Taenia solium. Di Indonesia taeniasis/sistiserkosis terutama ditemukan di Sumatera Utara, Bali dan Irian Papua. Sejumlah kasus juga ditemukan di Lampung, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur dan Kalimantan Barat. Di Indonesia prevalensi taeniasis/sistiserkosis dilaporkan tahun 2018 berkisar 2-48%, prevalensi tertinggi ditemukan di Papua (Elva Susanty. 2018).

 

Papua merupakan salah satu daerah di Indonesia yang banyak mengonsumsi daging babi. Hasil laporan survei kesehatan daerah di wilayah Papua melaporkan bahwa distribusi Taenia solium di Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten Paniai, Kabupaten Pegunungan Bintang, dan Kabupaten Puncak Jaya berkisar 1,6-10,2%. Infeksi Taenia saginata lebih banyak ditemukan di Provinsi Bali, terutama di Kabupaten Gianyar. Selama tahun 2002-2009, ditemukan 80 kasus taeniasis/sistiserkosis akibat Taenia saginata dan 84% kasus didapatkan di kabupaten Gianyar.

 

Terdapat studi terbaru yang menunjukan bahwa Taenia asiatica juga ditemukan di daerah endemik yang sebelumnya belum teridentifikasi yaitu di Kecamatan Silou Kahean, Kabupaten Simalungun. Tradisi yang terdapat di Simalungun kemungkinan menjadi salah satu penyebab munculnya kasus infeksi cacing pita. Tradisi tersebut berupa kebiasaan masyarakat Simalungun memakan hidangan yang disebut “Hinasumba”, yang terdiri atas hati dan daging babi yang mentah; dan “Naiholat” yang terdiri atas daging babi yang dimasak kurang matang (Muhda Y. dan Umar Z, 2024).

 

Terdapat catatan bahwa kasus taeniasis/sistiserkosis tidak hanya dapat muncul di daerah yang telah terpapar, namun dapat juga muncul di berbagai daerah lain dengan probabilitas yang tinggi dikarenakan adanya perjalanan antar daerah yang dilakukan oleh orang yang terinfeksi.

 

Siklus hidup Taenia solium

 

Taenia solium memerlukan dua vertebrata sebagai inangnya untuk dapat melakukan pengembangbiakan. Kedua inang tersebut berperan sebagai inang antara dan inang definitif. Babi merupakan inang antara T. solium, sedangkan manusia bertindak sebagai inang definitif. Siklus hidup cacing ini diawali dengan tertelannya telur oleh inang antaranya. Adanya asam lambung inang antara akan memecah telur taenia. Larva onkosfer yang menetas akan melakukan penetrasi ke dalam pembuluh darah dan mengalir ke seluruh tubuh. Larva onkosfer tersebut berubah menjadi sistiserkus ketika mencapai otot (daging), jaringan subkutan atau bawah kulit, otak, hati, jantung, otot lurik dan mata.

 

Siklus hidup dapat berlanjut jika manusia mengonsumsi daging babi yang mengandung sistiserkus tanpa dimasak secara sempurna (lebih dari 60 derajat Celsius). Cacing ini melakukan invaginasi pada dinding usus halus dan menjadi dewasa. Dua bulan setelah infeksi, selanjutnya cacing dewasa akan melepaskan proglotida gravid yaitu segmen tubuh cacing yang telah matang dipenuhi telur.

 

Faktor risiko

 

Beberapa faktor yang menyebabkan seseorang lebih berisiko terkena taeniasis/sistiserkosis:

(1) Tidak menjaga kebersihan pribadi dengan baik. Misalnya, tidak mencuci tangan sebelum makan dan ketika mengolah makanan;

(2) Kontak dengan kotoran hewan seperti pekerja di peternakan ketika melakukan pembuangan kotoran hewan ternak tidak sesuai aturan biosekuriti;

(3) Bepergian ke negara-negara berkembang yang sanitasinya buruk;

(4) Mengonsumsi daging mentah atau dimasak kurang sempurna;

(5) Berada di kawasan endemik taeniasis/sistiserkosis;

(6) Kurangnya praktik pemeriksaan daging di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) dan kurangnya kemampuan untuk mengenali daging terinfeksi larva Taenia.

 

Diagnosis

 

Seperti penyakit pada umumnya, dokter akan melakukan wawancara medis dan pemeriksaan fisik seputar gejala-gejala yang terjadi pada pasien. Kemudian, dokter akan melakukan pemeriksaan lanjutan dari pemeriksaan taenia pada sampel tinja, tes darah lengkap, hingga pemeriksaan pemindaian seperti computerized tomography (CT) scan, rontgen, hingga Magnetic Resonance Imaging (MRI) ketika pasien mengalami infeksi berat.

 

Pengobatan

 

Pada beberapa kasus, orang dengan infeksi cacing pita bisa sembuh tanpa pengobatan, cacing pita akan keluar dari tubuh dengan sendirinya. Namun untuk menangani taeniasis/sistiserkosis, biasanya dokter akan meresepkan beberapa obat untuk membasmi cacing pita dewasa. Untuk infeksi invasif (berkembang dengan cepat dan seringkali berdampak fatal), dokter akan menangani berdasarkan lokasi dan efek infeksi. Beberapa obat yang biasanya dokter resepkan adalah praziquantel dan albendazole. Kedua obat ini mampu membunuh cacing pita dan juga telurnya.

Perlu dilakukan pengobatan masal terhadap orang yang terinfeksi di daerah endemik. Untuk dapat membersihkan seluruh cacing dan infeksi di dalam tubuh, obat ini perlu dikonsumsi selama beberapa minggu. Akhirnya, cacing keluar melalui tinja. Namun ada beberapa efek samping yang dapat ditimbulkan setelah mengonsumsi obat ini. Seperti pusing dan sakit perut. Maka penggunaan obat ini dilakukan dengan petunjuk dan pengawasan dokter.

 

Pencegahan

 

Diagnosis taeniasis/sistiserkosis saluran pencernaan harus dilakukan secara cepat dengan mengamati adanya cacing didalam kotoran ternak. Dalam kesehatan hewan ternak, upaya pencegahan infeksi penyakit akibat cacing harus dilakukan sebelum infeksi. Untuk mengetahui adanya telur cacing dengan cara memeriksa dan mengidentifikasi telur cacing yang ada didalam kotoran hewan ternak. Hal ini dilakukan untuk mendeteksi adanya infeksi cacing terutama cacing yang berada pada saluran pencernaan ternak dengan cara cepat, mudah dan efektif.

Kotoran hewan ternak mengandung taenia dapat mencemari lingkungan sehingga menimbulkan penyebaran penyakit baik terhadap ternak maupun manusia. Telur cacing pita ini dapat masuk ke dalam tubuh karena sapi mengonsumsi rumput dan air yang telah terkontaminasi oleh telur cacing pita dari kotoran hewan ternak. Maka dari itu kita perlu menangani limbah kotoran tenak dengan cara yang benar agar tidak mencemari lingkungan.

 

Masih banyak pengelolaan limbah kotoran ternak yang dilakukan secara tidak memadai. Lokasi pembuangan limbah ini berdekatan dengan saluran limbah pemukiman di sekitar peternakan. Sebagai jalan keluar, kotoran ternak sapi digunakan sebagai pupuk organik setelah melalui proses pengomposan dengan benar terlebih dahulu sehingga tidak mengganggu sanitasi kandang dan kebersihan lingkungan. Untuk meningkatkan kesadaran dan kemampuan peternak maka perlu diadakan penyuluhan tentang pengolahan limbah ternak menjadi pupuk organik.

 

Kesimpulan dan saran

 

Pencemaran lingkungan yang mengandung telur dan larva cacing pita dapat menjadi salah satu faktor risiko zoonosis yang dapat menimbulkan infeksi cacing pada manusia. Untuk mencegah dan mengendalikannya kita perlu menangani limbah kotoran ternak dengan cara yang benar.

 

Surveilans pemeriksaan cacing pita pada kotoran ternak merupakan metode yang efisien karena pengambilan sampelnya relatif mudah dengan biaya murah. Pemeriksaan telur dan larva cacing pita pada kotoran hewan ternak dapat digunakan untuk mendiagnosis penyakit cacing pita.

 

Untuk mencegah infeksi cacing pita, terdapat beberapa cara yang harus dilakukan, yaitu: (a) Mencuci tangan menggunakan sabun dan air mengalir, terutama setelah menggunakan toilet; mengganti popok, sebelum makan atau mengolah makanan; (b) Mencuci sayuran dan buah-buahan hingga bersih sebelum dimakan; (c) Memastikan makanan dan minuman yang dikonsumsi sudah dimasak hingga matang, khususnya ketika bepergian ke tempat dengan kasus taeniasis/sistiserkosis tinggi.

 

SUMBER:

Pudjiatmoko.  Pencegahan infeksi cacing pita dari hewan ternak. News. Okezone. 4 Februari 2024.

https://nasional.okezone.com/read/2024/02/04/337/2965163/pencegahan-infeksi-cacing-pita-dari-hewan-ternak?utm_medium=sosmed&utm_source=whatsapp

Mitigasi Emisi Gas Rumah Kaca di Peternakan

 

Strategi Mitigasi Emisi Gas Rumah Kaca Sektor Peternakan


Produk dan jasa peternakan memegang peranan penting bagi kemaslahatan manusia. Peternakan menyediakan 33% protein global dan 17% kalori global yang dikonsumsi manusia. Produksi peternakan menghasilkan hampir 40% produk domestik bruto pertanian global.

 

Sektor peternakan ini menciptakan peluang kerja yang besar bagi masyarakat di pedesaan. Selain itu, peternakan merupakan penyedia utama pangan untuk keamanan nutrisi, sekaligus sebagai sumber mata pencaharian dan pendapatan penduduk negara berkembang.

 

Laju pertumbuhan populasi dan peningkatan pendapatan penduduk di muka bumi menimbulkan permintaan produk peternakan berkembang pesat.

 

Pada saat yang sama, produksi peternakan menghadapi tekanan perubahan iklim, seperti peningkatan suhu, pola curah hujan lebih bervariasi, kondisi ekstrem lebih sering terjadi, dan peningkatan konsentrasi karbon dioksida di udara. Perubahan tersebut sangat berdampak pada kinerja peternakan di banyak wilayah. Prediksi secara luas mengindikasikan dampak negatif semakin besar.

 

Sementara itu, peternakan secara langsung merupakan sumber gas metana dan dinitrogen oksida. Secara tidak langsung menjadi sumber gas dan karbon melalui penggunaan lahan dan produksi pakan.

 

Pada tingkat global, kontribusi emisi peternakan diperkirakan mencapai 14,5% dari total emisi antropogenik. Emisi antropogenik merupakan emisi yang diakibatkan oleh aktivitas manusia, yaitu gas emisi yang berasal dari usaha peternakan, pertanian, alat transportasi, alat industri dan pembakaran hutan.

 

Pada saat ini terdapat interaksi antara perubahan iklim yang sedang berlangsung dan tuntutan peningkatan produksi peternakan. Ini menjadi tantangan bagaimana meningkatkan produksi sekaligus menurunkan dampak iklim. Termasuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK).

 

Untuk mengatasi tantangan tersebut diperlukan pemahaman mengenai dampak perubahan iklim terhadap produksi peternakan, serta dampak dari tindakan mitigasi.

 

Terdapat langkah-langkah mitigasi untuk mengurangi emisi GRK peternakan. Intensitas emisi peternakan sangat bervariasi antara sistem produksi di suatu wilayah. Potensi mitigasinya terletak pada kesenjangan antara teknik pengelolaan yang menghasilkan intensitas emisi terendah dan tertinggi.

 

Para peneliti memperkirakan bahwa emisi dari sektor peternakan dapat dikurangi sebesar 30%. Syaratnya jika produsen harus menggunakan sistem, di wilayah, dengan iklim tertentu mengadopsi praktik yang diterapkan oleh 10% produsen teratas dengan intensitas emisi terendah. Terdapat empat tindakan mitigasi untuk mengurangi emisi GRK peternakan yang akan dibahas sebagai berikut.

 

Pengelolaan sumber daya lahan

 

Mitigasi peternakan yang substansial terletak pada pengelolaan peternakan dan penggunaan lahan. Thornton dkk. (2010) memperkirakan bahwa potensi mitigasi maksimum dari pengelolaan ternak dan padang rumput sekitar 7% dari potensi mitigasi peternakan global hingga tahun 2030. Strategi yang dapat dilakukan adalah penerapan padang rumput yang lebih baik, intensifikasi pola makan ternak, perubahan bibit ternak, pengurangan tingkat penebaran, dan menurunkan intensitas penggembalaan.

 

Havlik dkk. (2014) menunjukkan bahwa pengurangan emisi yang signifikan dapat dicapai melalui perubahan ke sistem peternakan yang lebih efisien dan tidak memerlukan banyak lahan.

Kebijakan mitigasi yang menargetkan emisi terkait perubahan penggunaan lahan adalah 5–10 kali lebih efisien dibandingkan kebijakan yang hanya menargetkan emisi dari peternakan.

 

Kategori mitigasi tentang penggunaan lahan lainnya terkait penyerapan karbon, terutama berhubungan dengan produksi pangan asal tanaman. Tindakan penyerapan karbon mencakup penggunaan pengolahan tanah konservasi, pemilihan tanaman dengan hasil lebih produktif, pengurangan deforestasi, konversi lahan pertanian menjadi padang rumput, dan perbaikan spesies rumput.

 

Pengelolaan fermentasi enterik

 

Secara global, peternakan menempati sekitar 26% lahan. Sepertiga lahan peternakan digunakan untuk memproduksi pakan ternak. Fermentasi enterik merupakan sumber utama emisi metana dari ternak ruminansia. Sumber emisi ini dapat dikurangi melalui pengelolaan pola makan dan genetika.

 

Strategi nutrisi dan pemberian pakan seperti meningkatkan kecernaan hijauan dapat mengurangi emisi metana enterik sebesar 2,5–15% per unit susu yang diproduksi. Pengurangan emisi ini lebih signifikan dapat dicapai jika dikombinasikan dengan pendekatan genetik dan pengelolaan pakan. Bahan tambahan dan suplemen pakan, seperti antibiotik, lipid, biji-bijian, dan ionofor, juga telah terbukti dapat menurunkan emisi metana enterik.

 

Pengelolaan kotoran ternak

 

Kotoran ternak menghasilkan emisi nitrogen oksida dan metana. Sebagian besar terkait dengan metode penyimpanan dan penanganan. Perubahan praktik penyimpanan kotoran dapat mengurangi emisi GRK kotoran. Hal ini termasuk durasi penyimpanan yang lebih singkat, suhu penyimpanan yang lebih rendah, pemisahan kotoran padat-cair, dan penggunaan air yang lebih sedikit.

 

Proses pencernaan anaerobik, dimana mikroorganisme memecah kotoran ternak tanpa adanya oksigen, menghasilkan campuran biogas terutama metana dan karbondioksida. Biogas yang ditangkap digunakan sebagai bioenergi untuk menghasilkan panas atau listrik. Hal ini juga secara tidak langsung mengurangi emisi GRK dengan mengganti energi fosil yang menghasilkan banyak emisi. Dengan mengubah komposisi emisi dari kombinasi tradisional nitrogen oksida dan metana menjadi kombinasi karbondioksida dan metana.

Pengolahan anaerobik dapat menghasilkan pengurangan emisi GRK sebesar lebih dari 30% dibandingkan dengan pengolahan kotoran tradisional. Penyesuaian pola makan hewan dapat mengubah volume dan komposisi kotoran sehingga dapat mengurangi emisi dari kotoran.

 

Pengelolaan pupuk

 

Penggunaan pupuk untuk produksi pakan asal tanaman menyumbangkan emisi nitrogen oksida. Strategi mitigasi terkait bertujuan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan nitrogen. Upaya yang dilakukan meliputi pemanfaatan nitrogen yang dilepaskan, penerapan presisi, pupuk organik, pemuliaan tanaman, modifikasi genetik, dan perubahan spesies tanaman.

 

Namun, menghitung potensi mitigasi dalam peningkatan efisiensi pupuk pada produksi pakan ternak merupakan hal yang rumit, ini menyisakan celah untuk diteliti di masa depan.

Praktik lain yang dapat dilakukan terkait pengurangan emisi dari produksi pakan adalah dengan mengubah jenis pakan ternak.

 

Potensi penggunaan protein mikroba sebagai pengganti pakan, yang dapat menggantikan 10–19% kebutuhan protein pakan ternak berbasis tanaman konvensional, yang menghasilkan pengurangan emisi GRK pertanian sebesar 7%.

 

Kesimpulan dan Saran

 

Sektor peternakan merupakan salah satu penyumbang emisi gas rumah kaca yang perlu ditanggulangi dengan tepat dan cepat. Jika tidak melakukannya akan timbul bencana yang tidak diinginkan di kemudian hari. Maka dari itu pemerintah perlu meningkatkan penerapan teknologi mitigasi akibat adanya emisi GRK dari peternakan.

Peternak harus berperan dalam upaya penurunan emisi GRK melalui budidaya ternak yang baik menggunakan bibit unggul dan pakan bermutu. Disertai kegiatan mitigasi GRK berupa pengomposan kotoran untuk pupuk dan pembuatan biogas.

 

Pemerintah perlu terus-menerus memfasilitasi mitigasi ini dengan meningkatkan program Unit Pengolahan Pupuk Organik. Penting menggalang komitmen semua pemangku kepentingan yang terlibat dalam kegiatan program ini yang tersencana dan berkesinambungan.

 

SUMBER:

Pudjiatmoko. Strategi Mitigasi Emisi Gas Rumah Kaca Sektor Peternakan. Ekonomi.Okezone. 27 Februari 2024.

https://economy.okezone.com/read/2024/02/27/320/2975973/strategi-mitigasi-emisi-gas-rumah-kaca-sektor-peternakan?page=2