Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Thursday, 5 May 2011

One Health

One Health (Satu Kesehatan) adalah gerakan global untuk mempromosikan upaya-upaya kolaborasi antara profesional terkait kesehatan yang berbeda dan paraprofesional yang membantunya termasuk bidang kedokteran, kedokteran hewan, kedokteran gigi, keperawatan dan ilmu kesehatan lainnya serta ilmu yang terkait lingkungan [1]. One Health (Satu Kesehatan) telah didefinisikan sebagai "suatu upaya kolaboratif dari berbagai disiplin, lokal, nasional, dan global - untuk mencapai kesehatan yang optimal bagi manusia, hewan dan lingkungan kita" [2].

One Health bukanlah konsep baru. Telah diketahui bahwa faktor lingkungan dapat mempengaruhi kesehatan manusia. Menurut Hippocrates, dokter Yunani (460 SM - 370 SM) dalam teks-nya "Pada Udara, Air, dan Tempat." Dia mempromosikan konsep bahwa kesehatan masyarakat tergantung pada lingkungan yang bersih [3]. Konsep ini menghilang selama abad pertengahan dan dihidupkan kembali selama Revolusi Perancis oleh Dr. Louis-Rene Villerme (1782-1863) dan Dr. Alexander Parent-Duchatelet (1790-1835) yang khusus mengembangkan kesehatan masyarakat.

Pada akhir abad 19, dokter dan ahli patologi Jerman, Rudolf Virchow (1821-1902) menciptakan istilah "zoonosis," kata panjang dan "... antara kedokteran hewan dan manusia tidak ada garis pemisah". Dokter Sir William Osler dari Kanada (1849-1919) melakukan perjalanan ke Jerman untuk belajar dengan Virchow. Ia kembali ke Kanada dan mengadakan perjanjian Fakultas bersama di McGill University Medical School and the Montreal Veterinary College [5]. Pada tahun 1947, James H. Steele, DVM mengikuti konsep One Health di Amerika Serikat dengan mendirikan bidang kesehatan masyarakat veteriner di CDC. [6] Istilah "Satu Kedokteran" dikembangkan dan dipromosikan oleh Calvin W. Schwabe (1927-2006), epidemiologi hewan dan parasitologist dalam buku teks-nya, "Kesehatan Hewan dan Manusia" [7].

Karena munculnya penyakit menular dalam jumlah banyak pada abad ke-20, para ilmuwan mulai menyadari tantangan ini bahwa masyarakat menghadapi ancaman [8] yang sebagian besar berasal dari hewan [9]. Pada tahun 1999 wabah virus West Nile di New York City disoroti hubungan antara kesehatan manusia dan hewan. Dalam wabah ini, gagak liar mulai sekarat sekitar satu bulan atau lebih sebelum orang mulai sakit. Wabah yang terjadi pada saat bersamaan ini belum diketahui disebabkan oleh entitas yang sama hingga Dr. Tracey McNamara, seorang dokter hewan ahli di Kebun Binatang Bronx, mengikatnya bersama-sama burung-burung eksotisnya yang mulai jatuh sakit [10] dan [11]. Setelah diketahui bahwa wabah tersebut disebabkan oleh virus West Nile, sebuah entitas baru di Belahan Barat, CDC mendirikan Pusat Nasional untuk Zoonosis, Vector-borne, dan Penyakit Enterik, sekarang menjadi Pusat Penyakit Infeksi Berbahaya dan Zoonosis Nasional [12].

Pada tahun 2004, Society of Wildlife Conservation membentuk kelompok ahli kesehatan di Rockefeller University di New York dan mengembangkan kalimat, "One world - One Health" untuk mempromosikan tentang efek penggunaan lahan dan kesehatan satwa liar terhadap kesehatan manusia [13]. Wabah flu burung (avian influenza H5N1) yang dimulai di Hong Kong pada tahun 1997 memaksa masyarakat dunia untuk mengakui bahwa hewan dan kesehatan manusia saling berhubungan. Wabah 1997 telah menyebabkan 18 orang tertular dan menelan korban meninggal 6 orang dan mengakibatkan dilakukan pemusnahan unggas sebanyak 1,5 juta ekor [14].

Flu burung H5N1 muncul kembali dalam wabah antara tahun 1998 dan 2003, dan wabah meluas di pertengahan tahun 2003 di Korea Selatan. Keterlambatan dalam pelaporan internasional dan tindakan respon yang lemah memberikan kontribusi terhadap penyebaran virus di Asia Tenggara [15]. Setelah diakui mengenai munculnya ancaman global avian influenza (HPAI H5N1) dan penyakit zoonosis lainnya, maka Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Organisasi Dunia untuk Kesehatan Hewan (OIE) mengembangkan suatu strategi kerangka kerja, perjanjian tripartit, guna bekerja sama lebih erat untuk menangani ekosistem antarmuka-manusia-binatang [16].

Komisi One Health
Pada tahun 2007, Dr. Roger Mahr, Presiden Asosiasi Kedokteran Hewan Amerika (AVMA) bertemu dengan Dr. Ronald Davis, Presiden American Medical Association (AMA) membahas kesehatan masyarakat manusia dan hewan secara bersama-sama. Dr. Davis menyarankan bahwa cara terbaik bagi AMA untuk melibatkan diri dalam upaya-upaya membuat resolusi "One Health". Pada bulan Juni 2007, AMA mengadopsi resolusi ini dengan suara bulat [17].

Beberapa bulan setelah prestasi ini, Dr. Davis didiagnosa menderita kanker pankreas dan meninggal pada bulan November 2008 [18]. AVMA mendirikan One Health Initiative Task Force dan menjadi resolusi One Health yang mirip dengan resolusi AMA pada bulan Juli 2008 [19]. Akhirnya One Health Task Force menjadi Komisi One Health yang dipimpin oleh Dr. Roger Mahr [20]. Baru-baru ini kantornya telah pindah ke kantor pusat baru di Iowa State University [21].

The One Health Initiative (OHI) terpisah dari Komisi One Health. Kegiatan ini diprakarsai oleh Dr. Laura Kahn dan Dr. Kaplan Bruce. Dr Kahn adalah seorang dokter dan peneliti di Princeton University, mempublikasikan tulisan ilmiah tentang perlunya untuk mengintegrasikan kesehatan manusia dan hewan pada bidang Emerging Infectious Diseases pada bulan April 2006 [22]. Dr. Kaplan, seorang mantan dokter hewan dan pensiunan pegawai CDC EIS menghubungi dan menyarankan untuk bekerja sama dalam mempromosikan konsep kerjasama komunitas medis, kedokteran hewan, dan lingkungan. Dr. Tom Monath, seorang ahli virus medis terkemuka bergabung dengan mereka setahun kemudian. Dr. Jack Woodall, PhD, seorang ilmuwan terkemuka dan pendiri ProMED-mail, bergabung dengan grup ini pada tahun 2009 [23].

One Health Initiative situs web mereka berfungsi sebagai repositori global untuk semua berita dan informasi yang berkaitan dengan One Health. Organisasi yang mempromosikan gerakan ini terdaftar di situs ini dan termasuk American Medical Association, American Veterinary Medical Association, American Society of Tropical Medicine and Hygiene, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC), Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA), dan Asosiasi Kesehatan Lingkungan Nasional Amerika Serikat (Neha). Selain itu, lebih dari 570 dokter dokter hewan dan ilmuwan terkemuka di seluruh dunia telah mendukung inisiatif ini [24].

One Health mendunia
Begitu pentingnya One Health sehingga dipromosikan oleh para ilmuwan di banyak negara dan didukung oleh organisasi dunia terkemuka termasuk Organisasi Kesehatan Dunia, (WHO) Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), Organisasi Dunia untuk Kesehatan Hewan (OIE) , Aliansi Global untuk Pengendalian Rabies , Pusat Obat Konservasi Selandia Baru (NZCCM), dan Institut Antwerp Kedokteran Tropis, Departemen Kesehatan Hewan.

Daftar Pustaka
1. ^ http://www.avma.org/onehealth/
2. ^ http://www.avma.org/onehealth/onehealth_final.pdf
3. ^ http://classics.mit.edu/Hippocrates/airwatpl.html
4. ^ A.F.LaBerge. "Mission and Method. The Early Nineteenth-Century French Public Health Movement." Cambridge, England: Cambridge University Press, 1992
5. ^ http://www.te.izs.it/vet_italiana/2007?43_1/5_19.pdf
6. ^http://www.texasmedicalcenter.org/root/en/TMCServices/News/2009/08-14/Father+of+Veterinary+Public+Health+Profiled+in+New+Book.htm
7. ^ http://www.universityofcalifornia.edu/senate/inmemoriam/calvinwschwabe.htm
8. ^http://www.iom.edu/Reports/1992/Emerging-Infections-Microbial-Threats-to-Health-in-the-United-States.aspx
9. ^ http://www.nature.com/nature/journal/v451/n7181/abs/nature06536.html
10. ^ http://www.gao.gov/new.items/he00180.pdf
11. ^Drexler, M. Secret Agents: The Menace of Emerging Infections http://books.google.com/books?id=nnRuEoynzE4C&printsec=frontcover&dq=Madeline+Drexler+Secret+Agents&source=bl&ots=0zjYAWOT8c&sig=HPvLemUlPJJ9O8Rj-ZzXVYI95ic&hl=en&ei=7TiCTb3tKOK30QGd7rTOCA&sa=X&oi=book_result&ct=result&resnum=3&sqi=2&ved=0CC0Q6AEwAg#v=onepage&q&f=false
12. ^ http://www.cdc.gov/ncezid/
13. ^ http://www.wcs.org/conservation-challenges/wildlife-health/wildlife-humans-and-livestock/one-world-one-health.aspx
14. ^ http://www.nap.edu/catalog.php?record_id=11365
15. ^ http://www.iom.edu/Reports/2009/ZoonoticDisease.aspx
16. ^ http://web.oie.int/downld/FINAL_CONCEPT_NOTE_Hanoi.pdf
17. ^ http://www.izs.it/vet_italiana/2009/45_1/19.pdf
18. ^ http://www.nytimes.com/2008/11/10/health/10davis.html
19. ^ http://www.avma.org/onlnews/javma/jan09/090115d.asp
20. ^ http://www.onehealthcommission.org/objective.html
21. ^ http://www.onehealthcommission.org/news.html
22. ^ http://www.cdc.gov/ncidod/EID/vol12no04/05-0956.htm
23. ^ http://www.research-europe.com/index.php/2010/07/dr-laura-kahn-on-the-one-health-initiative/
24. ^ http://www.onehealthinitiative.com

Source: Wikipedia

Friday, 15 April 2011

Lokakarya tentang Diagnosis Bluetongue

 

The 1st OIE/FAO-APHCA Regional Workshop on Bluetongue Diagnosis and Control 

10 Maret 2011

 

Workshop yang diselenggarakan oleh OIE dan FAO-APCHA bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Peternakan & Kesehatan Hewan dan Balai Besar Penelitian Veteriner (BBALITVET) merupakan acara Internasional yang melibatkan 17 negara termasuk Indonesia. Tujuh belas negara peserta tersebut yaitu Indonesia, Bangladesh, Mongolia, Myanmar, Nepal, Bhutan, Cambodia, P.R. China, India, Iran, Laos PDR, Malaysia, Pakistan, Philippines, Sri Lanka, Thailand dan Vietanam.

Kegiatan yang berlangsung pada tanggal 7 – 10 Maret 2011 dan bertempat di BBALITVET Bogor dibuka oleh Direktur Kesehatan Hewan, Drh. Pudjiatmoko, PhD. Dalam acara tersebut juga dihadiri oleh 11 observer dari Indonesia yaitu 8 orang dari BBVet dan BBPV, 1 orang dari Taman Safari Indonesia, 1 orang dari Badan Karantina dan 1 orang dari Pusvetma. Sebagai narasumber dihadirkan Dr. Ross Lunt dan Dr. Ian Pritchard dari CSIRO-Australian Animal Health Laboratory (AAHL) dan Drh. Indrawati Sendow, MSc. dari BBALITVET.

Adapun tujuan diselenggarakannya workshop tersebut adalah:

1. Memberikan informasi terkini tentang situasi umum Bluetongue yang dititikberatkan pada situasi epidemiologi di wilayah Asia dan Pasifik.

2. Memberikan pengetahuan dalam diagnosa, pengendalian, dan pencegahan penyakit Bluetongue, dan

3. Memberikan praktek langsung di laboratorium dalam mendiagnosa Bluetongue.

Materi yang diberikan berupa materi dalam kelas dan praktek langsung di laboratorium. Materi didalam kelas antara lain memberikan pengetahuan mengenai penyebab dan epidemiologi Bluetongue; strategi surveilans dan pemeriksaan laboratorium di Australia dan Indonesia; tes serologi, isolasi virus dan serotyping; serta deteksi molekuler (Real-Time PCR) dan genotyping. Sedangkan praktek langsung di laboratorium difokuskan pada teknik antibody ELISA, teknik Real-time ELISA, teknik inokulasi telur secara intravena, dan CPE pada kultur jaringan yang diinfeksi dengan virus Bluetongue. Sebelum melakukan praktek, semua peserta mempresentasikan country papers situasi penyakit Bluetongue dan cara pengendaliannya di masing-masing negara.

Berdasarkan hasil diskusi dibuatlah kesimpulan/konfirmasi yang berupa:

  1. Bluetongue (BT) merupakan penyakit non-contagious, ditularkan melalui vektor (vector-borne), penyakit viral pada ruminansia domestik dan liar termasuk kambing, sapi, kerbau, domba, rusa, dan onta (serta spesies bovine lanilla misal mithun – Bos frontalis dan yaks – Bos gruniens).
  2. Beratnya penyakit bervariasi di antara spesies ruminansia yang rentan dan jenisnya. Penyakit ini dianggap sebagai salah satu penyakit yang paling ditakuti di negara-negara penghasil domba. Meskipun domba yang paling parah terkena dampak, sapi dan kerbau merupakan reservoir mamalia utama BTV dan sangat penting dalam epidemiologi penyakit tersebut.
  3. Bahwa BT umumnya ditemukan di semua benua kecuali Antartika dan telah diamati secara serologis dan / atau virologis di Amerika, Australia, Afrika, Timur Tengah, Asia dan Eropa.Namun, karena keterbatasan data yang dapat dipercaya, maka distribusi secara global penyakit ini masih belum jelas.
  4. BT diketahui endemis di sebagian besar daerah tropis dan subtropis di mana vektor biologi dan hosts nya tinggal. Penyakit ini telah menyebar ke utara sejak akhir tahun 1998, mungkin karena perubahan iklim yang mungkin mempengaruhi distribusi dari vektor penyakit.
  5. Program surveilans telah mengkonfirmasi bahwa vektor BTV di Australia seperti Culicoides brevitarsis, C. actoni, C. wadai juga ada di Indonesia. Program menggunakan hewan sentinel dapat memberi kontribusi terhadap studi BTV dan vector-borne viruses lainnya serta memberikan gambaran musiman infeksi BTV.
  6. Beberapa uji diagnostik laboratorium telah tersedia guna pengujian serologis dan identifikasi BTV. Agar Gel Immuno-diffusion (AGID), c-ELISA dan RT-PCR digunakan sebagai tes untuk perdagangan internasional sebagai standar OIE (OIE codes and manuals).
  7. competitive enzyme-linked immunosorbent assay (c-ELISA) dapat mendeteksi antibodi terhadap BTV sero-group antigens dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi tanpa mendeteksi adanya cross-reacting antibodies dengan spesies orbiviral lainnya. Assay ini ditetapkan sebagai salah satu tes untuk perdagangan internasional dengan standar OIE.
  8. BTV yang menginfeksi ruminansia mungkin dapat menghasilkan neutralizing antibodies untuk serotipe BTV selain pada hewan yang terkena, terutama ketika mereka terinfeksi dengan beberapa serotipe.
  9. Identifikasi BTV secara tradisional memerlukan isolasi dan amplifikasi virus dengan menggunakan telur ayam berembrio, kultur jaringan atau inokulasi pada hewan, dan penerapan subsequent pada tes serogrup- dan serotipe spesifik.
  10. Reverse-transcription polymerase chain reaction (RT-PCR) tersebut memungkinkan amplifikasi cepat BTV RNA untuk mendeteksi keberadaan BTV dalam sampel klinis dan vektor yang dicurigai. Teknik ini sekarang tersedia dan ditetapkan sebagai salah satu uji untuk perdagangan internasional dengan standar OIE.
  11. Bahwa real-time PCR memungkinkan bahkan lebih cepat dan uji yang sensitif untuk mendeteksi keberadaan BTV RNA dalam kasus-kasus klinis. Uji tersebut belum divalidasi sesuai standar OIE dan diharapkan menjadi tes untuk perdagangan internasional di masa depan.
  12. Bahwa pentingnya dan keharusan untuk (i) bertukar informasi mengenai situasi epidemiologi BT, (ii) pembentukan jejaring laboratorium, (iii) mempromosikan dan ikut melaksanakan kolaborasi pada diagnosis dan kontrol penyakit di antara negara-negara yang berpartisipasi, dan (iv) pembentukan program surveilans untuk kajian menyeluruh atas BT.
  13. Pentingnya untuk melanjutkan pelatihan bagi negara-negara peserta yang terpilih dalam real-time PCR, c-ELISA, isolasi virus, PCR konvensional dan analisis sequence untuk meningkatkan / memperkuat kapasitas diagnostik dan kontrol.
  14. Penting untuk: (i) mendirikan laboratorium rujukan regional untuk BT di wilayah tersebut untuk memahami dan meningkatkan kemampuan teknis, dan (ii) membentuk jejaring laboratorium BT di wilayah tersebut.
  15. Bahwa beberapa negara peserta menyatakan perlunya dukungan teknis lebih lanjut untuk memperkuat kemampuan diagnostik BT dan kontrol di tingkat nasional melalui transfer teknologi secara bilateral / multilateral dari laboratorium rujukan OIE.
  16. AAHL, sebagai salah satu laboratorium rujukan OIE untuk BT, bertanggung jawab untuk membantu dalam pengembangan kemampuan teknis untuk pengujian serta penyediaan referensi reagen dan saran teknis.

Di akhir acara disusun rekomendasi yang ditujukan bagi panitia dan negara –negara peserta, yaitu :

  1. Negara-negara peserta harus mendapatkan dan mengumpulkan data pasti untuk menggambarkan situasi epidemiologi BT sebenarnya di masing-masing negara.
  2. Tidak adanya kasus klinis tidak boleh dianggap sebagai indikasi tidak adanya BTV di negara di mana kompeten vektor biologi mungkin menghuni. Adanya atau bebasnya BT seharusnya hanya ditentukan oleh hasil dari strategi surveilans yang tepat sesuai dengan standar OIE (codes and manuals).
  3. c-ELISA dianggap sebagai pilihan pertama untuk surveilans serologi BT dalam kelompok yang rentan.
  4. Isolasi dan identifikasi virus dianggap sebagai metode yang paling tepat untuk mengidentifikasi keberadaan BTV termasuk serotipenya sehingga diperoleh data nyata dari risiko penyakit dan prevalensi virus di suatu negara.
  5. Setiap peserta harus mengambil tindakan yang diperlukan untuk mengadopsi dan mentransfer pengetahuan dan teknologi yang dipelajari dari workshop ini kepada staf laboratorium lain di masing-masing negara.
  6. Program surveilans BT secara komprehensif dilakukan, di mana dan kapan diterapkan, menggunakan kelompok sentinel dan isolasi virus didukung oleh pengujian serologis.
  7. Petani dan stakeholder lainnya serta pekerja lapangan dididik mengenai peneguhan BT di lapangan untuk mengaktifkan laporan cepat kepada pihak yang berwenang bidang kesehatan hewan.
  8. Negara-negara peserta harus secara aktif berbagi informasi mengenai situasi penyakit dan data diagnosa laboratorium diantara mereka sendiri untuk memperkuat jaringan (laboratorium) regional dan kolaborasi.
  9. AAHL, sebagai salah satu Laboratorium Referensi OIE untuk BT, harus memfasilitasi proses pengajuan sampel untuk AAHL serta menyediakan bantuan teknis, dukungan dan bimbingan teknis kepada negara-negara peserta.
  10. Negara didorong untuk mengirim isolate BTV, sampel dan / atau RNA serta vektor ke Laboratorium Referensi OIE untuk karakterisasi genetik dan antigenik.
  11. OIE Asia-Pasifik dan FAO-APHCA harus mendukung co-organisasi dari workshop/training ke 2 untuk meningkatkan diagnosa BT dan mengkontrol kapasitas pada tingkat regional, sesuai dengan permintaan resmi (s) dari negara-negara anggota.
  12. OIE Asia-Pasifik dan FAO-APHCA mempertimbangkan dukungan lebih lanjut dalam mengembangkan dan membangun laboratorium rujukan regional untuk BT di wilayah tersebut untuk memahami dan memperbaiki situasi penyakit. The OIE Twinning Programme dianggap sebagai salah satu pilihan untuk memfasilitasi perkembangan/pembentukan proses ini.
  13. AAHL harus mempertimbangkan kemungkinan bantuan teknis untuk negara peserta yang terpilih baik melalui jalur bilateral atau multilateral, dengan dukungan / kerjasama dari organisasi-organisasi internasional seperti OIE Asia-Pacific dan FAO-APHCA.

Sumber: Ditkeswan, Ditjen PKH, Kemtan

Monday, 28 March 2011

Perkembangan Pengendalian Penyakit AI

1. Perkembangan pengendalian AI di Indonesia sejak tahun 2004 s/d saat ini:

1) Situasi kasus AI, khususnya pada unggas pekarangan sejak 2004 mengalami peningkatan puncaknya pada tahun 2007 dan seterusnya tiap tahun mengalami penurunan hingga 2010. Namun demikian dalam setiap tahun terjadi peningkatan kasus pada bulan Januari s/d April selama musim hujan.

2) Selama ini dengan penerapan metode Participatory Disease Surveillance and Response (PDSR), yakni deteksi, lapor dan respon secara dini oleh Tim PDSR, sehingga kasus AI pada unggas pekarangan (sektor-4) dapat ditekan, baik jumlah maupun lokasi penyebarannya.

3) Sedangkan perkembangan kasus AI pada unggas komersial (sektor-1, 2, 3) dan rantai pasar unggas masih belum sepenuhnya berhasil dipantau pelaporannya.

4) Walaupun upaya pengendalian AI sudah cukup efektif dan tersistem pada sektor-4, namun tantangan masih sangat besar untuk memutus mata rantai penyebaran virus pada unggas komersial (sektor-1,2,3) dan rantai pemasaran unggas.

2. Langkah yang sudah dilakukan Pemerintah dalam menekan atau mengurangi penyebaran AI di Indonesia:

a. Guna mengantisipasi meningkatnya kasus AI di musim hujan dan agar dilakukan peningkatan kewaspadaan terhadap AI, maka Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan telah menerbitkan Surat Edaran kepada Para Kepala Dinas Provinsi yang membidangi fungsi Peternakan dan Kesehatan Hewan se Indonesia, Nomor 20075 tanggal 20 Januari 2011.

b. Program pengendalian AI guna menekan atau mengurangi penyebaran AI di Indonesia, dilakukan per sektor secara ringkas dijelaskan sbb :

1) Pada Sektor-4 (unggas Pekarangan), antara lain:

a) Penerapan metode Participatory Disease Surveillance and Response (PDSR), yakni deteksi, lapor dan respon secara dini/cepat oleh Tim PDSR berbasis partisipasi masyarakat. Secara bertahap dikembangkan hingga saat ini pada 29 Provinsi di 350 Kab/Kota, sebanyak 2.250 petugas PDSR yang berbasis di tingkat Kab/Kota.

b) Setiap ada kematian mendadak unggas langsung lapor ke Tim PDSR dan dalam waktu kurang dari 24 jam dilakukan Uji Cepat (Rapid Test). Bila hasil positip, langsung dilaporkan melalui SMS Gateway dan dilakukan Respon berupa pemusnahan terbatas, disposal, disinfeksi, isolasi, penyuluhan. Dengan respon cepat tersebut, sehingga kasus penyakit AI dapat diisolir, diminimalisir penyebarannya.

2) Pada Sektor-3, antara lain :

a) Pelatihan “Cost Effective Biosecurity” atau Biosekuriti yang Efektif dan Ekonomis, dilakukan secara Training of Trainer atau pelatihan langsung kepada kelompok peternak
b) Penerapan Strategi Vaksinasi Tertarget melalui Pilot Proyek Intensifikasi Vaksinasi (InVak), di 10 Kabupaten tahun 2009 dan replikasi ke wilayah lain.
c) Program Veteriner Unggas Komersial (PVUK), guna meningkatkan pelayanan Dinas Kab kepada peternak ayam ras sektor-3 dengan pendekatan partisipatif, khususnya pelayanan biosekuriti, vaksinasi, manajemen kesehatan unggas, surveilans, dll.

3) Pada Sektor-1 dan 2, antara lain:

a) Percepatan pelaksanaan Audit Kompartementalisasi Bebas AI, khususnya ke Breeding Farm.
b) Mewujudkan program peningkatan kesehatan unggas nasional (P2KUN) sebagai wujud kemitraan antara Industri Perunggasan, Pemerintah dan Akademisi, dalam bentuk Komite Peningkatan Kesehatan Unggas Nasional.
c) Disamping itu juga perlu dirancang peraturan daerah yang mendukung jaminan kawasan perusahaan unggas pembibitan.

4) Pada mata rantai distribusi/pemasaran unggas, antara lain:
a) Melakukan surveilans pada Tempat Penampungan Unggas (TpnU), Tempat Pemotongan Unggas (TPU), Pasar Tradisional, untuk mengetahui prevalensi dan penelusuran sumber penularan virus AI. Diawali dengan Pilot Proyek di wilayah JABODETABEK.
b) Cleaning and Disinfection (C&D), kegiatan pembersihan dan disinfeksi pada kendaraan/alat transportasi, TpnU, TPU, Pasar Unggas. Diawali dengan Pilot Proyek di JABODETABEK.
c) Restrukturisasi Perunggasan, antara lain mendukung pelaksanaan PERDA No. 4 Th 2007 tentang relokasi TpnU dan TPU ke lokasi yang telah ditunjuk di Prov. DKI Jakarta.

3. Tugas dan fungsi UPPAI:

Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian bahwa Tugas dan Fungsi UPPAI adalah sebagai unit fungsional pada Direktorat Kesehatan Hewan – Ditjen. Peternakan dan Kesehatan Hewan, melaksanakan tugas membantu Direktur Kesehatan Hewan dalam operasionalisasi kebijakan pengendalian AI pada hewan secara nasional di Indonesia.

4. Yang dilakukan UPPAI dalam pengendalian penyakit AI:

a. Merumuskan bahan kebijakan dan Rencana Kerja Strategis Nasional (National Strategic Work Plan / NSWP) Pengendalian AI.

b. Mengkoordinasikan operasionalisasi berbagai Bantuan Luar Negeri agar sinergis dengan NSWP dan dapat mendukung/memperkuat program pengendalian AI dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota.

c. Mengakomodasikan usulan rencana kerja operasional pengendalian AI di tingkat daerah ke dalam rencana kerja strategi nasional.

d. Mengupayakan terwujudnya koordinasi, kemitraan antara pemerintah dengan berbagai pihak terkait dalam pengendalian AI, antara lain : Industri perunggasan, asosiasi perunggasan, akademisi.

e. Memberikan sosialisasi dan advokasi kepada pemerintah daerah dalam penguatan kelembagaan, SDM kesehatan hewan, penganggaran dan sarana prasarana dalam program pengendalian AI di daerah.

f. Melakukan koordinasi operasional pengendalian AI dengan sektor terkait, terutama dengan jajaran Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri, Perguruan Tinggi, Lembaga Penelitian dan Industri/Asosiasi Perunggasan.

g. Menyusun Roadmap menuju Indonesia bebas Avian Influenza tahun 2020:

1. Wilayah Risiko Rendah:
2011/2012: Maluku, Papua, Papua Barat, Nusatenggara Barat, Nusatenggara Timur, Gorontalo, Maluku Utara
2012: Kalimantan

2. Wilayah Proteksi Khusus : Bali

3. Wilayah Risiko Sedang :
2014 : Bangka Belitung, Kepulauan Riau
2015 : Sulawesi kecuali Sulawesi Selatan
2016 : Sumatera kecuali Lampung dan Sumatera Utara
2017 : Sulawesi Selatan sehingga seluruh Sulawesi bebas AI
2018 : Lampung dan Sumatera Utara sehingga seluruh Sumatera bebas AI

4. Wilayah Risiko Tinggi:
2020 : Pulau Jawa, sehingga Indonesia bebas AI

5. Capaian menjadi laporan resmi UPPAI hingga saat ini:

Capaian UPPAI yang telah berhasil dalam Program Pengendalian AI, antara lain khususnya telah dapat direalisasikannya sistem pelaporan cepat kasus AI, termasuk deteksi dan respon pengendalian AI secara dini, melalui penerapan metode PDSR, sehingga kasus AI telah dapat ditekan jumlah dan penyebarannya.

Pelaporan kasus AI pada unggas pekarangan (sektor-4) telah tersistematis baik melalui pengiriman form laporan tertulis maupun SMS Gateway secara cepat dari Tim PDSR di lapangan ke Koordinator LDCC di provinsi dan ke UPPAI Pusat.

Pola pelaporan SMS Gateway telah dimulai sejak September 2009. Data kasus AI dari SMS Gateway yang masuk setiap hari, direkapitulasi setiap akhir minggu dilaporkan oleh Dirjen. Peternakan dan Kesehatan Hewan kepada Menteri Pertanian. Data tersebut juga diberikan kepada Direktorat Penanggulangan Penyakit Bersumber Binatang (PPBB) – Kementerian Kesehatan guna antisipasi kewaspadaan penanganan kasus Flu Burung pada manusia, serta sebagai informasi resmi kepada semua pihak terkait.

6. Kendala yang dihadapi dalam upaya pengendalian penyakit AI di Indonesia, baik di pusat maupun daerah:

a. Kendala/Tantangan di Pusat:
1) Terbatasnya anggaran dari pemerintah Pusat (APBN), mengingat Program Pengendalian AI pada Kementerian Pertanian bukan lagi merupakan program strategis yang perlu didukung serius penganggarannya.
2) Semakin menurunnya dan akan segera berhentinya Bantuan Luar Negeri dalam waktu dekat, sehingga sangat diperlukan anggaran keberlanjutan dari pemerintah terhadap program yang sudah berjalan serta replikasi program ke wilayah baru.
3) Koordinasi antara para pejabat penentu kebijakan di pemerintah dengan para pihak pemangku kepentingan masih perlu terus ditingkatkan

b. Kendala/Tantangan di Daerah:
1) Belum adanya otoritas veteriner dan dokter hewan berwenang yang ditunjuk pemerintah daerah, yang sangat diperlukan untuk jalur hubungan teknis antara pusat dan daerah, khususnya pada dinas yang organisasinya heterogen dengan komoditas lainnya di luar peternakan.
2) Sebagian besar kab/kota masih belum menyediakan anggaran (APBD) pengendalian AI yang memadai, khususnya biaya operasional Tim PDSR dan LDCC.
3) Pengawasan lalu lintas unggas antar daerah maupun antar pulau masih belum efektif diberlakukan, disamping juga banyaknya lalu lintas unggas secara ilegal sehingga potensi risiko penyebaran virus AI antar daerah/antar pulau masih berisiko tinggi.


7. Program PDSR dan LDCC:

Program pengendalian AI menerapkan metode PDSR yang dioperasionalisasikan oleh Tim PDSR di tingkat Kab/kota dan dikoordinasikan oleh Koordinator LDCC di tingkat provinsi, sejak tahun 2005 difasilitasi oleh Bantuan Luar Negeri yang dikoordinasikan oleh FAO.

a. Pola hubungan fungsional antara pemerintah pusat (UPPAI Pusat) dengan pemerintah provinsi (LDCC/UPPAI Provinsi) dan Kab/kota (Tim PDSR) dalam program pengendalian AI, telah cukup efektif dilaksanakan khususnya guna menembus birokrasi otonomi daerah.

b. Beberapa (sekitar 11) provinsi dengan sebagian atau seluruh Kabupaten/Kota sejak Januari 2010 secara penuh telah dibiayai oleh APBD setempat.

c. Beberapa provinsi secara bertahap akan menurunkan sumber dana BLN dan digantikan oleh APBD setempat.

d. Metode PDSR diintegrasikan ke dalam Sistem Pelayanan Kesehatan Hewan Nasional (National Veterinary Services/NVS) yang berbasis pada Pusat Kesehatan Hewan (Puskeswan). Contohnya Saat ini metode PDSR telah mulai diterapkan pada program pemberantasan penyakit Rabies di Pulau Bali, dan pilot proyek di beberapa kab/kota lainnya.

8. Kasus AI akhir-akhir ini:

a. Berdasarkan laporan dari Tim PDSR yang diterima Pusat, bahwa benar secara umum terjadi peningkatan kasus AI khususnya pada unggas pekarangan (sektor-4) sejak bulan Januari, Februari dan Maret 2011.

b. Dari 17 provinsi yang terjadi kasus AI positip, sebanyak 5 provinsi dengan jumlah kasus tertinggi pada bulan Januari 2011 (Lampung, Jabar, DIY, Kaltim, Jatim), Februari 2011 (Lampung, Bengkulu, Jabar, Jateng, Jatim) dan bulan Maret 2011 (Sumbar, Riau, Lampung, Jambi, Jabar).

c. Disamping itu beberapa provinsi yang telah lama tidak terjadi kasus ternyata muncul kembali di tahun 2011 ini, antara lain provinsi, Bali, Kalimantan Timur.

9. Penyebab utama sampai saat ini kasus AI tetap muncul di berbagai daerah di Indonesia:

Berdasarkan analisa kajian, hasil penelusuran kasus AI yang terjadi meningkat akhir-akhir ini, adalah antara lain :

a) Pola tahunan sejak tahun 2006 s/d saat ini, kasus AI meningkat cukup tajam dilaporkan dan dideteksi positip AI terutama pada bulan Januari s/d April setiap tahunnya, hal tersebut berkaitan dengan datangnya musim penghujan, dimana kondisi tubuh unggas menurun, berbagai penyakit termasuk AI muncul dan meningkat.

b) Masih rendahnya kesadaran peternak ayam ras sektor-3 yang masih tetap menjual unggas sakit atau berisiko terinfeksi AI ke pedagang unggas atau masuk ke rantai pemasaran unggas, sehingga virus AI ikut menyebar dengan cepat ke berbagai wilayah dan berisiko menulari kembali peternakan ayam ras.

c) Potensi risiko penyebaran virus AI melalui aliran air mengikuti hulu sungai, terutama juga dampak setelah terjadi banjir. Hal tersebut diperkuat dengan sebagian masyarakat lebih memilih membuang bangkai ayam ke sungai daripada membakar dan menguburnya pada saat musim hujan.

10. Masih efektifkah program vaksinasi yang dilakukan peternak saat ini, khususnya yang masih menggunakan vaksin dari master seed lama:

Berdasarkan hasil kartografi OFFLU yang disampaikan pada pertemuan pada tanggal 17-18 November 2009 di Kementerian Pertanian serta 28-29 Oktober 2010 di Grand Kemang dan laporan kepada Pemerintah (Dirjenakeswan), bahwa virus AI yang ada di lapangan sudah bermutasi (Antigenic Drift) pada unggas komersial sehingga di beberapa daerah vaksin yang tersedia saat ini kurang protektif terhadap virus lapang. Namun demikian Program vaksinasi AI yang dilakukan peternak saat ini khususnya pada ayam buras intensif yang masih menggunakan vaksin dari master seed lama, pada daerah tertentu sebagian besar masih cukup protektif.

11. Kebijakan vaksinasi AI ke depan:

Seperti telah diketahui, dalam hal kebijakan vaksin AI di Indonesia, sejak tanggal 30 September 2009 Pemerintah telah menetapkan master seed yang digunakan sebagai vaksin dan challenge test (uji tantang) vaksin AI.

Adapun master seed tersebut adalah:
a. A/Chicken/West Java/PWT-WIJ/2006
b. A/Chicken/Pekalongan/BBVW-208/2007
c. A/Chicken/Garut/BBVW-223/2007
d. A/Chicken/West Java(Nagrak)/30/2007

Untuk challenge seed (seed tantang) baru untuk uji tantang vaksin dari master seed tersebut diatas adalah:

a. A/chicken/West Java Sbg/29/2007
b. A/chicken/West Java/SMI-PAT/2006

Sedangkan vaksin yang disarankan adalah vaksin yang homolog dan monovalen, karena untuk vaksin bivalen, kandungan antigen dari setiap seed virus harus sesuai dengan dosis monovalen. Disamping itu masih perlu dikaji data penelitian yang relevan untuk vaksin unggas yang mendukung penggunaan lebih dari 2 antigen dalam vaksin.

12. Peluang penggunaan vaksin reverse genetic:

Peluang penggunaan vaksin reverse genetic sangat terbuka, yaitu sesuai saran dari OIE, karena produksinya dapat dikelola (diproduksi) di BSL-2 sehingga menjadi lebih aman terhadap petugas dan lingkungan. Penggunaan vaksin reverse genetik ini telah dilakukan di beberapa Negara, contohnya negara China dan Mesir.

Namun demikian peraturan pembuatan dan peredarannya masih perlu melalui ketentuan peraturan dari Komisi Keamanan Hayati dan Keamanan Produk Hasil Rekayasa Genetika, bahwa produk reverse genetic vaksin AI oleh Komisi tersebut masih dikelompokkan dalam produk Rekayasa Genetika, sehingga masih memerlukan proses pengkajian yang cukup lama.

13. Program penataan pasar unggas hidup yang hingga saat ini masih diundur terus pelaksanaannya:

Pasar unggas / pasar tradisional merupakan sumber penularan penyakit AI, hal ini disebabkan oleh penjualan unggas yang berasal dari berbagai tempat dan berbagai jenis unggas seperti ayam (ayam kampung, broiler, layer afkir), itik, entok dan lainnya. Pemerintah melalui Surat Edaran Menteri Pertanian No. 283/TU.210/M/11/2006 tentang Restrukturisasi Perunggasan telah menghimbau kepada Gubernur Kepala daerah untuk melakukan upaya pembinaan, bimbingan dan pengawasan pemeliharaan unggas dan penanganan pasca panen melalui penataan di tempat penampungan dan tempat pemotongan unggas dengan harapan bahwa hanya karkas yang dijual di pasar.

Hal ini tidak mudah untuk dilakukan, perlu pembinaan dan sosialisasi pada masyarakat secara terus menerus mengingat masih banyak konsumen yang menghendaki pembelian unggas hidup di pasar dan dipotong di pasar juga untuk meyakini bahwa unggas yang dibeli berasal dari unggas sehat dan dipotong secara halal. Melalui penataan tempat penampungan dan pemotongan unggas secara berkesinambungan diharapkan pandangan masyarakat yang telah terbiasa membeli unggas hidup di pasar akan berubah dan percaya bahwa karkas yang dijual di pasar berasal dari tempat penampungan dan pemotongan unggas yang memenuhi kaidah biosekuriti dan persyaratan hygiene sanitasi.

14. Saran untuk peternak dan pelaku bisnis peternakan dalam meminimalisasi penyebaran dan penularan AI di Indonesia:

Peternak, pelaku bisnis peternakan dan pemerintah perlu meningkatkan koordinasi dan saling terbuka dalam situasi dan kondisi yang terjadi di masing-masing peternakan sehingga kejadian penyakit dapat dideteksi secara dini dan dapat ditangani secara cepat secara bersama sehingga penyebaran dan penularan penyakit dapat dicegah.

15. Himbauan:

a. Masyarakat agar terus meningkatkan kepeduliannya untuk segera melaporkan kepada Dinas yang membidangi fungsi kesehatan hewan/Tim PDSR bila menemui adanya kematian unggas mendadak miliknya atau disekitarnya, supaya dapat segera dilakukan deteksi, lapor dan respon secara dini/cepat guna mencegah penyebaran virus AI ke daerah lainnya dan mencegah penularannya ke manusia.

b. Masyarakat atau peternak unggas agar tidak menjual unggas yang sakit atau sekandang/di sekitar unggas sakit ke pedagang unggas atau pasar tradisional.

c. Masyarakat bila membutuhkan daging unggas agar membeli daging yang telah dipotong secara ASUH (Aman, Sehat, Utuh, Halal) dan menghindarkan membeli unggas yang masih hidup dari pasar tradisional.

d. Bila harus membeli unggas hidup sebagai bibit, maka harus diyakini dalam keadaan sehat dan dipisahkan (isolasi) terlebih dahulu selama 14 hari.

e. Peternakan ayam ras sector pembibitan, komersial skala besar, menengah dan kecil agar terus menerus meningkatkan tindakan pengendalian sesuai Prosedur Operasional Standar.

f. Pelaku usaha pada rantai pemasaran unggas (Tempat Penampungan Unggas, Tempat Pemotongan Unggas dan Pasar Tradisional) agar meningkatkan tindakan Biosekuriti, hygiene sanitasi untuk memperkecil risiko penularan dan memutus mata rantai penularan virus AI.

g. Masyarakat umum yang apabila menangani unggas hidup harus menggunakan Alat Pelindung Diri minimal dan menjaga Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) serta selalu mencuci tangan dengan sabun setelah kontak dengan unggas.

h. Bagi jajaran Petugas Dinas Yang membidangi fungsi kesehatan hewan, dan Laboratorium Veteriner agar terus meningkatkan kegiatan surveilans dan kajian dalam rangka program pengendalian AI.

i. Kepada Pemerintah Daerah dihimbau komitmen dan bantuannya untuk memimpin dan mengkoordinasikan tindakan pengendalian AI di daerah masing-masing.

j. Kepada media informasi dihimbau untuk turut mensosialisasikan program pengendalian AI dan memberikan informasi yang benar serta turut menjaga ketenteraman batin masyarakat.

Jakarta, 25 Maret 2011
Sumber: Direktorat Kesehatan Hewan

Sunday, 6 March 2011

ASEAN Biodiversity Outlook

While occupying only three per cent of the earth's surface, the ASEAN region boasts of globally significant terrestrial and marine biodiversity that include an astonishing 18 percent of all species assessed by the International Union for Conservation of Nature (IUCN). It has the most diverse coral reefs in the world and is home to the mega-diverse countries of Indonesia, Malaysia and the Philippines. The region also spans several unique bio-geographical units such as Indo-Burma, Malaysia, Sunda land, Wallacea, and the Central Pacific.

To protect this richness, the 10 ASEAN Member States, all Parties to the Convention on Biological Diversity (CBD), committed themselves in 2002 to the 2010 Biodiversity Target: "the achievement by 2010 of a significant reduction of the current rate of biodiversity loss at the global, regional and national levels as a contribution to poverty alleviation and to the benefit of all life on earth." This report, the ASEAN Biodiversity Outlook, confirms that the region, like the rest of the world, is increasingly losing biodiversity at an alarming rate within various ecosystems - forest, agro-ecosystems, peatlands, freshwater, mangroves, coral reefs and seagrass.

The region's biodiversity report card confirms the findings of the Third Global Biodiversity Outlook that the world failed to meet the target of significantly reducing biodiversity loss by 2010:

• The growing population's dependence on timber, fuel wood, and other forest products, as well as the conversion of forests into agricultural and industrial lands, are taking their toll on the region's forests. Already, Southeast Asian countries had lost a total of 555,587 square kilometers of forests between 1980 and 2007.

• While the ASEAN region is gifted with immense mangrove resources, it nonetheless suffers the highest rates of mangrove losses in the world. An area of 628 square kilometers of mangrove got stripped away each year throughout the last couple of decades. In 1980, the estimated regional total mangrove area was 63,850 square kilometers. As of 2005, this whittled down to 46,971 square kilometers for an aggregate decline of about 26 per cent within a 25-year period.

• There has been a general decline in coral reefs in the ASEAN region between 1994 and 2008. Although the region hosts the largest coral reef areas in the world, it also has the highest rate of loss, which today stands at 40 per cent.
• Bottom-trawling, extensive coastline destruction and modification, decline in coastal water quality, and human-induced development have endangered seagrass beds in the ASEAN region. Indonesia, the Philippines, Singapore and Thailand have each experienced from 30 up to 50 per cent losses of seagrass habitats, compounded by the fact that the loss figures for other Southeast Asian countries remain largely unknown.

The Outlook underscores that the drivers of biodiversity loss continue to intensify. The key drivers of biodiversity loss in the ASEAN region include ecosystems and habitat change, climate change, invasive alien species, over-exploitation (as a result of deforestation and land-use and water-use change, as well as wildlife hunting and trade for food), pollution and poverty.

In terms of addressing the drivers and threats to biodiversity loss, the ASEAN region remains slow in delivering progress, particularly in preventing invasive alien species, addressing the impact of biodiversity to species and ecosystems, and abating pollution and the exploitation of forests and wetlands. But the ASEAN region registered significant pockets of success stories. Progress has been made in expanding the coverage of terrestrial and marine protected areas.

The ASEAN Member States prioritized protecting major ecosystems and habitats through regional initiatives focusing on huge, biologically rich and critical ecosystems. Biodiversity corridors covering trans-boundary protected areas, for example, have been launched and initiated. Networks of protected areas such as the ASEAN Heritage Parks were given special attention. The countries also shored up efforts to further develop capacities and expand the network of wildlife law enforcers.

The Outlook for the ASEAN region is summarized as follows:

• Terrestrial ecosystems - The region's forest ecosystems and agro-ecosystems shall continue to play the crucial role of providing ecological stability to the ASEAN countries and globally.

Both, however, face numerous pressures. Addressing the pressures on these two ecosystems is critical for ASEAN. It will entail taking multiple measures that should be linked to enhancing the productivity from existing crop and pasture lands, reducing post-harvest losses, sustainable forest management and changing excessive and wasteful consumption.

• Inland water ecosystems - Inland water ecosystems in the ASEAN region are considered to be high value areas.

These cover wetlands, peatlands and freshwater bodies. Unfortunately, these ecosystem functions are often undervalued, consequently placing the rich biodiversity resources in these areas at imminent risk. As many of these areas are the initial frontiers for conversion for development expansion, there will be an increasing need for an integrated management of the ecosystems. By approaching the development of these areas in such a manner, the potential negative impacts from competing pressures can be minimized or averted.

• Marine and coastal ecosystems - Marine and coastal ecosystems are considered as one of the most valuable natural assets of the ASEAN region.

They, however, are faced with multiple pressures that may affect their ability to supply food, functional buffer zones for natural weather disturbances, and livelihood for communities. There is an urgent need to establish marine protected areas (MPAs) and MPA networks, as well as promulgate policies that allow marshes, mangroves and other coastal ecosystems to persist and even migrate inland to make these ecosystems more resilient to the impact of sea level rise, and thus help protect the vital services they provide.

The ASEAN region, as with the entire global community, has to move forward in collectively achieving the Biodiversity Target beyond 2010. Clearly, ASEAN Member States have to exert greater effort to inch their way toward achieving the biodiversity targets set for the region.

Ways forward have to be explored in order to successfully do this. There is a need to:
• Target efforts to critical areas and ecosystems
• Mainstream biodiversity in the national development process
• Connect biodiversity management with climate change efforts
• Take pride on the current efforts and building on them for designing future efforts
• Support efforts that will lead to the adoption of the access and benefit-sharing regime in the region.

The ASEAN Member States have already taken numerous steps in addressing biodiversity loss. The challenge is to push the envelop further, mindful that striking a balance between having a healthy life, secured livelihood and prosperity coupled with protected biodiversity resources and ecosystems is achievable if humans put their hearts into it.

Source: ASEAN Center for Biodiversity