Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Friday, 4 June 2010

Leptospirosis

Menurut berita terbaru dari Kompas tanggal 3 Juni 2010 menyebutkan bahwa sebanyak 45 warga Bantul, DI Yogyakarta terkena leptospirosis. Lima orang diantaranya meninggal dunia. Berdasarkan data dinas kesehatan kabupaten Bantul, kasus leptospirosis tahun 2009 tercatat 9 kasus, satu orang diantaranya meninggal. Tahun ini penyakit yang ditularkan lewat air kencing tikus tersebut, banyak menyerang warga di Kecamatan .

Klasifikasi ilmiah Leptospira (1)

Filum: Spirochaetes
Kelas: Spirochaeates
Ordo: Spirochaetales
Famili: Leptospiraceae
Genus: Leptospira

Serovar [2]

• Leptospira interogans
• Lepstospira australis
• Leptospira autumnalis
• Leptospira ballum
• Leptospira icterohemorrhagica
• Leptospira canicola
• Leptospira grippotyphosa
• Leptospira pomona

Leptospirosis adalah penyakit akibat bakteri Leptospira sp. yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya (zoonosis)[3]. Leptospirosis dikenal juga dengan nama Penyakit Weil, Demam Icterohemorrhage, Penyakit Swineherd's, Demam pesawah (Ricefield fever), Demam Penebang tebu (Cane-cutter fever), Demam Lumpur, Jaundis berdarah, Penyakit Stuttgart, Demam Canicola [4], penyakit kuning non-virus, penyakit air merah pada anak sapi, dan tifus anjing[3]

Infeksi dalam bentuk subakut tidak begitu memperlihatkan gejala klinis, sedangkan pada infeksi akut ditandai dengan gejala sepsis, radang ginjal interstisial, anemia hemolitik, radang hati dan keguguran. [2]. Leptospirosis pada hewan biasanya subklinis [5]. Dalam keadaan ini, penderita tidak menunjukkan gejala klinis penyakit [5]. Leptospira bertahan dalam waktu yang lama di dalam ginjal hewan sehingga bakteri akan banyak dikeluarkan hewan lewat air kencingnya [5]. Leptospirosis pada hewan dapat terjadi berbulan-bulan sedangkan pada manusia hanya bertahan selama 60 hari[5]. Manusia merupakan induk semang terakhir sehingga penularan antarmanusia jarang terjadi. [5].

Sejarah Penyakit

Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1886 oleh Adolf Weil dengan gejala panas tinggi disertai beberapa gejala saraf serta pembesaran hati dan limpa. [6] Penyakit dengan gejala tersebut di atas oleh Goldsmith (1887) disebut sebagai Weil's Disease. Pada tahun 1915 Inada berhasil membuktikan bahwa "Weil's Disease" disebabkan oleh bakteri Leptospira icterohemorrhagiae. [6]

Etiologi

Bakteri penyebab Leptosirosis yaitu bakteri Leptospira sp. [3][7][5]. Bakteri Leptospira merupakan Spirochaeta aerobik (membutuhkan oksigen untuk bertahan hidup), motil (dapat bergerak), gram negatif, bentuknya dapat berkerut-kerut, dan terpilin dengan ketat [7]. Bakteri Lepstospira berukuran panjang 6-20 µm dan diameter 0,1-0,2 µm[3]. Sebagai pembanding, ukuran sel darah merah hanya 7 µm [7]. Jadi, ukuran bakteri ini relatif kecil dan panjang sehingga sulit terlihat bila menggunakan mikroskop cahaya dan untuk melihat bakteri ini diperlukan mikroskop dengan teknik kontras [7]. Bakteri ini dapat bergerak maju dan mundur [3].

Leptospira mempunyai ±175 serovar [2], bahkan ada yang mengatakan Leptospira memiliki lebih dari 200 serovar [7]. Infeksi dapat disebabkan oleh satu atau lebih serovar sekaligus [2]. Bila infeksi terjadi, maka pada tubuh penderita dalam waktu 6-12 hari akan terbentuk zat kebal aglutinasi [3]. Leptospirosis pada anjing disebabkan oleh infeksi satu atau lebih serovar dari Leptospira interrogans [2]. Serovar yang telah diketahui dapat menyerang anjing yaitu L. australis, L. autumnalis, L. ballum, L. batislava, L. canicola, L. grippotyphosa, L. hardjo, L. ichterohemorarhagica, L. pomona, dan L. tarassovi [2][5]. Pada anjing, telah tersedia vaksin terhadap Leptospira yang mengandung biakan serovar L. canicola dan L. icterohemorrhagica yang telah dimatikan [2]. Serovar yang dapat menyerang sapi yaitu L. pamona dan L. gryptosa[5]. Serovar yang diketahui terdapat pada kucing adalah L. bratislava, L. canicola, L. gryppothyphosa, dan L. pomona [2]. Babi dapat terserang L. pamona dan L. interogans, sedangkan tikus dapat terserang L. ballum dan L. ichterohaemorhagicae [5].

Bila terkena bahan kimia atau dimakan oleh fagosit, bakteri dapat kolaps menjadi bola berbentuk kubah dan tipis [7]. Pada kondisi ini, Leptospira tidak memiliki aktifitas patogenik [7]. Leptospira dapat hidup dalam waktu lama di air, tanah yang lembab, tanaman dan lumpur [8].

Distribusi Penyakit

Leptospirosis terjadi di seluruh dunia,[9] [8] baik di daerah pedesaan maupun perkotaan, di daerah tropis maupun subtropis [9]. Penyakit ini terutama beresiko terhadap orang yang bekerja di luar ruangan bersama hewan, misalnya peternak, petani, penjahit, dokter hewan, dan personel militer [9]. Selain itu, Leptospirosis juga beresiko terhadap individu yang terpapar air yang terkontaminasi [6][9]. Di daerah endemis, puncak kejadian Leptospirosis terutama terjadi pada saat musim hujan dan banjir [9].

Iklim yang sesuai untuk perkembangan Leptospira adalah udara yang hangat, tanah yang basah dan pH alkalis, kondisi ini banyak ditemukan di negara beriklim tropis [6]. Oleh sebab itu, kasus Leptospirosis 1000 kali lebih banyak ditemukan di negara beriklim tropis dibandingkan dengan negara subtropis dengan risiko penyakit yang lebih berat [10]. Angka kejadian Leptospirosis di negara tropis basah 5-20/100.000 penduduk per tahun [11]. Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Oraganization/WHO) mencatat, kasus Leptospirosis di daerah beriklim subtropis diperkirakan berjumlah 0.1-1 per 100.000 orang setiap tahun, sedangkan di daerah beriklim tropis kasus ini meningkat menjadi lebih dari 10 per 100.000 orang setiap tahun [9]. Pada saat wabah, sebanyak lebih dari 100 orang dari kelompok berisiko tinggi di antara 100.000 orang dapat terinfeksi [9].

Di Indonesia, Leptospirosis tersebar antara lain di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat [12]. Angka kematian Leptospirosis di Indonesia termasuk tinggi, mencapai 2,5-16,45 persen [12]. Pada usia lebih dari 50 tahun kematian mencapai 56 persen [12]. Di beberapa publikasi angka kematian dilaporkan antara 3 % - 54 % persen tergantung sistem organ yang terinfeksi [13].

Cara Penularan

Urin tikus merupakan sumber penularan Leptospirosis. Leptospirosis merupakan penyakit yang dapat ditularkan melalui air (water borne disease)[9][3]. Urin (air kencing) dari individu yang terserang penyakit ini merupakan sumber utama penularan, baik pada manusia maupun pada hewan [5]. Kemampuan Leptospira untuk bergerak dengan cepat dalam air menjadi salah satu faktor penentu utama ia dapat menginfeksi induk semang (host) yang baru [7]. Hujan deras akan membantu penyebaran penyakit ini, terutama di daerah banjir [8]. Gerakan bakteri memang tidak mempengaruhi kemampuannya untuk memasuki jaringan tubuh namun mendukung proses invasi dan penyebaran di dalam aliran darah induk semang [7].

Di Indonesia, penularan paling sering terjadi melalui tikus pada kondisi banjir [14] [15]. Keadaan banjir menyebabkan adanya perubahan lingkungan seperti banyaknya genangan air, lingkungan menjadi becek, berlumpur, serta banyak timbunan sampah yang menyebabkan mudahnya bakteri Leptospira berkembang biak [15]. Air kencing tikus terbawa banjir kemudian masuk ke tubuh manusia melalui permukaan kulit yang terluka, selaput lendir mata dan hidung. [14]. Sejauh ini tikus merupakan reservoir dan sekaligus penyebar utama Leptospirosis [14] karena bertindak sebagai inang alami dan memiliki daya reproduksi tinggi [16]. Beberapa hewan lain seperti sapi, kambing, domba, kuda, babi, anjing dapat terserang Leptospirosis, tetapi potensi menularkan ke manusia tidak sebesar tikus [14].

Bentuk penularan Leptospira dapat terjadi secara langsung dari penderita ke penderita dan tidak langsung melalui suatu media [3][5]. Penularan langsung terjadi melalui kontak dengan selaput lendir (mukosa) mata (konjungtiva) [5], kontak luka di kulit, mulut, cairan urin [9], kontak seksual dan cairan abortus (gugur kandungan) [3]. Penularan dari manusia ke manusia jarang terjadi [9].

Penularan tidak langsung terjadi melalui kontak hewan atau manusia dengan barang-barang yang telah tercemar urin penderita, misalnya alas kandang hewan, tanah, makanan, minuman dan jaringan tubuh[5]. Kejadian Leptospirosis pada manusia banyak ditemukan pada pekerja pembersih selokan karena selokan banyak tercemar bakteri Leptospira[5]. Umumnya penularan lewat mulut dan tenggorokan sedikit ditemukan karena bakteri tidak tahan terhadap lingkungan asam [5].

Perjalanan Penyakit

Setelah bakteri Leptospira masuk ke dalam tubuh melalui kulit atau selaput lendir, maka bakteri akan mengalami multiplikasi (perbanyakan) di dalam darah dan jaringan [14]. Selanjutnya akan terjadi leptospiremia, yakni penimbunan bakteri Leptospira di dalam darah sehingga bakteri akan menyebar ke berbagai jaringan tubuh terutama ginjal dan hati [5].

Di ginjal kuman akan migrasi ke interstitium, tubulus renal, dan tubular lumen menyebabkan nefritis interstitial (radang ginjal interstitial) dan nekrosis tubular (kematian tubuli ginjal) [5]. Gagal ginjal biasanya terjadi karena kerusakan tubulus, hipovolemia karena dehidrasi dan peningkatan permeabilitas kapiler [14]. Gangguan hati berupa nekrosis sentrilobular dengan proliferasi sel Kupffer [14]. Pada konsisi ini akan terjadi perbanyakan sel Kupffer dalam hati [5]. Leptospira juga dapat menginvasi otot skeletal menyebabkan edema, vakuolisasi miofibril, dan nekrosis fokal [14]. Gangguan sirkulasi mikro muskular dan peningkatan permeabilitas kapiler dapat menyebabkan kebocoran cairan dan hipovolemia sirkulasi [14].

Pada kasus berat akan menyebabkan kerusakan endotelium kapiler dan radang pada pembuluh darah [5]. Leptospira juga dapat menginvasi akuos humor mata dan menetap dalam beberapa bulan, sering mengakibatkan uveitis kronis dan berulang [14]. Setelah infeksi menyerang seekor hewan, meskipun hewan tersebut telah sembuh, biasaya dalam tubuhnya akan tetap menyimpan bakteri Leptospira di dalam ginjal atau organ reproduksinya untuk dikeluarkan dalam urin selama beberapa bulan bahkan tahun[5].

Gejala Klinis
1. Pada hewan

Pada hewan, Leptospirosis kadangkala tidak menunjukkan gejala klinis (bersifat subklinis), dalam arti hewan akan tetap terlihat sehat walaupun sebenarnya dia sudah terserang Leptospirosis [5]. Kucing yang terinfeksi biasanya tidak menunjukkan gejala walaupun ia mampu menyebarkan bakteri ini ke lingkungan untuk jangka waktu yang tidak pasti [2].
Gejala klinis yang dapat tampak yaitu ikterus atau jaundis, yakni warna kekuningan, karena pecahnya butir darah merah (eritrosit) sehingga ada hemoglobin dalam urin [3]. Gejala ini terjadi pada 50 persen kasus, terutama jika penyababnya L. pomona [3]. Gejala lain yaitu demam, tidak nafsu makan, depresi, nyeri pada bagian-bagian tubuh [3], gagal ginjal, gangguan kesuburan, dan kadang kematian [5]. Apabila penyakit ini menyerang ginjal atau hati secara akut maka gejala yang timbul yaitu radang mukosa mata (konjungtivitis), radang hidung (rhinitis), radang tonsil (tonsillitis), batuk dan sesak nafas [2].

Pada babi muncul gejala kelainan saraf, seperti berjalan kaku dan berputar-putar [3]. Pada anjing yang sembuh dari infeksi akut kadangkala tetap mengalami radang ginjal interstitial kronis atau radang hati (hepatitis) kronis [2]. Dalam keadaan demikian gejala yang muncul yaitu penimbunan cairan di abdomen (ascites), banyak minum, banyak urinasi, turun berat badan dan gejala saraf[2]. Pada sapi, infeksi Leptospirosis lebih parah dan lebih banyak terjadi pada pedet dibandingkan sapi dewasa dengan gejala demam, jaundis, anemia, warna telinga maupun hidung yang menjadi hitam, dan kematian (Bovine Leptospirosis).[17]. Angka kematian (mortalitas) akibat Leptospirosis pada hewan mencapai 5-15 persen, sedangkan angka kesakitannya (morbiditas) mencapai lebih dari 75 persen [3].

2. Pada Manusia

Pada manusia menyebabkan Jaundis: kulit dan mukosa menjadi kuning. Masa inkubasi Leptospirosis pada manusia yaitu 2 - 26 hari [14]. Infeksi Leptospirosis mempunyai manifestasi yang sangat bervariasi dan kadang tanpa gejala, sehingga sering terjadi kesalahan diagnosa [14]. Infeksi L. interrogans dapat berupa infeksi subklinis yang ditandai dengan flu ringan sampai berat [18], Hampir 15-40 persen penderita terpapar infeksi tidak bergejala tetapi serologis positif [14]. Sekitar 90 persen penderita jaundis ringan, sedangkan 5-10 persen jaundis berat yang sering dikenal sebagai penyakit Weil [14]. Perjalanan penyakit Leptospira terdiri dari 2 fase, yaitu fase septisemik dan fase imun [14][5]. Pada periode peralihan fase selama 1-3 hari kondisi penderita membaik [14]. Selain itu ada Sindrom Weil yang merupakan bentuk infeksi Leptospirosis yang berat [14].

Fase Septisemik

Fase Septisemik dikenal sebagai fase awal atau fase leptospiremik karena bakteri dapat diisolasi dari darah, cairan serebrospinal dan sebagian besar jaringan tubuh [14]. Pada stadium ini, penderita akan mengalami gejala mirip flu selama 4-7 hari, ditandai dengan demam, kedinginan, dan kelemahan otot [5]. Gejala lain adalah sakit tenggorokan, batuk, nyeri dada, muntah darah, nyeri kepala, takut cahaya, gangguan mental, radang selaput otak (meningitis), serta pembesaran limpa dan hati [14].

Fase Imun

Fase Imun sering disebut fase kedua atau leptospirurik karena sirkulasi antibodi dapat dideteksi dengan isolasi kuman dari urin, dan mungkin tidak dapat didapatkan lagi dari darah atau cairan serebrospinalis [14]. Fase ini terjadi pada 0-30 hari akibat respon pertahanan tubuh terhadap infeksi [14]. Gejala tergantung organ tubuh yang terganggu seperti selaput otak, hati, mata atau ginjal [14].

Jika yang diserang adalah selaput otak, maka akan terjadi depresi, kecemasan, dan sakit kepala [5]. Pada pemeriksaan fungsi hati didapatkan jaundis, pembesaran hati (hepatomegali), dan tanda koagulopati [14]. Gangguan paru-paru berupa batuk, batuk darah, dan sulit bernafas.[5] Gangguan hematologi berupa peradarahan dan pembesaran limpa (splenomegali). Kelainan jantung ditandai gagal jantung atau perikarditis [14]. Meningitis aseptik merupakan manifestasi klinis paling penting pada fase imun [14].

Leptospirosis dapat diisolasi dari darah selama 24-48 jam setelah timbul jaundis [5]. Pada 30 persen pasien terjadi diare atau kesulitan buang air besar (konstipasi), muntah, lemah, dan kadang-kadang penurunan nafsu makan [5]. Kadang-kadang terjadi perdarahan di bawah kelopak mata dan gangguan ginjal pada 50 persen pasien, dan gangguan paru-paru pada 20-70 persen pasien [5].

Gejala juga ditentukan oleh serovar yang menginfeksi [14]. Sebanyak 83 persen penderita infeksi L. icterohaemorrhagiae mengalami ikterus, dan 30 persen pada L. pomona [14]. Infeksi L. grippotyphosa umumnya menyebabkan gangguan sistem pencernaan. Sedangkam L. pomona atau L. canicola sering menyebabkan radang selaput otak (meningitis) [14].

Sindrom Weil

Sindrom Weil adalah bentuk Leptospirosis berat ditandai jaundis, disfungsi ginjal, nekrosis hati, disfungsi paru-paru, dan diathesis perdarahan [5]. Kondisi ini terjadi pada akhir fase awal dan meningkat pada fase kedua, tetapi bisa memburuk setiap waktu [14]. Kriteria penyakit Weil tidak dapat didefinisikan dengan baik. Manifestasi paru meliputi batuk, kesulitan bernafas, nyeri dada, batuk darah, dan gagal napas [5]. Disfungsi ginjal dikaitkan dengan timbulnya jaundis 4-9 hari setelah gejala awal [14]. Penderita dengan jaundis berat lebih mudah terkena gagal ginjal, perdarahan dan kolap kardiovaskular. Kasus berat dengan gangguan hati dan ginjal mengakibatkan kematian sebesar 20-40 persen yang akan meningkat pada lanjut usia [14].
Diagnosa

Bakteri Leptospira secara mikroskopis pada jaringan ginjal menggunakan metode pewarnaan perak. Untuk mendiagnosa Leptospirosis, maka hal yang perlu diperhatikan adalah riwayat penyakit, gejala klinis dan diagnosa penunjang [5][19][14]. Sebagai diagnosa penunjang, antara lain dapat dilakukan pemeriksaan urin dan darah [19]. Pemeriksaan urin sangat bermanfaat untuk mendiagnosa Leptospirosis karena bakteri Leptospira terdapat dalam urin sejak awal penyakit dan akan menetap hingga minggu ketiga [19]. Cairan tubuh lainnya yang mengandung Leptospira adalah darah, serebrospinal [19] tetapi rentang peluang untuk isolasi bakteri sangat pendek [14]. Selain itu dapat dilakukan isolasi bakteri Leptospira dari jaringan lunak atau cairan tubuh penderita, misalnya jaringan hati, otot, kulit dan mata. Namun, isolasi Leptospira termasuk sulit dan membutuhkan waktu beberapa bulan [14].

Untuk mengukuhkan diagnosa Leptospirosis biasanya dilakukan pemeriksaan serologis [19]. Antibodi dapat ditemukan di dalam darah pada hari ke-5-7 sesudah adanya gejala klinis [19]. Kultur atau pengamatan bakteri Leptospira di bawah mikroskop berlatar gelap umumnya tidak sensitif [19]. Tes serologis untuk mengkonfirmasi infeksi Leptospirosis yaitu Microscopic agglutination test (MAT) [5]. Tes ini mengukur kemampuan serum darah pasien untuk mengagglutinasi bakteri Leptospira yang hidup [18]. Namun, MAT tidak dapat digunakan secara spesifik pada kasus yang akut, yakni kasus yang terjadi secara cepat dengan gejala klinis yang parah [19]. Selain itu, diagnosa juga dapat dilakukan melalui pengamatan bakteri Leptospira pada spesimen organ yang terinfeksi menggunakan imunofloresen [19].

Pengobatan dan Pengendalian

1. Pada Hewan

Hewan, terutama hewan kesayangan, yang terinfeksi parah perlu diberikan perawatan intensif untuk menjamin kesehatan masyarakat dan mengoptimalkan perawatan [20]. Antibiotik yang dapat diberikan yaitu doksisiklin, enrofloksasin, ciprofloksasin atau kombinasi penisillin-streptomisin [20]. Selain itu diperlukan terapi suportif dengan pemberian antidiare, antimuntah, dan infus [20].

Pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan vaksin Leptospira[20][3]. Vaksin Leptospira untuk hewan adalah vaksin inaktif dalam bentuk cair (bakterin) yang sekaligus bertindak sebagai pelarut karena umumnya vaksin Leptospira dikombinasikan dengan vaksin lainnya, misalnya distemper dan hepatitis [3]. Vaksin Leptospira pada anjing yang beredar di Indonesia terdiri atas dua macam serovar yaitu L. canicola dan L. ichterohemorrhagiae[3]. Vaksin Leptospira pada anjing diberikan saat anjing berumur 12 minggu dan diulang saat anjing berumur 14-16 minggu [20]. Sistem kekebalan sesudah vaksinasi bertahan selama 6 bulan, sehingga anjing perlu divaksin lagi setiap enam bulan [20].

2. Pada Manusia

Leptospirosis yang ringan dapat diobati dengan antibiotik doksisiklin, ampisillin, atau amoksisillin. Sedangkan Leptospirosis yang berat dapat diobati dengan penisillin G, ampisillin, amoksisillin dan eritromisin [5].

Manusia rawan oleh infeksi semua serovar Leptospira sehingga manusia harus mewaspadai cemaran urin dari semua hewan [5]. Perilaku hidup sehat dan bersih merupakan cara utama untuk menanggulangi Leptospirosis tanpa biaya [3]. Manusia yang memelihara hewan kesayangan hendaknya selalu membersihkan diri dengan antiseptik setelah kontak dengan hewan kesayangan, kandang, maupun lingkungan dimana hewan berada [5].

Manusia harus mewaspadai tikus sebagai pembawa utama dan alami penyakit ini [6]. Pemberantasan tikus terkait langsung dengan pemberantasan Leptospirosis. [15] Selain itu, para peternak babi dihimbau untuk mengandangkan ternaknya jauh dari sumber air [3]. Feses ternak perlu diarahkan ke suatu sumber khusus sehingga tidak mencemari lingkungan terutama sumber air [3].

Daftar Pustaka
1. Anonymous. (2009). Serological classification and grouping. The Leptospirosis Information Center. Diakses pada 12 April 2010 .

2. Subronto. "1". di dalam Nunung Prajanto (dalam bahasa Indonesia). Penyakit Infeksi Parasit dan Mikroba pada Anjing dan Kucing (edisi ke-1). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. hal. 188-192. ISBN 979-420-611-3.

3. Dharmojono. "1" (dalam bahasa Indonesia). Leptospirosis-Antthrax-Mulut dan Kuku-Sapi Gila, Waspadailah Akibatnya! (edisi ke-1). Jakarta: Pustaka Populer Obor. hal. 1-10. ISBN 979-461 397-5.

4. Anonymous. (2008). Penyakit Dewasa Leptospirosis. (Pdf) Bahagian Pendidikan Kesihatan Kemintrian Kesihatan Malaysia. Diakses pada 15 April 2010.

5. Yuliarti, Nurheti. "1". di dalam Agnes Heni Triyuliana (dalam bahasa Indonesia). Hidup Sehat Bersama Hewan Kesayangan (edisi ke-1). Yogyakarta: Andi Offset. hal. 243-250. ISBN 979-763-842-1.

6. Priyanto,, Agus; Soeharyo Hadisaputro, Ludfi Santoso,Hussein Gasem, Sakundarno Adi (2008). [http://eprints.undip.ac.id/6320/1/Agus_Priyanto.pdf Faktor-Faktor Risiko Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Leptospirosis (Studi Kasus di Kabupaten Demak)]. (PDF) Program Magister Epidemiologi Program Pascasarjana Universitas Diponegoro. Diakses pada 15 April 2010 .

7. Anonymous. (2009). Overview of the leptospira bacterium itself. The Leptospirosis Information Center. Diakses pada 12 April 2010 .

8. Directors of health Promotion and Education Leptospirosis. Directors of health Promotion and Education. Diakses pada 15 April 2010.

9. WHO (2001). Water Related Diseases: Leptospirosis. World Health Organization. Diakses pada 15 April 2010.

10. Hatta M (Maret 2002). "Detection of IgM to Leptospira Agent with ELISA ang Leptodipstick Method". Jurnal Kedokteran dan Kesehatan FK Universitas Tarumanegara 1.

11. Bovet P (1999). "Factor Assosiated with Clinical Leptospirosis, A Population Based Control Study in Seychelles". American Journal Tropical Medicine and Hygiene: 583-590.

12. Widarso HS dan Wilfried (2002). "Kebijaksanaan Departemen Kesehatan dalam Penanggulangan Leptospirosis di Indonesia". Kumpulan Makalah Simposium Leptospirosis, Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

13. Esen Saban (2004). "Impact of Clinical and Laboratory Findings on Prognosis in Leptospirosis". Swiss Medical Weekly: 347-352.

14. Widodo Judarwanto (Agustus 2009). "Leptospirosis pada Manusia" (PDF) Diakses pada 18 April 2010.

15. Mari Okatini, Rachmadhi Purwana, I Made Djaja (2007 Juni). "Hubungan Faktor Lingkungan dan Karakteristik Individu terhadap Kejadian Penyakit Leptospirosis di Jakarta, 2003-2005." (PDF). Makara, kesehatan 11: 17-24 Diakses pada 17 April 2010.

16. Farida Dwi Handayani dan Ristiyanto. "Rapid assessment Inang Reservoir Leptospirosis di Daerah Pasca Gempa Kecamatan Jogonalan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah." (PDF) Diakses pada 18 April 2010.

17. Anonymous. Bovine Leptospirosis. (PDF) Texas Agriculture Extension Service. Diakses pada 20 April 2010.

18. A. Ebrahimi, L. Alijani, G R Abdollahpour (June 2003). "Serological Survey of Human Leptospirosis in tribal Areas of West Central Iran" (PDF). IJMS 28 Diakses pada 17 April 2010.

19. Stoddard, Robyn; Sean V. Shadomy Other Infectious Diseases Related to Travel: Leptospirosis. Centers for Disease Control and Prevention. Diakses pada 17 April 2010.

20. Eldredge, Debra M; Eldredge, Liisa D. Carlson, Delbert G. Carlson, James M. Giffin. "1". di dalam Beth Adelman (dalam bahasa English). Dog owner’s Home Veterinary Handbook (edisi ke-4th). Hoboken: Willey Publishing Inc. hal. 66-67, 96. ISBN 978-0-470-06785-7.

Sumber : Wikipedia bahasa Indonesia dan Kompas 3 Juni 2009

Wednesday, 2 June 2010

Akreditasi Lab Pengujian Vaksin ASEAN

 

Kriteria Akreditasi ASEAN untuk Laboratorium Pengujian Mutu Vaksin Hewan

 

(ASEAN ACCREDITATION CRITERIA FOR ANIMAL VACCINE TESTING LABORATORY)

I. PENDAHULUAN

• Pelanggan Lab membutuhkan kepastian bahwa pengukuran dan uji dilakukan secara akurat dan andal.

• Lab memperoleh level Quality Assurance (QA) seperti ini dengan menerapkan standar dapat diterimam secara internasional atau Nasional.

• Banyak Lab yang melakukan kontrak kerja, karena mereka menerapkan pekerjaan berdasarkan standar yang dapat diterima. Dalam hal ini Obat Hewan (Termasuk Vaksin hewan) persyaratan standar adalah Good Laboratory Practice (GLP).

ASEAN Accreditation Criteria for vaccine testing Laboratory bertujuan untuk
1. Mengharmonisasi kriteria dan prosedur akreditasi Lab sebagai alat untuk technical barrier perdagangan.
2. Merupakan fasilitas Internasional yang dapat diterima data uji dan sertifikatnya bagi Lab yang terakreditasi ASEAN.

II. GEDUNG DAN FASILITAS

Gedung dan fasilitas harus dipisahkan ke dalam :
1. Lab untuk uji vaksin bakteri
2. Lab untuk uji Vaksin virus
3. Kandang hewan percobaan

1. KRITERIA LABORATORIUM

a. Lab untuk uji vaksin bakteri, uji vaksin virus dan persiapan media harus terpisah.

b. Lab harus dirancang untuk dapat melakukan pekerjaan dengan baik.

c. Lab harus mudah dibersihkan, permukaan kedap air dan tahan terhadap kimia.

d. Setiap Lab harus ada safety cabinet kelas I (melindungi operator) dan kelas II (melindungi operator dan produk).

e. Sistem ventilasi safety kabinet harus diperbaiki atau dipelihara secara rutin.

f. Baju pelindung, sarung tangan, masker, dan kaca mata pelindung harus digunakan dalam lab.

g. Disediakan fasilitas untuk ganti baju, tempat pencucian, dan toilet layak pakai dan sesuai jumlah pemakai.

h. Lab harus dirancang dan dipasang peralatan yang dapat memberikan proteksi yang maksimal untuk mencegah insekta atau hewan lain.

2. Kandang Hewan Percobaan

Kandang Hewan Percobaan dibagi :

a.Kandang ayam/unggas:

i)Uji vaksin bakteri
ii)Uji vaksin virus

b.Kandang hewan kecil:

i)Uji vaksin bakteri
ii)Uji vaksin virus

c.Kandang hewan besar:

i)Uji vaksin bakteri
ii)Uji vaksin virus

Kriteria Kandang Hewan Percobaan

a. Ruangan harus tidak hanya melindungi hewannya sendiri tetapi harus dibuat dapat melindungi pekerja.

b. Harus memiliki incinerator utk hewan percobaan memiliki ruang pembersihan dan desinfeksi hewan.

c. Sistem ventilasi udara masuk dan keluar ruang menggunakan High Efficiency Particulary Air (HEPA) filter.

d. Ruangan harus dipertahankan bertekanan negatif.

e. Fasilitas isolator harus digunakan jika melakukan IBD.

f. Drainase harus baik dan tepat sesuai sistem sanitary.

III. Quality Assurance

1. Role of Manajement

Manajemen Organisasi / Lab bertanggung jawab untuk membentuk dan mengelola sistem QA. Sistem QA menangani sumber daya, proses dan prosedur dimana pengukuran dan persyaratan standar uji tercapai.

Manajemen harus mempunyai kebijakan kualitas yang tertulis.

• Manajemen (Pengelola) harus mengidentifikasi tanggung jawab dan otoritas untuk memimpin sistem QA.

• perlunya komitmen manajer kualitas untuk memilih Pengawas, Auditor dan Penguji.

• Manajemen (Pengelola) bertanggung Jawab untuk pencapaian, penentuan arah dan pemeliharaan sumber daya sistem QA.
• Kunci sumber daya adalah akomodasi/kerjasama, staff dan peralatan.

• Lab tdk akan mendapatkan akreditasi jika terdapat sebagian standard persyaratan yang diterapkan tdk sesuai persyaratan akreditasi.

• Manajemen (Pengelola) harus review sistem QA secara periodik, dan mempertimbangkan semua hasil audit dan keluhan/komplin.

• Peralatan harus cukup akurat untuk pengukuran dan harus dikalibrasi serta dipelihari secara sistematik.

2. Sistem QA

a. Manajemen dan Organisasi

• Manajer QA harus menentukan tanggung jawab, otoritas dan hubungan antar semua personil (Manager) yang memimpin dan memverifikasi pekerjaan yang berhubungan dengan kualitas.

• Manajer QA bertanggung jawab untuk memimpin dan mengorganisir sistem QA, lebih baik berbasis independen.

• Ia melapor secara langsung kepada senior manajer dan bekerja terpisah dengan manajer lab.

• Ia berhak untuk cheking dan meyakinkan bahwa semua aktifitas di dalam Lab diterapkan dan dilaksanakan sesuai standar persyaratan.
• Ia memberikan input besar dalam assesmen dan penetuan pelatihan bagi personil.

• Ia harus menjamin bahwa dokumen prosedur, pencatatan dan laporan sesuai dengan persyaratan akreditasi baik secara Nasional maupun secara Internasional.

• Ia bertanggung jawab untuk auditing internal, cheking, kalibrasi semua peralatan.
• Ia akan berhubungan dengan auditor eksternal dan mempunyai hubungan luas dengan studi perbandingan antar Lab.

b. Prosedur Sistem Mutu (PSM)

• PSM mengcover seluruh sistem QA.
• Semua PSM harus terdokumentasi, terkontrol dan dibuat sedapat mungkin staff tahu.
• PSM harus sebagai Manual Quality yang memberikan gambaran umum terhadap Sistem QA.
• PSM harus dibuat oleh staff Lab dan akan menggambarkan tujuan kebijakan mutu.
• PSM termasuk detail scop/ruang lingkup akreditasi Lab, flow chart organisasi dan personel dan job deskripsi serta otoritasnya.
• Harus prosedur tertulis yang mudah didapat utk administrasi, dokumentasi, sampling dan standarisasi, metoda analisa, protokol uji, prosedur analisa QC dan QA, sertifikat, Laporan, Catatan.

c. Kontrol Dokumen

• Kontrol dokumen menyangkut persetujuan, penerbitan dan penggantian serta alternatif dok.
• Dok harus diseting sesuai dengan master dokumen yang dapat diidentifikasi.
• Penggandaan diterbitkan untuk keperluan mereka dan Catatan distribusinya disimpan.
• Perubahan dan penggantian dokumen harus dilakukan pada tingkat copy Master dan copy baru diterbitkan dan dicatat.
• Master copy sebelumnya harus disimpan dan semua copy harus dikumpulkan dan dihancurkan.

d. Staff / Personel

• Personel harus mempunyai persyaratan keahlian, khususnya penguasaan tehnik dan peralatan yang digunakan.
• Training dan pendidikan lanjutan sangat esensiil dan adanya workshop ASEAN harus didorong.

e. Peralatan

• Semua alat ukur yang berpengaruh pada qualitas harus dikontrol, dikalibrasi dan dipelihara.
• Pemilihan peralatan sangat penting.
• Peralatan harus mampu mengukur secara sensitif dan akurat.
• Harus dipertimbangkan pelayanan purna jual, pemeliharaan, spare part dan perbaikannya.
• Penggantian peralatan harus direncanakan, bekerja sama dengan bagian manajement.
• Peralatan harus mempunyai identifikasi.
• Dokumentasi peralatan harus diarsipkan.
• Arsip termasuk instruction manual.
• Arsip termasuk :
1. Daftar alat.
2. Peralatan yang membutuhkan kalibrasi dan pemeliharaan
3. Waktu atau interval waktu kalibrasi dan pemeliharaan.
4. Prosedur kalibrasi harus dibuat oleh personel yang berwenang.
5. Catatan kalibrasi dan pemeliharaan.

Pemeliharaan dan Kalibrasi Peralatan.
• Pemeliharaan dan kalibrasi secara regular untuk alat ukur penting …. sangat diperlukan untuk memperoleh hasil dan akurasi yang dapat dipercaya.
1. Timbangan
2. Pipet
3. pH meter
4. Temperatur (ice box, freezer dan cold room)
5. Termometer.

f. Sampling dan Penanganan Sampel

• Sampel harus representatif dan sejarahnya dicatat dan dibawa ke Lab.
• Sampel tiba di Lab. dalam kondisi yang tidak akan merubah kualitas analisa dan sesegera mungkin.
• Prosedur harus ditulis secara rinci tentang:
a. Bagaimana cara penanganannya,
b. Bagaimana cara penyimpanannya,
c. Bagaimana catatan sampel pada waktu tiba di Lab.

g. Metode Analisa

• Metode analisa mungkin berasal dari sumber berbeda, tetapi Official Standard Method (Mis.: OIE, CFR).

• SOP harus sudah diakreditasi oleh instansi berwenang, atau metodanya sendiri yang telah divalidasi tetapi belum diakreditasi.

Metode meliputi :
1.Sampling, penanganan sampel dan penyimpanan.
2.Perhatian keamanan.
3.Scop, arsip aplikasi, referensi, definisi, prinsip metode.
4.Rincian Material, reagen, standard dan pelaksanaan.
5.Rincian peralatan.
6.Rincian kalibrasi.
7.Persiapan sampel uji.
8.Prosedur uji.
9.Penanganan data, kalkulasi hasil, transfer data
10.Diagram lalu lintas arah sampel.

h. Audit dan Review

Audit

Sistem QA Lab. harus selalu dilakukan audit internal secara reguler, perhatian khusus pada prosedur dan metode analisa baik dalam hal GLP maupun Akreditasi.
Semua prosedur diaudit secara regular oleh personel yang independent.
Ketidakcocokan terhadap standar persyaratan setelah beberapa waktu yang tidak terlalu lama dilakukan corrective action (tindak lanjut).

Review/Peninjauan Ulang
1. Sistem QA harus ditinjau ulang secara regular oleh manajemen senior melalui konsultasi dengan pengelola manajemen QA.
2. Hasil review harus dikomunikasikan kepada staf yang berkepentingan

i. Laporan dan Catatan

Lab. akan menyimpan data dasar copy/salinan hasil dan catatan.
Manajer QA bertanggung jawab untuk memeriksa dan memastikan bahwa data dikalkulasi, dicatat dan dilaporkan menurut aturan prosedur.
Laporan dan catatan banyak manfaatnya jika terjadi masalah dengan analisa yang diperlukan pelanggan dan eksternal audit.
Waktu retensi laporan dan catatan ditentukan dan ditulis dalam prosedur.

j. Tindak Lanjut

• Sistem QA harus mempunyai dokumen prosedur untuk investigasi anomali/penyimpangan, komplin/keluhan dan ketidakpastian.
• Semua Corrective action dan ketidaksesuaian dicatat.
• Semua ketidakpastian dilaporkan melalui audit harus ditentukan Corrective action nya.

k. Sub-Kontrak

• Sistem QA harus menyeleksi jenis sub-kontrak, dasarnya kemampuan terhadap persyaratan sub-kontrak termasuk persyarata kualitas.
• Persyaratan standar lab. sub-kontrak harus ditetapkan secara jelas.
• Seleksi sub-kontrak tergantung produk.
• Sistem QA harus dilaksanakan dengan prosedur baku dan dipelihara untuk kontrak ulang dan koordinasi aktifitasnya

l. Interlaboratory Collaborative Study

Mekanisme Interlaboratory Collaborative Study antara anggota Negara ASEAN ditetapkan dengan jelas dan mekanisme harus ditulis dalam Manual QA.

Monday, 17 May 2010

Istilah Penting Keamanan Hayati dan Pangan

 
 

 Istilah Penting Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan di Indonesia

 
 
Sebagai pengantar mengenal Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan di negara tercinta Republik Indonesia diperkenalkan beberapa istilah teknik yang berkaitan dengan Kemanan Hayati dan Keamanan Pangan. Dalam Keputusan Bersama empat Menteri tahun 1999 (Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan dan Perkebunan, Menteri Kesehatan dan Menteri Negara Pangan dan Hortikultura) telah didefinisikan istilah penting yang dipergunakan dalam Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan adalah sebagai berikut:

1. Produk pertanian hasil rekayasa genetik yang selanjutnya disingkat PPHRG adalah hewan transgenik, bahan asal hewan transgenik dan hasil olahannya, ikan transgenik, bahan asal ikan transgenik dan hasil olahannya, tanaman transgenik, bagian-bagiannya dan hasil olahannya serta jasad renik transgenik.

2. Keamanan hayati adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah PPHRG dari kemungkinan timbulnya sesuatu yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan bagi keanekaragaman hayati (termasuk hewan, ikan dan tumbuhan) dan lingkungan.

3. Keamanan pangan PPHRG adalah kondisi dan upaya yang diperlukan dalam proses produksi, penyimpanan, peredaran dan penyiapan PPHRG untuk mencegah dari kemungkinan timbulnya sesuatu yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia.

4. Pemanfaatan PPHRG meliputi pengembangan ilmu pengetahuan, penelitian, pemuliaan, produksi, peredaran termasuk perdagangan, dan penggunaan.

5. Teknologi rekayasa genetik adalah segala upaya untuk mengadakan perubahan secara sengaja pada genom makhluk hidup dengan menambah, mengurangi dan/atau mengubah susunan asli genom dengan menggunakan teknik DNA rekombinan.

6. Genom adalah total komplemen genetik dari suatu organisme.

7. Asam Nukleat Deoksiribose (deoxyribose nucleic acid) yang selanjutnya disebut DNA adalah molekul yang membawa informasi genetik untuk sebagian besar organisme yang terdiri atas empat macam basa dan kerangka gula fosfat.

8. DNA rekombinan adalah suatu kombinasi DNA yang terbentuk secara in vitro dari fragmen-fragmen DNA dari dua spesies organisme.

9. Hewan transgenik adalah semua binatang hasil rekayasa genetik yang sebagian besar hidupnya berada di darat, baik yang dipelihara maupun yang hidup secara liar.

10. Bahan asal hewan transgenik adalah bahan, yang berasal dari hewan hasil rekayasa genetik yang dapat diolah lebih lanjut seperti daging, susu, telur, bulu, rambut, wool, tanduk, kuku, kulit, tulang, sperma, dan madu.

11. Hasil olahan hewan transgenik adalah pangan yang berasal dari bahan asal hewan hasil rekayasa genetik yang diproses dengan cara atau metode tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan.

12. Ikan transgenik termasuk biota perairan lainnya hasil rekayasa genetik yang selanjutnya disebut ikan transgenik adalah dari kelas pisces, crustacea, mollusca, coelenterata, echinodermata, amphibia, reptilia, mammalia, dan algae.

13. Bahan asal ikan transgenik adalah bahan yang berasal dari ikan hasil rekayasa genetik yang dapat diolah lebih lanjut seperti minyak, dan kulit ikan.

14. Hasil olahan ikan transgenik adalah pangan yang berasal dari bahan asal ikan hasil rekayasa genetik yang diproses dengan cara atau metode tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan.

15. Tanaman transgenik adalah tumbuhan yang dibudidayakan yang meliputi tanaman semusim dan tanaman tahunan dan bagian-bagiannya hasil rekayasa genetik.

16. Hasil olahan tanaman transgenik adalah pangan yang berasal dari tanaman hasil rekayasa genetik yang diproses dengan cara atau metode tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan.

17. Jasad renik transgenik meliputi virus, bakteri protozoa, khamir, kapang, dan mikro alga hasil rekayasa genetik.

18. Kesepadanan substansial adalah suatu keadaan dimana produk pangan yang berasal dari produk pertanian hasil rekayasa genetik secara substansial sama dengan organisme non transgenik asalnya kecuali sifat yang direkayasa.

19. Secara umum dinilai aman atau generally regarded as safe (GRAS) adalah suatu kondisi aman untuk dikonsumsi yang diterapkan pada bahan tambahan pangan (food additive) dan bahan pangan yang berasal dari PPHRG.

20. Komisi Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan yang selanjutnya disingkat KKHKP adalah komisi yang mempunyai tugas membantu Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan dan Perkebunan, Menteri Kesehatan, dan Menteri Negara Pangan dan Hortikultura dalam menyusun dan menetapkan kebijaksanaan keamanan hayati dan keamanan pangan dalam pemanfaatan PPHRG.

21. Tim Teknis Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan yang selanjutnya disingkat TTKHKP adalah tim yang mempunyai tugas membantu KKHKP dalam melakukan evaluasi dan kajian teknis keamanan hayati dan keamanan pangan, serta kelayakan pemanfaatan PPHRG.

Memang Keputusan Bersama empat Menteri ini sudah berumur 10 tahun lebih mudah-mudahan saja masih relevan dengan tantang global saat ini dengan teknologi rekayasa genetika yang semakin maju dan canggih. Wallahhu’alam bishawab.

Sumber :
Pasal 1 Keputusan Bersama Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan dan Perkebunan, Menteri Kesehatan dan Menteri Negara Pangan dan Hortikultura,
Tentang Kemanan Hayati dan Keamanan Pangan Produk Pertanian Hasil Rekayasa Genetik
Nomor :
998.1/Kpts/OT.210/9/99
790.a/Kpts-IX/1999
1145A/MENKES/SKB/IX/1999
015A/NmenegPHOR/09/1999

Thursday, 13 May 2010

Konferensi Keamanan Hayati Nagoya

 
 Konferensi Keamanan Hayati Nagoya akan Agendakan Teks Hukum Kewajiban dan Ganti Rugi
 
 
Oleh
Ani Purwati

Teks hukum internasional tentang kewajiban dan ganti rugi (liability redress) atas kerusakan yang disebabkan oleh organisme hasil rekayasa atau rekayasa genetik (living modified organisms -LMOs) akan menjadi agenda yang diadopsi pada Konferensi Kelima Para Pihak Protokol Kartagena tentang Keamanan Hayati (Cartagena Protocol on Biosafety) pada bulan Oktober 2010 di Nagoya, Jepang.

Demikian menurut laporan Lim Li Lin dan Lim Li Ching dari Third World Network yang mengikuti jalannya perundingan Group of Friends of the Co-Chairs di Kuala Lumpur, pada 19 Februari 2010.

Sebuah kelompok perundingan (yang dikenal sebagai Group of Friends of the Co-Chairs tentang kewajiban dan ganti rugi dalam hal Protokol Kartagena tentang Keamanan Hayati) yang bertemu di Kuala Lumpur pada tanggal 8-12 Februari 2010 meminta Sekretaris Eksekutif Convention on Biological Diversity untuk menyampaikan kepada Para Pihak Protokol, perihal teks untuk Protokol Tambahan tentang kewajiban dan ganti rugi atas kerusakan akibat dari pergerakan lintas batas LMOs.

Dalam laporan tersebut menyebutkan bahwa teks protokol yang diusulkan harus disampaikan kepada Para Pihak oleh Sekretariat paling lambat enam bulan sebelum adopsi. Pertemuan Friends of the Co-Chairs di Kuala Lumpur adalah perundingan terakhir yang dijadwalkan setidaknya enam bulan sebelum Konferensi Para Pihak di Nagoya. Teks yang diusulkan masih mengandung banyak tanda kurung (yang mengindikasikan belum adanya kesepakatan).

Perundingan lebih lanjut dijadwalkan berlangsung di Montreal pada 17-19 Juni 2010. Ada pembicaraan tentang kemungkinan tambahan tiga sampai lima hari pertemuan sebelum Konferensi Para Pihak di Nagoya, sesuai dengan kesepakatan dengan pemerintah tuan rumah, Jepang.

Pertemuan Kuala Lumpur adalah pertemuan Friends of the Co-Chairs kedua yang diamanatkan oleh Konferensi Para Pihak Keempat di Bonn pada Mei 2008 untuk membahas lebih lanjut aturan-aturan dan prosedur internasional tentang kewajiban dan ganti rugi dalam hal Protokol Kartagena. Pertemuan pertama diadakan di Mexico City pada Maret 2009. Sebagai ketuanya adalah Rene Lefeber dari Belanda dan Jimena Nieto dari Kolombia.

Perundingan kewajiban dan ganti rugi telah berjalan sejak tahun 2005, dengan sebuah kelompok kerja di bawah Protokol Cartagena telah bertemu lima kali untuk menguraikan aturan-aturan dan prosedur internasional tentang kewajiban dan ganti rugi. Pertemuan terakhir diadakan pada bulan Maret 2008, dengan suatu upaya menyelesaikan proses dalam waktu empat tahun seperti yang ditetapkan dalam Protokol Kartagena. Namun, Para Pihak dalam perundingan telah terpecah dan mengakibatkan lambatnya kemajuan.

Meskipun pertemuan kelompok kecil ekstra dari Friends of the Co-Chairs di Bonn sebelum dan selama Konferensi Para Pihak 2008, perundingan masih belum bisa menyimpulkan sebagaimana diamanatkan. Maka, keputusan di Bonn mengamanatkan dua pertemuan Friends of the Co-Chairs.

Kelompok Friends of the Co-Chairs masing-masing terdiri dari enam perwakilan dari Asia Pasifik, Afrika, Amerika Latin dan Karibia, dua wakil masing-masing dari Uni Eropa, Eropa Tengah dan Timur, serta masing-masing dari Selandia Baru, Norwegia, Swiss dan Jepang. Enam wakil dari kawasan Asia Pasifik adalah Bangladesh, China, India, Malaysia, Palau dan Filipina.
Pihak lain Protokol Kartagena juga bisa menghadiri pertemuan Friends of the Co-Chairs sebagai penasihat. Jumlah Para Pihak yang diizinkan duduk di meja perundingan terbatas. Pengelompokan regional dengan lebih dari jumlah yang ditentukan dalam kehadiran mungkin bergiliran di meja perundingan, sepanjang tidak lebih dari ketentuan jumlah yang duduk di sekitar meja perundingan.

Komposisi kelompok pada pertemuan berikutnya di Montreal pada Juni 2010 akan sama, kecuali jumlah penasihat yang terbatas pada enam Kelompok Afrika, tujuh untuk Amerika Latin dan kelompok Karibia (jumlah ini meningkat satu atas desakan Paraguay yang menegaskan butuh dua penasihat), empat untuk Uni Eropa, dan masing-masing satu dari India, Malaysia, Filipina, Selandia Baru, Norwegia dan Swiss. China dan Jepang masing-masing meminta dua orang penasihat. Keterbatasan ini berlaku untuk jumlah penasihat Pihak yang diperbolehkan dalam ruang perundingan. Pengamat tidak diundang untuk menghadiri pertemuan Montreal. Friends of the Co-Chairs dari Palau dan Bangladesh tidak menghadiri pertemuan di Mexico City dan Kuala Lumpur, dan akan digantikan oleh Korea Selatan dan Iran.

Ini memperlambat perundingan dan menghambat kesimpulan kesepakatan yang diharapkan. Selama perundingan tentang Protokol Kartagena itu sendiri, masalah kewajiban dan ganti rugi begitu diperdebatkan bahwa itu tidak dapat dimasukkan secara substantif dalam teks Protokol Kartagena, meskipun mendapat dukungan dari hampir semua negara-negara berkembang pada waktu itu, yang merupakan importir LMO atau subjek yang mungkin ilegal atau tidak disengaja ada transfer LMO. Sebaliknya, ketentuan ini dimasukkan dalam Protokol Kartagena yang mengamanatkan perundingan lebih lanjut mengenai kewajiban dan ganti rugi, pengaturan empat tahun kerangka waktu untuk pekerjaan ini yang mengalami keterlambatan. Perundingan berlarut-larut dan hasilnya sekarang mungkin hanya dapat diadopsi pada bulan Oktober 2010 di Nagoya, setela sepuluh tahun mengalami keterlambatan dalam peraturan dan prosedur internasional untuk kewajiban dan ganti rugi atas kerusakan LMO (Protokol Kartagena diadopsi pada tahun 2000, dan masuk dalam pembahasan pada tahun 2003).

Setelah Kesapakatan Bonn
Pertemuan Friends of the Co-Chairs di Mexico City dan Kuala Lumpur datang setelah perundingan yang sangat sulit di Bonn pada tahun 2008 ketika perundingan hampir gagal dan Kelompok Like Minded Friends muncul "mewakili negara-negara yang posisinya adalah bahwa instrumen internasional kewajiban dan ganti rugi harus memiliki unsur-unsur yang mengikat pada civil liability (tanggung jawab perdata)."

Karena ada keberatan dari beberapa pihak untuk memiliki aturan-aturan substantif internasional untuk civil liability dimana korban kerusakan dari LMOs dapat dilimpahkan kepada pengadilan nasional untuk pemulihan, Kelompok Like Minded Friends, yang dipimpin oleh Malaysia, telah mengajukan proposal di Bonn, menyelamatkan perundingan dari kegagalan. Kelompok Like Minded Friends terdiri sekitar 80 negara-negara berkembang (termasuk semua Group Afrika) dan Norwegia.

Kesepakatan yang dicapai di Bonn berdasarkan usulan oleh Kelompok Like Minded Friends. Intinya mengatakan bahwa regim kewajiban dan ganti rugi internasional akan mengikat secara hukum dan akan terdiri dari pendekatan administrasi, dimana tanggung jawab akan menjadi masalah yang akan diselesaikan antara entitas bertanggung jawab dan pemerintah eksekutif, melalui "langkah-langkah tanggapan" tentang kerusakan. Rejim juga berisi satu ketentuan tentang civil liability yang akan:
(1) mempertahankan hak Para Pihak untuk meletakkan undang-undang domestik dan kebijakan tentang kewajiban perdata dan ganti rugi yang harus mencakup unsur-unsur sebagaimana diatur dalam pedoman yang akan dibahas;
(2) memberikan pengakuan timbal balik dan penegakan penilaian asing;
(3) menyediakan tinjauan tentang pedoman setelah berlakunya instrumen dengan tujuan untuk mengikat atau mengelaborasi lebih komprehensif rezim mengikat tentang civil liability.
Disepakati bahwa ini akan menjadi dasar bagi perundingan lebih lanjut.

Usulan Like Minded Friends sendiri, mengingatkan bahwa sebagian besar negara berkembang dan Norwegia mempunyai rejim civil liability mengikat secara komprehensif, dan telah menegaskan perundingan ini sepanjang tahun ini.

Di Mexico City, kesepakatan bahwa bentuk instrumen yang mengikat secara hukum akan menjadi Protokol Tambahan Protokol Kartagena. Selain itu, ada teks pedoman civil liability, tambahan dan kajian kompensasi tambahan dan pembangunan kapasitas yang saling melengkapi.

Sepanjang perundingan sejak Bonn, kesepakatan ini memiliki instrumen yang mengikat secara hukum pada pendekatan administrasi dengan satu ketentuan tentang civil liability dan telah terus-menerus dirongrong oleh pihak-pihak yang masih menolak instrumen.

Sulitnya perundingan tentang civil liability
Klausa-klausa tentang civil liability agar dimasukkan dalam Protokol Tambahan yang mengikat secara hukum terbukti menjadi yang paling diperdebatkan dalam pertemuan Kuala Lumpur. Perselisihan terjadi dalam sesi tertutup Friends of the Co-Chairs (tanpa penasihat atau pengamat), dengan sesi yang berjalan dari malam hingga dini hari.

Selama pembacaan pertama artikel yang bersangkutan (Pasal 13) pada Selasa (9 Februari), perbedaan pendapat dilemparkan ke forum diskusi tentang hak Para Pihak untuk mengembangkan sebuah rejim civil liability domestik. Ada dua pilihan dalam teks, dan hanya Uni Eropa, Jepang dan Paraguay menyatakan bahwa mereka lebih suka Opsi 1, dimana Jepang telah memasukkannya di Bonn, dan yang menyatakan bahwa, "Para Pihak dapat atau tidak dapat mengembangkan sistem civil liability atau mungkin memberlakukan yang sudah ada sesuai dengan kebutuhan mereka untuk berurusan dengan organisme hasil rekayasa."

Kelompok Afrika, Brazil, Kuba, Kolombia, Ekuador, India, Malaysia, Meksiko dan Norwegia, semua menyuarakan dukungan mereka untuk Opsi 2. Opsi 2 sebenarnya merupakan bagian dari usulan kompromi yang diajukan oleh Kelompok Like Minded Friends di Bonn.

Opsi 2 menguraikan hak Para Pihak untuk memiliki regim civil liability domestik, dan unsur-unsur spesifik yang termasuk. Ini juga memasukkan ketentuan mengenai pengakuan dan penegakan penilaian asing dan memungkinkan Para Pihak untuk mempertimbangkan pedoman civil liability ketika ingin mengembangkan undang-undang atau kebijakan domestik mereka.

Malaysia yang tidak merasa senang pada usulan beberapa pihak untuk membahas Opsi 1, mengatakan bahwa ini adalah "itikad buruk", karena beberapa pihak yang tampaknya mencoba untuk memutar kembali kesepakatan Bonn. Dia mengingatkan yang lain, bahwa kelompok Like Minded Friends telah menerima, sebagai kompromi, ketentuan yang lemah tentang civil liability (yaitu Opsi 2), dengan suatu tinjauan klausa. Opsi 1 benar-benar diformulasikan untuk memperjelas Opsi 2, karena satu Pihak belum jelas seperti apa yang tersedia pada Opsi 2; Opsi 1 kemudian bisa dimasukkan dalam Opsi 2, dan perundingan harus dilanjutkan berdasarkan Opsi 2. Ketua Lefeber Rene juga mengingatkan para delegasi bahwa pertemuan sebelumnya Friends of the Co-Chairs di Mexico City telah menghabiskan waktu kerja pada salah satu paragraf Opsi 2, dan menggarisbawahi Opsi 1 yang mencakup Opsi 2. Dia mengusulkan agar rapat kerja atas dasar Opsi 2. (Pada pertemuan di Mexico City, Para Pihak bekerja pada Opsi 2 sebagai dasar untuk ketentuan mengikat secara mengikat civil liability. Namun, karena perselisihan atas tinjauan klausa, Opsi 2 dikembalikan lagi oleh Uni Eropa ketika ketua mengusulkan untuk menghapus).

Uni Eropa minta waktu untuk berpikir tentang hal ini, seperti "instruksi yang jelas tentang masalah ini". Kemudian setuju usulan Lefeber, dengan dimasukkannya catatan kaki yang menyatakan bahwa pertemuan sepakat untuk membahas Opsi 2 pada "dasar sementara". Kelompok Friends of the Co-Chairs mulai bekerja atas dasar Opsi 2.

Setelah melalui diskusi yang panas, Ketua Lefeber menghasilkan teks kompromi yang menyatakan bahwa Para Pihak dari Protokol Tambahan akan menyediakan dalam hukum domestik mereka untuk peraturan dan prosedur yang membahas kewajiban dan ganti rugi, dan untuk melaksanakan kewajiban ini Para Pihak akan menerapkan Protokol Tambahan (yaitu mengambil langkah-langkah tanggapan) dan mungkin atau tidak, sesuai dengan kebutuhan mereka, menerapkan atau mengembangkan prosedur perdata.