Pakan merupakan salah satu unsur penting karena berperan dalam menjaga kesehatan unggas terutama dalam memenuhi kebutuhan nutrisi seperti karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan sebagainya. Peran tersebut untuk mendukung produksi maupun kesehatan hewan itu sendiri. Hal ini penting bagi para pelaku usaha perunggasan, terutama para peternak untuk mengetahui nutrisi utama yang diperlukan dalam tubuh ternaknya.
Pakan menyumbangkan 70% dari biaya produksi pada
peternakan unggas. Kualitas pakan harus dijaga karena berperan sangat penting
dalam asupan nutrisi yang bermanfaat bagi pertumbuhan, produksi, serta
kesehatan unggas.
Kualitas
pakan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kualitas bahan, cara pengolahan, keseimbangan pakan serta kesesuaian kandungan nutrisi untuk setiap
jenis unggas. Maka dari itu perlu
dilakukan pengawasan terhadap produksi pakan dari pengumpulan bahan baku sampai
dengan pada proses penyimpanan pakan jadi.
Pengawasan
ini harus dilakukan secara ketat dan saksama. Jika pengawasannya lemah, akan
menghasilkan produk pakan yang tidak baik yang akan menimbulkan ayam menjadi
rentan terhadap penyakit. Hal tersebut dapat disebabkan oleh zat beracun yang
dihasilkan oleh jamur yang lazim disebut mikotoksin. Perlu pembahasan pemilihan
dan penyimpanan bahan baku, dan dampak termakannya mikotoksin khususnya
aflatoksin dan okratoksin pada kesehatan unggas.
Bahan pakan
seperti jagung, kedelai, gandum, dan hasil produk olahannya merupakan komoditas
yang juga dibutuhkan untuk bahan pangan manusia, sehingga terjadi persaingan
dari segi pemenuhan kebutuhan maupun harga. Kendala tersebut terkadang
menjadikan bahan pakan dengan kualitas rendah tetap digunakan untuk pakan
unggas, ditambah lagi dengan kondisi Indonesia yang beriklim tropis dengan
kelembapan dan suhu udara yang tinggi, serta pengolahan dan penyimpanan yang
serampangan, sangat mendukung jamur untuk berkembang. Kondisi yang mendukung
perkembangan jamur pada pakan terdapat pada data seperti berikut : (a) Kadar air dalam pakan sebesar 12-14%
atau lebih tinggi; (b) Kelembapan
relatif lebih besar daripada 70-75%; (c) Kondisi fisik pada bijian: Pelindung luar dari biji yang rusak
akibat serangga dan proses pemanenan yang tidak baik; (d) Kondisi suhu : 25-30 0C
untuk Aspergillus dan 15-20 0C untuk Fusari ; (e) Penyimpanan : Kondisi atap yang bocor
dan basah. (Sumber: Hossain et al. , 2011).
Persyaratan
bahan pakan sudah diatur dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) dan dapat
diakses melalui laman Kementerian Pertanian, mulai dari tingkat mutu, jenis
bahan pakan, serta SNI komposisi pakan tiap spesies. Standardisasi ini sudah
memberikan petunjuk yang baik dalam pembuatan pakan agar aman dikonsumsi bagi
unggas.
Sebagai
contoh yang menjadi persyaratan parameter dari mutu I dan II komoditas jagung yang
diatur dalam “SNI 4483:2013 Jagung-Bahan Pakan Ternak” yaitu mengenai minimum protein
kasar; maksimum kadar air, mikotoksin, okratoksin, biji rusak, biji berjamur,
biji pecah, dan benda asing. Parameter
tersebut tidak selalu sama dengan bahan pakan lainnya seperti bungkil kedelai,
dedak padi, dan sebagainya.
Perhatian
khusus terhadap cemaran mikotoksin dalam pakan memerlukan perhatian khusus
karena memiliki pengaruh yang buruk baik pada kesehatan manusia maupun unggas.
Suatu studi menyatakan bahwa residu mikotoksin akan ditemukan pada hasil
produksi hewan, seperti daging maupun telur unggas sehingga berbahaya ketika
dikonsumsi oleh manusia (Chen et al. 1984).
Toksisitas
yang ditimbulkan oleh mikotoksin dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti
absorpsi, banyaknya metabolit yang dihasilkan, periode dari paparan, dan
sensitivitas dari tiap individu. Kerentanan unggas pada mikotoksin menjadi
lebih tinggi jika unggas dipelihara pada lingkungan yang tidak kondusif,
seperti tingginya kepadatan, suhu, dan kelembaban lingkungan.
Menurut
Prof. drh. Charles Rangga Tabbu dalam paparannya saat Seminar Nasional ASOHI
Mei 2019 Silam, pencemaran mikotoksin pada pakan termasuk salah satu faktor
pendukung penurunan produktivitas pada ayam. Efek yang ditimbulkan dari
mikotoksin yaitu menghambat penyerapan nutrisi yang diperlukan oleh tubuh
seperti asam amino, vitamin (A, D, E, dan K), lemak, dan mineral (Ca dan P).
“Akibat dari
cemaran mikotoksin yaitu pakan yang dibuat seimbang dalam segi nutrisi menjadi
tidak seimbang. Sehingga kalau di broiler kualitas daging menjadi tidak bagus
dan kalau di layer atau pullet waktu awal produksi, nutrisinya tidak mencukupi
sehingga akan berpengaruh pada produksi telur,” jelasnya. Terganggunya asupan
nutrisi didukung oleh penurunan palatabilitas serta kualitas dari pakan yang
tercemar oleh mikotoksin. Jamur yang mengontaminasi pakan akan merubah bentuk
pakan, konsistensi, serta aromanya.
Kadar
mikotoksin yang merupakan metabolit sekunder jamur diatur dalam persyaratan ini
yaitu aflatoksin dan okratoksin. Kedua jenis mikotoksin ini dihasilkan dari
genus yang sama yaitu Aspergillus namun dengan spesies yang berbeda flavus
untuk aflatoksin dan okratoksin oleh ochraceus. Okratoksin juga
dapat diproduksi oleh Penicullium verrucosum. Terdapat 200 spesies jamur
yang memproduksi mikotoksin dengan tiga genus utama yang memproduksinya yaitu Aspergillus,
Penicillium, dan Fusarium (Filazi et al. 2017).
Kontaminasi
mikotoksin yang ditemukan dalam pakan maupun bahan pakan biasasnya lebih dari
satu. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Gentles et al. (1999),
kontaminasi ganda yang ditemukan pada pakan unggas yaitu aflatoksin dan
okratoksin, T-2 toksin dan aflatoksin, okratoksin dengan T-2 toksin, citrinin
dan okratoksin, atau vomitoksin dengan asam fumarat. Interaksi antara mikotoksin tersebut dapat
bersifat sinergis, additif, maupun antagonistik. Unggas akan memetabolisme
mikotoksin dalam saluran pencernaan, hati, atau ginjal.
Berbicara
mengenai aflatoksin, terdapat beberapa jenis aflatoksin seperti B1, B2, G1 dan
G2, namun yang paling sering ditemukan dan aktif secara biologus yaitu B1. Efek
yang ditimbulkan aflatoksin pada unggas, seperti penurunan berat badan,
tingginya feed conversion rate, dan penurunan produksi telur. Penampakan
pada telur yang dihasilkan oleh layer yaitu kerabang yang tipis, warna kerabang
maupun kuning telur yang pucat. Pada parent
stock dijumpai penurunan fertilitas maupun angka tetas.
Perubahan
yang didapati pada saat bedah bangkai biasanya karkas terlihat lebam, perubahan
pada berat organ, dan kerusakan pada hati. Aflatoksin yang juga dapat
menginduksi imunosupresi pada unggas yang ditujukan dengan ukuran bursa
fabricius, timus, dan limpa yang lebih kecil dari ukuran normal. Penurunan
dari sistem imun ini akan menimbulkan efek domino terhadap terjadinya outbreak
penyakit, akibat kegagalan vaksinasi dan buruknya titer antibodi.
Okratoksin
memiliki tiga jenis bentuk, yaitu okratoksin A (OTA), okratoksin B (OTB), dan
okratoksin C (OTC). Bentuk OTA merupakan jenis okratoksin yang sering ditemukan
dan diprioritaskan karena memiliki efek karsinogenik pada manusia. Toksisitas
akibat Okratoksin pada unggas yaitu produksi telur menurun, pada kerabang telur
terdapat noda kekuningan, pada putih telur terdapat dark meat spot, nafsu
makan menurun, pertumbuhan terhambat, dan kerusakan ginjal. Perubahan pada
ginjal yaitu terjadinya pembengkakan parah, ginjal berwarna kepucatan, dan
distensi ureter akibat akumulasi urat. Efek lainnya yang ditimbulkan OTA yaitu
kelemahan, anemia, kondisi bulu memburuk, dan jika kandungan OTA terlalu banyak
dalam pakan yang dikonsumsi akan menimbulkan tingkat kematian tinggi.
Perubahan
organ yang terjadi akibat OTA yaitu peningkatan berat organ secara relatif
seperti hati, limpa, pankreas, proventikulus, gizzard, dan testis. Hal
sebaliknya terjadi pada bursa fabrisius, timus, dan limpa yang mengalami
atrofi. Terdeteksinya OTA pada unggas
yang terserang Eimeria tenella berdampak
patologis lebih parah dibandingkan infeksi tunggal akibat koksidiosis saja (Manafi et al. , 2011).
Penanganan kasus
mikotoksin dapat dilakukan dengan cara mengganti pakan yang terdeteksi
mengandung toksin. Mikotoksin bisa menimbulkan gangguan pembentukan antibodi pada tubuh. Maka dari itu unggas yang terserang penyakit memular harus segera diberikan
pengobatan terhadap penyakit tersebut agar perkembangan penyakitnya tidak semakin memburuk. Vitamin, mineral, selenium, protein,
dan lipid dianjurkan diberikan dengan cara dicampur dengan pakan atau air minum.
Sumber: Poultry Indonesia
No comments:
Post a Comment