Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Friday, 10 January 2014

Manfaat Paket Bali WTO Bagi Pertanian

 

Manfaat Paket Bali WTO Bagi Pertanian Indonesia


Konferensi para menteri anggota Organsasi Perdagangan Dunia (WTO) ke-9 telah berakhir pada hari Sabtu tanggal 7 Desember 2013.  Hasil konferensi di Bali ini dapat menurunkan rasa putus asa yang semakin menumpuk setelah bertahun-tahun konferensi WTO tidak menghasilkan kesepakatan yang berarti.  Sejak Putaran Doha (Doha Round) diluncurkan pada tahun 2001 di Doha-Qatar, negosiasi tidak pernah mengalami kemajuan.  Bali yang indah mempesona, hangat, sekaligus memiliki aura yang menenangkan hati, tampaknya mampu membuat para delegasi saling memberi dan menerima, yang pada akhirnya sampai pada kesepakatan.  Kesepakatan konferensi WTO di Bali, yang disebut Paket Bali, disambut gembira oleh negara-negara para peserta konferensi, yang memiliki berbagai latar belakang ideologi pembangunan ekonomi yang berbeda-beda.
 
Perdebatan Putaran Doha, atau disebut juga Agenda Pembangunan Doha, dimaksudkan untuk menciptakan aturan tunggal yang berlaku bagi 159 negara anggota WTO di berbagai bidang, seperti menurunkan pajak impor, mengurangi subsidi pertanian yang mendistorsi perdagangan, dan menciptakan prosedur standar kepabeanan.   Dengan disepakati dan diterapkannya aturan-aturan yang seragam tersebut, diharapkan pergerakan barang antar negara dapat lebih lancar dan perdagangan dunia semakin meningkat lebih cepat.  Dasar pemikiran Putaran Doha adalah, jika seluruh negara menjalankan aturan perdagangan yang sama maka semua negara akan dapat memperoleh keuntungan dari perdagangan, baik itu negara kaya maupun negara miskin.  Perdagangan yang semakin berkembang diharapkan akan menciptakan peluang-peluang usaha yang lebih banyak lagi dan membuka kesempatan kerja yang lebih besar. 
Dalam prakteknya, banyak negara yang merasa bahwa perdagangan yang lebih bebas ternyata tidak memberikan manfaat seperti yang diharapkan.  Perdagangan memang meningkat pesat, baik volume maupun nilainya, namun distribusi manfaat dari perdagangan itu dipandang belum adil.  Pada aspek keadilan inilah kritik keras disuarakan oleh banyak pihak di luar ruang-ruang konferensi WTO di berbagai tempat dan waktu.  Dalam sambutan pembukaan konferensi WTO di Bali, Presiden RI juga mengingatkan perlunya perdagangan yang memenuhi aspek keadilan bagi semua. 
Aspek keadilan telah menjadi hambatan utama bagi konferensi-konferensi WTO untuk mencapai kesepakatan di tahun-tahun sebelumnya, dan mungkin juga di tahun-tahun mendatang.  Tiadanya kemajuan yang berarti dalam konferensi-konferensi Putaran Doha WTO telah menyebabkan banyak negara membuat kesepakatan-kesepakatan perdagangan bilateral dan kesepakatan-kesepakatan perdagangaan regional dan antar kawasan, seperti Trans-Pacific Partnership antara Amerika Serikat dengan 11 negara kawasan Pasifik ataupun pasar bebas Amerika Serikat dengan Uni Eropa.  Itu sebabnya, kesepakatan yang berhasil dicapai pada konferensi WTO di Bali ini dipandang sebagai salah satu tonggak penting pagi kemajuan menuju Agenda Pembangunan Doha, sekaligus menyelamatkan relevansi WTO sebagai lembaga perdagangan multilateral.    
Paket Bali (Bali Package) terdiri dari 10 dokumen yang mencakup fasilitasi perdagangan, pertanian, dan berbagai isu pembangunan.  Paket Bali memberikan ruang dan fleksibilitas bagi negara-negara berkembang untuk mengatur kebijakan ketahanan pangannya.  Bagi Indonesia, Paket Bali tidak memberikan hambatan terhadap agenda-agenda ketahanan pangan dan pembangunan pertanian yang selama ini telah dijalankan.  Subsidi maksimal sebesar 10 persen dari total produksi pangan dalam rangka stok untuk ketahanan pangan, yang menjadi isu panas dalam konferensi WTO di Bali, juga belum pernah terlampaui oleh Indonesia.  Perbaikan prosedur kepabeanan yang ada dalam Paket Bali, juga telah menjadi program pemerintah selama ini.  Perbaikan prosedur kepabeanan di Indonesia tidak hanya dimaksudkan agar barang lebih mudah mengalir keluar-masuk, tetapi juga agar korupsi dan pungutan liar dapat dihilangkan dari kepabeanan.   

Posisi pemerintah Indonesia tetap tegas dalam menempatkan pertanian sebagai sektor strategis dalam pembangunan.  Pemerintah menyadari sektor pertanian masih menjadi sumber matapencaharian bagi mayoritas tenaga kerja di Indonesia, dan di sektor ini masih banyak petani yang taraf kehidupannya perlu ditingkatkan.  Indonesia juga telah mengalami dampak buruk dari lonjakan-lonjakan harga pangan.  Harga pangan yang naik tajam tidak saja menurunkan daya beli dan mendorong inflasi, tetapi juga menimbulkan berbagai masalah sosial dan politik.  Iklim yang semakin tidak mudah diramalkan menjadikan risiko produksi dan risiko harga meningkat, sehingga ketahanan pangan Indonesia menjadi rentan apabila sepenuhnya mengandalkan pada pasar internasional.  Indonesia tetap perlu memiliki stok pangan sebagai salah satu faktor penunjang penting ketahanan pangan.  Stok pangan nasional pada tingkat yang aman juga tetap diperlukan untuk program-program pengentasan kemiskinan dan dalam menghadapi bencana.  Berbagai aspek tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam perjuangan Indonesia di berbagai forum WTO.  Dalam konferensi WTO di Bali, Indonesia bersama-sama dengan negara berkembang lain tetap memperjuangkan subsidi pertanian.

Bagi Indonesia Paket Bali bukanlah akhir, tetapi awal dari upaya-upaya lebih keras untuk meningkatkan daya saing pertanian, ketahanan pangan nasional, dan kesejahteraan petani.  Subsidi dan topangan harga adalah kebijakan-kebijakan jangka pendek yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produksi dan pendapatan petani.  Tetapi kebijakan-kebijakan ini sering tidak berkelanjutan hasilnya dan juga dapat menciptakan ketidakadilan baru, karena sifatnya yang poorly targeted.  Kebijakan yang bertumpu hanya pada harga sering mengalami hambatan dari sisi penyediaan anggaran dan ketepatan waktu, sehingga efektivitasnya redah.  Kebijakan harga dapat membenturkan kepentingan produsen dengan kepentingan konsumen, apabila anggaran yang dialokasikan tidak memadai.  

Kebijakan meningkatkan harga untuk membantu produsen dapat berarti naiknya harga di tingkat konsumen.  Sebaliknya, menurunkan harga di tingkat konsumen bisa berdampak menekan harga yang diterima petani. 

Keberlanjutan pertanian tergantung pada kebijakan-kebijakan yang mampu meningkatkan kesejahteraan petani secara berkelanjutan.  Perbaikan dan pembangunan sarana dan prasarana pertanian, jalan desa, kelembagaan pemasaran faktor produksi dan hasil produksi, akses terhadap sarana produksi, akses terhadap tanah dan kapital, dan penemuan benih/bibit unggul dan teknik budidaya pertanian yang lebih baik adalah tugas-tugas publik yang perlu terus ditingkatkan dari tahun ke tahun, untuk memastikan petani meningkat kesejahteraannya.  Tugas pemerintah, dari tingkat pusat sampai daerah, untuk memastikan bahwa produktivitas pertanian terus tumbuh dari tahun ke tahun.  Tanah-tanah pertanian juga perlu terus dikembangkan dan tidak hanya mengandalkan tanah-tanah di Jawa. Untuk itu diperlukan pemuliaan tanaman dan pengembangan teknologi budidaya yang sesuai dengan kondisi agro-ekologi setempat.

Kebijakan harga dan subsidi harga memang hasilnya dapat secara cepat dapat dilihat daripada kebijakan non-harga.  Itu sebabnya kebijakan harga dan subsidi harga adalah kebijakan yang paling banyak digunakan di berbagai negara.  Namun kebijakan harga dan subsidi harga memiliki banyak kelemahan dari aspek sosial ekonomi, karena sifatnya yang distortif.  

Sebaliknya kebijakan non-harga memerlukan kerja keras dan waktu yang lebih lama untuk memperlihatkan hasilnya.  Kebijakan non-harga, seperti kebijakan irigasi, kebijakan kelembagaan, maupun kebijakan teknologi memerlukan konsistensi dan persistensi dalam jangka panjang, sebelum hasilnya dapat dilihat dan dirasakan dengan nyata.  Pada aspek inilah tampaknya yang belum dimiliki Indonesia, yaitu konsistensi dan persistensi kebijakan pertanian dari waktu ke waktu, antar pemerintahan dan antar generasi.  Perjalanan Putaran Doha, dimana Paket Bali menjadi bagiannya, diperkirakan masih memerlukan waktu panjang dan masih tinggi risikonya untuk gagal.  Namun berbagai upaya peningkatan kesejahteraan petani perlu lebih keras lagi dilakukan.  Peningkatan kesejahteraan petani adalah suatu keharusan dan tidak perlu menunggu Putaran Doha selesai didiskusikan dan diterapkan.

Dapat dikatakan bahwa primadona KTM WTO di Bali adalah isu pertanian, khususnya proposal dari G-33 terkait pembentukan stok pangan bagi masyarakat miskin dan kelonggaran subsidi bagi petani miskin.  Di sini, negera maju duduk bersama membahas satu dari tiga isu utama perundingan sektor pertanian : domestic support di negara berkembang (dua isu lain adalah akses pasa dan subsidi ekspor produk pertanian).

Keberhasilan G-33 untuk mendapatkan peace clause dalam paket Bali sangat berarti. Semua negara anggota WTO menyadari bahwa perundingan isu pertanian harus mencakup ketiga isu di atas.  Kesepakatan Bali menyangkut usulan G-33 belum tuntas, tetapi memberi rung negara berkembang mengatasi dulu kondisi domestiknya.

Dengan peace clause, negara berkembang yang memberikan dukungan domestik melebihi yang disepakati di Putaran Uruguay 1986-1994- yakni 10 persen dari total out put pertanian – tidak akan ditintut ke panel sengketa WTO.  Solusi permanen atas proposal G-33 tentunya jauh lebih penting dari pada sekedar peace clause yang berlaku empat tahun.

Perundingan atas proposal G-30 diwarnai kekhawatiran mengenai potensi terjadinya distorsi pasar khusunya bila sengaja atau tidak sengaja stok pangan merembes ke pasar internasional dan mengganggu ketahanan pangan negara lain. Dilihat dari kepentingan Indonesiakesepakatan di atas akan membantu Indonesia untuk memastikan bahwa kebijakan subsidi negara lain, seperti Malaysia melalui Bernas dan India melalui Foof Corp, tidak mendistorsi pasar Indonesia untuk produk serupa yang dihasilkan petani Indonesia, atau mengganggu kebijakan ketahanan pangan dalam negeri Indonesia. Kebijakan di atas juga memberi ruang bagi Indonesia untuk subsidi dan tidak akan dianggap menyalahi perjanjian sepanjang tidak mengganggu pasar negara lain.

Sumber:
  1. Paket Bali WTO dan Relevansinya Bagi Pertanian Indonesia
    Oleh Harianto, Staf Khusus Presiden RI Bidang Pangan dan Energi (http://www.setkab.go.id/artikel-11423-paket-bali-wto-dan-relevansinya-bagi-pertanian-indonesia.html)
  2. Paket Bali dan Manfaatnya bagi RI oleh Iman Pambagyo (Kompas 10 Januari halaman 7).

Thursday, 9 January 2014

Pembangunan Ditkeswan Awal 2014

Perkembangan Pembangunan Direktorat Kesehatan Hewan Awal 2014

Kebijakan dan program kesehatan hewan bertujuan untuk melindungi masyarakat dan hewan dari ancaman penyakit hewan,melindungi lingkungan, dan memfasilitasi perdagangan. Dalam Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau, aspek kesehatan hewan memegang peranan penting khususnya dalam pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan produksi dan reproduksi dari hewan.
 
Dalam rangka mensukseskan program pembangunan peternakan, beberapa program kesehatan hewan yang penting diantaranya adalah: (1) Mempertahankan status bebas penyakit mulut dan kuku (PMK) dan BSE serta peningkatan status kesehatan hewan, (2) Penguatan pelayanan kesehatan hewan dan surveilans melalui Pusat Kesehatan Hewan dan Laboratorium Kesehatan Hewan (veteriner),(3) Pemberantasan penyakit hewan strategis secara bertahap, dan (4) peningkatan ketersediaan obat hewan yang bermutu.

Pelaksanaan pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan yang didalamnya terdapat komponen program mempertahankan status bebas penyakit hewan eksotik penting seperti PMK dan BSE memerlukan adanya kebijakan teknis yang ketat berdasarkan kaidah ilmiah dalam pelaksanaan pemasukan hewan dan produk hewan dari luar negeri ke Indonesia. Hal ini diterapkan dalam bentuk penyusunan persyaratan kesehatan hewan yang mengacu pada standar ilmiah dan berdasarkan kajian analisa resiko dan rekomendasi pemasukanhanya diberikan dari Negara ataupun peternakan tertentu yang telah memenuhi persyaratan teknis tersebut.

Program pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan memerlukan adanya infrastruktur pendukung sebagai pelaksana di lapang.Salah satu komponen penting dari infrastruktur dilapang ini adalah Pusat Kesehatan Hewan (PUSKESWAN) dalam memberikan pelayanan kesehatan hewan bagi peternak di seluruh Indonesia khususnya di basis-basis ternak baik secara aktif maupun pasif. Ke depan, peran dan fungsi dari Puskeswan akan dioptimalkan dengan upaya mengintegrasikan fungsi penyuluhan dan pelayanan peternakan dan kesehatan hewan ke dalam puskeswan serta adanya penambahan jumlah Puskeswan sebanyak 1500 unit dan SDM –nya sebanyak 1490 orang di seluruh Indonesia. Diharapkan nantinya semua Puskeswan akan memiliki sumberdaya manusia yang sudah menjadi pegawai negeri sipil.

Komponen penting lain dalam pelayanan kesehatan hewan adalah adanya laboratorium kesehatan hewan (veteriner) yang berkualitas. Saat ini Indonesia memiliki 8 (delapan) Balai Veteriner di bawah Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) yang berlokasi yang bertanggung jawab daam pengujian dan surveilans. Kedelapan Balai Veteriner ini telah diakui memiliki kualitas yang baik dalam pengujian dan pengelolaan laboratoriumnya, hal ini terbukti dengan kepemilikan ISO 17025:2008 dan ISO 9001:2008 di semua Balai Veteriner di maksud.Setiap Balai Veteriner telah ditetapkan menjadi laboratorium referensi nasional untuk penyakit-penyakit hewan menular strategis tertentu dengan keputusan Menteri Pertanian.Selain itu, Ditjen PKH juga memiliki Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH) yang bertanggungjawab dalam melakukan pengujian mutu dan sertifikasi obat hewan di Indonesia.  Selain memiliki ISO 17025:2008, BBPMSOH juga telah diakui di tingkat Regional yaitu dengan adanya sertifikasi dan akreditasi dari ASEAN sebagai laboratorium penguji vaksin hewan di tingkat Regional Asia Tenggara (ASEAN), khususnya untuk vaksin-vaksin sebagai berikut: Newcastle Disease (live), Newcastle Disease (inaktif), Marek (live), Infectious Laryngtracheitis (Live), Infectious Bronchitis (Live), Infectious Bronchitis (inaktif), Egg Drop Syndrome ‘76 (inaktif), Coryza (inaktif), dan Fowl Cholera (inaktif).

Tabel. Daftar UPT Lingkup Direktorat Jenderal Peternakan bidang Kesehatan Hewan dan lingkup akreditasinya
No
Nama UPT
ISO 17025:2008 (∑Metode Pengujian)
ISO 9001:2008
Referensi Nasional
1
Balai Veteriner Medan
38
Ya
CSF dan PRRS
2
Balai Veteriner Bukittinggi
36
Ya
Rabies
3
Balai Veteriner Lampung
23
Ya
ND dan IBD
4
Balai Veteriner Subang
20
Ya
AI
5
Balai Besar Veteriner Wates
33
Ya
Anthrax, AI, BSE, Salmonella
6
Balai Veteriner Banjarbaru
44
Ya
Surra dan IBR
7
Balai Besar Veteriner Denpasar
26
Ya
Jembrana, SE
8
Balai Besar Veteriner Maros
23
Ya
BVD, Brucellosis

Unit Pelaksana Teknis di Bawah Ditjen PKH di bidang kesehatan hewan adalah Pusvetma yang merupakan salah satu Badan Layanan Umum di Kementerian Pertanian dan bertanggungjawab dalam memproduksi vaksin dan antigen untuk pengujian penyakit hewan tertentu.Pusvetma telah memiliki ISO 17025:2008 dan ISO 9001:2008 serta telah mendapatkan sertifikasi Cara Pembuatan Obat Hewan yang Baik (CPOHB).  Produk Pusvetma adalah sebagai berikut: (1) Vaksin (Hogsivet, Lentovet, Komavet, JD Vet, Brucivet, Anthravet, Rabivet Supra 92, Septivet, Afluvet H5N1 Clade 2.3.2) dan (2) Antigen (RBT, ELISA Rabies, Pullorum, Mycoplasma, AI, ND).

Beberapa penyakit hewan yang penting antara lain yaitu: Avian Influenza (AI), Rabies dan Brucellosis. Ketiga penyakit ini merupakan beberapa penyakit yang menjadi prioritas dalam program pengendalian dan penanggulangan.Saat ini pemerintah telah menetapkan sebanyak 25 penyakit hewan sebagai penyakit hewan menular strategis (PHMS).

Avian Influenza merupakan salah satu PHMS yang menjadi prioritas dalam pengendalian dan penanggulangan.  Kasus pertama AI ditemukan pada tahun 2003 dan kemudian dengan adanya lalu lintas hewan dan produknya, AI menyebar ke wilayah lain di Indonesia. Saat ini hampir semua provinsi tertular AI dan hanya Maluku Utara yang merupakan daerah bebas AI di Indonesia.Sampai tahun 2012 di Indonesia hanya ditemukan clade 2.1.3, namun kemudian pada tahun 2012 ditemukan clade baru pada itik yaitu clade 2.3.2 yang bisa menyerang ayam juga. Kewaspadaan dan pelaksanaan program pengendalian dan penanggulangan perlu tetap diintensifkan untuk mencegah terjadinya kasus, sekaligus mengendalikan penyakit.Kewaspadaan juga harus diberikan kepada kemungkinan timbulnya H7N9 seperti yang terjadi di beberapa Negara pada tahun 2013.

Vaksinasi merupakan salah satu alat utama dalam program pengendalian dan penanggulangan AI di Indonesia, untuk pengendalian AI clade 2.1.3, Indonesia telah mampu memenuhi kebutuhan vaksin dengan produksi dalam negeri sejak tahun 2012. Pencapaian lainnya adalah ketika terjadi wabah AI clade 2.3.2, Pemerintah berhasil melakukan isolasi virus dengan cepat untuk kemudian dikembangkan menjadi seed untuk produksi vaksin.Saat ini vaksin untuk clade 2.3.2 telah diproduksi dalam negeri. Dalam rangka program pengendalian dan penanggulangan AI secara bertahap, Pemerintah telah mengembangkan Road map pembebasan AI dengan target Indonesia bebas AI pada tahun 2020 sejalan dengan target dari ASEAN.

Penyakit Hewan Menular Strategis yang menjadi prioritas lain adalah Rabies. Rabies ditemukan di 24 Provinsi di Indonesia, dan 9 (Sembilan) Provinsi dinyatakan sebagai daerah bebasbaik daerah yang memang secara historis bebas seperti  Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Nusa Tenggara Barat, Papua dan Papua Barat, maupun provinsi yang berhasil dibebaskan dengan program pemberantasan yaitu DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur.Saat ini wilayah bebas secara historis dalam tahapan pernyataan bebas secara formal dengan pembuktian ilmiah sesuai standar OIE, salah satu daerah bebas historis yang telah dinyatakan secara formal adalah Provinsi Bangka Belitung pada tahun 2013. Program pemberantasan Rabies secara bertahap dilaksanakan di Indonesia dan diharapkan bahwa Indonesia dapat mencapai status bebas pada tahun 2020 bersama dengan Negara-negara ASEAN lain. 

Dalam rangka pencapaian tersebut, kini telah disusun masterplan (road map) pemberantasan Rabies secara bertahap di Indonesia.  Pada tahun 2014, Provinsi Klimantan Barat direncanakan dapat dinyatakan bebas Rabies sesuai standar Internasional setelah dilakukan surveilans terstruktur oleh Balai Veteriner Banjarbaru. Adapun wilayah lain seperti Sulawesi Utara, Pulau Nias, Flores dan Lembata, serta Bali dalah tahap pengendalian secara intensif. Salah satu pencapaian yang penting terkait program pengendalian dan penanggulangan Rabies adalah penerapan konsep One Health dalam pemberantasan Rabies di Bali melalui Tata Laksana Kasus Gigita Hewan Terpadu (TAKGIT) dijadikan salah satu kisah sukses penerapan one health di ASEAN.

Salah satu PHMS penting dan sangat berpengaruh pada PSDSK adalah Brucellosis.Brucellosis endemic di sebagian wilayah Indonesia. Namun dengan program pengendalian dan penanggulangan serta dukungan surveilans yang baik, Indonesia berhasil membebaskan/menyatakan bebas beberapa wilayah di Indonesia dari Brucellosis, wilayah-wilayah tersebut adalah: Bali (2002), Lombok dan Sumbawa (2006), Regional II : Sumatra Barat, Jambi, Riau dan Kepulauan Riau (2009), Regional V : Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah (2009), dan Regional III : Lampung, Bangka-Belitung, Bengkulu, dan Sumatra Selatan (2011). Pada saat ini beberapa wilayah dalam tahapan pembebasan/surveilan pembebasan.Dalam rangka perencanaan yang lebih baik dan optimalisasi pelaksanaan program, telah disusun master plan (road map) pembebasan bertahap Brucellosis di Indonesia dengan target Indonesia bebas Brucellosis tahun 2025.Pada tahun 2014 ini, direncanakan beberapa daerah seperti Provinsi Sumatra Utara, Pulau Madura (Jawa Timur) dan Pulau Sumba (NTT) dapat dibebaskan dan dinyatakan dengan keputusan Menteri Pertanian.

Penyakit Hewan Menular Strategis lain yang menjadi prioritas dalam pengendalian dan penanggulangan adalah classical swine fever (CSF), saat ini merupakan salah satu masalah penting di sentra-sentra peternakan babi. Salah satu pencapaian penting dalam program pengendalian dan penanggulangan CSF adalah telah berhasilnya pengendalian CSF di Provinsi Sumatra Barat dan direncanakan bahwa pada tahun 2014 Provinsi Sumatra Barat dapat dinyatakan bebas dari CSF sesuai dengan standar OIE.

Program penting lainnya dalam pelaksanaan pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan adalah peningkatan ketersediaan obat hewan yang bermutu.Adanya BBPMSOH telah memberikan jaminan bahwa obat yang beredar dan telah disertifikasi di Indonesia berkualitas dari segi mutunya. Mengingat adanya jaminan mutu tersebut, walau Indonesia masih mengimpor obat hewan, Indonesia juga telah mampu mengekspor obat hewan ke beberapa Negara lain.  Tercatat bahwa obat hewan Indonesia berhasil diekspor ke 15 negara untuk produk biologik, 14 negara untuk produk farmasetik dan 20 negara untuk produk premiks. Terdapat kecenderungan peningkatan volume (ton) dan nilai (USD) dari ekspor obat hewan ini dalam 5 (lima) tahun terakhir. 

Friday, 16 August 2013

Repost: Agricultural Potency of Purbalingga Regency


Purbalingga Regency is one of the 35 regencies in the Central Java Province. Located in its west side, geographical coordinates of Purbalingga are 7.10° – 7.29° S and 101.11° – 109.35° E. Purbalingga is about 77,764 hectare wide or 2.39 % from the total of the width of Central Java Province. Purbalingga is divided by 18 sub districts (third level autonomous region), 224 villages and 15 Kelurahan (fourth level autonomous region). Purbalingga is surrounded by Pemalang Regency in North, Banjarnegara Regency in the east and Banyumas Regency in the west and south.

In Purbalingga, the utmost use of land is in agricultural activities. It is about 43.273 hectare or 56.65% from the total width. The agriculture area is divided into several types of area: 18,311 hectare for the rice field, dry field for about 20,317 hectare, 4,532 hectare of mixed plantation, single plantation for about 16.4 hectare and 95.3 hectare of fishery.

Purbalingga area lay from the lowlands in the south with 42 meter height above sea level to highland in the north with 3.100 meter height. These unique differences cause wide climate variation and, as a result, promote diverse possibilities to develop various agriculture commodities.

Food crop commodities

Southern Purbalingga is lowlands and it is good to develop the food crop commodities such as grains and crops which are supported by its fertile soil; its nice climate and its sufficient water to irrigate the field. Food crops are mostly planted in sub districts of Bukateja, Kemangkon, Kalimanah, Padamara, and half of Kutasari and Bojongsari. Even in the higher area like sub district of Karanganyar, Kertanegara and Karangmoncol, the food crops could also grow well.

Rice

Rice is staple foods of almost all Indonesian people, including those living in Purbalingga. Paddy field has the widest land area for about 33,357 hectare. It produces in average 2.33 quintal per hectare and the total rice grains productions are 207,916 ton per year. Rice is also produced from different kind of irrigation technique, such as those produced from dry field. It is estimated that as many as 3,426 ton per year is acquired from 759 hectare. This rice grain production exceeds the need of house hold and industry which resulted in its success to produce surplus for about 30,000 ton per year.

Corn


The corn harvest area is about 9,841 hectare. The corn production in average is 31.81 quintal per hectare. The corn production in average is 31.81 quintal per hectare and the total corn production is about 31,302 ton per year. Ever since that corn is not a popular staple food in Purbalingga, people rarely consume it, rather, they use corn as cattle food. Given the fact, the chance to process corn into maize flour, popcorn and corn porridge is wide opened. Moreover, as corn’s production has not sufficiently met the needs of the consumption of household and industry, there might be wide possibilities to develop the capacity of its production in Purbalingga.

Cassava

The biggest cassava area is in sub districts of Pengadegan, Kejobong and Rembang. The total area is about 9,098 hectare. It produces in average 278.87 quintal per hectare with the total cassava production is about 253,716 ton per year. Cassava is mostly processed into tapioca flour and nearly half of them are consumed as or turned into traditional food.

Peanut

The total area is around 2,363 hectare. It produces in average 12.78 quintal per hectare, which is relatively smaller than other crops. It appears that because most of the farmers treat the peanut not as the primary crop, rather as an optional one. Peanut is the main goods of home industry, preferably snack and it’s by products can be utilized as cattle foods. The local peanut production has not met the market needs in Purabalingga.

Sweet Potato

The total area is 234 hectare. It produces in average 55.33 quintal per hectare. The total sweet potato production is 1,329 ton per year. Sweet potato is usually consumed as traditional food.

Soya bean

The total area is around 551 hectare. It produces in average 13.52 quintal per hectare and yielded 13.52 ton per year. Soya bean is processed into one of traditional foods with simple technology (tofu and tempe) and also the main goods of ketchup production. The soya bean production is still very low and the local production has not met the consumers need. Even worse, the production has not met the consumers need. Even worse, the production of tempe and tofu largely relies on imported white soya bean as its main goods. Given these circumstances, the possibilities to invest in soya bean plantation, either the white soya bean or the black one, is still wide open.

Horticulture

The horticulture crops are developed mostly in northern highland Purbalingga. The vegetables and fruits are planted in sub districts of Karangreja and half of that Mrebet.

Potato

The total area is 445 hectare. It produces in average 183.71 quintal per hectare with total potato production around 8,175 ton per year. Potato is the most wanted commodity due to its constant price and its higher margin. In addition to meet the need of local consumption, the potato is also traded in other regions, especially in big cities like Jakarta and Semarang.

Cabbage

The total area is 348 hectare. It produces in average 183.47 quintal per hectare with 6,524 ton total cabbage production per year. People use the cabbages as the main ingredient for vegetable soup. Cabbage produce experienced surplus and is traded to other regions.

Carrot

The total area is 198 hectare. It produces in average 194.04 quintal per hectare with 3,842 ton total carrot production per year.

Beans

The total area is 496 hectare. It produces in average 36.59 quintal per hectare and its total beans production is 1,815 ton per year.

Chili

The total area is 170 hectare. It produces in average 60.35 quintal per hectare and its total chili production is 1,026 ton per year.

Leek

The total area is 176 hectare. It produces in average 47.73 quintal per hectare with 840 ton total leek production per year.

Fruits

Half of Purbalingga area is really good to plant fruits. Several kinds of fruits are grown in Purbalingga, such as: orange, duku, durian, banana, and Salacca. The fruits are planted in the dry area surround sub districts of Kaligondang, Pengadegan, Kejobong and Bukateja.

Siem Orange

Siem orange is planted mostly in Bukateja. The siem orange total production is 127,203 quintal per year with 196,543 total productive crops.

Banana

Purbalingga has various types of banana. The banana total production is 89,884 quintal per year with 537,568 total productive crops.

Durian

The durian is grown in sub districts of Kemangkon, Kejobong and Pengadegan. With its specific taste, Purbalingga durian has its own merit if we compare with other regions’ durian. The durian total production is 52,226 quintal per year with 28,868 total productive crops.

Salacca

With total production crops, Salacca total production is 45,609 quintal per year. Purbalingga Salacca has similar taste with other regions’ produce.

Rambutan

As one of the exotic fruits which grow in tropical zone, rambutan is also well grown in Purbalingga. With 80,630 ton total production crops, rambutan total produce is 41,005 quintal per year.

Duku

Duku is one of Purbalingga prime fruits. Duku grows in specific region and not every region has duku as their specific fruit. With its unique taste, duku has been sold to big cities in Indonesia. The duku total produce is 33,604 quintal per year with 49,793 total productive crops.
Also, Purbalingga has small amount of produce of sour soup, mangosteen, pineapple, tan, mango, avocado and guava.

Plantation

Until recently, the plantation commodity in Purbalingga has not been well cultivated. The nature potency such as its fertile soil and its good climate has not been maximized. However, many peasants and the government have pioneered several kinds of plantation crops development, such as pepper, nilam, sugarcane, coconut, and Gambier jasmine.

Pepper

Purbalingga is the biggest exporter of pepper in Central Java. A percentage of 46% of pepper in Central Java market is produced in Purbalingga. Pepper is mostly cultivated in Pengadegan and Kejobong with 212.40 hectare total area and 307 ton total dry seed produce per year. The pepper plantation’s development is still open either in the on farm stage by increasing population and rising productivity or by means of processed goods. The pepper market chance in Indonesia or abroad is still wide opened.

Nilam

Nilam Commodity is needed by the market. Nilam is the main goods of perfume, soap and medicines. The total area is 607.10 hectare. The total production of dry nilam leaves are 5,039 ton per year. The export chance to international market is still open because the product is favoured mostly in Japan, India and Europe.

Dalam Coconut

Coconut tree is widely grown in almost every area of Purbalingga. People plant the coconut in every agricultural farm, plantation and village. Of 12,032 hectare of the total area, this sector can produce 12,366 ton copra per year. This coconut is the main goods of coconut oil production.

Deres Coconut

The half of the coconut produce in Pubalingga is aimed at producing the palm sugar. Of 5,168 hectare of the total area, Deres coconut produces 52,879 to of palm sugar per year. The development of deres coconut’s plantation is still open either in increasing the number of coconut trees or the implementation of modern technology in palm sugar processing in order to increase palm sugar productivity. Palm sugar industry also supports ketchup industry as the secondary industry of palm sugar commodity.

Sugarcane

As the main goods of sugar, the number of sugarcane crop in Indonesia is very low. Purbalingga, the sugarcane area is just 56 hectare with 215 to total production per year. The opportunity to invest more in Purbalingga is still open mostly for the dry sugarcane plantation. The sugarcane areas include sub districts of Kaligondang, Kemangkon, Mrebet and half of Bojongsari.

Gambier Jasmine

Gambier jasmine is planted in Bukateja with total area around 425.23 hectare and produces as many as 3.269 ton wet flower each year. This commodity promotes high economic value commodity but it needs specific soil and climate. For that reason, the Gambier jasmine can not well developed in other areas.

Source: Vision of Purbalingga, Drs. Triyono Budi Sasongko, M.Si.