Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Sunday, 28 March 2021

Mitigasi Emisi Gas Rumah Kaca dari Subsektor Peternakan

 

Gas rumah kaca terpenting yang dihasilkan oleh hewan ternak adalah gas metana (CH4) yang dikeluarkan dari proses pencernaan (fermentasi enterik). CH4 juga dihasilkan dari proses oksidasi anaerob kotoran hewan, namun jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan emisi dari proses pencernaan. Dari total gas metana yang dihasilkan oleh ternak ruminansia, sekitar 94 % berasal dari fermentasi pencernaan dalam rumen dan 6 % dari kotoran yang baru dieksresikan.  Selain itu kotoran hewan juga menghasilkan gas dinitrogen oksida (N2O).


I. EMISI CH4 DARI PROSES PENCERNAAN: DATA AKTIVITAS DAN FAKTOR EMISI

Data aktivitas yang dapat digunakan untuk menghitung emisi dari sektor peternakan adalah dengan menggunakan metoda dari International Panel on Climate Change (IPCC) tahun 1996 yang telah direvisi dan IPCC tahun 2006. Pada tahun 2008 telah dilakukan kegiatan untuk memverifikasi laju emisi gas rumah kaca (GRK) pada peternakan Indonesia. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk a) validasi hasil perhitungan emisi GRK pada komoditas peternakan; b) inventarisasi faktor-faktor yang mempengaruhi emisi GRK pada komoditas peternakan; c) inventarisasi teknologi dan manajemen mitigasi emisi GRK pada budidaya peternakan. Penghitungan mengikuti petunjuk dari IPCC (2006) (Thalib et al., 2008). Selanjutnya pada tahun 2011 dilakukan pula estimasi emisi CH4 dan N2O dari fermentasi enterik dan dari pengelolaan kotoran ternak (manure management) dengan mengacu kepada Worksheet dari IPCC 2006 (Widiawati, 2013). Faktor emisi yang digunakan mengacu kepada panduan IPCC untuk wilayah Asia. (Tabel 1) dan data aktivitas yang digunakan adalah populasi ternak seluruh Indonesia tahun 2006-2012 (Tabel 2) serta proyeksi linearnya pada tahun 2013- 2020 (Tabel 3). Populasi ternak meningkat dari tahun ke tahun dengan laju pertumbuhan yang bervariasi secara temporal dan antar jenis ternak (Dirjen Peternakan, 2012). Laju pertumbuhan rata-rata ternak ruminansia ditargetkan 7%/tahun dan unggas 12,5%/tahun. Mulai dari tahun 2012, diproyeksikan akan terjadi percepatan peningkatan populasi ternak, khususnya untuk sapi potong, domba dan kambing. Hal ini akan terjadi sebagai dampak dari kebijakan pemerintah dalam upaya swasembada daging nasional. Untuk tingkat provinsi faktor emisi tingkat nasional dapat digunakan menjelang tersedia faktor emisi spesifi k lokasi. Data aktivitas disesuaikan dengan populasi ternak masing-masing provinsi. Penghitungan dengan hanya menggunakan populasi ternak, merupakan metode yang termudah dan dapat diterapkan di semua wilayah. Data populasi sebagai data aktivitas telah dimiliki oleh setiap Dinas Peternakan provinsi dan data populasi ternak nasional tersedia di Direktorat Jenderal Peternakan, Kementerian Pertanian.


Tabel 1. Faktor emisi gas metana (CH4) dari proses pencernaan berbagai jenis ternak


Tabel 2. Populasi ternak Indonesia dari tahun 2006 sampai tahun 2012 (ribu ekor)


Tabel 3. Estimasi populasi ternak dari tahun 2013 sampai 2020


II. EMISI CH4 DARI KOTORAN TERNAK: DATA AKTIVITAS DAN FAKTOR EMISI

Data aktivitas untuk emisi dari kotoran ternak adalah populasi ternak dan perkiraan jumlah kotorang hewan (Tabel 2, Tabel 3). Faktor emisi CH4 dari kotoran ternak disajikan padaTabel 4.

 

Tabel 4. Faktor emisi CH4 dari kotoran hewan dengan berbagai metode pengelolaan (IPCC, 2006).


III. EMISI N2O DARI KOTORAN HEWAN: DATA AKTIVITAS DAN FAKTOR EMISI

Jumlah N yang dieksresi (dikeluarkan melalui kotoran) hewan ditentukan oleh populasi ternak dan berat badan rata-rata ternak (Tabel 5), sedangkan jumlah N yang teremisi menjadi N2O ditentukan oleh sistem pengelolaan kotoran ternak. Semakin lama dan semakin banyak kotoran ditumpuk akan menyebabkan jumlah oksigen di dalam tumpukan makin terbatas dan akan membentuk N2O. Bila kotoran tidak ditumpuk dan langsung disebar ke lahan, maka hampir seluruh N tersebut berubah menjadi NO3 - (nitrat) yang merupakan zat hara tanaman. Faktor emisi (rasio pembentukan N2O) dari N yang tekandung di dalam kotoran hewan pada berbagai sistem pengelolaan kotoran disajikan pada Tabel 6.


Tabel 5. Angka acuan (default) untuk kandungan N pada kotoran hewan di Asia dan perkiraan berat badan rata-rata.


Tabel 6.  Faktor emisi N2O dari kotoran ternak dengan berbagai sistem pengelolaan

Catatan: Nilai eksresi N dan berat badan tercantum pada Tabel 5.


IV. EMISI MASA LALU (2006-2011) DAN PROYEKSI EMISI 2011-2020

Emisi metana dari pencernaan ternak Emisi CH4 dari pencernaan ternak dihitung dengan rumus: Emisi CH4 (kg/tahun) = Populasi ternak (ekor) x Faktor emisi (kg CH4 /(ekor . tahun) Berdasarkan data populasi ternak pada Tabel 2, Tabel 3 dan Tabel 1, serta faktor emisi pada Tabel 26, dapat dihitung besarnya emisi gas metana yang berasal dari proses pencernaan seluruh ternak. Data penghitungan emisi gas metana dari proses pencernaan tahun 2006 sampai tahun 2012 dan proyeksi untuk tahun 2013 sampai 2020 ditampilkan pada Tabel 3.


Di antara berbagai jenis ternak, kontributor emisi dari fermentasi pencernaan yang terbesar (sekitar 72%) adalah dari sapi potong. Dengan demikian aksi mitigasi sebaiknya diprioritaskan untuk ternak sapi potong.


V.   EMISI METANA DARI KOTORAN TERNAK

Emisi metana dari kotoran ternak dihitung dengan rumus: Emisi CH4 (ton CO2-e) = Jumlah ternak *Faktor emisi Data populasi ternak terdapat pada Tabel 2 dan Tabel 2 dan data faktor emisi CH4 dari kotoran ternak disajikan pada Tabel 4. Hasil perhitungan emisi metana dari kotoran ternak disajikan pada Gambar.


Kontributor terbesar dari emisi N2O adalah unggas, kemudian sapi potong. Data yang ditampilkan pada Gambar didasarkan atas asumsi metode pengelolaan kotoran ternak secara konvensional yaitu cara menumpuk kotoran beberapa bulan dalam keadaan padat (solid storage).


RAN/RAD PENURUNAN EMISI GRK SUBSEKTOR PERTERNAKAN

Dari beberapa sumber emisi GRK Subsektor Peternakan Gambar emisi CH4 dari proses pencernaan paling banyak jumlahnya, diikuti oleh emisi N2O dari kotoran ternak. Emisi CH4 dari kotoran ternak relatif sedikit. Dengan demikian usaha mitigasi difokuskan pada pengelolaan pakan ternak untuk menurunkan emisi CH4 dari proses pencernaan. Beberapa pendekatan yang dapat ditempuh untuk menurunkan emisi dari Subsektor Peternakan adalah:


• Penerapan teknologi pengolahan bahan pakan berserat kasar tinggi seperti jerami padi, limbah pertanian dan perkebunan melalui fermentasi dan ammoniasi. Selain dapat menurunkan emisi gas metana dari ternak, proses pengolahan juga bermanfaat untuk mengawetkan bahan pakan yang dapat digunakan sebagai cadangan makanan di musim kemarau. Selain itu, proses pengolahan pakan juga dapat meningkatkan kualitas pakan yang mengandung serat kasar tinggi.


• Penerapan teknik suplementasi bahan pakan berkualitas tinggi terhadap bahan pakan berkualitas rendah. Tanaman leguminosa seperti kaliandra, lamtoro dan gliricidia serta daun singkong dapat digunakan sebagai pakan suplemen. Teknik suplementasi dapat meningkatkan daya cerna dan efisiensi penggunaan pakan, serta berdampak pada pengurangan produksi gas metana di dalam rumen. Pemberian tanaman leguminosa lain seperti daun akasia pada sapi, domba dan kambing juga merupakan salah satu teknik mitigasi karena bahan aktif tannin yang terkandung dalam daun akasia.


• Penyusunan ransum komplit yang terdiri dari limbah pertanian dan perkebunan sebagai sumber serat dengan konsentrat yang berasal dari biji-bijian maupun limbah industri pertanian/perkebunan merupakan salah satu bentuk mitigasi untuk menurunkan emisi gas metana dari sektor peternakan. Peningkatan nilai nutrisi ransum komplit menyebabkan peningkatan kecernaan dan efi siensi penggunaan pakan yang selanjutnya menurunkan produksi gas metana dalam rumen.


Sistem integrasi tanaman-ternak di wilayah perkebunan kelapa sawit (sawit-sapi), perkebunan kakao (kakaokambing), pertanian/padi (padi-sapi) merupakan bentuk upaya mitigasi gas metana dan memperbaiki siklus karbon dari sub-sektor peternakan. Integrasi yang dimaksud dapat diartikan bahwa ternak berada langsung di dalam areal perkebunan atau pertanian secara umum. Arti lainnya adalah bahwa ternak dan tanaman berada pada areal yang berbeda, tetapi pakan yang diberikan merupakan produk dari tanaman tersebut.


Pemanfaatan kotoran ternak untuk menghasilkan energi melalui proses biogas. Pembangunan unit biogas skala kecil untuk peternakan rakyat dengan kepemilikan 4-5 ekor per kepala keluarga (KK) dapat dilakukan dengan sistem penggunaan bersama beberapa KK. Energi yang dihasilkan dapat dimanfaatkan untuk penerangan maupun memasak.


Proses pembuatan kompos sederhana dari kotoran ternak dengan sistem tertutup dapat dilakukan untuk mengurangi emisi gas metana selama proses pengomposan. Penambahan starter/ mikroba untuk mempercepat proses pengomposan juga merupakan upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi emisi gas metana dari kotoran ternak.


Aplikasi teknologi mitigasi pada sektor peternakan, khusunya dari manajemen pemberian pakan dengan menggunakan bahan baku lokal dapat menurunkan emisi gas metana khususnya dari proses pencernaan. 


Diperoleh penurunan yang bervariasi, mulai dari 8 % sampai 20 %, tergantung kepada teknik mitigasi yang digunakan (Purnomoadi et al., 2005; Thalib dan Widiawati,2006; Wina, 2012). Penerapan sistem biogas dalam pengelolaan kotoran dan memanfaatkan energi yang dihasilkan untuk memasak atau penerangan dapat menurunkan tingkat emisi dari kotoran ternak.


MANFAT TAMBAHAN

Penerapan teknologi mitigasi gas metana di sektor peternakan akan berdampak positif terhadap lingkungan dan ternak. Terhadap lingkungan, penerapan teknologi mitigasi dapat menurunkan emisi gas metana yang di sumbang dari peternakan. Disamping itu, penurunan gas metana yang dihasilkan dari ternak memberikan nilai positif bagi ternak, karena gas metan yang dihasilkan merupakan energi pakan yang terbuang dari ternak. Dengan demikian penurunan produksi gas metana dari setiap ternak mengandung arti penyelamatan energi yang terbuang untuk kemudian digunakan sebagai tambahan energi untuk produksi ternak sehingga dapat terjadinya peningkatan produktivitas ternak.


EMISI BAU DAN MITIGASI SEMUA SUB-SEKTOR BERBASIS LAHAN

Emisi BAU untuk semua sub-sektor pada Sektor berbasis lahan berdasarkan pendekatan forward looking berkisar antara 682 juta pada periode 2006- 2011, 764 juta pada periode 2011-2016 dan 852 juta ton CO2-e pada periode 2016-2021. Pendekatan forward looking diberlakukan dengan asumsi kenaikan emisi untuk perubahan penggunaan lahan dan lahan gambut adalah sekitar 2,5% per tahun. Perkiraan kenaikan ini mengingat perluasan areal pertanian berbasis sumberdaya hutan dan lahan cenderung meningkat di beberapa provinsi di Papua dan Kalimantan. Di Sumatera emisi dari biomas diperkirakan akan menurun (Gunarso et al. 2013; Agus et al. 2013). Untuk Sub-sektor Pertanian emisi pendekatan forward looking dihitung berdasarkan trend linear dan kuadratik, tergantung kecenderungan perkembangan pada tahun acuan (base year).


Pada pelaksanaanya penyusunan RAN GRK dengan pendekatan forward looking memerlukan data proyeksi penggunaan lahan yang disesuaikan dengan rencana tata ruang wilayah provinsi dan kabupaten (RTRWP/K). Pendekatan bottom-up perlu ditempuh, sehingga rencana forward looking lebih mencerminkan rencana pembangunan yang sebenarnya.


Dengan skenario penurunan emisi 26% (penurunan emisi unilateral menurut Perpres 61/2011), maka emisi pada periode 2016-2021 harus turun menjadi 631 juta atau penurunan sebanyak 222 juta ton CO2-e. Untuk menurunkan emisi 41%, maka emisi pada periode 2016-2021 harus turun menjadi 503 juta atau penurunan sebanyak 350 juta ton CO2-e. Berbeda dengan hasil penghitungan pada RAN GRK ini, di dalam Perpres 61/2011, indikasi penurunan emisi 26% dari Sektor Kehutanan dan lahan gambut adalah sebanyak 672 juta ton CO2 e/tahun.


REKOMENDASI

Perbedaan target penurunan emisi menurut Perpres 61/2011 dengan hasil penghitungan RAN GRK ini disebabkan oleh 2 faktor:

1. Perpres 61/2011 dan Second National Communication (MoE, 2010, SNC) memasukkan emisi dari kebakaran gambut sebagai salah satu sumber emisi. SNC menggunakan angka perkiraan kebakaran gambut dari van der Werf et al. (2008) yang besarannya cukup tinggi, yaitu 470 juta ton CO2 e/tahun pada tahun 2000-2006. Angka ini setara dengan 69% emisi 2006- 2011 untuk semua sektor berbasis lahan menurut RAN GRK. Panduan Teknis ini tidak memasukkan kebakaran gambut dalam penghitungannya. Hal ini disebakan karena sangat tingginya tingkat ketidak-yakinannya (uncertainty) emisi kebakaran gambut, baik dari aspek data aktivitas, maupun faktor emisi.


2. Di dalam Perpres 61/2011 Sektor Kehutanan (dan lahan gambut) dianggap mampu mengkompensasi penurunan emisi dari Sektor lain. Di dalam Panduan Teknis ini perkiraan penurunan emisi dari Sektor Kehutanan dan lahan gambut tidak mengasumsikan pembebanan penurunan emisi dari sektor lain ke sektor kehutanan dan lahan gambut.


Angka perkiraan penurunan emisi yang akan diajukan oleh provinsi pada RAD GRK akan menampilkan kemampuan masing-masing sektor dalam menurunkan emisi. Angka tersebut akan bervariasi tergantung kemampuan provinsi. Tidak semua provinsi akan mampu menurunkan emisi sebanyak 26% dari bidang kehutanan dan lahan gambut.


Dari berbagai subsektor terlihat bahwa penyumbang utama emisi sektor berbasis lahan adalah emisi dari dekomposisi lahan gambut, diikuti oleh emisi dari biomas tumbuhan lahan mineral, emisi dari biomas tumbuhan pada lahan gambut dan emisi dari lahan sawah. Sumbangan emisi dari pemupukan dan peternakan berturut-turut hanya sekitar 3% dan 4%. Dengan demikian usaha mitigasi perlu diprioritaskan pada sub-sektor yang menjadi sumber emisi terbesar, dalam hal ini perubahan penggunaan lahan. Pengurangan penggunaan lahan hutan dan memprioritaskan penggunaan lahan semak belukar untuk pengembangan perkebunan dan pertanian, berpotensi menurunkan emisi secara signifikan.


DAFTAR PUSTAKA

1.Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2011 Tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca

2.Dirjen Peternakan 2012. Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementrian Pertanian.

3.Purnomoadi, A., E. Rianto, K. Higuchi and M. Kurihara. 2005. Beer cake could reduce methane production from buffalo fed basal diet containing rice straw and commercial concentrate. Proc The 2nd Greenhouse Gases and Animal Agriculture. Zurich. Pusdatin (Pusat Data dan informasi Pertanian). 2013. Informasi Ringkas Komoditas. Perkebunan, No. 01/01/I, 7 Januari 2013. Pusdatin, Jakarta.

4. Thalib, A. dan Y. Widiawati. 2008. Peningkatan produksi dan kualitas susu dengan emisi gas metan yang rendah melalui pemberian RMK sebagai imbuhan pada ransum sapi perah. Pros. Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas 2020. Puslitbangnak dan STEKPI, pp. 82-87. Jakarta, 21 April 2008.

5.Van der Werf, G.R., J. Dempewolf, S.N. Trigg, J.T. Randerson, P.S. Kasibhatla, L. Giglio, D. Murdiyarso, W. Peters, D.C. Morton, G.J. Collatz, A.J. Dolman and R.S. DeFries. 2008. Climate regulation of fi re emissions and deforestation in equatorial Asia. PNAS 105(51): 20350–20355.

6.Widiawati, Y. 2013. Current and Future Mitigation Activities on Methane Emission from Ruminant in Indonesia. Paper in International Workshop on Inventory Data and Mitigation of Carbon and Nitrogen Cycling From Livestock in Indonesia. Jakarta, 24th April 2013.

7.Wina, E. 2012. Saponins: Effects on Rumen microbial ecosystem and metabolism in the rumen. In: Dietary phytochemicals and microbes. Patra, A.K. (ed).Springer. London. Pp. 311-350.

No comments: