Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Wednesday 27 March 2024

Dampak Perubahan Iklim Terhadap Penyakit Tular Vektor

Penyakit infeksi baru terutama yang berpotensi zoonosis (penyakit yang dapat menular dari hewan ke manusia atau sebaliknya) merupakan ancaman yang semakin besar terhadap kesehatan dan keselamatan global. Dampak perubahan iklim terhadap epidemiologi zoonosis dapat diketahui dari terjadinya perubahan dinamika inang, vektor, dan patogen serta interaksinya. Banyak proyeksi iklim mengungkapkan potensi perluasan geografis dan tingkat keparahan zoonosis yang ditularkan melalui vektor. Proyeksi iklim dapat dipahami sebagai suatu upaya untuk mendapatkan gambaran mengebai respons sistem iklim terhadap perubahan gaya radiatif (radiative forcing) terutama akibat kenaikan konsentrasi GRK di atmosfir di masa depan. Indonesia sebagai negara kepulauan di wilayah tropis merupakan negara yang rentan terhadap perubahan iklim. Di sini akan disampaikan dampak perubahan iklim secara global terhadap zoonosis yang ditularkan melalui vektor.

 

Vektor penyakitnya

 

Vektor penyakit adalah arthropoda yang dapat menularkan, memindahkan dan/atau menjadi sumber penular penyakit terhadap manusia. Arthropoda tersebut seperti nyamuk, kutu, dan lalat. Vektor ini bersifat ektotermik, artinya untuk menghangatkan tubuhnya dengan cara menyerap panas dari lingkungan sekitar. Oleh karena itu, suhu lingkungan berdampak lansung pada kelangsungan hidup vektor. Suhu lingkungan memengaruhi laju reproduksi, distribusi, kelimpahan, kesesuaian habitat, aktivitas, perkembangan dan kelangsungan hidup vektor. Suhu lingkungan juga memengaruhi reproduksi patogen yang berada dalam vektor.

 

Curah hujan yang tinggi akan menambah tempat berpotensi untuk berkembangbiaknya vektor seperti nyamuk. Selanjutnya, vegetasi-tetumbuhan berkembang lebat setelah hujan menjadi tempat berlindung yang cocok bagi vektor. Jadi perubahan iklim berkaitan erat dengan perubahan ekologi yang memengaruhi kejadian dan penyebaran penyakit tular vektor.

 

Vektor nyamuk

 

Nyamuk dapat membawa berbagai patogen, seperti virus, parasit protozoa, dan bakteri. Nyamuk sebagai vektor menyebabkan amplifikasi penyakit dan penularan banyak jenis penyakit zoonosis seperti zika, demam berdarah, dan chikungunya. Maka dari itu kita perlu memahami tren prediksi penyakit yang ditularkan oleh nyamuk guna merespon perubahan iklim. Suhu yang baik memengaruhi peningkatan reproduksi dan aktivitas nyamuk. Selain itu frekuensi mengisap darah tinggi dan mencerna lebih cepat. Suhu air yang hangat menyebabkan jentik nyamuk berkembang pesat.

 

Perubahan iklim mengubah kapasitas vektor dan menularkan banyak penyakit. Hal ini dapat mengubah dinamika penyakit yang ditularkan oleh nyamuk. Sebagai contoh, hasil studi retrospektif wabah virus West Nile di Perancis Selatan pada tahun 2000 menunjukkan bahwa agresivitas vektor tergantung pada suhu dan kelembaban, juga berhubungan dengan intensitas curah hujan dan sinar matahari. Cuaca hangat dan kering meningkatkan reproduksi nyamuk yang menimbulkan jumlah vektor nyamuk berlebih di perkotaan seperti Culex pipiens.

 

Kontak vektor nyamuk dengan inang unggas yang berkumpul di sekitar sumber air, menimbulkan peningkatan multiplikasi virus. Sebuah studi tentang proyeksi perubahan iklim memperkirakan pada tahun 2025 kemungkinan infeksi virus West Nile menjadi lebih besar, terutama di perbatasan wilayah penularan yang sudah ada seperti Kroasia Timur, Kroasia Timur Laut, dan Turki Barat Laut. Diprediksi perluasan akan terjadi pada tahun 2050 (Semenza dkk., 2016).

 

Nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus menularkan lebih dari 22 arbovirus ke manusia sehingga habitat vektor ini banyak menjadi perhatian di kalangan kesehatan masyarakat. Studi sebelumnya memproyeksikan terjadi perluasan habitat yang cocok untuk kedua spesies Aedes ini di Amerika Utara, Australia, dan Eropa. Namun demikian, kesesuaian iklim spesies Aedes di Eropa Selatan diperkirakan akan menurun selama abad ke-21, kemungkinan disebabkan cuaca yang lebih panas dan kering.

 

Sebuah studi tentang demam berdarah menunjukkan bahwa batas geografis penularan demam berdarah sangat ditentukan iklim. Dengan proyeksi populasi dan perubahan iklim pada tahun 2085, diperkirakan sekitar 50 – 60% populasi dunia yang diproyeksikan (5 – 6 miliar orang) akan berisiko terhadap penularan demam berdarah, dibandingkan dengan 35% populasi (3,5 miliar orang) jika tidak terjadi perubahan iklim (Hales dkk., 2002).

 

Di bawah skenario emisi karbon paling ekstrem, terdapat penelitian yang memperkirakan risiko penularan demam berdarah terjadi karena vektor Aedes aegypti selama musim panas di Inggris pada tahun 2100 (Liu-Helmersson dkk., 2016). Menurut penelitian lain, pada tahun 2100, tidak ada wilayah Inggris yang cocok untuk amplifikasi virus dengue di dalam tubuh serangga Aedes aegypti (Thomas dkk., 2011).

 

Masuknya Aedes albopictus dan virus chikungunya ke Italia telah dicatat sebagai kejadian yang tidak disengaja. Namun, kepadatan Aedes albopictus di Italia diakui sebagai kontribusi utama wabah chikungunya pertama saat iklim sedang (Rezza dkk., 2007). Transmisi dan distribusi Aedes albopictus kemudian diprediksi dalam kondisi iklim yang menguntungkan di negara-negara beriklim sedang. Aedes albopictus merupakan vektor utama untuk berbagai penyakit, seperti virus West Nile, Yellow Fever, St. Louis encephalitis, Japanese encephalitis, demam berdarah, Rift Valley Fever, dan demam chikungunya pada manusia (Mitchell, 1995).

 

Kombinasi faktor iklim dan lingkungan, termasuk suhu, kelembaban, curah hujan, dan penyinaran, diyakini berkontribusi terhadap wabah demam berdarah dan chikungunya sebelumnya di Eropa. Faktor-faktor tersebut dapat memperparah masuknya Aedes albopictus ke daerah baru (Mitchell, 1995). Jika terdapat infeksi nyamuk Aedes aegypti maka peningkatan suhu rata-rata akan mengakibatkan penularan demam berdarah musiman di Eropa Selatan (ECDC, 2019).

 

Malaria merupakan penyakit parasit menular yang disebabkan oleh parasit plasmodium, sering dilaporkan di negara tropis. Namun, hubungan antara kondisi meteorologi (misalnya suhu dan curah hujan) dan penularan malaria di negara beriklim sedang telah dibahas dalam beberapa penelitian, di mana mereka menggambarkan potensi invasi malaria dan “penyakit tropis” lainnya ke Eropa Selatan, sebagai contoh perluasan geografis risiko malaria akibat perubahan iklim.

 

Sebuah studi di Portugal memperkirakan peningkatan jumlah hari per tahun yang cocok untuk penularan malaria jika ada vektor yang terinfeksi (Casimiro dkk., 2006). Sebuah penelitian di Inggris memperkirakan peningkatan risiko penularan malaria lokal sebesar 8 – 14%, berdasarkan proyeksi perubahan suhu yang akan terjadi pada tahun 2050 (ECDC, 2019).

 

Sebuah studi tentang model dampak malaria menunjukkan peningkatan global jumlah orang berisiko per bulan dari tahun 2050-an hingga 2080-an. Studi tersebut menunjukkan bahwa iklim di masa mendatang lebih cocok untuk penularan malaria di daerah dataran tinggi tropis, seperti di dataran tinggi Afrika Timur (Caminade dkk., 2014). Epidemi malaria diperkirakan akan bergerak ke selatan di Afrika sub-Sahara dan menuju dataran yang lebih tinggi (Emert dkk., 2012). Pada akhir abad ke-21, kondisi suhu di wilayah semikering Sahel diperkirakan menjadi tidak menguntungkan bagi vektor malaria (Caminade dkk., 2014).

 

Di bawah skenario perubahan iklim sedang – tinggi, sebuah penelitian memproyeksikan bahwa wilayah selatan Inggris Raya menjadi cocok iklimnya untuk penularan malaria Plasmodium vivax selama dua bulan dalam setahun, dan sebagian Inggris tenggara selama empat bulan per tahun, pada tahun 2030. (Lindsay dkk., 2010). Pada tahun 2080, Skotlandia Selatan juga diperkirakan akan cocok secara iklim selama dua bulan dalam setahun (Lindsay dan Thomas, 2001).

 

Vektor lalat pasir

 

Seperti pada nyamuk, suhu berdampak pada laju gigitan lalat pasir. Larvanya dapat bertahan hingga 2 tahun untuk berkembang biak dan hidup di pasir lepas. Terjadi perkembangan patogen (protozoa) di dalam vektor. Di Eropa, lalat pasir tersebar di selatan 45°garis lintang utara dan kurang dari 800 m di atas permukaan laut. Namun, baru-baru ini telah meluas hingga setinggi 49° garis lintang utara (ECDC, 2019).

 

Suhu di Eropa Utara diperkirakan akan menjadi lebih hangat, dan curah hujan akan meningkat. Selain itu, suhu musim dingin diperkirakan akan meningkat di dataran yang lebih tinggi. Perubahan iklim ini diperkirakan akan memperluas jangkauan lalat pasir ke Eropa Barat Laut dan Eropa Tengah dan pada dataran yang lebih tinggi di wilayah yang sudah ada (Medlock dkk., 2014).

 

Perubahan iklim yang diproyeksikan di Eropa akan memberikan suhu yang menguntungkan bagi lalat pasir, sehingga lalat itu akan dengan cepat berkembang biak di negara-negara yang saat ini berada di batas jangkauan geografisnya, seperti Jerman, Austria, Swiss, dan di sepanjang pantai Atlantik (Naucke dkk., 2011).

 

Lalat pasir mampu menularkan leishmaniasis, yaitu infeksi parasit protozoa yang disebabkan oleh Leishmania infantum. Saat ini, Eropa Tengah dan Utara hanya mengimpor kasus anjing yang terinfeksi leishmaniasis. Jika perubahan iklim yang diproyeksikan membuat transmisi cocok di garis lintang utara, daerah endemik baru dapat dikembangkan dengan menjadi kasus impor ini sebagai sumber infeksi.

 

Di sisi lain, cuaca yang terlalu panas dan kering tidak menguntungkan bagi lalat pasir, yang akan menyebabkan hilangnya penyakit dari garis lintang selatan. Oleh karena itu, perubahan iklim yang diproyeksikan akan terus mengubah distribusi leishmaniasis di Eropa (ECDC, 2019). Sebuah studi di Eropa memperkirakan perluasan wilayahnya ke utara dengan kondisi iklim yang menguntungkan (di Eropa Tengah dan Utara) untuk sebagian besar spesies vektor, mencapai Inggris Raya dan Skandinavia pada 2061 – 2080 (Koch dkk., 2017).

 

Di Brasil, pertumbuhan 15% dalam jumlah rawat inap tahunan diperkirakan karena leishmaniasis pada akhir abad ke-21, dengan pertumbuhan relatif lebih tinggi di wilayah selatan (Mendes dkk., 2016). Studi lain memproyeksikan bahwa vektor Lutzomyia whitmani kemungkinan akan berkembang secara substansial di Brasil Tenggara, menyebabkan munculnya kembali leishmaniasis kulit pada tahun 2055. Gonzalez dkk. (2010) memproyeksikan kemungkinan perluasan leishmaniasis ke arah utara dari Meksiko dan Amerika Serikat Bagian Selatan, berpotensi mencapai batas selatan Kanada. Selain itu, mereka memperkirakan jumlah individu yang terpapar setidaknya dua kali lipat dari angka saat ini pada tahun 2080 (Gonzalez dkk., 2010).

 

Vektor kutu

 

Seperti pada penyakit yang ditularkan melalui vektor lainnya, peningkatan suhu memengaruhi produksi telur, kepadatan populasi, siklus perkembangan, distribusi kutu, dan tingkat kelangsungan hidup kutu selama musim dingin. Kutu dapat bertahan hidup di garis lintang dan dataran yang lebih tinggi jika iklim menjadi lebih hangat. Model kesesuaian iklim Ixodes scapularis menggambarkan potensi perluasan populasi kutu yang signifikan ke utara hingga Kanada dengan peningkatan 213% habitat yang cocok pada tahun 2080-an (Brownstein dkk., 2005).

 

Selain itu, perubahan iklim yang diproyeksikan akan menarik vektor dari Amerika Serikat Selatan dan menuju ke Amerika Serikat Tengah. Ixodes scapularis adalah vektor utama Penyakit Lyme di Amerika Utara, yang disebabkan oleh Borrelia burgdorferi yang ditularkan ke manusia selama pemberian makan darah. Studi ini memperkirakan dampak perubahan iklim terhadap risiko Penyakit Lyme dan munculnya penyakit menular yang ditularkan melalui kutu di Kanada.

 

Penyakit Lyme adalah salah satu penyakit yang ditularkan melalui kutu yang paling umum di Eropa, dengan sekitar 85.000 kasus setiap tahunnya. Insiden Penyakit Lyme telah meningkat di beberapa negara Eropa, termasuk Jerman, Finlandia, Rusia, Skotlandia, Slovenia, dan Swedia (Fulop dan Poggensee, 2008).

 

Peningkatan suhu musim dingin yang diproyeksikan dapat memperluas Penyakit Lyme ke garis lintang dan dataran yang lebih tinggi jika semua persyaratan lain (keberadaan inang vertebrata yang sesuai) terpenuhi (ECDC, 2019). Temperatur yang terlalu tinggi, iklim yang lebih kering, kekeringan, dan banjir yang parah akan berdampak negatif pada distribusi kutu, mengubah aktivitas musiman dan metode paparannya. Eropa Utara diperkirakan akan mengalami suhu yang lebih tinggi dengan curah hujan yang meningkat, sedangkan Eropa Selatan akan menjadi lebih kering, yang akan mengubah dinamika penyakit di kedua wilayah Eropa tersebut.

 

Selain itu, perubahan iklim berdampak pada populasi dan habitat spesies inang seperti rusa, hewan pengerat, dan burung, yang mengubah kelimpahan dan distribusi populasi kutu. Tikus berkaki putih, inang reservoir penting untuk Penyakit Lyme, diperkirakan berkembang ke utara di Québec karena musim dingin yang ringan dan lebih singkat. Pada tahun 2050, habitat tikus putih diperkirakan akan menyebar lebih jauh ke utara dengan garis lintang 3°, yang dapat mengubah jangkauan geografis patogen dan distribusi kasus Penyakit Lyme.

 

Monaghan dkk. (2015) memprediksi pergeseran temporal dari timbulnya Penyakit Lyme di Amerika Serikat karena proyeksi perubahan iklim selama abad ke-21, di mana musim Penyakit Lyme diproyeksikan akan dimulai 0,4 – 0,5 minggu lebih awal pada tahun 2025 – 2040 (p<0,05) dan 0,7 – 1,9 minggu sebelumnya pada 2065 – 2080 (p<0,01). Demikian pula, Levi dkk. (2015) mengusulkan bahwa aktivitas puncak nimfa dan larva Ixodes scapularis akan meningkat masing-masing 8 – 11 hari dan 10 – 14 hari, karena proyeksi pemanasan pada tahun 2050-an.

 

Menurut penelitian di Republik Ceko, perluasan Ixodes ricinus ke dataran yang lebih tinggi selama dua dekade terakhir dikaitkan dengan peningkatan suhu rata-rata. Kutu Ixodes ricinus bertindak sebagai reservoir dan vektor untuk Penyakit Lyme dan virus tick-borne encephalitis (TBE) di Eropa.

 

Sebuah analisis di Swedia menunjukkan bahwa peningkatan kejadian TBE sejak pertengahan 1980-an berhubungan dengan musim dingin yang lebih hangat dan lebih pendek. Model iklim yang terdiri dari musim panas yang lebih hangat dan lebih kering memperkirakan TBE akan didorong ke dataran tinggi dan garis lintang yang lebih tinggi bersama dengan 3,8% perluasan habitat secara keseluruhan untuk Ixodes ricinus di Eropa (berpotensi di Eropa Utara dan Tengah) pada tahun 2040 – 2060 (Boeckmann dan Joyner, 2014). Risiko TBE diperkirakan akan berkurang di Eropa Selatan. Namun, banyak ketidakpastian yang ada dalam model ini, dan faktor sosial ekonomi lainnya. Program vaksinasi yang ditargetkan, dan surveilans TBE dapat menurunkan kejadian dan distribusi TBE.

 

Vektor lainnya

 

Contoh jenis vektor lain yang menularkan zoonosis yaitu lalat hitam (misalnya, Onchocerciasis), tungau (misalnya, Scrub typhus), serangga triatomine (misalnya, penyakit Chagas), dan lalat tsetse (misalnya, trypanosomiasis Afrika). Beberapa penelitian telah mencatat korelasi positif antara penyakit yang ditularkan oleh vektor ini dan faktor iklim seperti suhu, lama penyinaran matahari, curah hujan, dan kelembapan.

 

Spesies vektor, seperti spesies Triatoma dan lalat tsetse, sering diprediksi mencerminkan perluasan dan penyempitan wilayah layak huni saat ini sebagai respons terhadap proyeksi perubahan iklim global. Menurut kondisi iklim di masa mendatang, pergeseran geografis vektor atau patogen ke wilayah kecil baru telah diprediksi: spesies Triatoma di Amerika Utara pada tahun 2050 dan Trypanosoma brucei rhodesiense di Afrika Selatan dan Timur pada tahun 2090 (Garza dkk., 2014).

 

Selain itu, juga diproyeksikan terjadinya pengurangan wilayah yang cocok untuk vektor atau populasi vektor, misalnya, penurunan 13 – 41% lalat hutan di Liberia dan lalat sabana di Ghana pada tahun 2040 (Nnko dkk., 2021). Musim Scrub typhus telah didokumentasikan dengan baik di berbagai negara Asia, misalnya di Jepang Utara, Korea, dan Cina Utara. Oleh karena itu, pergeseran temporal dan geografis Scrub typhus dapat diantisipasi, dengan proyeksi pemanasan global dan kejadian cuaca ekstrem yang sering terjadi di masa mendatang.

 

KESIMPULAN DAN SARAN

 

1.) Perubahan iklim merupakan salah satu masalah paling memprihatinkan yang mengancam planet kita dan umat manusia di abad ke-21.

2.) Perlu dilakukan prediksi ilmiah yang sangat penting bagi pembuat kebijakan pemerintah pusat dan daerah dalam membangun kapasitas untuk : (a) menurunkan kerentanan zoonosis akibat perubahan iklim, (b) meningkatkan kesehatan hewan dan manusia, dan (c) mengembangkan dan memfasilitasi agenda global untuk meminimalkan penyebab perubahan drastis.

3.) Perlu dilakukan KIE pengetahuan tentang dampak perubahan iklim terhadap kesehatan di kalangan masyarakat luas.


SUMBER:

Pudjiatmoko. Dampak Perubahan Iklim Terhadap Penyakit Tular Vektor. Pangan News 10 Agustus 2023. https://pangannews.id/public/berita/1691634341/dampak-perubahan-iklim-terhadap-penyakit-tular-vektor.

No comments: