Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Friday 20 July 2018

ANALISIS KEBIJAKAN PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN RABIES DI BALI


Drh. Pudjiatmoko, Ph.D
Medik Veteriner Madya

Sejak masuknya Rabies ke pulau Bali pada tahun 2008, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan bersama Pemerintah Daerah Provinsi Bali telah melakukan upaya pengendalian dan penanggulan Rabies.  Sejak terjangkitnya sampai dengan 2010, telah dilakukan pengawasan lalu-lintas hewan penular rabies (HPR) secara ketat, Bali menjadi wilayah karantina.  Vaksinasi rabies terhadap HPR telah dilakukan tetapi cakupannya masih sempit sehingga kekebalan kelompok yang diperoleh masih rendah, hal ini ditunjukan kasus rabies selama tiga tahun dari 20108 sampai dengan 2010 tidak mengalami penurunan yang berarti.  Untuk mempercepat penurunan kasus tersebut dilakukan penentuan kebijakan baru yaitu melaksanakan program vaksinasi massal pada HPR secara menyeluruh dan serempak di pulau Bali dimulai akhir tahun 2010, dilanjutkan setiap tahun sekali hingga tahun 2016.  Setelah dilakukan tujuh kali vaksinasi massal ini, disusun analisis kebijakan vaksinasi massal ini.

Garis besar Analisis Kebijakan Pengendalian dan Penanggulangan Rabies di Bali meliputi : (I) Aktor-aktor Kebijakan, (II) Proses Perumusan Masalah, (III) Model Perumusan Kebijakan, (IV) Nilai-nilai dalam Pembuatan Kebijakan, (V) Data dan Informasi terkait Program vaksinasi Massal, (VI) Analis Kebijakan, (VII) Kesimpulan, (VIII) Saran-saran, (IX) Rekomendasi, dan (X) Daftar Pustaka.

I.   AKTOR-AKTOR KEBIJAKAN

1.    Inisiator Kebijakan : Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian dan Gubernur Bali.
2.    Pembuat Kebijakan dan Legislator : Pembuatan Kebijakan yaitu Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian dan Gubernur Bali. Sebagai legislator yaitu DPR sebagai Pembuat UU no. 18 tahun 2009 tentang peternakan dan kesehatan Hewan dan Peraturan Pemerintah no. 47 tahun 2014 tentang Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Hewan.
3.    Pelaksana Kebijakan : Direktur Kesehatan Hewan, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali, Dinas Kapubaten / kota se Propinsi Bali.
4.    Kelompok Sasaran : Masyarakat Pemelihara HPR dan Masyarakat yang bergerak dalam bidang kesehatan hewan.
5.    Kelompok yang diuntungkan : Masyarakat memperoleh manfaat dari kebijakan ini karena memperoleh jaminan ketentraman tidak terserang rabies apabila rabies di Bali bisa dikendalikan dan bisa diberantas
6.    Kelompok Kepentingan : Masyarakat pemelihara HPR berkepentingan menyehatkan hewan kesayangannya dan tidak terserang Rabies apabila rabies di Bali bisa dikendalikan dan bisa diberantas.
7.    Kelompok Penekan : Media massa, karena dengan pemberitaan dari media massa di publik, maka pemerintah akan mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di dalam masyarakat saat ini.

II.         PROSES PERUMUSAN MASALAH

1.    Perumusan masalah
     Pulau Bali tertular Rabies sejak tahun 2008, sejak menjadi provinsi tertular telah menimbulkan banyak korban pada manusia, Rabies sangat menakutkan dan meresahkan masayarakat serta telah menurunkan jumlah wisatawan yang berkunjung ke pulau Bali.
2. Agenda Kebijakan
     Pemegang kebijakan harus menangani masalah keresahan masyarakat terhadap Kejadian Luar Biasa rabies dengan serius.  Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten Kota harus menetapkan kebijakan untuk mengendalikan dan menanggulangi Rabies di Provinsi Bali.
3.    Pemilihan Alternatif Kebijakan untuk memecahkan Masalah
     Alternatif yang muncul pada pemecahan masalah meningkatnya kasus Rabies adalah :
     (a) Melakukan Vaksinasi seperti biasa dilaksanakan selama 3 tahun;
     (b) Melakukan Vaksinasi Massal secara serempak terprogram.

III.  PERUMUSAN KEBIJAKAN

1.  Kasus Rabies pada manusia dan pada HPR merupakan suatu ancaman kesehatan dan kerugian ekonomi
a.    Rabies menimbulkan korban masyarakat akibat tertular Rabies dengan angka penularannya cukup tinggi dan menimbulkan kematian didahului gejala penyakit yang mengerikan;
b.    Rabies di Bali telah menurunkan jumlah wisatawan dari luar Bali sehingga menurunkan pendapatan daerah dalam bidang pariwisata.

2.  Alternatif mengatasi masalah
a.    Regulasi Pengendalian dan Penanggulan Rabies : Pembuatan SOP pengendalian dan pemberantasan
b.    Vaksinasi Massal : vaksinasi terhadap hewan penular rabies yang dilakukan seacara massal dan serempak di seluruh pulau Bali
c.    Eleminasi HPR : ditentang oleh LSM apabila caranya melanggar ketentuan Kesrawan;  sasaran yang akan dicapai rendah karena merusak kekebalan kelompok/ hearth immunity
d.    Kontrol Populasi HPR : perlu kecepatan proses sterilisasi atau kontrasepsi
e.    Kontrol lalulintas HPR : memerlukan pengaktifan / peningkatan cek point diperbatasan antar kabupaten dan tetap diberlakukannya wilayah karantina untuk pulau Bali terhadap HPR
f.     Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) kepada masyarakat pemilik HPR : Diperlukan tenaga penyuluh kesehatan hewan yang bekerja berkelanjutan untuk merubah perilaku masyarakat agar menjadi pemilik anjing yang bertanggungjawab yaitu mau memelihara dengan baik, memebri makan yang cukup, dipelihara dalam rumah, apabila keluar harus diikat dengan tali sepanjang 2 meter, dan mau memvaksinkan HPR.

3.  Penetapan Kebijakan
     Pada akhir tahun 2010 telah disetujui oleh Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan melalui Direktur Kesehatan Hewan Penetapan program vaksinasi Massal HPR secara serempak di pulau Bali.

IV. NILAI-NILAI DALAM PEMBUATAN KEBIJAKAN

1.    Nilai-nilai Politik
     Dalam proses pembuatan kebijakan pengendalian dan penanggulangan rabies di pulau Bali dengan program vaksinasi massal telah meningkatkan kepercayaan masyarakat bagi Kepala Daerah Provinsi Bali dan Kabupaten/kota seBali.
2. Nilai-nilai Organisasi
     Kebijakan pengendalian dan penanggulangan rabies di pulau Bali dengan program vaksinasi massal sebagai pelayanan masyarakat bidang kesehatan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan dan Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam pemberantasan penyakit Zoonosis.
3. Nilai-nilai Sosial
     Kebijakan Pengendalian dan penanggulangan rabies di pulau Bali dengan program vaksinasi massal sebagai perlindungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah terhadap masyarakat di pulau Bali terhadap serangan penyakit Rabies untuk menurunkan keresahan masyarakat dan meningkatkan kesehatan masyarakat di pulau Bali.
4.  Nilai-nilai Kebijakan
     Kebijakan Pengendalian dan penanggulangan rabies di pulau Bali dengan program vaksinasi massal akan menurunkan kasus rabies dan membebaskan rabies di pulau Bali untuk menghindari masyarakat Bali menjadi korban Rabies.
5.  Nilai-nilai Ideologi
     Dalam kebijakan ini muncul nilai ideologi nasionalis untuk menjaga kepentingan keselamatan warga negara Indonesia yang terancam oleh penyakit yang membahayakan.

V.  DATA DAN INFORMASI TERKAIT PROGRAM VAKSINASI MASSAL


  1. Angka reproduksi dasar
  1. Vaksinasi Tahap I – VII
  1. Kasus rabies di Bali 2008 – 2016
  1. Dampak Vaksinasi Massal pada Anjing
  1. Tren Penurunan Kasus Rabies
  1. Hasil / Keluaran dari pada setiap komponen aktivitas Pengendalian dan Penanggulangan Rabies di Bali
No
Komponen / Aktivitas
Hasil / Keluaran
1
Vaksinasi Massal di seluruh Bali
Strategi metoda ini sangat penting untuk meningkatkan kekebalan kelompok dan menangkal serangan infeksi rabies dari anjing-anjing yang sudah tertular.  Hasilnya sangat efektif untuk menurunkan kasus rabies di wilayah yang sudah tertular.
2
Eliminasi anjing
Eleminasi anjing tidak efektif untuk menurunkan kasus rabies di wilayah yang sudah tertular dan sudah divaksin;
Eleminasi anjing secara acak atau tidak tertarget bisa menimbulkan menurunkan jumlah anjing yang sudah divaksin sehingga mengakibatkan bertambahnya persentase hewan rentan.
Brtambahnya perpindahan anjing antar wilayah (?)
3
Vaksinasi tertarget anjing luar rumah
Dampaknya kecil; sumberdaya lebih baik diprioritaskan untuk kegiatan vaksinasi massal untuk mencapai cakupan >70%
4
Vaksinasi tertarget untuk anak anjing
Efektif apabila dilakukan sepanjang tahun dan dikombinasikan dengan vaksinasi massal yg serempak
5
Sweeping di area yang cakupannya rendah
Berpotensi efektif apabila dilakukan segera setelah vaksinasi massal; dan bermanfaat hanya bila kegiatan ini mentarget anjing-anjing yang belum divaksin (perlu penandaan yang baik dan PVS)
6
Vaksinasi darurat
Berpotensi efektif apabila dilaksanakan dengan cepat setelah konfirmasi kasus (< 10 hari), dan dilaksanakan di desat kasus dan desa-desa sekitarnya. Untuk hal ini diperlukan Takgit yang efektif dan mampu mendeteksi kasus dengan baik
7
Keterlambatan logistik tahun 2012
Memberikan dampak namun tidak besar terhadap program pemberantasan, namun memperlambat pencapaian pembebasan sekitar 6 bulan
8
Penggunaan Vaksin tahun 2014
Tidak efektif, meningkatkan kasus rabies pada hewan 10 kali lipat; membuat pencapaian pembebasan mundur, dan meningkatnya kasus pada manusia
  1. Di Bali dan banyak tempat lainnya sudah turun temurun bahwa anjing dipelihara sebagai hewan kesayangan.
  2. Di Flores dan lokasi lain, anjing dapat dijadikan sebagai penjaga kebun, ladang dan kandang ternak ekstensif.
  3. Para nelayan tradisional anjing dibawa dalam pelayaran tradisional dijadikan sebagai penolak bala, bisa mendarat sampai ke pulau lain.  Kebiasaan seperti ini lalu lintas anjing menjadi sangat sulit diawasi.
  4. Daerah pedesaan, sering terjadi barter anjing dengan ganti barang kebutuhan seperti gula, beras dan lain-lain.
  5. Masih banyak pemelihara HPR yang tidak bertanggung jawab yang bisa menimbulkan  over population anjing peliharaan di rumah tangga.  Sebagian dilepaskan keluar rumah sehingga ikut berkontribusi pada peningkatan populasi anjing liar.
  6. Sumatra Barat dan beberapa daerah lainnya anjing biasa digunakan untuk berburu babi secara massal.
  7. Garut, Tasik dan sekitarnya anjing digunakan untuk tradisi adu bagong yaitu adu anjing dan babi.
  8. Masih terdapat pemasukan anjing ke suatu pulau melalui pelabuhan rakyat yang berada di luar entry/exit point resmi sehingga tidak dapat terjangkau oleh pengawasan karantina hewan.
  9. Di Sulawesi Utara dan beberapa daerah lain terdapat konsumsi daging anjing (dog meat consumption) untuk manusia.
  10. Meningkatkan mobilitas Hewan Pembawa Rabies (HPR) ke daerah dengan demand tinggi sebagai hewan pemburu atau untuk konsumsi manusia
  11. Perlu ditingkatkan akuntabilitas program meliputi perencanaan program vaksinasi, monitoring hasil vaksinasi dan evaluasi keberhasilan parogram vaksinasi masal.
  12. Program vaksinasi massal perlu dilanjutkan setelah mengetahui keberhasilan program ini dengan ditunjukan adanya trend penurunan kasus pada dua tahun terakhir.
  13. Keberhasilan program vaksinasi masal di pengaruhi oleh fakstor predisposisi penyakit, status vaksinasi, kontak antar anjing, kondisi fisik anjing, kepemilikan jumlah anjing, ekosistem anjing.
  14. Masih perlu dilakukan eksplorasi data-data bidang sosial seperti adat-istiadat yang terkait pemeliharaan dan pemanfaatan anjing dan HPR lainnya dalam kehidupan masyarakat di berbagai daerah.
  15. Surveilans terhadap penyakit Rabies terus dilaksanakan dengan didukung pengawasan lalu-lintas HPR baik di dalam pulau maupun dari luar pulau.
  16. Telah dapat didokumentasikan telah terjadi penurunan kasus rabies pada dua tahun terakhir untuk menjadi pertimbangan perencanaan pembebasan Rabies pada tahun 2020.
  17. Perlu peningkatan partisipasi lintas kementerian/ lembaga termasuk Kementerian Pertanian, Kementerian Kesehatan, Kementerian dalam negeri, Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kemenristekdikti,  BNPB, TNI-POLRI serta partisipasi organisasi NGO baik nasional maupun internasional.
  18. Program Pengendalian dan Penanggulangan Rabies dengan vaksinasi massal ini perlu memperoleh dukungan politik dari Presiden dan DPR pusat dalam mempersiapkan organisasi pemerintah daerah pendukung yang menangani fungsi Kesehatan Hewan.
  19. Komunikasi, Informasi dan Edukasi terhadap masyarakat terus dilaksanakan secara berkelanjutan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap rencana pembebasan Rabies di pulau Bali.
  20. Hubungan pemerintah dengan masyarakat perlu ditingkatkan melalui forum-forum atau asosiasi pencinta hewan kesayangan termasuk Hewan Penular Rabies seperti anjing, kucing dan kera.

Angka repoduksi dasar penularan rabies pada anjing adalah sekitar 1 - 2.  Seekor anjing yang terinfeksi mempunyai peluang untuk menularkan anjing lain antara 1 sampai dengan dua ekor.  Tetapi apabila anjing dikandangkan di dalam rumah akan dapat mencegah penularan kepada anjing yang lain lewat gigitan.  Pulau Bali dengan angka reproduksi dasar penularan 1,2 maka untuk memperoleh kekebalan kelompok yang cukup baik diperlukan vaksinasi paling tidak sebanyak 70% populasi anjing.
Telah dilakukan program vaksinasi massal pada hewan penular rabies di Provinsi Bali setiap tahun.  Vaksinasi massal dimulai pada akhir tahun 2010 sebagai vaksinasi massal pertama.  Setiap tahun dilakukan program pengulangan vaksinasi massal dan vaksinasi ke tujuh dilakukan pada pertengahan tahun 2016.
Pada akhir 2008 pertama kasus rabies di Bali pada hewan dan manusia.  Pada tahun akhir tahun 2010 dimulai program pengendalian dan penanggulangan rabies dengan vaksinasi massal oleh Direktorat jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provisi Bali dan FAO.  Setelah dilaksanakan vaksinasi rabies secara massal dan serempak, dalam kurun waktu tiga tahun (2010 2013) telah terjadi penurunan kasus pada manusia sebanyak 99% dan pada anjing sebanyak 90%.  Kurun waktu 2014 - 2015 kasus rabies pada manusia dan hewan kembali meningkat, pada tahun 2015 terdapat 15 kasus pada manusia dan 529 kasus pada anjing.  Peningkatan kasus ini diduga karena kekebalan kelompok yang tidak kuat sehingga anjing dengan titer antibodi rendah mudah tertular rabies dari anjing-anjing yang terinfeksi.
Vaksinasi massal yang dilakukan di pulau Bali telah menghasilkan penurunan kasus pada hewan dan manusia secara signifikan dari tahun 2011 – 2014.  Apabila dibandingkan dengan program vaksinasi massal di Mexico, penurunan kasus di Indonesia bisa dicapai dalam waktu 3 tahun sedangkan di Mexico memerlukan waktu lebih lama yaitu selama 30 tahun.  Hal ini menunjukan program vaksinasi massal di Bali berhasil untuk menurunkan secara cepat jumlah kasus pada hewan maupun pada manusia. 

Dari data bulanan, terlihat terdapat trend penurunan kasus Rabies pada hewan HPR telah terjadi dari juli 2015 sampai dengan November 2017.  Pada bulan Juni 2015 terdapat 92 kasus, lalu menurun pada bulan Desember 2015 menjadi 35 kasus. Kemudian pada tahun 2016 terjadi penurunan lagi sehingga bulan Desember 2016 menjadi 9 kasus.  Dan data terakhir pada bulan November 2017 tinggal 5 kasus.

1.      Vaksinasi Massal di seluruh Bali merupakan strategi yang sangat penting dan sangat efektif untuk memperoleh kekebalan kelompok.  Strategi metoda ini dapat meningkatkan kekebalan kelompok sehingga dapat mencegah infeksi rabies baru dari anjing-anjing yang sudah tertular.  Hasilnya sangat efektif untuk menurunkan kasus rabies di wilayah yang sudah tertular.
2.      Eleminasi anjing secara acak atau tidak tertarget akan menimbulkan hewan yang sudah divaksin dan kebal ikut tereleminasi sehingga akan mengakibatkan bertambahnya persentase hewan rentan.  Berkurangnya anjing akibat eleminasi di suatu tempat akan memacu perpindahan anjing yang belum divaksin dari tempat lain ke tempat tersebut.  Hal ini akan menurunkan kekebalan kelompok.
3.      Vaksinasi tertarget anjing luar rumah dampaknya kecil sehingga sumberdaya lebih baik diprioritaskan untuk kegiatan-kegiatan yang mendukung program vaksinasi massal untuk mencapai cakupan >70% populasi yang berhasil divaksin.
4.      Vaksinasi tertarget untuk anak anjing akan efektif apabila dilakukan sepanjang tahun dan dikombinasikan dengan vaksinasi massal yang serempak.
5.      Vaksinasi Sweeping di area yang cakupannya rendah berpotensi efektif apabila dilakukan segera setelah vaksinasi massal; dan bermanfaat hanya bila kegiatan ini mentarget anjing-anjing yang belum divaksin dengan penandaan yang baik.
6.      Vaksinasi darurat berpotensi efektif apabila dilaksanakan dengan cepat setelah konfirmasi kasus (< 10 hari), dan dilaksanakan di desa kasus dan desa-desa sekitarnya. Untuk hal ini diperlukan TAKGIT yang efektif dan mampu mendeteksi kasus dengan baik.
7.      Keterlambatan logistik yang terjadi pada tahun 2012 tidak memberikan dampak yang besar terhadap program pemberantasan, namun telah memperlambat pencapaian pembebasan sekitar 6 bulan.
8.      Penggunaan vaksin baru pada tahun 2014 tidak efektif menimbulkan kekebalan kelompok yang berdampak peningkatan kasus rabies pada hewan 10 kali lipat sehingga pencapaian pembebasan mundur, dan meningkatnya kasus pada manusia.

VI. ANALIS KEBIJAKAN

1.  Hewan Penular Rabies Utama
a.        Dari kenyataan yang ada tampak bahwa anjing merupakan hewan utama tertular rabies (98%) dan seluruh kematian manusia di Bali berkaitan dengan gigitan anjing.  Untuk siklus rabies domestik, anjing telah diketahui secara luas sebagai maintenance host utama dalam siklus penularan rabies.
b.        Sementara untuk rabies sylvatic pelestari siklus penularan rabies kucing sebagai maintenance host mungkin saja terjadi dalam mata rantai yang relatif pendek, karena kucing diketahui sebagai hewan yang bersifat soliter.
c.         Sedangkan sapi, kambing dan babi, termasuk juga manusia tidak dapat bertindak sebagai maintenance host, yang lazim disebut sebagai spill over host.

2. Faktor Predisposiosi
Beberapa fakta di lapangan bahwa hubungan manusia dan anjing menjadi faktor resiko yang ikut berperan dalam penularan rabies, melalui kebiasaan-kebiasan sebagai berikut:

3.  Status Vaksinasi
Vaksinasi massal merupakan metode untuk pengendalian rabies telah dikenal sejak tahun 1920-an (Knobel et al., 2007). Lembo et al. (2010) dan Wunner dan Briggs (2010) menyebutkan vaksinasi rabies menjadi pendekatan yang paling efektif dalam pengendalian rabies baik pada hewan maupun manusia.  Program vaksinasi massal di seluruh Bali merupakan strategi yang sangat penting dalam pengendalian dan penanggulangan rabies di Bali karena program ini sangat efektif dalam memperoleh kekebalan kelompok.
Vaksinasi berkorelasi sangat kuat dengan kejadian rabies pada anjing di Bali, anjing yang tidak divaksin beresiko terinfeksi rabies 19,13 kali lebih besar dibandingkan dengan anjing yang divaksinasi rabies (Dibia et al., 2015).
Data ini sejalan dengan kajian yang dilakukan di Kabupaten Agam, Provinsi Sumbar (Kamil et al. 2004) yang melaporkan bahwa risiko infeksi rabies meningkat 121 kali pada anjing yang tidak divaksinasi.
Antibodi berperan penting dalam pencegahan terhadap infeksi rabies. Menurut Moore dan Hanlon (2010), antibodi yang terbentuk akibat vaksinasi rabies sangat efektif dalam mencegah infeksi karena vaksin rabies mampu menstimulasi antibodi netralisasi pada level yang tinggi. Sementara Brown et al. (2011) melaporkan bahwa titer antibodi tidak secara langsung berkorelasi dengan proteksi karena faktor-faktor immunologik lain juga berperan dalam pencegahan rabies. 
Faizah et al. (2012) membuktikan bahwa vaksin yang digunakan dalam pengendalian rabies di Bali adalah efektif membentuk kekebalan humoral maupun seluler dengan durasi kekebalan protektif (≥ 0,5 IU) sampai 5 bulan pasca vaksinasi. Sementara Dartini et al. (2012) melaporkan hasil kajian vaksinasi dalam kondisi lapangan dengan jenis vaksin yang sama memiliki durasi kekebalan protektif sampai 9 bulan pasca vaksinasi.

4.  Kontak dengan anjing lain
Rabies pada umumnya ditularkan oleh hewan penderita ke hewan lain melalui gigitan atau luka yang terkontaminasi virus (Carroll et al., 2010; Brown et al., 2011; Malerczyk et al., 2011). Muller et al. (2009) dan Yousaf et al. (2012) melaporkan bahwa 99% kematian manusia di dunia akibat rabies juga berkaitan dengan gigitan anjing.  Sementara Susilawathi et al. (2012) melaporkan bahwa 92% korban meninggal dunia akibat rabies di Bali telah dikonfirmasi memiliki riwayat digigit anjing.  Secara teoritis, penularan rabies yang tidak melalui luka gigitan dapat terjadi, namun sangat jarang. Penularan melalui transplantasi organ dari donor terinfeksi virus rabies pernah dilaporkan (Houff et al., 1979; Srinivasan et al., 2005; Bronnert et al., 2007; Vetter et al., 2011; Simani et al., 2012).

Sementara kejadian penularan lewat aerosol mungkin dapat terjadi bila konsentrasi virus di udara sangat tinggi, seperti yang terjadi pada goa kelelawar tertular (Fenner et al., 1993; Gibbons, 2002; Johnson et al., 2006) atau pada pekerja di laboratorium yang menangani virus rabies (Johnson et al., 2006; Consales dan Bolzan, 2007).

5.  Kondisi fisik anjing
Faktor kondisi fisik anjing berasosiasi terhadap kejadian kasus rabies, anjing dengan kondisi yang kurang terawat beresiko terinfeksi rabies 3,02 kali lebih besar dibandingkan anjing yang memiliki kondisi tubuh yang prima (I Nyoman Dibia et al., 2015). Tubuh memiliki sistem imun yang bersifat non spesifik (innate immunity) maupun spesifik (adaptive immunity) untuk mencegah dan menyembuhkan penyakit infeksi (Fenner et al., 1993; Abbas et al., 2007; Lafon, 2007). Mekanisme pertahanan oleh imunitas tubuh merupakan sistem tubuh yang komplek dan saling berhubungan, karena beragamnya komponen yang ikut berinteraksi. Secara umum dapat dikatakan bahwa kondisi anjing dengan gizi yang cukup dan terawat dengan baik akan dapat memacu komponen sistem imun berkembang dengan sempurna sehingga dapat berfungsi secara optimal. Ketika sistem kekebalan tubuh bekerja dengan baik, maka tubuh akan terlindungi dan terhindar dari infeksi.
Kekurangan gizi yang serius akan mengganggu respon imun dan produksi antibodi.  Macpherson et al. (2000) menyebutkan bahwa faktor nutrisi anjing dapat menyebabkan rendahnya respon imun.Hal serupa dinyatakan pula oleh Murphy et al. (2007) bahwa hewan dengan defisiensi protein atau defisiensi asam amino tertentu menyebabkan hewan tersebut peka terhadap infeksi virus.
Anjing yang mengalami defisiensi nutrisi dan tidak terawat dengan baik merupakan kondisi umum pada anjing di Bali yang dipelihara secara dilepas. Anjing-anjing tersebut diberi makan oleh pemilik seadanya, bahkan mencari pakan sendiri pada tempat-tempat umum seperti pasar atau di tempat pengumpulan sampah.

6.  Jumlah Anjing yang Dipelihara
Jumlah kepemilikan anjing mempunyai korelasi yang kuat terhadap kejadian penyakit rabies di Bali, dimana anjing yang dipelihara oleh pemilik yang memelihara anjing lebih dari satu mempunyai risiko 2,96 kali lebih besar terjangkit rabies dari pada anjing yang dipelihara oleh pemilik yang memelihara hanya satu anjing (Dibia et al, 2015).
Keadaan ini mengindikasikan bahwa pemilik yang memelihara hanya satu anjing memiliki kesempatan dan perhatian yang lebih banyak terhadap kesehatan anjing peliharaannya.
Berdasarkan kondisi sosial budaya masyarakat di Bali diyakini bahwa pemilik yang memelihara hanya satu anjing akan berupaya mencegah anjingnya tertular rabies dibandingkan dengan pemilik yang memelihara anjing lebih dari satu.
Data ini senada dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Kamil et al.(2004) yang menyatakan bahwa kejadian rabies di Kabupaten Agam, Sumatera Barat berkorelasi dengan jumlah kepemilikan anjing.  Pemilik yang memelihara anjing 2 ekor atau kurang mempunyai kemungkinan 0,23 kali lebih kecil anjingnya terjangkit rabies dari pada yang memelihara lebih dari 2 ekor.
Tanggung jawab pemilik anjing adalah salah satu komponen penting dalam pencegahan dan pengendalian rabies pada anjing (Brown et al., 2011).
Untuk meningkatkan pengetahuan, dan pemahaman masyarakat tentang bahaya rabies perlu dilaksanakan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) secara intensif (Yousaf et al., 2012).
Kegiatan KIE ini diharapkan dapat merubah perilaku masyarakat supaya bertanggung jawab terhadap anjing pemeliharaannya, sehingga dapat menciptakan dukungan masarakat yang kondusif dalam pelaksanaan program pemberantasan yang dicanangkan pemerintah.

7.  Pemeriksaan kesehatan anjing
Pemeriksaan kesehatan anjing berhubungan erat dengan kejadian rabies di Bali, anjing yang tidak diperiksa kesehatannya berisiko 2,4 kali lebih besar tertular rabies dibandingkan dengan anjing yang diperiksa kesehatannya (Dibia et al., 2015).
Pemilik anjing yang bertanggung jawab menjaga kesehatan anjingnya biasanya memeriksakan anjingnya ke dokter hewan atau petugas kesehatan hewan.  Menurut Brown et al. (2011), salah satu komponen penting dalam pencegahan dan pengendalian rabies adalah melakukan pemeriksaan rutin kesehatan anjing.
Sesuai dengan prinsip pengabdian bahwa dokter hewan Indonesia wajib meningkatkan profesionalisme untuk mensejahterakan umat manusia melalui pengelolaan hewan (Manusya Mriga Satwa Sewaka).
Seorang dokter hewan praktisi dengan pengetahuan, pemahaman dan pengalaman yang dimiliki akan memberikan KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) kepada pemilik anjing tentang pentingnya menjaga kesehatan anjing peliharaannya (Mahmud, 2009; Yousaf et al., 2012) termasuk melakukan vaksinasi untuk mencegah infeksi rabies. Hal ini selaras dengan OIE Guidance (2009), yang menyebutkan bahwa seorang dokter hewan praktisi di daerah tertular memiliki kompetensi dan secara aktif terlibat dalam pengendalian rabies melalui program kesehatan anjing dan pengendalian populasi yaitu vaksinasi rabies dan sterilisasi HPR.

8.  Penularan Rabies dengan Pendekatan Ekosistem
Kelompok anjing rumahan umumnya adalah anjing ras atau hasil persilangannya.  Mayoritas dari anjing dalam kelompok ini telah tervaksinasi rabies sehingga kelompok ini memiliki herd immunity yang diduga melebihi 70%.  Semua anjing yang ditemukan menderita rabies, dalam kelompok ini, tidak memiliki riwayat vaksinasi rabies.
Kelompok anjing lepasan sulit dipegang dan ditangkap untuk divaksinasi lewat suntikan, sehingga herd immunity untuk kelompok ini diperkirakan baru mencapai sekitar 40-55% atau bahkan lebih rendah.  Karena masih banyaknya populasi anjing peka dan tingkat kontak antar anjing sangat intens pada kelompok anjing ini, maka proses penularan rabies masih berlangsung seperti ditunjukkan oleh tingginya kasus rabies yaitu mencapai 81% dari jumlah total kasus rabies pada anjing.
Masyarakat Bali umumnya memelihara anjing secara dilepas, pemilik anjing menyediakan makanan seadanya dan umumnya anjing mencari makan di luar rumah.  Sangat umum diketahui bahwa anjing aktif mencari makan di sekitar pasar, tempat sampah, tempat ibadah Hindu  dan di tempat-tempat umum lainnya yang tersedia makanan. Sisa-sisa upacara keagamaan banyak dijumpai di tempat sampah yang masih dapat dimanfaatkan oleh anjing kampung.

VII. KESIMPULAN

1.      Kasus Rabies sebagian besar terjadi di kabupaten dengan populasi HPR tinggi yaitu Karangasem, Gianyar dan Jembrana.  Hal ini menunjukkan terdapat banyak anjing rentan di tiga kabupaten tersebut.
2.      Cakupan vaksinasi lebih dari 70% dengan menggunakan vaksin berkualitas terbukti bisa menurunkan penularan rabies. Sebaliknya apabila vaksin yang digunakan berpotensi rendah dan cakupan vaksinasi rendah tidak akan menimbulkan penurunan penularan rabies.
3.      Sebagian besar kasus ditemukan pada anak anjing yang belum banyak menjadi target vaksinasi.  Sehingga perlu dilakukan usaha :
a.      Cakupan vaksinasi pada anak anjing harus ditingkatkan.
b.      Sepanjang tahun anak anjing harus divaksinasi untuk mempertahankan kekebalan kelompok dan mengurangi kasus rabies.
4.      Dilaksanakan KIE kepada pemilik anjing yang bertanggungjawab.
5.      Eliminasi anjing-anjing tertarget yang terkait dengan peningkatan kasus rabies.
6.      Analisa kasus rabies menunjukan pentingnya respon darurat berupa vaksinasi di daerah kasus positif secara cepat dan luasannya mencakup desa disekitarnya.
7.      TAKGIT akan meningkatkan deteksi kasus rabies di lapangan. TAKGIT harus ditingkatkan, khususnya pada saat kasus sudah rendah.
Dengan tingginya deteksi kasus menggunakan TAKGIT sangat efektif untuk verifikasi status bebas setelah 2 tahun tanpa kasus.

VIII. SARAN-SARAN
  
1.      Agar dapat memperoleh kekebalan jangka panjang maka harus menggunakan vaksin rabies yang bermutu baik yang sudah teregistrasi dengan dosis tunggal.
2.      Perlu adanya perencanaan untuk memastikan tersedianya vaksin bermutu tinggi selama program. Vaksinasi harus tetap dilakukan selama dua tahun setelah kasus akhir terdeteksi untuk memastikan rabies tidak muncul kembali.
3.      Program vaksinasi massal yang dilakukan setiap tahun di semua desa harus mencapai cakupan > 70%.
a.    Anjing yang divaksinasi harus diberi penandaan (kalung) untuk survei pasca-vaksinasi, sehingga dapat digunakan untuk mengidentifikasi daerah dengan cakupan masih rendah.
b.    Jumlah anjing yang divaksinasi harus dibandingkan dengan vaksinasi massal sebelumnya.
4.      Vaksinasi tambahan harus dilakukan dengan target anjing yang belum divaksinasi (tanpa kalung) pada saat vaksinasi massal dan anak anjing lahir setelah vaksinasi massal.
5.      Manajemen populasi anjing harus diterapkan untuk mendorong kepemilikan anjing yang bertanggung jawab dengan fokus pada vaksinasi anjing, khususnya anak anjing untuk mempertahankan cakupan vaksinasi tetap tinggi.
6.      Sumberdaya harus dialokasikan untuk vaksinasi dan bukan untuk eliminasi.  Anjing yang telah dieliminasi pada awal wabah akan terisi kembali oleh anjing yang lebih rentan.
7.      Pemeriksaan dan validasi data harus dilakukan terhadap laporan, khususnya untuk menilai pelaporan penggunaan vaksin dan pelaporan kegiatan eliminasi (over-reporting vs underreporting).
8.      Surveilans yang ditargetkan melalui TAKGIT merupakan metode yang efektif dan sensitif untuk meningkatkan deteksi kasus. Surveilans rutin di Bali baru mendeteksi sebagian kecil kasus yang ada. Sampling anjing secara random bukan merupakan cara yang efisien untuk mendeteksi rabies.
9.      Mengoptimalkan TAKGIT untuk meningkatkan deteksi kasus. Tindak lanjut dari adanya laporan kasus gigitan berisiko tinggi harus mendeteksi 20-40% anjing suspek rabies dan pengambilan sampel pada saat penyidikan setidaknya harus melipatgandakan jumlah kasus yang dikonfirmasi dibandingkan dengan surveilans rutin.
Vaksinasi darurat harus berdasarkan TAKGIT harus dilaksanakan dengan cepat (< 10 hari sejak deteksi kasus), dan mencakup radius yang lebih besar, misalnya di dalam radius 10 km dari kasus yang terdeteksi.
Kampanye vaksinasi massal di seluruh pulau Bali harus tetap dilakukan setiap tahun setidaknya selama dua tahun setelah deteksi kasus terakhir, dan diperkuat dengan Takgit untuk memverifikasi tidak adanya kasus.

X.  DAFTAR PUSTAKA

1.        Faizah, Astawa, I N.M., Putra, A.A.G., Suwarno.(2012). The humoral immunity response of dog vaccinated with oral SAG2 and parenteral Rabisin and Rabivet Supra 92. Indo J Biomed Sci6(1): 26-29.
2.        I Nyoman Dibia, Bambang Sumiarto, Heru Susetya, Anak Agung Gde Putra, Helen Scott-Orr .  Analisis faktor risiko kasus rabies pada anjing di Bali.  Buletin Veteriner, BBVet Denpasar, Vol. XXVII, No. 86, Juni 2015.
3.        Knobel, D.L., Cleaveland, S., Coleman, P.G., Fevre, E.M., Meltzer, M.I., Miranda, M.E.G., Shaw, A., Zinsstag, J., Meslin, F.(2005).Re-evaluating the burden of rabies in Africa and Asia.Bull WHO 83(5): 360-368.
4.        Kamil, M., Sumiarto, B., Budhiarta, S. (2004).Kajian kasus kontrol rabies pada anjing di Kabupaten Agam, Sumatera Barat.Agrosains 17(3): 313-320.
5.        Knobel, D.L., Kaare, M., Fevre, E., Cleaveland, S. (2007). Dog Rabies and its Control.In Jackson AC, Wunner WH (Ed).Rabies. 2nd ed. USA: Elsevier Inc. Pp 573-594.
6.        Lembo, T., Hampson, K., Kaare, M.T., Ernest, E., Knobel, D., Kazwala, R.R., Haydon, D. T., Cleaveland, S.(2010). The Feasibility of Canine Rabies Elimination in Africa: Dispelling Doubts with Data. PloS Negl Trop Dis4(2): e626. doi:10.1371/journal.pntd.0000626.
7.        Mahmud, A. (2009). Proud to be a vet. Jakarta: Gita Pustaka.
8.        Moore, S.M., Hanlon, C.A.(2010). Rabies-Specific Antibodies: Measuring Surrogates of Protection against a Fatal Disease. PLoS Negl Trop Dis 4(3): e595. doi:10.1371/journal.pntd.0000595.
9.        Wunner, W.H., Briggs, D.J.(2010). Rabies in the 21st century.Plos Negl Trop Dis 4(3): e591. doi 10.1371/journal.pntd.000591.
10.    Yousaf, M.Z., Ashfaq, U.A., Zia, S., Khan, M.R., Khan, S.(2012). Rabies moleculer virology, diagnosis, prevention and treatment.Virol J9(50): doi.10.1186/1743-422X-9-50.

No comments: