Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Tuesday, 11 May 2010

Pertanian Indonesia dan ACFTA

oleh
Subejo
(Staf Pengajar UGM, PhD Candidate The University of Tokyo dan Expert Board IASA)


Menidaklanjuti implementasi ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) Indonesia menghadapi dilema. Di satu sisi ada peluang meraup keuntungan dari komoditas yang kompetitif. Di sisi lain ada kemungkinan hancurnya produsen dan industri lokal dengan serbuan produk China jika produk tersebut tidak kompetitif.
Hal yang realistis adalah melakukan dua strategi. Pertama, melakukan diplomasi untuk menunda implementasi ACFTA bagi produk yang sensitif sambil tetap melakukan berbagai pembenahan agar siap bersaing. Kedua, memfasilitasi sektor yang kompetitif dan memiliki keunggulan komparatif untuk memanfaatkan peluang pasar potensial China.Bagaimana pun kita perlu hati-hati dan taktis merespon ACFTA. Pihak birokrasi sangat optimis dengan hanya melihat China sebagai pasar potensial karena jumlah penduduknya 1,4 miliar jiwa. Padahal, bicara ACFTA adalah bicara persaingan segi tiga. Indonesia tidak hanya berurusan dengan China sebagai tujuan pasar. Tapi, juga harus berurusan dengan semua negara anggota ASEAN lainnya sebagai teman sekaligus pesaing.Selama ini yang banyak ditonjolkan adalah relasi Indonesia dan China. Komoditas apa yang potensial untuk masuk ke pasar China. Masih sangat sedikit ulasan hubungan Indonesia dengan pesaingnya sesama anggota ASEAN yang mendapatkan perlakuan dan kesempatan yang sama dibawah payung ACFTA.
Persaingan dan Peluang
Departemen Pertanian sangat optimis akan potensi minyak kelapa sawit, karet alam, kopi, coklat, gaplek, produk perikanan, buah tropis, dan juga kemungkinan gula dan beras. Kenyataanya, dari segi pesaing, Indonesia harus bersaing ketat atas komoditas tersebut. Bagaimanapun juga negara ASEAN berlokasi dalam wilayah yang sama. Tidak ada perbedaan yang menonjol dalam potensi geografis dan sumber daya alam. Hampir semua negara anggota ASEAN memiliki kemampuan memproduksi komoditas pertanian sejenis.Indonesia akan berhadapan dengan Malaysia dan Thailand agar dapat memenangkan pasar minyak kelapa sawit, coklat, karet alam, dan kopi. Thailand juga sangat efisien dalam memproduksi gaplek dan tepung gaplek. Untuk produk perikanan persaingan keras akan terjadi antara Indonesia dengan Filipina dan Thailand. Filipina juga mampu memproduksi minyak kelapa dan gula dengan teknologi yang sangat baik.
Kalau Indonesia memiliki surplus beras kita harus bersaing dengan eksportir utama beras di pasar dunia yaitu Thailand, Vietnam, dan Myanmar. Sedangkan untuk buah tropis hampir semua negara ASEAN memiliki kemampuan memproduksinya sehingga persaingan lebih hebat.
Ditinjau dari target pasar kemampuan produsen domestik China juga perlu diperhitungkan. Hary X Wu (1997) mencatat bahwa reformasi ekonomi di China dimulai dengan reformasi pertanian melalui liberalisasi pertanian. Sejak tahun 1980-an reformasi pertanian sangat sukses mentransformasikan sistim kolektif ke sistim pertanian berbasis rumah tangga petani sehingga produktivitas pertanian meningkat tajam.

IRRI (2008) melaporkan China selama beberapa tahun merupakan produsen beras terbesar di dunia. Selain itu mereka juga merupakan produsen gula yang cukup efisien. Dengan terus menggelembungnya penduduk China tentu peluang untuk mengimpor beras dan gula dari negara masih terbuka lebar.
Produsen domestik tidak mampu memenuhi kebutuhan nasionalnya. Persaingan memenangkan pasar gula dan beras akan terjadi antara Indonesia, anggota ASEAN, dan juga produsen lokal China.
Terobosan Strategi
Dalam dunia perdagangan spesialisasi memegang peran penting. Semakin suatu negara mampu memproduksi komoditas spesial maka peluangnya untuk memenangkan persaingan besar. Spesialisasi dapat terbentuk karena keunikan produk dan kualitasnya.Selain spesialisasi, efisiensi, dan produktivitas tinggi menjadi kunci memenangkan persaingan. Tidak ada pilihan lain bagi Indonesia selain secara serius mendukung penuh produsen pertanian dengan berbagai program yang mengarah pada efisiensi dan produktivitas tinggi.
Efisiensi dan produktivitas pertanian berkaitan erat dengan akses petani terhadap sumber daya produksi yaitu lahan, benih, pupuk, dan air. Peningkatan akses mendesak untuk diperkuat dengan sistim pendanaan yang cukup dan birokrasi sederhana.
Akses atas kecukupan lahan sangat penting. Sangat sulit atau bahkan mustahil untuk mendorong petani untuk menjadi produsen yang efisien dan produktif jika lahan yang dikelola sangat kecil seperti kondisi saat ini.
Peningkatan akses lahan menjadi salah satu solusi penting. Kebijakan pemerintahan baru harus mampu membantu menyelesaikan persoalan rendahnya akses petani gurem terhadap lahan pertanian. Penekanan biaya produksi melalui pemanfaatan sumber daya lokal mendesak untuk digarap.
Pengembangan pupuk organik dengan bahan baku lokal yang bisa diperoleh dengan murah akan efektif menekan ongkos produksi. Selain itu, pupuk organik juga ramah lingkungan. Program penambahan dan perbaikan saluran irigasi dan jalan pedesaan juga mendesak. Diperlukan pengembangan sistim pengelolaan dan penyimpanan hasil melalui gudang desa.
Hal yang tidak kalah penting adalah akses informasi dan teknologi baru pertanian. Pengaktifan kelompok dan aosiasi petani serta penyuluhan pertanian sangat diperlukan. Keterpaduan penelitian, pengembangan teknologi dan penyuluhan menjadi sangat penting.Jika pemerintah gagal untuk melakukan berbagai revitalisasi dan reformasi terkait dengan produksi pertanian maka harapan untuk memenangkan persaingan dan meraup keuntungan atas ACFTA hanya akan menjadi mimpi buruk. Efisiensi dan produktivitas yang rendah membuka jalan semakin membanjirnya produk China dan itu akan berarti sebagai lonceng kematian pertanian nasional.

Sumber: DETIK, Selasa, 04/05/2010 07:50 WIB

Birokrasi di Balik Tingkat Kelulusan Perawat Asing

By
IRIYAMA Akira
(Guest Professor of Cyber University, and Executive Research Advisor of International Development Center of Japan)
 
Two hundred and fifty four applicants from Indonesia and Philippines who have visited Japan under Economic Partnership Agreement (EPA) sat for Japan's nursing qualification exam. And only three have passed. Given that the pass rate of the exam of foreign applicants was only one percent whereas the overall pass rate of the Japanese applicants is above 90 percent, it is quite clear that the language used in the exam poses a huge barrier to foreign applicants. They have reportedly taken only six months of language training before coming to Japan and then have been left to improve their language skills on their own beside their daily working experience in Japanese hospitals. They are required to pass the test within three years of stay in Japan. Otherwise, they must return home. Things could not have been more wrong. 
 
With the advent of the aging society, apprehensions about shortfalls of nurses and caregivers are being voiced. It is quite uncharacteristic of the government, which is supposed to protect the lives of its citizens, to leave untouched serious capacity shortage of nursery school, while concerns of rapid aging and low birthrate are being raised. In short, the government is only good at mouthing empty slogans and rhetoric and is unwilling to make sincere efforts to put them into practice. Thus it would end up leaving the entire tasks to bureaucrats. That is what is behind the one percent pass rate of foreign nurses.
 
Most of the foreign applicants already possess nursing qualifications in their own countries. Then, it is obvious that their Japanese language skill matters. It does not take a capable government official to understand that nursing requires exquisite language skill. While it is quite doubtful whether foreigners can master even the basic spoken Japanese within a year or two, those foreign nurses are required to be familiar with medical terms and acquire communicative skills so that they can tell the nature of pains their patients suffer, whether it is sharp, dull or throbbing. It is quite clear what has to be done to rectify the situation. 
 
Meticulosity in business costs money. And seeking perfection is too demanding especially to today's Japan which is on the brink of financial collapse. However, the worst type of measures to be taken would be to resort to makeshift settlement, just as in the case of the ongoing introduction of foreign nurses to Japan. Money has been spent, but it is good for nobody. Coming under pressure of the Indonesian government, the Ministry of Foreign Affairs of Japan overrides the resistance of the Ministry of Health, Labor and Welfare of Japan and proceeds to conclude an EPA with Indonesia. The Ministry of Health, Labor and Welfare quite reluctantly undertakes the task of implementing concrete measures. True, the field has been ploughed but the seeds have been forgotten. It is a project sizably financed from the government fund but is to the satisfaction of nobody involved (except those three who passed the exam, probably). It would be far more important to bring it all down to earth than to mouth such empty slogans as "opening up the bureaucracy" or "opening up our future." That is what true leadership is supposed to be.
 
Source: The BBS "Hyakka-Somei" of CEAC on 30 March, 2010, and was posted on "CEAC Commentary" on 27 April, 2010.

Thursday, 18 March 2010

Cengkeraman Gurita Pangan Global

Oleh Subejo 1)

Berbagai kalangan di belahan dunia kian menyadari bahwa pangan merupakan komoditas yang sangat strategis. Dengan sifatnya yang berbeda dengan barang lain, dengan pangan secara langsung menentukan kehidupan umat manusia, peran pentingnya semakin nyata.

Krisis pangan dunia yang parah sepanjang 2007-2008 memberi pelajaran berharga bahwa produksi pangan yang mencukupi kebutuhan nasional sangat penting bagi stabilitas politik dan ekonomi. Dalam kondisi krisis, pihak yang menguasai pangan juga dapat meraup keuntungan sangat besar. Selain itu, ia memiliki kekuatan politik yang kuat. Tuntutan untuk mencukupi kebutuhan pangan domestik dan harapan memperoleh keuntungan yang besar telah mendorong para investor transnasional pemilik modal raksasa untuk melakukan investasi dan terlibat secara langsung dalam bisnis pangan dunia.

Industrialisasi pangan global

Ledakan penduduk dan kegagalan panen karena perubahan iklim global menyebabkan kebutuhan pangan dunia terus meroket. Harga pangan dunia secara otomatis juga membumbung. Investasi produksi dan penguasaan pangan akan menjadi pilihan yang tepat bagi korporasi transnasional. Tidak hanya keuntungan ekonomi yang diharapkan, tapi juga potensi kekuatan geopolitiknya yang besar.

Negara Teluk yang kaya minyak tapi miskin sumber daya pertanian dan sepenuhnya menggantungkan kebutuhan pangan dari impor sangat berkepentingan untuk terlibat dalam industrialisasi pangan melalui berbagai korporasi transnasionalnya. Kelompok itu antara lain diwakili Uni Emirat Arab, Qatar, dan Kuwait. Selain itu, negara yang berpenduduk sangat besar tapi kapasitas sumber daya pertaniannya terbatas memiliki ketertarikan yang sama. Negara yang masuk kelompok tersebut di antaranya China, India, Jepang, dan Korea Selatan.

Mereka menanamkan modal mereka untuk mengakuisisi lahan pertanian secara murah dalam skala yang sangat besar bisa mencapai ratusan ribu bahkan jutaan hektare. Mereka akan membawa produk pangannya ke negara asal atau menjualnya di pasar internasional yang lebih menguntungkan. Akuisisi lahan itu banyak terjadi di negara-negara miskin dan berkembang baik di Asia, Afrika maupun Amerika Latin.

Skenario yang umum dipakai adalah kerja sama korporasi transnasional dengan negara dengan skema pemanfaatan lahan milik negara melalui hak guna usaha yang sangat longgar hingga 90 tahun atau model menyewa lahan petani dalam skala luas untuk jangka waktu yang panjang hingga 30 tahun.

Situasi memusatnya produksi dan distribusi pangan oleh korporasi transnasional ditengarai Friedmann (2005) sebagai green capitalism. Dengan penguasaan lahan yang sangat besar, korporasi dapat memproduksi dan mengatur distribusi pangan sehingga harga pun akan diaturnya. Ideologi itu yang cenderung menjadi lawan dari gagasan kedaulatan pangan (food sovereignty).

Model akuisisi lahan pertanian secara besar-besaran dalam jaringan internasional oleh Harvey (2006) dikenal sebagai land grabbing. Kadang-kadang model itu dikenal pula dengan land rush. Laporan Jesica Silver-Greenberg di Business Week (2009) menunjukkan bahwa keterlibatan investor global dalam industrialisasi pangan di belahan dunia dalam batas tertentu dapat bermakna sebagai kolonialisasi baru. Sebagai contoh, seperti dilaporkan Times India (2009) sebuah korporasi besar India di bawah kelompok Karuturi Global Limited (KGL) telah mengakuisisi lahan pertanian yang sangat besar di berbagai negara miskin Afrika hingga mencapai 33 juta hektare (setara dengan luas Jerman) untuk industrialisasi pangan.

Beberapa kalangan termasuk World Bank mendukung pengembangan model land grabbing dengan harapan dapat dicapai win-win solution, yaitu kecukupan produksi pangan dunia dan juga pertumbuhan ekonomi negara yang ditempati. Dalam praktiknya, dampak positif tidak sebesar yang diharapkan. Lapangan kerja baru yang tersedia juga tidak cukup nyata mengatasi persoalan pengangguran. Ide untuk mencukupi kebutuhan pangan negara setempat juga tidak terwujud karena produksi diekspor ke negara pemilik modal. Justru dampak negatif yang bermunculan. Kehancuran pertanian lokal, perebutan sumber air, pencemaran air karena penggunaan pupuk kimia yang berlebihan, banjir akibat pembabatan hutan dan lain sebagainya.

Food estate dan gurita pangan

Peluncuran pengembangan pangan skala besar atau dikenal dengan food estate oleh Kabinet Indonesia Bersatu II baru-baru ini perlu direspons dengan sangat serius. Model food estate ini sejatinya tidak lain dan tidak bukan adalah wujud land grabbing. Keterlibatan transnasional dalam food estate nampak dengan tingginya minat korporasi dari Uni Emirat Arab, Kuwait, China, dan Korea. Kekhawatiran banyak pihak adalah potensi hancurnya pertanian rakyat yang selama ini menjadi tulang punggung pangan. Petani gurem tidak mungkin dapat bersaing dengan korporasi pemilik modal besar dan teknologi yang efisien.

Komitmen pemerintahan baru sebagaimana juga amanat konstitusi untuk membangun ekonomi tangguh berbasis kerakyatan justru dipertanyakan dengan peluncuran food estate yang sangat jelas memfasilitasi sepenuhnya green capitalism. Kondisi itu justru dikhawatirkan akan melemahkan kedaulatan pangan nasional.

Food estate ini sejatinya menunjukkan cengkeraman gurita pangan global di negeri ini. Mengapa justru kebijakan pemerintahan baru lebih memprioritaskan fasilitasi food estate ketimbang serius menggarap 42 juta petani gurem. Peluncuran program monumental mewujudkan pertanian rakyat yang lebih produktif, efisien, dan berdaya saing akan sangat diapresiasi. Tentu saja diperlukan kebijakan lain yang mampu meningkatkan skala usaha, menciptakan lapangan kerja baru di perdesaan yang mampu mengurangi tekanan pada sektor pertanian.

1) Dosen pertanian UGM, kandidat PhD dari The University of Tokyo

Sumber : Media Indonesia 18 Maret 2009
http://www.mediaindonesia.com/%20read/2010/%2003/18/129894/%2068/11/Cengkeraman-Gurita-%20Pangan-Global

Thursday, 21 January 2010

Ketahanan Pangan Butuh Totalitas

Pada World Summit on Food Security di Roma yang baru lalu Wakil Presiden Budiono menyatakan kesiapan Indonesia untuk menjadi salah satu supplier pangan dunia. Keberhasilan swasembada pangan yang terjadi saat ini menjadi alasan penting mengenai kesiapan ini.

 

Benarkah kita siap menjadi supplier penting kebutuhan pangan dunia? Apakah kita benar-benar telah mampu memenuhi kebutuhan pangan kita sendiri? Sudah tidak ada lagikah warga Indonesia yang kesulitan dalam mengakses bahan pangan?

 

Belum Swasembada Pangan

 

Jika kita mau jujur dengan keadaan sesungguhnya swasembada pangan yang saat ini terjadi masih terlalu premature untuk bisa dianggap sebagai keberhasilan dalam mengembangkan ketahanan pangan. Karena, memang apa yang disebut sebagai swasembada pangan saat itu tidak lain hanyalah sebatas kecukupan produksi beras namun bukan kecukupan pangan secara keseluruhan.

 

Jika kita cermati terjadinya kecukupan beras ini bukan saja disebabkan produksi beras yang berlebih. Melainkan juga didorong oleh beralihnya konsumsi beras ke produk pangan lain. Terutama gandum. Konsumsi gandum di Indonesia selalu meningkat setiap tahunnya seiring dengan meningkatnya industri pengolahan makanan berbasis gandum.

 

Pada tahun 1999 tingkat konsumsi gandum baru mencapai 17,9 gram per kapita per hari. Tahun 2003 mencapai 19,8 gram per kapita per hari. Lalu, tahun 2005 naik lagi menjadi 23,03 gram per kapita per hari. Tahun 2006 naik lagi menjadi 22,60 gram per kapita per hari. Selanjutnya di tahun 2008 sudah menjadi 38 gram per kapita per hari.

 

Peningkatan konsumsi gandum berbanding terbalik dengan penurunan konsumsi beras. Tahun 1999 konsumsi beras di Indonesia mencapai 319,1 gram per kapita per hari. Tahun 2003 turun menjadi 300,56 gram per kapita per hari. Kemudian tahun 2005 turun lagi menjadi 288,30 gram per kapita per hari. Selanjutnya di tahun 2006 turun lagi hingga hanya mencapai 285,04 gram per kapita per hari.

 

Tingkat konsumsi gandum pada saat ini telah mencapai 5 juta ton per tahun. Impor gandum diperkirakan akan mengalami peningkatan hingga 100% selama 10 tahun mendatang. Artinya akan ada potensi impor gandum hingga 10 juta ton.

 

Jika peningkatan konsumsi gandum ini terjadi secara terus menerus tentu kita tidak pernah mencapai swasembada pangan. Karena, sebagian besar bahan pangan kita harus kita penuhi dari petani-petani asing.

 

Sampai hari ini masih banyak kebutuhan pangan kita yang bergantung pada luar negeri. Kita membutuhkan gandum dan kedelai dari petani Amerika. Kita membutuhkan daging dan susu dari peternak Australia. Kita juga membutuhkan jagung dan kebutuhan pangan lainnya dari negara-negara asing.

 

Setiap tahun lebih dari 5 miliar Dolar AS atau setara Rp 50 triliun lebih devisa habis untuk mengimpor pangan. Mulai dari gandum, kedelai, jagung, daging, telur, susu, sayuran, dan buah-buahan, bahkan garam yang kebutuhannya masih dapat dipenuhi oleh produsen garam lokal juga dimpor dengan nilai Rp 900 miliar.

 

Petani Aktor Utama

 

Usaha-usaha membangun ketahanan pangan tidak bisa dilakukan kecuali melibatkan petani sebagai aktor utama. Selama ini petani selalu diharapkan untuk bisa meningkatkan produktivitas mereka agar tidak terjadi kelangkaan pangan.

 

Petani mendapat mandat yang tidak ringan karena mereka diharapkan mampu memenuhi kebutuhan dasar dari seluruh rakyat Indonesia. Akan tetapi besarnya mandat yang diberikan kepada petani ini sama sekali tidak sebanding dengan insentif yang diperoleh petani. Khususnya insentif kesejahteraan.

 

Jika kita lihat kondisi petani kita saat ini, 56,5% dari 25,4 juta keluarga petani yang ada di Indonesia ternyata adalah petani gurem, yang memiliki lahan kurang dari 0,5 Ha. Padahal, untuk sekedar survive petani minimal harus memiliki lahan 1 Ha. Maka tidak heran, bahwa hampir 60% dari petani Indonesia adalah masuk dalam kategori miskin (pendapatan di bawah $US 2 per hari).

 

Bagaimana mungkin petani yang miskin akan menjadi penyangga utama penyedia pangan untuk seluruh rakyat Indonesia?

 

Pertanian sesungguhnya menyangkut hajat hidup orang banyak. Ia merupakan syarat dasar bagi keberlanjutan kehidupan rakyat Indonesia. Oleh karenanya tidak selayaknya petani berjuang sendiri melaksanakan mandat yang berat ini. Tidak selayaknya petani berjuang sendiri untuk menyelamatkan keberlangsungan manusia yang hidup di bumi pertiwi.

 

Aksi Total

 

Kita memerlukan keterlibatan semua kalangan untuk membantu petani melaksanakan mandatnya dalam memproduksi pangan yang cukup bagi kebutuhan rakyat Indonesia. Kita memerlukan aksi total untuk pertanian yang lebih produktif. Sehingga, apa yang dikatakan oleh wakil presiden di Roma mengenai kesiapan Indonesia menjadi supplier pangan dunia bukanlah sekedar wacana kosong yang tak bermakna.

 

Aksi total untuk pertanian diartikan sebagai adanya keterlibatan dan keberfihakan total dari segenap komponen masyarakat terhadap dunia pertanian. Seluruh kekuatan harus bisa dimobilisasi untuk membangun sektor yang mempengaruhi keberlajutan manusia ini.

 

Oleh karenanya semua perkembangan peradaban yang kita bangun. Semua ilmu pengetahuan yang kita kembangkan tidak boleh meninggalkan dunia pertanian dalam agendanya. Kita tidak mungkin mengkonversi semua lahan-lahan pertanian menjadi lahan-lahan industri karena itu artinya kita berkontribusi dalam mempercepat terjadinya krisis pangan. Dan, itu juga berarti kita membiarkan dunia berakhir lebih cepat.

 

Sedianya kita bisa fokus untuk mengembangkan Indonesia sebagai negara pertanian dan bahari. Jepang tidak memiliki lahan cukup. Namun, mereka serius mengembangkan pertaniannya.

 

Kemajuan pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan tidak pernah melupakan dunia pertanian. Pertanian berbasis pengetahuan dan teknologi menjadikan pertanian Jepang berada pada tingkat produktifitas dan efisiensi yang tinggi. Walau lahannya sangat sempit namun Jepang mampu menyediakan pangan masyarakatnya dengan baik.

 

Indonesia sebagai negara yang memiliki kelimpahan lahan, memiliki tanah-tanah yang subur, memiliki sumber daya air yang berlimpah seharusnya memiliki dan membangun kemampuan yang lebih besar di bidang pertanian ini. Bukankah penjajah datang silih berganti untuk menikmati benefit ekonomi dari kesuburan lahan-lahan pertanian kita?

 

Rasanya aneh kalau kemajuan yang ingin kita ciptakan kita lakukan dengan mengabaikan dunia pertanian. Aksi total untuk dunia pertanian sesungguhnya merupakan agenda dasar yang perlu kita lakukan segera jika kita ingin menyelamatkan negeri ini dari bahaya kebergantungan dan kelaparan di masa depan.

 

SUMBER:

Mukhamad Najib. Ketahanan Pangan Butuh Totalitas. suarapembaca.detik.com.http://suarapembaca.detik.com/read/2010/01/21/101047/1283088/471/ketahanan-pangan-butuh-totalitas?882205470