Gas rumah kaca terpenting yang
dihasilkan oleh hewan ternak adalah gas metana (CH4) yang
dikeluarkan dari proses pencernaan (fermentasi enterik). CH4 juga
dihasilkan dari proses oksidasi anaerob kotoran hewan, namun jumlahnya lebih
sedikit dibandingkan dengan emisi dari proses pencernaan. Dari total gas metana
yang dihasilkan oleh ternak ruminansia, sekitar 94 % berasal dari fermentasi
pencernaan dalam rumen dan 6 % dari kotoran yang baru dieksresikan. Selain itu kotoran hewan juga menghasilkan gas dinitrogen oksida (N2O).
I. EMISI CH4 DARI PROSES PENCERNAAN: DATA
AKTIVITAS DAN FAKTOR EMISI
Data aktivitas yang dapat
digunakan untuk menghitung emisi dari sektor peternakan adalah dengan
menggunakan metoda dari International Panel on Climate Change (IPCC) tahun 1996 yang telah direvisi dan IPCC tahun
2006. Pada tahun 2008 telah dilakukan kegiatan untuk memverifikasi laju emisi
gas rumah kaca (GRK) pada peternakan Indonesia. Hal ini dilakukan dengan tujuan
untuk a) validasi hasil perhitungan emisi GRK pada komoditas peternakan; b)
inventarisasi faktor-faktor yang mempengaruhi emisi GRK pada komoditas
peternakan; c) inventarisasi teknologi dan manajemen mitigasi emisi GRK pada
budidaya peternakan. Penghitungan mengikuti petunjuk dari IPCC (2006) (Thalib
et al., 2008). Selanjutnya pada tahun 2011 dilakukan pula estimasi emisi CH4 dan N2O dari fermentasi enterik dan dari pengelolaan kotoran ternak (manure
management) dengan mengacu kepada Worksheet dari IPCC 2006 (Widiawati, 2013).
Faktor emisi yang digunakan mengacu kepada panduan IPCC untuk wilayah Asia. (Tabel
1) dan data aktivitas yang digunakan adalah populasi ternak seluruh Indonesia
tahun 2006-2012 (Tabel 2) serta proyeksi linearnya pada tahun 2013- 2020 (Tabel
3). Populasi ternak meningkat dari tahun ke tahun dengan laju pertumbuhan yang
bervariasi secara temporal dan antar jenis ternak (Dirjen Peternakan, 2012).
Laju pertumbuhan rata-rata ternak ruminansia ditargetkan 7%/tahun dan unggas
12,5%/tahun. Mulai dari tahun 2012, diproyeksikan akan terjadi percepatan
peningkatan populasi ternak, khususnya untuk sapi potong, domba dan kambing.
Hal ini akan terjadi sebagai dampak dari kebijakan pemerintah dalam upaya
swasembada daging nasional. Untuk tingkat provinsi faktor emisi tingkat
nasional dapat digunakan menjelang tersedia faktor emisi spesifi k lokasi. Data
aktivitas disesuaikan dengan populasi ternak masing-masing provinsi.
Penghitungan dengan hanya menggunakan populasi ternak, merupakan metode yang
termudah dan dapat diterapkan di semua wilayah. Data populasi sebagai data
aktivitas telah dimiliki oleh setiap Dinas Peternakan provinsi dan data
populasi ternak nasional tersedia di Direktorat Jenderal Peternakan,
Kementerian Pertanian.
Tabel
1. Faktor emisi gas metana (CH4) dari proses pencernaan berbagai jenis
ternak
Tabel 2. Populasi ternak
Indonesia dari tahun 2006 sampai tahun 2012 (ribu ekor)
Tabel
3. Estimasi populasi ternak dari tahun 2013 sampai 2020
II. EMISI CH4 DARI KOTORAN TERNAK: DATA
AKTIVITAS DAN FAKTOR EMISI
Data aktivitas untuk emisi dari
kotoran ternak adalah populasi ternak dan perkiraan jumlah kotorang hewan
(Tabel 2, Tabel 3). Faktor emisi CH4 dari kotoran ternak disajikan padaTabel 4.
Tabel
4. Faktor emisi CH4 dari kotoran hewan dengan berbagai metode
pengelolaan (IPCC, 2006).
III. EMISI N2O DARI KOTORAN HEWAN: DATA
AKTIVITAS DAN FAKTOR EMISI
Jumlah N yang dieksresi
(dikeluarkan melalui kotoran) hewan ditentukan oleh populasi ternak dan berat
badan rata-rata ternak (Tabel 5), sedangkan jumlah N yang teremisi menjadi N2O ditentukan oleh sistem pengelolaan kotoran ternak. Semakin lama dan semakin
banyak kotoran ditumpuk akan menyebabkan jumlah oksigen di dalam tumpukan makin
terbatas dan akan membentuk N2O. Bila kotoran tidak ditumpuk dan langsung
disebar ke lahan, maka hampir seluruh N tersebut berubah menjadi NO3 - (nitrat)
yang merupakan zat hara tanaman. Faktor emisi (rasio pembentukan N2O) dari N
yang tekandung di dalam kotoran hewan pada berbagai sistem pengelolaan kotoran
disajikan pada Tabel 6.
Tabel 5. Angka acuan (default) untuk kandungan N pada kotoran hewan di Asia dan perkiraan berat badan rata-rata.
Tabel 6. Faktor emisi N2O dari kotoran ternak dengan
berbagai sistem pengelolaan
Catatan: Nilai eksresi N dan berat badan tercantum pada Tabel 5.
IV. EMISI MASA LALU (2006-2011) DAN PROYEKSI
EMISI 2011-2020
Emisi metana dari pencernaan
ternak Emisi CH4 dari pencernaan ternak dihitung dengan rumus: Emisi CH4 (kg/tahun) = Populasi ternak (ekor) x Faktor emisi (kg CH4 /(ekor . tahun)
Berdasarkan data populasi ternak pada Tabel 2, Tabel 3 dan Tabel 1, serta
faktor emisi pada Tabel 26, dapat dihitung besarnya emisi gas metana yang
berasal dari proses pencernaan seluruh ternak. Data penghitungan emisi gas
metana dari proses pencernaan tahun 2006 sampai tahun 2012 dan proyeksi untuk
tahun 2013 sampai 2020 ditampilkan pada Tabel 3.
Di antara berbagai jenis ternak,
kontributor emisi dari fermentasi pencernaan yang terbesar (sekitar 72%) adalah
dari sapi potong. Dengan demikian aksi mitigasi sebaiknya
diprioritaskan untuk ternak sapi potong.
V. EMISI METANA DARI KOTORAN TERNAK
Emisi metana dari kotoran ternak
dihitung dengan rumus: Emisi CH4 (ton CO2-e) = Jumlah ternak *Faktor emisi
Data populasi ternak terdapat pada Tabel 2 dan Tabel 2 dan data faktor emisi CH4 dari kotoran ternak disajikan pada Tabel 4. Hasil perhitungan emisi metana
dari kotoran ternak disajikan pada Gambar.
Kontributor terbesar dari emisi N2O adalah unggas, kemudian sapi potong. Data yang ditampilkan pada Gambar
didasarkan atas asumsi metode pengelolaan kotoran ternak secara konvensional
yaitu cara menumpuk kotoran beberapa bulan dalam keadaan padat (solid storage).
RAN/RAD PENURUNAN EMISI GRK SUBSEKTOR PERTERNAKAN
Dari beberapa sumber emisi GRK
Subsektor Peternakan Gambar emisi CH4 dari proses pencernaan paling
banyak jumlahnya, diikuti oleh emisi N2O dari kotoran ternak. Emisi
CH4 dari kotoran ternak relatif sedikit. Dengan demikian usaha
mitigasi difokuskan pada pengelolaan pakan ternak untuk menurunkan emisi CH4
dari proses pencernaan. Beberapa pendekatan yang dapat ditempuh untuk
menurunkan emisi dari Subsektor Peternakan adalah:
• Penerapan teknologi pengolahan
bahan pakan berserat kasar tinggi seperti jerami padi, limbah pertanian dan
perkebunan melalui fermentasi dan ammoniasi. Selain dapat menurunkan emisi gas
metana dari ternak, proses pengolahan juga bermanfaat untuk mengawetkan bahan
pakan yang dapat digunakan sebagai cadangan makanan di musim kemarau. Selain
itu, proses pengolahan pakan juga dapat meningkatkan kualitas pakan yang
mengandung serat kasar tinggi.
• Penerapan teknik suplementasi
bahan pakan berkualitas tinggi terhadap bahan pakan berkualitas rendah. Tanaman
leguminosa seperti kaliandra, lamtoro dan gliricidia serta daun singkong dapat
digunakan sebagai pakan suplemen. Teknik suplementasi dapat meningkatkan daya
cerna dan efisiensi penggunaan pakan, serta berdampak pada pengurangan
produksi gas metana di dalam rumen. Pemberian tanaman leguminosa lain seperti
daun akasia pada sapi, domba dan kambing juga merupakan salah satu teknik
mitigasi karena bahan aktif tannin yang terkandung dalam daun akasia.
• Penyusunan ransum komplit yang
terdiri dari limbah pertanian dan perkebunan sebagai sumber serat dengan
konsentrat yang berasal dari biji-bijian maupun limbah industri
pertanian/perkebunan merupakan salah satu bentuk mitigasi untuk menurunkan
emisi gas metana dari sektor peternakan. Peningkatan nilai nutrisi ransum
komplit menyebabkan peningkatan kecernaan dan efi siensi penggunaan pakan yang
selanjutnya menurunkan produksi gas metana dalam rumen.
Sistem integrasi tanaman-ternak
di wilayah perkebunan kelapa sawit (sawit-sapi), perkebunan kakao
(kakaokambing), pertanian/padi (padi-sapi) merupakan bentuk upaya mitigasi gas
metana dan memperbaiki siklus karbon dari sub-sektor peternakan. Integrasi yang
dimaksud dapat diartikan bahwa ternak berada langsung di dalam areal perkebunan
atau pertanian secara umum. Arti lainnya adalah bahwa ternak dan tanaman berada
pada areal yang berbeda, tetapi pakan yang diberikan merupakan produk dari
tanaman tersebut.
Pemanfaatan kotoran ternak
untuk menghasilkan energi melalui proses biogas. Pembangunan unit biogas skala
kecil untuk peternakan rakyat dengan kepemilikan 4-5 ekor per kepala keluarga
(KK) dapat dilakukan dengan sistem penggunaan bersama beberapa KK. Energi yang
dihasilkan dapat dimanfaatkan untuk penerangan maupun memasak.
Proses pembuatan kompos
sederhana dari kotoran ternak dengan sistem tertutup dapat dilakukan untuk
mengurangi emisi gas metana selama proses pengomposan. Penambahan starter/
mikroba untuk mempercepat proses pengomposan juga merupakan upaya yang dapat
dilakukan untuk mengurangi emisi gas metana dari kotoran ternak.
Aplikasi teknologi mitigasi pada sektor peternakan, khusunya dari manajemen pemberian pakan dengan menggunakan bahan baku lokal dapat menurunkan emisi gas metana khususnya dari proses pencernaan.
Diperoleh penurunan yang
bervariasi, mulai dari 8 % sampai 20 %, tergantung kepada teknik mitigasi yang
digunakan (Purnomoadi et al., 2005; Thalib dan Widiawati,2006; Wina, 2012).
Penerapan sistem biogas dalam pengelolaan kotoran dan memanfaatkan energi yang
dihasilkan untuk memasak atau penerangan dapat menurunkan tingkat emisi dari
kotoran ternak.
MANFAT TAMBAHAN
Penerapan teknologi mitigasi gas
metana di sektor peternakan akan berdampak positif terhadap lingkungan dan
ternak. Terhadap lingkungan, penerapan teknologi mitigasi dapat menurunkan
emisi gas metana yang di sumbang dari peternakan. Disamping itu, penurunan gas
metana yang dihasilkan dari ternak memberikan nilai positif bagi ternak, karena
gas metan yang dihasilkan merupakan energi pakan yang terbuang dari ternak.
Dengan demikian penurunan produksi gas metana dari setiap ternak mengandung
arti penyelamatan energi yang terbuang untuk kemudian digunakan sebagai
tambahan energi untuk produksi ternak sehingga dapat terjadinya peningkatan
produktivitas ternak.
EMISI BAU DAN MITIGASI SEMUA SUB-SEKTOR BERBASIS LAHAN
Emisi BAU untuk semua sub-sektor pada Sektor berbasis lahan berdasarkan pendekatan forward looking berkisar antara 682 juta pada periode 2006- 2011, 764 juta pada periode 2011-2016 dan 852 juta ton CO2-e pada periode 2016-2021. Pendekatan forward looking diberlakukan dengan asumsi kenaikan emisi untuk perubahan penggunaan lahan dan lahan gambut adalah sekitar 2,5% per tahun. Perkiraan kenaikan ini mengingat perluasan areal pertanian berbasis sumberdaya hutan dan lahan cenderung meningkat di beberapa provinsi di Papua dan Kalimantan. Di Sumatera emisi dari biomas diperkirakan akan menurun (Gunarso et al. 2013; Agus et al. 2013). Untuk Sub-sektor Pertanian emisi pendekatan forward looking dihitung berdasarkan trend linear dan kuadratik, tergantung kecenderungan perkembangan pada tahun acuan (base year).
Pada pelaksanaanya penyusunan RAN
GRK dengan pendekatan forward looking memerlukan data proyeksi penggunaan lahan
yang disesuaikan dengan rencana tata ruang wilayah provinsi dan kabupaten
(RTRWP/K). Pendekatan bottom-up perlu ditempuh, sehingga rencana forward
looking lebih mencerminkan rencana pembangunan yang sebenarnya.
Dengan skenario penurunan emisi
26% (penurunan emisi unilateral menurut Perpres 61/2011), maka emisi pada
periode 2016-2021 harus turun menjadi 631 juta atau penurunan sebanyak 222 juta
ton CO2-e. Untuk menurunkan emisi 41%, maka emisi pada periode 2016-2021 harus
turun menjadi 503 juta atau penurunan sebanyak 350 juta ton CO2-e.
Berbeda dengan hasil penghitungan pada RAN GRK ini, di dalam Perpres 61/2011,
indikasi penurunan emisi 26% dari Sektor Kehutanan dan lahan gambut adalah sebanyak
672 juta ton CO2 e/tahun.
REKOMENDASI
Perbedaan target penurunan emisi
menurut Perpres 61/2011 dengan hasil penghitungan RAN GRK ini disebabkan oleh 2
faktor:
1. Perpres 61/2011 dan Second
National Communication (MoE, 2010, SNC) memasukkan emisi dari kebakaran gambut
sebagai salah satu sumber emisi. SNC menggunakan angka perkiraan kebakaran
gambut dari van der Werf et al. (2008) yang besarannya cukup tinggi, yaitu 470
juta ton CO2 e/tahun pada tahun 2000-2006. Angka ini setara dengan 69% emisi
2006- 2011 untuk semua sektor berbasis lahan menurut RAN GRK. Panduan Teknis
ini tidak memasukkan kebakaran gambut dalam penghitungannya. Hal ini disebakan
karena sangat tingginya tingkat ketidak-yakinannya (uncertainty) emisi
kebakaran gambut, baik dari aspek data aktivitas, maupun faktor emisi.
2. Di dalam Perpres 61/2011
Sektor Kehutanan (dan lahan gambut) dianggap mampu mengkompensasi penurunan
emisi dari Sektor lain. Di dalam Panduan Teknis ini perkiraan penurunan emisi
dari Sektor Kehutanan dan lahan gambut tidak mengasumsikan pembebanan penurunan
emisi dari sektor lain ke sektor kehutanan dan lahan gambut.
Angka perkiraan penurunan emisi
yang akan diajukan oleh provinsi pada RAD GRK akan menampilkan kemampuan
masing-masing sektor dalam menurunkan emisi. Angka tersebut akan bervariasi
tergantung kemampuan provinsi. Tidak semua provinsi akan mampu menurunkan emisi
sebanyak 26% dari bidang kehutanan dan lahan gambut.
Dari berbagai subsektor terlihat
bahwa penyumbang utama emisi sektor berbasis lahan adalah emisi dari
dekomposisi lahan gambut, diikuti oleh emisi dari biomas tumbuhan lahan
mineral, emisi dari biomas tumbuhan pada lahan gambut dan emisi dari lahan
sawah. Sumbangan emisi dari pemupukan dan peternakan berturut-turut hanya
sekitar 3% dan 4%. Dengan demikian usaha mitigasi perlu diprioritaskan pada
sub-sektor yang menjadi sumber emisi terbesar, dalam hal ini perubahan
penggunaan lahan. Pengurangan penggunaan lahan hutan dan memprioritaskan
penggunaan lahan semak belukar untuk pengembangan perkebunan dan pertanian,
berpotensi menurunkan emisi secara signifikan.
DAFTAR PUSTAKA
1.Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 61
Tahun 2011 Tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca
2.Dirjen Peternakan 2012. Statistik Peternakan dan
Kesehatan Hewan. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementrian
Pertanian.
3.Purnomoadi, A., E. Rianto, K. Higuchi and M.
Kurihara. 2005. Beer cake could reduce methane production from buffalo fed
basal diet containing rice straw and commercial concentrate. Proc The 2nd
Greenhouse Gases and Animal Agriculture. Zurich. Pusdatin (Pusat Data dan
informasi Pertanian). 2013. Informasi Ringkas Komoditas. Perkebunan, No. 01/01/I,
7 Januari 2013. Pusdatin, Jakarta.
4. Thalib, A. dan Y. Widiawati. 2008. Peningkatan
produksi dan kualitas susu dengan emisi gas metan yang rendah melalui pemberian
RMK sebagai imbuhan pada ransum sapi perah. Pros. Prospek Industri Sapi Perah
Menuju Perdagangan Bebas 2020. Puslitbangnak dan STEKPI, pp. 82-87. Jakarta, 21
April 2008.
5.Van der Werf, G.R., J. Dempewolf, S.N. Trigg,
J.T. Randerson, P.S. Kasibhatla, L. Giglio, D. Murdiyarso, W. Peters, D.C.
Morton, G.J. Collatz, A.J. Dolman and R.S. DeFries. 2008. Climate regulation of
fi re emissions and deforestation in equatorial Asia. PNAS 105(51):
20350–20355.
6.Widiawati, Y. 2013. Current and Future
Mitigation Activities on Methane Emission from Ruminant in Indonesia. Paper in
International Workshop on Inventory Data and Mitigation of Carbon and Nitrogen
Cycling From Livestock in Indonesia. Jakarta, 24th April 2013.
7.Wina, E. 2012. Saponins: Effects on Rumen
microbial ecosystem and metabolism in the rumen. In: Dietary phytochemicals and
microbes. Patra, A.K. (ed).Springer. London. Pp. 311-350.
No comments:
Post a Comment