Untuk Hewan dan Produk Hewan
A.Persyaratan Umum Karantina Hewan
1. Dilengkapi dengan Surat Keterangan Kesehatan/Sanitasi oleh pejabat yang berwenang dari negara asal/daerah asal.
2. Melalui tempat pemasukan dan pengeluaran yang telah ditetapkan.
3. Dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina hewan di tempat pemasukan atau tempat pengeluaran untuk keperluan tindakan karantina.
B. Persyaratan Teknis impor dan ekspor hewan dan produk hewan
Selain persyaratan karantina yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No.82/2000 sebagaimana tersebut diatas, diperlukan kewajiban tambahan berupa persyaratan teknis impor/ekspor hewan dan produk hewan ke dalam wilayah negara Republik Indonesia, sebagai berikut :
Negara yang belum melakukan kerjasama bilateral perdagangan.
a. Negara pengekspor harus bebas dari penyakit hewan menular atau berbahaya tertentu yang tidak terdapat di negara pengimpor
b. Mendapatkan persetujuan impor/ekspor dari pejabat yang ditunjuk atas nama Menteri dengan mempersyaratkan ketentuan-ketentuan teknis yang harus dilakukan terhadap komoditi impor di negara pengekspor sebelum dikapalkan/diangkut menuju negara pengimpor.
c. Perlakuan tindakan karantina di negara pengimpor bertujuan untuk memastikan bahwa ketentuan-ketentuan teknis yang dipersyaratkan tersebut benar telah dilakukan sesuai ketentuan internasional.
d. Melengkapi komoditi tersebut dengan Surat Keterangan Kesehatan atau Sanitasi dan surat keterangan lainnya yang menerangkan bahwa komoditi tersebut bebas dari hama penyakit yang dapat mengganggu kesehatan manusia, hewan dan lingkungan hidup, disamping menerangkan pemenuhan persyaratan ketentuan teknis seperti tersebut di atas.
e. Negara pengimpor berhak melakukan penelitian dan pengamatan secara epidimilogy terhadap situasi dan kondisi penyakit hewan menular dan berbahaya yang ada di negara pengekspor secara tidak langsung melalui data-data yang ada dan tersedia.
f. Pengangkutan komoditi impor tersebut harus langsung ke negara tujuan pengimpor tanpa melakukan transit di negara lain.
g. Negara pengimpor berhak melakukan tindakan-tindakan penolakan dan pencegahan masuknya penyakit hewan menular dan berbahaya, jika dijumpai hal yang mencurigakan, dilaporkan tidak benar atau ada kemungkinan bahwa komoditi tersebut dapat bertindak sebagai media pembawa hama penyakit hewan menular dan berbahaya.
Negara yang telah melakukan kerjasama bilateral perdagangan.
a. Negara pengekspor harus bebas dari penyakit hewan menular dan berbahaya tertentu yang dipersyaratkan negara pengimpor
b. Melakukan perjanjian kerjasama perdagangan dengan mempersyaratkan ketentuan-ketentuan teknis yang harus dilakukan terhadap komoditi impor tersebut di negara pengekspor sebelum dikapalkan/diangkut menuju negara pengimpor.
c. Mendapatkan persetujuan impor/ekspor dari pejabat yang ditunjuk atas nama Menteri (Direktur Jenderal Bina Produksi Peternakan/ Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam) dengan mempersyaratkan ketentuan-ketentuan teknis yang harus dilakukan terhadap komoditi impor di negara pengekspor sebelum dikapalkan/diangkut menuju negara pengimpor.
d. Perlakuan tindakan karantina di negara pengekspor dengan tujuan untuk memenuhi ketentuan-ketentuan teknis yang dipersyaratkan dalam perjanjian bilateral tersebut telah dilakukan sesuai ketentuan internasional.
e. Negara pengimpor berhak melakukan penelitian dan pengamatan secara langsung terhadap situasi dan kondisi penyakit hewan menular dan berbahaya yang ada di negara pengekspor (approval and accreditation).
f. Melengkapi komoditi tersebut dengan Surat Keterangan Kesehatan atau Sanitasi dan surat keterangan lainnya yang menerangkan bahwa komoditi tersebut bebas dari hama dan penyakit yang dapat mengganggu kesehatan manusia, hewan dan lingkungan hidup, disamping menerangkan pemenuhan persyaratan ketentuan teknis seperti tersebut di atas.
g. Pengangkutan komoditi impor tersebut harus langsung ke negara tujuan pengimpor tanpa transit di negara lain, kecuali telah disetujui oleh ke dua negara dalam perjanjian bilateral atau trilateral dengan ketentuan negara transit minimal mempunyai situasi dan kondisi penyakit hewan yang sama dengan negara pengimpor.
h. Negara pengimpor berhak melakukan tindakan-tindakan penolakan dan pencegahan masuknya penyakit hewan menular dan berbahaya, jika dijumpai hal yang mencurigakan, dilaporkan tidak benar atau ada kemungkinan bahwa komoditi tersebut dapat bertindak sebagai media pembawa hama penyakit hewan menular dan berbahaya.
i. Tindakan karantina diutamakan terhadap hewan yang tidak atau belum sempat dilaksanakan di negara pengekspor sesuai dengan persyaratan teknis yang telah disepakati.Prosedur Tindakan Karantina Hewan
1. Pemohon mengajukan permohonan pemeriksaan dan tindakan karantina kepada pimpinan UPT Karantina Hewan tempat pemasukan atau pengeluaran.
2. UPT Karantina Hewan memproses secara administrasi permohonan tersebut, untuk selanjutnya menugaskan pejabat fungsional karantina hewan untuk melakukan tindakan karantina tahap I yaitu pemeriksaan (P1). Dari hasil pemeriksaan selanjutnya dapat dilakukan beberapa tindakan karantina lainnya.
3. Untuk media pembawa yang menurut hasil pemeriksaan memerlukan tindakan pengasingan (P2) dan pengamatan (P3), segera dimasukkan ke dalam instalasi karantina untuk selama masa karantina yang dapat diperpanjang menurut pertimbangan dokter hewan karantina.
4. Untuk media pembawa yang sehat dan tidak menunjukkan gejala penyakit hewan karantina, tidak menunjukkan perubahan fisik dan tidak memerlukan masa pengasingan untuk pengamatan, dapat langsung dilakukan tindakan pembebasan (P8).
5. Sebaliknya, untuk media pembawa yang menunjukkan gejala penyakit hewan karantina atau perubahan fisik yang mengarah kepada penyakit hewan golongan I, dapat langsung dilakukan tindakan penolakan (P6).
6. Media pembawa yang mempunyai dokumen tidak benar dan tidak lengkap atau menurut hasil pemeriksaan menunjukkan gejala penyakit hewan golongan II, dilakukan tindakan penahanan (P5) untuk selanjutnya dapat dikembalikan ke proses tahap II yaitu pengasingan dan pengamatan.
7. Hasil tindakan pengasingan dan pengamatan, dapat dilanjutkan ke proses tahap III yaitu tindakan perlakuan (P4) untuk meyakinkan kembali bahwa media pembawa bebas dari hama penyakit hewan karantina dan tidak dapat lagi menularkan atau menyebarkan hama penyakit hewan ke media pembawa lainnya.
8. Jika dari hasil tindakan pemeriksaan, pengasingan, pengamatan dan perlakuan, media pembawa tidak dapat dibebaskan dari penyakit hewan karantina atau telah mengalami perubahan fisik, maka terhadap media pembawa tersebut lansung dilakukan tindakan pemusnahan (P7).
9. Setelah dilakukan tindakan pengasingan dan pengamatan serta perlakuan media pembawa diyakini tidak mengandung penyakit hewan karantina dan tidak dapat lagi bertindak sebagai media penular atau penyebar, maka dapat dilakukan tindakan pembebasan (P8).
10. Hasil tindakan pembebasan, penahanan, penolakan, dan pemusnahan kemudian diserahkan kembali kepada UPT Karantina Hewan yang memberi tugas untuk diproses secara administrasi termasuk memenuhi kewajiban tambahan, yang selanjutnya disampaikan kepada pemohon dan instansi terkait lainnya untuk dilaksanakan.
Prosedur Tindakan Karantina Hewan
1. Pemohon mengajukan permohonan pemeriksaan dan tindakan karantina kepada pimpinan UPT Karantina Hewan tempat pemasukan atau pengeluaran.
2. UPT Karantina Hewan memproses secara administrasi permohonan tersebut, untuk selanjutnya menugaskan pejabat fungsional karantina hewan untuk melakukan tindakan karantina tahap I yaitu pemeriksaan (P1). Dari hasil pemeriksaan selanjutnya dapat dilakukan beberapa tindakan karantina lainnya.
3. Untuk media pembawa yang menurut hasil pemeriksaan memerlukan tindakan pengasingan (P2) dan pengamatan (P3), segera dimasukkan ke dalam instalasi karantina untuk selama masa karantina yang dapat diperpanjang menurut pertimbangan dokter hewan karantina.
4. Untuk media pembawa yang sehat dan tidak menunjukkan gejala penyakit hewan karantina, tidak menunjukkan perubahan fisik dan tidak memerlukan masa pengasingan untuk pengamatan, dapat langsung dilakukan tindakan pembebasan (P8).
5. Sebaliknya, untuk media pembawa yang menunjukkan gejala penyakit hewan karantina atau perubahan fisik yang mengarah kepada penyakit hewan golongan I, dapat langsung dilakukan tindakan penolakan (P6).
6. Media pembawa yang mempunyai dokumen tidak benar dan tidak lengkap atau menurut hasil pemeriksaan menunjukkan gejala penyakit hewan golongan II, dilakukan tindakan penahanan (P5) untuk selanjutnya dapat dikembalikan ke proses tahap II yaitu pengasingan dan pengamatan.
7. Hasil tindakan pengasingan dan pengamatan, dapat dilanjutkan ke proses tahap III yaitu tindakan perlakuan (P4) untuk meyakinkan kembali bahwa media pembawa bebas dari hama penyakit hewan karantina dan tidak dapat lagi menularkan atau menyebarkan hama penyakit hewan ke media pembawa lainnya.
8. Jika dari hasil tindakan pemeriksaan, pengasingan, pengamatan dan perlakuan, media pembawa tidak dapat dibebaskan dari penyakit hewan karantina atau telah mengalami perubahan fisik, maka terhadap media pembawa tersebut lansung dilakukan tindakan pemusnahan (P7).
9. Setelah dilakukan tindakan pengasingan dan pengamatan serta perlakuan media pembawa diyakini tidak mengandung penyakit hewan karantina dan tidak dapat lagi bertindak sebagai media penular atau penyebar, maka dapat dilakukan tindakan pembebasan (P8).
10. Hasil tindakan pembebasan, penahanan, penolakan, dan pemusnahan kemudian diserahkan kembali kepada UPT Karantina Hewan yang memberi tugas untuk diproses secara administrasi termasuk memenuhi kewajiban tambahan, yang selanjutnya disampaikan kepada pemohon dan instansi terkait lainnya untuk dilaksanakan.
Sumber: Badan Karantina Pertanian, Departemen Pertanian RI
Thursday, 8 January 2009
Prosedur Karantina Hewan Indonesia
Posted by
Drh.Pudjiatmoko,PhD
at
16:34
1 comments
Labels: Karantina
Wednesday, 7 January 2009
Pembahasan Restorasi Terumbu Karang
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan garis pantai yang terpanjang nomor dua setelah Kanada yaitu 81.000 km. Luas wilayah teritorial Indonesia yang sebesar 7,1 juta km2 didominasi oleh wilayah laut yaitu kurang lebih 5,4 juta km2. Dengan potensi fisik sebesar ini, Indonesia dikaruniai pula dengan sumberdaya perikanan dan kelautan yang besar. Dari sisi keanekaragaman hayati, Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan hayati kelautan terbesar. Dalam hal ekosistem terumbu karang (coral reefs) misalnya, Indonesia dikenal sebagai salah satu penyumbang kekayaan hayati terumbu karang terbesar di dunia. Menurut data World Resources Institute (2002), dengan luas total sebesar 50.875 km2, maka 51 % terumbu karang di kawasan Asia Tenggara dan 18 % terumbu karang di dunia, berada di wilayah perairan Indonesia.
Isu-isu rusaknya sumberdaya alam perikanan dan kelautan pun telah lama diketahui. Studi yang dilakukan oleh Burke dan kawan-kawan pada tahun 2002 menyebut bahwa kerusakan terumbu karang di Indonesia telah sampai pada tahap mengkhawatirkan. Hampir 51 % kawasan terumbu karang yang terancam di Asia Tenggara berada di Indonesia, disusul sebesar 20 % di Filipina.
Pada tanggal 6 Januari 2009 di KBRI Tokyo telah dilakukan pembahasan restorasi terumbu karang Indonesia. Pembahasan dihadiri oleh Perwakilan dari Tokyo University of Marine Science and Technology yaitu Prof. Mineo Okamoto, Ph.D (baju putih) dan Kandidat Dr. Kakaskasen A. Roeroe (baju biru), Perwakilan dari JFE Steel Corporation yaitu Mr. Jun Ogawa dan 4 orang Stafnya, sedangkan dari KBRI Tokyo diwakili oleh Atase Pertanian, Atase Perindustrian, Atase Kehutanan, Atase Pendidikan, Koordinator Fungsi Ekonomi dan Koordinator Fungsi Politik.
Pada kesempatan pertama diawali penyampaian hasil penelitian kerjasama antara Universitas Samratulangi, Manado, Indonesia dan Tokyo University of Marine Science and Technology, yang disampaikan oleh Prof. Mineo Okamoto, Ph.D. Dalam pemaparan hasil penelitian yang berjudul kondisi dan reporoduksi terumbu karang sekitar pulau Bunaken Indonesia, Prof. Okamoto menyampaikan sebagai berikut:
1. Terumbu karang merupakan produser lingkungan hidup utama di wilayah pantai laut tropis dan sub tropis. Terumbu karang memberikan andil besar dalam pembentukan bukit karang yang berfungsi sebagai pemecah ombak laut.
2. Masalah global disebutkan bahwa terumbu karang telah rusak karena terkena dampak peningkatan suhu air laut yang ditimbulkan akibat global warming sehingga menimbulkan kerusakan terumbu karang di seluruh dunia.
3. Masalah lokal disebutkan bahwa kerusakan terumbu karang merupakan isu lama sebelum isu peningkatan suhu air laut. Kerusakan terumbu karang ini disebabkan oleh beberapa hal antara lain: a) penangkapan ikan yang berlebihan (overfishing), b) terbawanya material ke perairan pantai berupa lumpur dan unsur hara seperti Nitrogen, Phospat dsb. dari sungai, dan c) akibat aktivitas pembangunan di sekitar pantai menimbulkan kerusakan habitat.
4. Teknologi Baru pemulihan terumbu karang sedang dikembangkan di Jepang. Teknologi baru ini menggunakan repuduksi sexual terumbu karang yang sedang dilakukan di pulau Sekisei Lagoon (terumbu karang terbesar di Jepang) dan pulau Miyako. Diharapkan teknologi baru ini dapat diaplikasikan di Indonesia, dan telah dilakukan penelitian di Indonesia.
5. Dalam perbaikan terumbu karang diperlukan tiga langkah. Langkah pertama melakukan penelitian tahap awal yang meliputi: a) Waktu Mass spawning Acropora coral, b) Meneliti tempat yang tepat untuk lokasi tumbuhnya larva terumbu karang, c) Pertumbuhan terumbu karang, d) Meneliti tempat yang cocok untuk pemempatan pertumbuhan terumbu karang. Sedangkan langkah kedua adalah Pengembangan program perbaikan terumbu karang. Dan langkah ketiga, menentukan rencana dan melakukan tindakan apa yang harus dikerjakan dalam Perbaikan terumbu karang.
6. Penelitian yang dilakukan peneliti dari Jepang dan Indonesia ini dilakukan di Perairan Bunaken dimulai dari awal tahun 2007. Agar dapat memperoleh banyak terumbu karang muda untuk transplantasi diperlukan penelitian penentuan waktu mass spawning. Dalam penelitian ini menggunakan Coral Settlement Device (CSD) yang terbuat dari ceramic. Penggunaan CSD bertujuan untuk : a) menyediakan permukaan yang baik untuk tempat bertumbuhnya larva, b) Melindungi larva berdiam di tempatnya dan terumbu karang dapat tumbuh di tempatnya, sehingga terhindar dari ancaman goyangan, benturan dan gangguan dari luar, c) Memfiksir terumbu karang pada tempatnya agar mudah tumbuh.
Untuk pengganti lubang-lubang yang seperti pada batu karang dipergunakan Marine Block (MB). MB terbuat dari bahan-bahan yang seperti terkandung dalam terumbu karang, shellfish, dan calcium carbonate merupakan material yang sesuai untuk membudidayakannya.
7. Metoda penelitiannya dilakukan dengan cara menempatkan rak-rak besi stainless di dasar laut perairan Bunaken. Sebuah MB dan empat buah CSD 120 disusun di dalam rak-rak tersebut pada tanggal 11 Februari 2007. Kemudian dengan jumlah yang sama MB dan CDS disusun lagi di dalam rak-rak sejenis pada tanggal 22 April 2007. Beberapa waktu kemudian dilakukan observasi pertumbuhan Acropora dan dilakukan pendataan jumlah yang tumbuh serta pencatatan ukuran Acropora dsb.
8. Penelitian ini diperoleh hasil bahwa a) Waktu Mass Spawning terumbu karang terjadi setahun dua kali, yaitu pada bulan Mei dan bulan Juli 2007, b) Acropora yang diperoleh sangat rendah, c) Pertumbuhan Acropora dalam setahun telah dapat diketahui, pertumbuhan Acropora dalam lubang-lubang MB diperoleh antara 7 – 11 bulan, d) Telah dapat dipilih tempat berkembang larva paling baik pada dinding tembok tempat reklamasi, e) Pertumbuhan Acropora pada tempat tersebut selama sampai dengan satu tahun telah dapat diketahui, f) Pertumbuhan terumbu karang Acropora di Bunaken diperkirakan tiga kali lebih cepat dari pada di perairan Sekisei Lagoon, Okinawa, Jepang. Hal ini terjadi disebabkan suhu air laut di Bunaken selama satu tahun lebih hangat dari pada di Sekisei Lagoon.
Perwakilan dari KBRI memberikan beberapa masukan untuk waktu kedepannya sebagai berikut:
1. Dalam rangka peningkatan SDM Indonesia perlu ditingkatkan transfer teknologi maka projek penelitian ini perlu diteruskan melangkah ke tahap berikutnya dengan melibatkan banyak peneliti yang berasal dari Indonesia.
2. Untuk melanjutkan penelitian di Indonesia bagi peneliti Jepang atau peneliti asing akan diberikan izin oleh Kementerian Riset dan Teknologi.
3. Untuk projek restorasi terumbu karang di Indonesia bisa dijajagi dengan melakukan kerjasama dengan bantuan JICA dan lembaga penyandang dana lainnya.
Sedangkan JFE Steel Corporation menginformasikan bahwa pihaknya telah mengembangkan Marine Block-Artificial Base for Coral Reef yang setiap unitnya berukuran sekitar 1 m kubik siap untuk diuji coba penggunaannya.
Isu-isu rusaknya sumberdaya alam perikanan dan kelautan pun telah lama diketahui. Studi yang dilakukan oleh Burke dan kawan-kawan pada tahun 2002 menyebut bahwa kerusakan terumbu karang di Indonesia telah sampai pada tahap mengkhawatirkan. Hampir 51 % kawasan terumbu karang yang terancam di Asia Tenggara berada di Indonesia, disusul sebesar 20 % di Filipina.
Pada tanggal 6 Januari 2009 di KBRI Tokyo telah dilakukan pembahasan restorasi terumbu karang Indonesia. Pembahasan dihadiri oleh Perwakilan dari Tokyo University of Marine Science and Technology yaitu Prof. Mineo Okamoto, Ph.D (baju putih) dan Kandidat Dr. Kakaskasen A. Roeroe (baju biru), Perwakilan dari JFE Steel Corporation yaitu Mr. Jun Ogawa dan 4 orang Stafnya, sedangkan dari KBRI Tokyo diwakili oleh Atase Pertanian, Atase Perindustrian, Atase Kehutanan, Atase Pendidikan, Koordinator Fungsi Ekonomi dan Koordinator Fungsi Politik.
1. Terumbu karang merupakan produser lingkungan hidup utama di wilayah pantai laut tropis dan sub tropis. Terumbu karang memberikan andil besar dalam pembentukan bukit karang yang berfungsi sebagai pemecah ombak laut.
2. Masalah global disebutkan bahwa terumbu karang telah rusak karena terkena dampak peningkatan suhu air laut yang ditimbulkan akibat global warming sehingga menimbulkan kerusakan terumbu karang di seluruh dunia.
3. Masalah lokal disebutkan bahwa kerusakan terumbu karang merupakan isu lama sebelum isu peningkatan suhu air laut. Kerusakan terumbu karang ini disebabkan oleh beberapa hal antara lain: a) penangkapan ikan yang berlebihan (overfishing), b) terbawanya material ke perairan pantai berupa lumpur dan unsur hara seperti Nitrogen, Phospat dsb. dari sungai, dan c) akibat aktivitas pembangunan di sekitar pantai menimbulkan kerusakan habitat.
4. Teknologi Baru pemulihan terumbu karang sedang dikembangkan di Jepang. Teknologi baru ini menggunakan repuduksi sexual terumbu karang yang sedang dilakukan di pulau Sekisei Lagoon (terumbu karang terbesar di Jepang) dan pulau Miyako. Diharapkan teknologi baru ini dapat diaplikasikan di Indonesia, dan telah dilakukan penelitian di Indonesia.
5. Dalam perbaikan terumbu karang diperlukan tiga langkah. Langkah pertama melakukan penelitian tahap awal yang meliputi: a) Waktu Mass spawning Acropora coral, b) Meneliti tempat yang tepat untuk lokasi tumbuhnya larva terumbu karang, c) Pertumbuhan terumbu karang, d) Meneliti tempat yang cocok untuk pemempatan pertumbuhan terumbu karang. Sedangkan langkah kedua adalah Pengembangan program perbaikan terumbu karang. Dan langkah ketiga, menentukan rencana dan melakukan tindakan apa yang harus dikerjakan dalam Perbaikan terumbu karang.
6. Penelitian yang dilakukan peneliti dari Jepang dan Indonesia ini dilakukan di Perairan Bunaken dimulai dari awal tahun 2007. Agar dapat memperoleh banyak terumbu karang muda untuk transplantasi diperlukan penelitian penentuan waktu mass spawning. Dalam penelitian ini menggunakan Coral Settlement Device (CSD) yang terbuat dari ceramic. Penggunaan CSD bertujuan untuk : a) menyediakan permukaan yang baik untuk tempat bertumbuhnya larva, b) Melindungi larva berdiam di tempatnya dan terumbu karang dapat tumbuh di tempatnya, sehingga terhindar dari ancaman goyangan, benturan dan gangguan dari luar, c) Memfiksir terumbu karang pada tempatnya agar mudah tumbuh.
7. Metoda penelitiannya dilakukan dengan cara menempatkan rak-rak besi stainless di dasar laut perairan Bunaken. Sebuah MB dan empat buah CSD 120 disusun di dalam rak-rak tersebut pada tanggal 11 Februari 2007. Kemudian dengan jumlah yang sama MB dan CDS disusun lagi di dalam rak-rak sejenis pada tanggal 22 April 2007. Beberapa waktu kemudian dilakukan observasi pertumbuhan Acropora dan dilakukan pendataan jumlah yang tumbuh serta pencatatan ukuran Acropora dsb.
Perwakilan dari KBRI memberikan beberapa masukan untuk waktu kedepannya sebagai berikut:
1. Dalam rangka peningkatan SDM Indonesia perlu ditingkatkan transfer teknologi maka projek penelitian ini perlu diteruskan melangkah ke tahap berikutnya dengan melibatkan banyak peneliti yang berasal dari Indonesia.
2. Untuk melanjutkan penelitian di Indonesia bagi peneliti Jepang atau peneliti asing akan diberikan izin oleh Kementerian Riset dan Teknologi.
3. Untuk projek restorasi terumbu karang di Indonesia bisa dijajagi dengan melakukan kerjasama dengan bantuan JICA dan lembaga penyandang dana lainnya.
Sedangkan JFE Steel Corporation menginformasikan bahwa pihaknya telah mengembangkan Marine Block-Artificial Base for Coral Reef yang setiap unitnya berukuran sekitar 1 m kubik siap untuk diuji coba penggunaannya.
Posted by
Drh.Pudjiatmoko,PhD
at
13:58
0
comments
Labels: Lingkungan Hidup
Monday, 5 January 2009
Merajut diplomasi total dikala libur tahun baru 2009
Diplomasi tersebut dilakukan antara pemerintah dengan pemerintah, swasta dengan swasta, NGO dengan NGO, masyarkat dengan masyarakat dan komponen bangsa lainnya atau kombinasinya. Dengan diplomasi total terdapat banyak langkah kreatif dan inovatif yang perlu dikembangkan oleh semua komponen bangsa.
Pada tanggal 1 Januari 2009, di pagi buta selepas subuh kami meluncur ke arah timur menuju Prefektur Ibaraki yang jaraknya 120 km dari Gotanda, Tokyo. Bersama Ketua Perhimpunan Petani dan Nelayan Sejahtera Indonesia (PPNSI) wilayah Sulawesi Selatan, Syamsari, S.Pt.MM. dan seorang mahasiswa S3 IPB yang sedang melakukan penelitian di Tokyo Marine Science University Sdri. Irma, kami bermaksud melakukan diplomasi people to people di Prefektur Ibaraki melalui partisipasi lomba lari marathon.
Pukul 08:00 tiba di Kantor Asosiasi Hortikultura dan Pertanian di Obata, Ibarakimachi, Prefektur Ibaraki. Kami melakukan persiapan dengan Mr. Syozo Fujita Pimpinan Asosiasi tersebut yang mengelola trainee bidang pertanian. Kami bersama 17 trainee bidang pertanian yang sedang berlatih di Prefektur Ibaraki membaur dengan masyarakat Mitoshi mengikuti lomba Gantan Marathon ke 34 di Mitoshi.
Pada kesempatan itu Syamsari Ketua PPNSI Wilayah Sulawesi Selatan mengajak para trainee yang berasal dari Sulawesi Selatan, ”Setelah kembali ke Sulawesi Selatan para trainee akan diajak bekerjasama membangun pertanian daerahnya, Sulawesi Selatan masih mempunyai lahan sekitar 130 ha yang siap untuk dikembangkan untuk tanaman pangan termasuk kedelai”.
Pada kesempatan yang baik ini tidak kami sia-siakan, kami tanamkan kepada para trainee bahwa profesi petani sangat mulia. Petani berjasa banyak karena telah bekerja keras memproduksi bahan makanan yang merupakan kebutuhan pokok umat manusia. Petani telah andil dalam pemenuhan gizi anak-anak pada masa pertumbuhan sehingga anak-anak tumbuh dan berkembang sehat, cerdas dan pintar. Anak-anak ini di kemudian hari kelak menjadi Lurah, Camat, Bupati, Gubernur, Menteri dan Presiden yang pandai dan bijaksana yang akan membawa Negara kita menjadi adil, makmur, sejahtera, aman sentosa”.
Pada kesempatan yang baik ini tidak kami sia-siakan, kami tanamkan kepada para trainee bahwa profesi petani sangat mulia. Petani berjasa banyak karena telah bekerja keras memproduksi bahan makanan yang merupakan kebutuhan pokok umat manusia. Petani telah andil dalam pemenuhan gizi anak-anak pada masa pertumbuhan sehingga anak-anak tumbuh dan berkembang sehat, cerdas dan pintar. Anak-anak ini di kemudian hari kelak menjadi Lurah, Camat, Bupati, Gubernur, Menteri dan Presiden yang pandai dan bijaksana yang akan membawa Negara kita menjadi adil, makmur, sejahtera, aman sentosa”.
Posted by
Drh.Pudjiatmoko,PhD
at
16:13
0
comments
Labels: Diplomasi
Pembahasan Pemberdayaan Sumber Daya Alam dengan MAFF Jepang
Dalam rangka peningkatan pemberdayaan sumber daya alam bidang Pertanian, pada tanggal 19 Desember 2008 Delegasi RI telah melakukan pembahasan penggunaan Zeolite dengan pejabat Ministry of Agriculture, Forestry and Fisheries (MAFF) Jepang. Delri terdiri dari Dr. Rudi Lumanto Staf Khusus Menteri Pertanian Bidang Inovasi dan Peningkatan Daya Saing, Dr. Mappaona Kepala Biro Perencanaan, Setjen Departemen Pertanian dan Drh. Pudjiatmoko, Ph.D Atase Pertanian KBRI Tokyo. Delri diterima oleh pejabat MAFF yaitu Mr. Tomohiro Bessho, Director Sustainable Agriculture and Soil Management Division, Agricultural Production Bureau dan Mr. Takahiko Nikaido Deputy Director.
Pembahasan pemberdayaan penggunaan sumber daya alam dengan pejabat MAFF Jepang bertujuan penjajagan kerjasama dengan Jepang dalam bidang teknologi peningkatan pemberdayaan sumber daya alam.
Sedangkan yang menjadi latar belakangnya adalah:
1) Tantangan pembangunan pertanian di Indonesia semakin berat: a) Pertumbuhan penduduk Indonesia 1,3% per tahun, b) Lahan terbatas dengan konversi yang tinggi, c) Kebutuhan pupuk semakin tinggi, d) Produksi terbatas, e) Rendahnya tingkat inovasi petani;
2) Peluang banyaknya SDA yang belum tergarap: a) Pemanfaatan Zeolite, b) Transfer technology antar petani.
Pejabat dari MAFF tersebut telah menjelaskan bahwa:
1) Untuk mencegah kondisi pertanian di Jepang semakin menurun maka perlu perhatian pemerintah.
2) Di beberapa daerah di Jepang mempunyai SDA yang bisa digunakan sebagai bahan baku untuk memperbaiki kesuburan tanah seperti Zeolite.
3) Pada mulanya belum terdapat peraturan pemakaian Zeolite sehingga pemerintah mengeluarkan peraturan standar penggunaan Zeolite yang bisa dipergunakan untuk umum.
4) Pabrik yang mengolah produk Zeolite akan mengikuti peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah tersebut.
5) Penggunaan Zeolite untuk berbagai macam keperluan di Jepang cukup banyak tetapi porsi pertanian masih kecil.
6) Pemakaian Zeolite di Jepang yang semakin lama semakin kecil karena terdapat promosi pemakaian produk organik, dan karena penggunaan Zeolite di lapangan lebih memerlukan tenaga sementara petani-petani Jepang rata-rata sudah berumur lanjut.
7) Pemerintah memberikan subsidi langsung kepada petani berupa insentif yang digunakan petani untuk mengontrol kesuburan tanahnya seperti dana untuk membeli Piranti Penguji Kandungan Hara Tanah, dalam rangka menentukan tindakan yang akan diambil untuk meningkatkan kesuburan tanahnya.
Untuk studi lapangan pada tanggal 23-24 Desember 2008 Delri melakukan kunjungan ke lapangan meninjau pabrik Nitto Funka Kogyo Co, Ltd. (NFK) yang berlokasi di Prefektur Fukushima. Sebelum melakukan kunjungan kelapangan telah dilakukan pertemuan dengan Mr. Furue Manabu Kepala Bidang Pemasaran NFK. Beliau menjelaskan bahwa fungsi Zeolit secara umum karena sifat fisiknya berporus sehingga dapat menjernihkan air dengan cara menyerap partikel kotoran yang terdapat dalam air, dapat menagkap dan melepaskan (menukar) kation-kation tanah, membuat pupuk keluar perlahan-lahan dalam tanah sehingga penggunaan pupuk lebih efisien, meningkatkan atau memperbaiki kondisi kimia tanah. Dua pabrik pengolahan Zeolite NFK terletak dekat dengan lokasi tanah berbukit yang mengandung bahan Zeolite yaitu di Iizawa dan Adachi, Prefektur Fukushima.
Pertama Delri melakukan kunjungan ke Pabrik NFK yang berlokasi di Iizaka, Prefektur Fukushima diterima oleh Mr. Sato Tsuneyoshi Wakil Kepala Bagian Produksi. Produk yang dihasilkan perusahaan NFK berfungsi untuk : a) penjernihan air, b) penggunaan untuk tambak udang (ditaburkan ke air untuk menetralisir racun, amonia, logam berbahaya), c) penggunaan untuk pupuk dalam bidang pertanian, d) penggunaan untuk makanan / ransum hewan sebagai sumber mineral.
Selanjutnya Delri melakukan kunjungan ke Pabrik NFK yang berlokasi di Adachi, Prefektur Fukushima diterima oleh Mr. Suzuki Akira Kepala Bagian Produksi. Di pabrik ini telah dilakukan observasi pembuatan media tanaman, Zeolite dari Jepang dicampur dengan Vermiculite dari Afrika Selatan, Peat (tanah gambut) dari Kanada. Dari pengolahan pabrik ini menunjukan bahwa Jepang memaksimalkan penggunaan sumber daya alamnya untuk memakmurkan negaranya. Di bawah terlihat gambar-gambar peralatan dan fasilias dalam proses pembuatan produk zeolit:
Pengambilan bahan dari tanah bukit menggunakan buldoser
Pemilahan bahan berdasarkan ukurannya dengan cara penyaringan secara kasar dengan alat seperti pada gambar sebelah.
Pemilahan bahan menggunakan mesin.
Penyaringan bahan yang sudah digiling dengan mesin.
Pengeringan bahan secara alami.
Penampungan bahan yang sudah digiling.
Penimbangan produk secara otomatis dan pengemasannya dengan sistem vakum seperti terlihat pada gambar sebelah.
Salah satu kemasan produk yang sedang diamati persentase kandungannya oleh Dr. Rudi Lumanto dan Dr. Mappaona.
Tindak lanjut dari kunjungan kerja ini adalah a) Mengkaji penggunaan teknologi tepat guna dari Jepang yang dapat diaplikasikan di Indonesia, b) Mendorong Peneliti baik dari lembaga penelitian maupun perguruan tinggi mempelajari dan mengembangkan teknologi pemanfaatan Zeolite untuk peningkatan produksi pertanian di Indonesia. c) Perlu dipertimbangankan pemberian insentif kepada para petani yang menggunakan teknologi yang direkomendasikan pemerintah. d) Penggunaan bahan Zeolite di Indonesia untuk memperbaiki tanah-tanah masam yang mempunyai pH rendah dengan cara mengikat unsur hidrogen.
Pembahasan pemberdayaan penggunaan sumber daya alam dengan pejabat MAFF Jepang bertujuan penjajagan kerjasama dengan Jepang dalam bidang teknologi peningkatan pemberdayaan sumber daya alam.
Sedangkan yang menjadi latar belakangnya adalah:
1) Tantangan pembangunan pertanian di Indonesia semakin berat: a) Pertumbuhan penduduk Indonesia 1,3% per tahun, b) Lahan terbatas dengan konversi yang tinggi, c) Kebutuhan pupuk semakin tinggi, d) Produksi terbatas, e) Rendahnya tingkat inovasi petani;
2) Peluang banyaknya SDA yang belum tergarap: a) Pemanfaatan Zeolite, b) Transfer technology antar petani.
Pejabat dari MAFF tersebut telah menjelaskan bahwa:
1) Untuk mencegah kondisi pertanian di Jepang semakin menurun maka perlu perhatian pemerintah.
2) Di beberapa daerah di Jepang mempunyai SDA yang bisa digunakan sebagai bahan baku untuk memperbaiki kesuburan tanah seperti Zeolite.
3) Pada mulanya belum terdapat peraturan pemakaian Zeolite sehingga pemerintah mengeluarkan peraturan standar penggunaan Zeolite yang bisa dipergunakan untuk umum.
4) Pabrik yang mengolah produk Zeolite akan mengikuti peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah tersebut.
5) Penggunaan Zeolite untuk berbagai macam keperluan di Jepang cukup banyak tetapi porsi pertanian masih kecil.
6) Pemakaian Zeolite di Jepang yang semakin lama semakin kecil karena terdapat promosi pemakaian produk organik, dan karena penggunaan Zeolite di lapangan lebih memerlukan tenaga sementara petani-petani Jepang rata-rata sudah berumur lanjut.
7) Pemerintah memberikan subsidi langsung kepada petani berupa insentif yang digunakan petani untuk mengontrol kesuburan tanahnya seperti dana untuk membeli Piranti Penguji Kandungan Hara Tanah, dalam rangka menentukan tindakan yang akan diambil untuk meningkatkan kesuburan tanahnya.
Pertama Delri melakukan kunjungan ke Pabrik NFK yang berlokasi di Iizaka, Prefektur Fukushima diterima oleh Mr. Sato Tsuneyoshi Wakil Kepala Bagian Produksi. Produk yang dihasilkan perusahaan NFK berfungsi untuk : a) penjernihan air, b) penggunaan untuk tambak udang (ditaburkan ke air untuk menetralisir racun, amonia, logam berbahaya), c) penggunaan untuk pupuk dalam bidang pertanian, d) penggunaan untuk makanan / ransum hewan sebagai sumber mineral.
Selanjutnya Delri melakukan kunjungan ke Pabrik NFK yang berlokasi di Adachi, Prefektur Fukushima diterima oleh Mr. Suzuki Akira Kepala Bagian Produksi. Di pabrik ini telah dilakukan observasi pembuatan media tanaman, Zeolite dari Jepang dicampur dengan Vermiculite dari Afrika Selatan, Peat (tanah gambut) dari Kanada. Dari pengolahan pabrik ini menunjukan bahwa Jepang memaksimalkan penggunaan sumber daya alamnya untuk memakmurkan negaranya. Di bawah terlihat gambar-gambar peralatan dan fasilias dalam proses pembuatan produk zeolit:
Tindak lanjut dari kunjungan kerja ini adalah a) Mengkaji penggunaan teknologi tepat guna dari Jepang yang dapat diaplikasikan di Indonesia, b) Mendorong Peneliti baik dari lembaga penelitian maupun perguruan tinggi mempelajari dan mengembangkan teknologi pemanfaatan Zeolite untuk peningkatan produksi pertanian di Indonesia. c) Perlu dipertimbangankan pemberian insentif kepada para petani yang menggunakan teknologi yang direkomendasikan pemerintah. d) Penggunaan bahan Zeolite di Indonesia untuk memperbaiki tanah-tanah masam yang mempunyai pH rendah dengan cara mengikat unsur hidrogen.
Posted by
Drh.Pudjiatmoko,PhD
at
11:45
2
comments
Labels: Kerjasama Luar Negeri
Subscribe to:
Posts (Atom)