Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Thursday, 24 December 2020

Tuberkulosis Sapi



FAKTA-FAKTA KUNCI

 

• Pada tahun 1882, Robert Koch mengumumkan penemuan tubercle bacillus sebagai penyebab human tuberculosis (TB). Theobald Smith kemudian menerbitkan temuannya pada basil tuberkulum manusia dan sapi pada tahun 1898, di mana ia mendemonstrasikan bakteri penyebab menjadi dua organisme berbeda yang sekarang dikenal sebagai Mycobacterium tuberculosis (M. tuberculosis) dan Mycobacterium bovis (M. bovis).

 

• Dari Januari 2017 hingga Juni 2018, dari 188 negara dan wilayah yang melaporkan situasi tuberkulosis sapi mereka ke OIE, 82 negara (44%) melaporkan adanya penyakit tersebut.

 

• Meskipun infeksi pada kawanan sapi telah dikendalikan di sebagian besar negara, eliminasi lengkap penyakit ini dipersulit oleh infeksi hewan liar yang terus-menerus, seperti luak Eropa di Inggris, rusa berekor putih di beberapa bagian Amerika Serikat dan ekor sikat posum di Selandia Baru.

 

• TB sapi tetap menjadi masalah serius bagi kesehatan hewan dan manusia di banyak negara berkembang

 

APA ITU TUBERKULOSIS SAPI?

 

Bovine tuberculosis (bTB) adalah penyakit bakteri kronis pada hewan yang disebabkan oleh anggota kompleks Mycobacterium tuberculosis terutama oleh M. bovis, tetapi juga oleh M. caprae dan pada tingkat yang lebih rendah M. tuberculosis. Ini adalah penyakit menular utama pada sapi, dan juga mempengaruhi hewan peliharaan lainnya dan populasi satwa liar tertentu, menyebabkan keadaan umum penyakit, pneumonia, penurunan berat badan, dan akhirnya kematian.

 

Nama Tuberkulosis berasal dari nodul, yang disebut 'tuberkel', yang terbentuk di kelenjar getah bening dan jaringan lain yang terkena dari hewan yang terkena.

Sapi dianggap sebagai reservoir utama M. bovis, dan merupakan sumber utama penularan bagi manusia. Namun demikian, penyakit ini telah dilaporkan pada banyak hewan peliharaan dan non-peliharaan lainnya.

 

Mycobacterium bovis telah diisolasi dari berbagai spesies satwa liar, termasuk kerbau Afrika, kerbau Asia domestik, bison, domba, kambing, kuda, unta, babi, babi hutan, rusa, antelop, anjing, kucing, rubah, cerpelai, musang, musang, tikus , primata, llama, kudus, elands, tapir, elks, gajah, sitatungas, oryxes, addaxes, badak, posum, tupai tanah, berang-berang, anjing laut, kelinci, tahi lalat, rakun, coyote dan beberapa kucing predator termasuk singa, harimau, macan tutul dan lynx.

 

Tuberkulosis sapi adalah penyakit yang terdaftar di OIE dan harus dilaporkan ke OIE seperti yang ditunjukkan dalam Kode Kesehatan Hewan Terestrial.

 

“Kebanyakan kasus TB pada manusia disebabkan oleh spesies bakteri, Mycobacterium tuberculosis. TB Zoonosis merupakan salah satu bentuk TB pada orang yang sebagian besar disebabkan oleh spesies yang berkerabat dekat yaitu M. bovis yang tergolong dalam M. tuberculosis complex.

 

DISTRIBUSI GEOGRAFIS

 

Tuberkulosis sapi ditemukan di seluruh dunia, tetapi beberapa negara tidak pernah mendeteksi TB, dan banyak negara maju telah mengurangi atau memberantas TB sapi dari populasi ternak mereka dan membatasi penyakit tersebut pada satu atau lebih zona. Namun, kantung infeksi yang signifikan tetap ada di satwa liar. Prevalensi TB sapi tertinggi terdapat di Afrika dan sebagian Asia, tetapi penyakit ini juga ditemukan di negara-negara di Eropa dan Amerika.

 

PENULARAN DAN PENYEBARAN

 

Penyakit ini menular dan dapat ditularkan secara langsung melalui kontak dengan hewan peliharaan dan liar yang terinfeksi atau secara tidak langsung melalui konsumsi bahan yang terkontaminasi.

 

Rute infeksi yang biasa terjadi dalam kawanan sapi adalah dengan menghirup aerosol yang terinfeksi, yang dikeluarkan dari paru-paru (melalui batuk). Anak sapi dapat terinfeksi dengan menelan kolostrum atau susu dari sapi yang terinfeksi.

 

Manusia dapat terinfeksi dengan menelan susu mentah dari sapi yang terinfeksi, atau melalui kontak dengan jaringan yang terinfeksi di rumah potong hewan atau tempat pemotongan daging.

 

Perjalanan penyakitnya lambat dan membutuhkan waktu berbulan-bulan atau bertahun-tahun untuk mencapai tahap yang fatal. Akibatnya, hewan yang terinfeksi dapat melepaskan bakteri di dalam kawanan sebelum munculnya gejala klinis. Oleh karena itu, pergerakan hewan peliharaan yang terinfeksi dan tidak terdeteksi merupakan cara utama penyebaran penyakit.

 

 

TANDA-TANDA KLINIS

 

Tuberkulosis sapi bisa subakut atau kronis, dengan tingkat perkembangan yang bervariasi. Sejumlah kecil hewan dapat menjadi sangat terpengaruh dalam beberapa bulan setelah infeksi, sementara yang lain mungkin memerlukan beberapa tahun untuk mengembangkan tanda klinis. Bakteri juga dapat tertidur di inang tanpa menyebabkan penyakit untuk waktu yang lama.

 

Tanda klinis yang biasa meliputi:

• kelemahan,

• kehilangan nafsu makan dan berat badan,

• demam yang berfluktuasi,

• sesak napas dan batuk pecah-pecah,

• tanda-tanda pneumonia derajat rendah,

• diare,

• kelenjar getah bening yang menonjol dan membesar.

 

DIAGNOSA

Tanda klinis TB sapi tidak secara khusus membedakan dan, oleh karena itu, tidak memungkinkan dokter hewan untuk membuat diagnosis pasti berdasarkan tanda klinis saja.

 

Tes kulit tuberkulin adalah metode standar diagnosis TB pada hewan peliharaan hidup. Ini terdiri dari suntikan tuberkulin sapi (ekstrak protein murni yang berasal dari M. bovis) secara intradermal dan kemudian mengukur ketebalan kulit di tempat suntikan 72 jam kemudian untuk mendeteksi pembengkakan berikutnya di tempat suntikan (tanda hipersensitivitas tertunda terkait dengan infeksi).

 

Tes in vitro berbasis darah yang mendeteksi bakteri, antibodi, atau imunitas yang dimediasi sel juga saat ini tersedia, atau sedang dikembangkan. Tes berbasis darah yang paling banyak digunakan adalah tes pelepasan interferon gamma yang mendeteksi respon imun yang dimediasi sel terhadap infeksi M. bovis. Tes ini didasarkan pada prinsip bahwa sel darah sapi yang sebelumnya telah terpapar M. bovis melalui infeksi diketahui menghasilkan peningkatan kadar interferon gamma setelah inkubasi in vitro dengan antigen M. bovis.

 

Sementara itu, diagnosis definitif dipastikan dengan kultur dan identifikasi bakteri di laboratorium, proses yang bisa memakan waktu delapan minggu atau lebih.

 

Metode diagnostik yang direkomendasikan, termasuk prosedur untuk pembuatan dan pemberian tuberkulin sapi, dijelaskan dalam Manual OIE tentang Tes Diagnostik dan Vaksin untuk Hewan Terestrial.

 

RISIKO KESEHATAN MASYARAKAT

 

Bentuk TB yang paling umum pada orang disebabkan oleh M. tuberculosis. Namun, tidak mungkin secara klinis membedakan infeksi yang disebabkan oleh M. tuberculosis dari yang disebabkan oleh M. bovis, yang diperkirakan mencapai 10% dari kasus tuberkulosis manusia di beberapa negara. Diagnosis dapat menjadi lebih rumit dengan kecenderungan infeksi M. bovis berada di jaringan selain paru-paru (yaitu infeksi ekstrapulmonal) dan fakta bahwa M. bovis secara alami resisten terhadap salah satu antimikroba yang umum digunakan untuk mengobati tuberkulosis manusia, pirazinamida.

Kode Kesehatan Hewan Terestrial OIE dan Manual OIE Tes Diagnostik dan Vaksin untuk Hewan Terestrial memberikan standar teknis dan rekomendasi yang dimaksudkan untuk mengelola risiko kesehatan manusia dan hewan yang terkait dengan infeksi hewan dengan anggota kompleks Mycobacterium tuberculosis, termasuk M. bovis.

 

PETA JALAN UNTUK TUBERKULOSIS ZOONOSIS

 

Tuberkulosis manusia adalah penyebab utama penyakit dan kematian di seluruh dunia. Penyakit ini terutama disebabkan oleh M. tuberculosis dan biasanya ditularkan melalui saluran pernapasan melalui kontak dekat dan menghirup aerosol yang terinfeksi. Tuberkulosis zoonosis adalah bentuk tuberkulosis manusia yang kurang umum yang disebabkan oleh anggota terkait dari kompleks Mycobacterium tuberculosis (M. bovis). Bentuk zoonosis terutama ditularkan secara tidak langsung, melalui konsumsi susu yang terkontaminasi, produk susu, atau daging yang mengandung bahan yang terinfeksi. Di daerah di mana kebersihan makanan diterapkan secara konsisten, risiko terhadap masyarakat umum telah berkurang, namun infeksi tuberkulosis zoonosis tetap menjadi bahaya pekerjaan bagi petani, pekerja rumah potong hewan, dan tukang daging.

 

OIE, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), dan Persatuan Internasional Melawan Tuberkulosis dan Penyakit Paru-Paru (The Union) bersama-sama meluncurkan peta jalan pertama untuk mengatasi TB zoonosis pada Oktober 2017. Ini didasarkan pada pendekatan One Health yang mengakui saling ketergantungan antara sektor kesehatan manusia dan hewan untuk menangani dampak utama kesehatan dan ekonomi dari penyakit ini.

 

Peta jalan ini menyerukan tindakan bersama dari lembaga pemerintah, donor, akademisi, organisasi non-pemerintah dan pemangku kepentingan swasta di seluruh tingkat politik, keuangan dan teknis. Ini mendefinisikan sepuluh prioritas untuk mengatasi TB zoonosis pada manusia dan TB sapi pada hewan. Ini termasuk dalam tiga tema inti:

 

• Meningkatkan basis bukti ilmiah

• Kurangi penularan pada antarmuka hewan-manusia

• Memperkuat pendekatan antarsektor dan kolaboratif

 

PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN

 

Program pengendalian dan pemberantasan nasional berdasarkan tes dan penyembelihan hewan yang tertular telah berhasil dilaksanakan di banyak negara, sebagai pendekatan yang disukai untuk menangani tuberkulosis sapi. Akan tetapi, pendekatan ini tetap tidak praktis di beberapa negara yang tertular parah karena mungkin diperlukan pemotongan sapi dalam jumlah besar, dan ini mungkin tidak dapat dilakukan, karena keterbatasan sumber daya manusia atau keuangan dalam program kesehatan hewan, atau karena alasan budaya. Oleh karena itu, negara-negara menggunakan berbagai bentuk pengujian dan pemisahan pada tahap awal, dan kemudian beralih ke metode uji-dan-pemotongan pada tahap akhir.

Beberapa program pemberantasan penyakit telah sangat berhasil mengurangi atau memberantas penyakit pada sapi, dengan menggunakan pendekatan multi-segi yang meliputi:

 

• pemeriksaan daging post mortem (mencari tuberkel di paru-paru, kelenjar getah bening, usus, hati, limpa, pleura, dan peritoneum), untuk mendeteksi hewan dan kawanan yang terinfeksi,

• pengawasan intensif termasuk kunjungan ke kebun,

• pengujian individu yang sistematis terhadap sapi,

• pemusnahan hewan yang terinfeksi dan kontak,

• peraturan daerah yang memadai,

• kontrol gerakan yang efektif,

• identifikasi hewan individu,

• ketertelusuran yang efektif.

 

Mendeteksi hewan yang terinfeksi mencegah daging yang tidak aman memasuki rantai makanan dan memungkinkan Layanan Veteriner melacak kembali kawanan asal hewan yang terinfeksi yang kemudian dapat diuji dan dihilangkan jika diperlukan.

 

Pasteurisasi atau perlakuan panas susu dari hewan yang berpotensi tertular ke suhu yang cukup untuk membunuh bakteri terbukti efektif untuk mencegah penyebaran penyakit ke manusia.

 

Pengobatan antimikroba pada hewan yang terinfeksi jarang dicoba karena dosis dan durasi pengobatan yang diperlukan, biaya pengobatan yang tinggi, dan gangguan pada tujuan utama menghilangkan penyakit, dan potensi risiko pengembangan resistensi.

 

Vaksinasi dipraktikkan dalam pengobatan manusia, tetapi sejauh ini tidak digunakan sebagai tindakan pencegahan pada hewan, karena kurangnya ketersediaan vaksin yang aman dan efektif, dan potensi gangguan pada surveilans tuberkulosis sapi dan uji diagnostik, karena positif palsu. reaksi pada hewan yang divaksinasi. Para peneliti secara aktif menyelidiki potensi vaksin tuberkulosis sapi baru atau yang lebih baik dan rute alternatif pengiriman vaksin untuk digunakan pada hewan domestik dan reservoir satwa liar, serta tes diagnostik baru untuk membedakan hewan yang divaksinasi dari hewan yang terinfeksi.

 

Sumber:

OIE

https://www.oie.int/en/animal-health-in-the-world/animal-diseases/bovine-tuberculosis/

Tuberkulosis Manifestasi Intrakranial


Tuberkulosis sistem saraf pusat dapat terjadi akibat penyebaran hematogen dari infeksi sistemik jauh (misalnya tuberkulosis paru) atau ekstensi langsung dari infeksi lokal (misalnya otomastoiditis tuberkulosis).

Manifestasi tuberkulosis intrakranial bersifat protean dan dapat mempengaruhi semua kompartemen dan dibahas secara individual dalam artikel terpisah.

Manifestasinya meliputi:

Ekstra-aksial

o meningitis tuberkulosis (leptomeningitis): paling umum

o pachymeningitis tuberkulosis: jarang

 

• Intra-aksial

o granuloma tuberkulosis intrakranial (tuberkuloma)

o serebritis tuberkulosis fokal

o abses tuberkulosis intrakranial

o rombensefalitis tuberkulosis

o ensefalopati tuberkulosis

 

Sisa artikel ini adalah pembahasan umum tentang TB SSP. Untuk pembahasan umum tentang tuberkulosis sistemik, silakan merujuk ke artikel tentang tuberkulosis.

 

EPIDEMIOLOGI

 

Tuberkulosis tetap menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas di negara berkembang. Ini mungkin menyumbang ≈1 / 6 dari 3 juta kematian global karena infeksi Mycobacterium tuberculosis. Keterlibatan SSP diperkirakan terjadi pada 2-5% pasien tuberkulosis dan hingga 15% pasien tuberkulosis terkait AIDS 6,7.

Meskipun keterlibatan SSP oleh tuberkulosis terlihat pada semua kelompok umur, terdapat kecenderungan pada pasien yang lebih muda, dengan 60-70% kasus terjadi pada pasien yang berusia kurang dari 20 tahun.

Di daerah endemik, tuberkuloma mencapai sebanyak 50% dari semua massa intracranial 8.

 

PRESENTASI KLINIS

 

Presentasi klinis tergantung pada manifestasi tertentu, meskipun dalam semua kasus gejala dan tanda tidak spesifik dan termasuk demam, kejang, meningisme, dan defisit neurologis fokal (misalnya sensorium yang berubah, hemiparesis).

 

PATOLOGI

 

Penyebaran hematogen dari paru-paru atau saluran gastrointestinal adalah yang paling umum, menyebabkan fokus infektif subpial atau subependim kecil. Ini disebut fokus kaya dan membentuk reservoir dari mana manifestasi intrakranial dapat muncul 5,7,8. Hal ini dapat terjadi selama infeksi primer (tidak umum, dan lebih sering terlihat pada anak-anak) atau diaktifkan kembali nanti dan menyebabkan infeksi pasca-primer.

 

FITUR RADIOGRAFI

 

Ada spektrum radiologis dan patologis yang luas dari penyakit SSP. Meningitis tuberkulosis dan granuloma tuberkulosis intrakranial (tuberkuloma) adalah manifestasi yang paling umum dan ini dibahas secara rinci dalam artikel terpisah.

 

MENINGITIS TUBERKULOSIS

 

Meningitis tuberkulosis dapat bermanifestasi dalam dua bentuk:

1. Leptomeningitis: sering terjadi

2. Pachymeningitis: jarang

 

Leptomeningitis

Leptomeningitis TB sering terjadi dan muncul dengan eksudat tuberkulosis yang kental dalam ruang subarachnoid, terutama terlihat di dasar otak (terutama di fosa interpeduncular, anterior pons dan sekitar serebelum) dan juga dapat meluas ke fisura Sylvian. Berbeda dengan meningitis bakterial, ekstensi di atas permukaan hemisfer serebral relatif jarang terjadi 8. Akhirnya, daerah seperti massa nekrosis kaseosa dapat terbentuk dalam eksudat ini, yang merupakan tuberkuloma ekstra-aksial.

Tidak mengherankan aliran CSF terganggu, dan hidrosefalus obstruktif sering terjadi.

Komplikasi tambahan adalah arteritis yang dapat menyebabkan infark iskemik, yang terlihat pada sekitar sepertiga kasus, terutama pada anak-anak 7.

 

Pachymeningitis

Sebaliknya, pachymeningitis TB jarang terjadi dan ditandai dengan daerah pachymeningeal yang tebal seperti plak. Istilah ini harus disediakan untuk kasus-kasus di mana ini merupakan kelainan yang terisolasi, dan tidak bingung dengan penebalan dura yang terkadang dramatis yang berdekatan dengan tuberkuloma 8.

 

Tuberkuloma

Tuberkuloma intrakranial dapat terjadi secara terpisah atau dikombinasikan dengan infeksi TB ekstra-aksial. Mereka biasanya muncul sebagai lesi peningkat cincin dengan edema vasogenik di sekitarnya. Secara sentral mereka cenderung hanya memiliki sinyal menengah atau bahkan rendah (membantu dalam membedakan mereka dari abses tuberkulosis yang kurang umum) 9. Mereka mungkin terkait dengan peningkatan leptomeningeal dan / atau pachymeningeal yang berdekatan.

 

PENGOBATAN DAN PROGNOSIS

 

Pengobatan tuberkulosis SSP didasarkan pada rejimen pengobatan anti tuberkuler. Namun, tuberkulosis yang resistan terhadap beberapa obat tetap menjadi rintangan utama dalam pengobatan.

 

REFERENSI

1. Leonard JM, Des prez RM. Tuberculous meningitis. Infect. Dis. Clin. North Am. 1990;4 (4): 769-87.

 

2. Gupta RK, Gupta S, Singh D et-al. MR imaging and angiography in tuberculous meningitis. Neuroradiology. 1994;36 (2): 87-92.

 

3. Salgado P, Del brutto OH, Talamás O et-al. Intracranial tuberculoma: MR imaging. Neuroradiology. 1989;31 (4): 299-302.

 

4. Brismar J, Hugosson C, Larsson SG et-al. Imaging of tuberculosis. III. Tuberculosis as a mimicker of brain tumour. Acta Radiol. 1996;37 (4): 496-505.

 

5. Engin G, Acunaş B, Acunaş G et-al. Imaging of extrapulmonary tuberculosis. Radiographics. 20 (2): 471-88.

 

6. Burrill J, Williams CJ, Bain G et-al. Tuberculosis: a radiologic review. Radiographics. 27 (5): 1255-73.

 

7. Kornienko VN, Pronin IN. Diagnostic Neuroradiology. Springer Verlag. (2009) ISBN:3540756523.

 

8. Gupta RK, Lufkin RB. MR imaging and spectroscopy of central nervous system infection. Springer Us. (2001) ISBN:0306465515.

 

9. Kim TK, Chang KH, Kim CJ et-al. Intracranial tuberculoma: comparison of MR with pathologic findings. AJNR Am J Neuroradiol. 1995;16 (9): 1903-8.

 

10. Khanna PC, Godinho S, Patkar DP et-al. MR spectroscopy-aided differentiation: "giant" extra-axial tuberculoma masquerading as meningioma. AJNR Am J Neuroradiol. 2006;27 (7): 1438-40.

 

11. Garg RK. Tuberculosis of the central nervous system. Postgrad Med J. 1999;75 (881): 133-40.


Sumber :

Dr Mostafa El-Feky and Dr Praveen Jha et al. Tuberculosis (intracranial manifestations)

https://radiopaedia.org/articles/tuberculosis-intracranial-manifestations diakses 24 Desember 2020.

Thursday, 17 December 2020

Pengendalian AMR dengan One Health


Peran Dokter Hewan dalam Pengendalian Resistensi Antimikroba dengan Pendekatan One Health


Resistensi antimikroba (antimicrobial resistance/AMR) merupakan salah satu tantangan global terbesar pada akhir-akhir ini.  Kedokteran hewan modern dibangun di atas kemampuan dokter hewan untuk mengendalikan infeksi bakteri, dan sangat tidak terbayangkan apabila kita tidak memiliki kemampuan itu lagi. Tanpa kemampuan ini, berbagai prosedur medis terutama dalam pengobatan hewan sakit dan prosedur tindakan bedah yang saat ini dianggap sebagai pekerjaan rutin akan menjadi tidak mungkin; bahkan infeksi setelah bedah kecil mungkin saja bisa mengancam jiwa hewan yang menjadi pasien.

 

Meskipun ada konsekuensi potensial yang signifikan tentang resistensi antimikroba, belum ada pengukuran kuantitatif mengenai konsumsi antimikroba secara global oleh ternak.  Konsumsi antibiotik pada sektor peternakan diperkirakan lebih dari 63.000 (±1500) ton pada 2010 dan diestimasi akan meningkat menjadi 67% pada 2030 (Van Boeckel TP et al., 2015).  Konsumsi antibiotik di sektor peternakan, rata-rata konsumsi antimikroba sapi secara umum lebih rendah (45 mg/PCU) daripada ayam (148 mg/PCU) dan babi (172 mg/PCU) (Van Boeckel TP. et al., 2015).

 

Peran antimikroba pada hewan

 

Dalam kedokteran hewan, penggunaan antimikroba adalah kompleks, dan metoda pemberiannya berbeda, bergantung kepada konteks dan pertimbangan spesies hewan.   Sementara untuk hewan peliharaan mengikuti proses yang sama seperti resep untuk manusia, sedangkan hewan penghasil pangan pengendalian infeksi bakteri dapat dicapai dengan cara terapeutik, metafilaktik, dan profilaktik setelah pemberian resep dokter hewan. Dokter hewan adalah profesional medis, dan mempunyai tanggung jawab kesehatan masyarakat untuk memastikan antibiotik digunakan dengan tepat dan bijak untuk melestarikan efikasi antibiotik untuk hewan dan manusia.

 

Masalah AMR dalam kedokteran hewan

Resistensi antimikroba (AMR) adalah ketika mikroba berevolusi menjadi lebih resisten atau sepenuhnya resisten terhadap antimikroba yang sebelumnya dapat mengeliminasinya.  Kedokteran hewan memiliki masalah resistensi antimikroba yang semakin meningkat di semua bidang kegiatan, dengan dampak pada kesehatan masyarakat. Munculnya methicilin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) yang dikaitkan dengan ternak dan methicillin-resistan. Staphylococcus pseudintermedius (MRSP) pada hewan peliharaan hanyalah satu contoh dari kemunculan dan menyebarnya resistensi antimikroba, dengan dampak pada kesehatan manusia.

 

Resistensi antimikroba dapat menyebar antara hewan, manusia dan lingkungan

 

Akibat penyalahgunaan dan penggunaan antimikroba yang berlebihan, bakteri dan gen resisten dapat disebarluaskan antara hewan dan manusia melalui berbagai jalur, seperti kontak hewan/manusia, lewat rantai pangan, dan lingkungan sekitar (Harrison, E.M. et al., 2013; Economou, V. et al., 2015).   MRSA pada manusia pertama kali muncul di rumah sakit pada 1970- an, dan pada 1990-an meningkat secara dramatis di seluruh dunia, menjadi suatu masalah klinis yang serius di lingkungan rumah sakit.   MRSA pada hewan juga diidentifikasi akhir-akhir ini; penting untuk membedakan antara MRSA yang diisolasi pada hewan peliharaan, dan MRSA dari hewan produksi pangan.  Evolusi MRSA pada spesies hewan berbeda menjadi suatu kajian kritis terhadap faktor-faktor yang berhubungan dengan kemunculannya dari sudut pandang kesehatan hewan dan kesehatan manusia.

 

Contoh AMR pada hewan ke manusia

Pengenalan enrofloxacin dalam kedokteran hewan dengan cepat diikuti oleh munculnya resistensi fluoroquinolone di antara isolat Campylobacter dari ayam pedaging, dan tak lama kemudian pada manusia.

 

Seperti halnya dengan avoparcin, resistensi terhadap fluoroquinolone pada populasi manusia dan hewan tetap langka di negara-negara yang belum menggunakan fluoroquinolone pada hewan penghasil pangan.

 

Peningkatan resistensi cephalosporin generasi ke-3 pada Salmonella dan E. coli juga diamati menyusul peningkatan penggunaan antibiotik ini pada hewan. Selanjutnya, penarikan dan introduksi kembali antibiotik ini kemudian diikuti dengan penurunan dan munculnya lagi masalah resistensi di antara isolat Salmonella dari hewan dan manusia.

 

Antimikroba untuk penggunaan medis veteriner: pemberian suatu antimikroba kepada individu atau sekelompok hewan untuk pengobatan, pengendalian atau pencegahan penyakit infeksius.

 

Antimikroba untuk penggunaan non medis veteriner (non veterinary medical use of antimicrobial agents): pemberian antimikroba kepada hewan untuk tujuan selain pengobatan, pengendalian atau pencegahan penyakit infeksius; termasuk pemacu pertumbuhan.

 

Pengobatan: pemberian antimikroba kepada individu atau sekelompok hewan yang menunjukkan gejala klinis dari suatu penyakit infeksius.

 

Pengendalian: pemberian antimikroba kepada sekelompok hewan yang berisikan hewan sakit dan hewan sehat (diduga terinfeksi), untuk meminimalkan atau menghentikan gejala klinis dan mencegah penyebaran penyakit lebih lanjut.

 

Pencegahan: pemberian antimkiroba kepada individu atau sekelompok hewan yang berisiko yang memperoleh infeksi spesifik atau dalam situasi spesifik dimana penyakit infeksius cenderung akan terjadi jika obat tidak diberikan.

 

Pemacu pertumbuhan (growth promotor): pemberian antimikroba kepada hewan hanya untuk meningkatkan tingkat pertumbuhan berat badan atau efisiensi pemanfaatan pakan. Growth Promoter merupakan zat yang dapat memacu dan mempercepat pertumbuhan hewan ternak, dengan cara pemberian dicampur dalam pakan (feed additive).

 

Upaya yang harus dilakukan dalam dunia kedokteran hewan:

· mempromosikan penggunaan antimikroba yang bijak dan bertanggung jawab pada hewan;

·    mengumpulkan data penggunaan antimikroba veteriner di seluruh Indonesia; dan

· menyediakan rekomendasi saintifik tentang penggunaan antimikroba tertentu pada hewan.

 

 

Tiga faktor penentu perilaku profesional dalam penelitian alternatif teurapetik dan manajemen untuk mengurangi penggunaan antimikroba:

·   Etika aturan sains

· Menentukan norma bagi dokter hewan yang memungkinkan regulasi penggunaan antimikroba yang benar dan rasional.

·   Komunikasi dan edukasi kepada dokter hewan di sektor produksi dan veteriner.

 

Mudah sekali mengakses antibiotik cecara online menghambat kebijakan “penggunaan antibiotik yang bijak dan bertanggung jawab” sehingga bisa meningkatkan risiko munculnya resistensi bakteri.

· Di Indonesia, antibiotik untuk hewan dijual melalui “tokopedia”, “bukalapak”, “shopee”, “blibli”, “Lazada”, dan lainnya.

· Jenis antibiotik yang dijual, misalnya: Limoxin, Oxylin Oksitetrasiklin, Penstrep, Medoxy-LA, Animalcylin, Roxine, dan lainnya.

·  Search Google dengan kata kunci “buy veterinary antibiotics”, ternyata 57% website beroperasi di Amerika Serikat, dan 55% di antaranya tidak perlu resep. Fluoroquinolone ditawarkan oleh 79% website (49% tanpa resep), macrolide ditawarkan 72% website (45% tanpa resep), dan generasi ke-3 dan 4 cephalosporin ditawarkan oleh 49% website (27% tanpa resep).

 

Maka penjualan antibiotik via online untuk hewan perlu diatur (Garcia JF et al., 2020).

 

Prinsip penggunaan antimikroba

 

Pembuatan resep dan dispensasi antimikroba harus dijustifikasi oleh diagnosis dokter hewan sesuai status pengetahuan ilmiah saat ini.

· Apabila perlu untuk meresepkan antimikroba, pembuatan resep harus didasarkan pada diagnosis yang dibuat setelah pemeriksaan klinis hewan oleh dokter hewan yang meresepkan. Jika memungkinkan, pengujian kepekaan antimikroba harus dilakukan untuk menentukan pilihan antimikroba.

· Antimikroba metafilaksis harus diresepkan hanya ketika ada kebutuhan nyata untuk pengobatan. Dalam kasus seperti ini, dokter hewan harus menjustifikasi dan mendokumentasikan pengobatan berdasarkan temuan klinis tentang perkembangan penyakit dalam kelompok atau flok.

 

Antimikroba metafilaksis tidak boleh digunakan untuk menggantikan praktik manajemen yang baik.

· Profilaksis rutin harus dihindari. Profilaksis harus dicadangkan hanya untuk indikasi khusus kasus yang luar biasa.

·Pemberian pengobatan kepada seluruh kelompok atau flok harus dihindari bila memungkinkan. Hewan yang sakit harus diisolasi dan dirawat secara individual (misalnya dengan memberikan suntikan).

·  Semua informasi yang berkaitan dengan hewan, penyebab dan sifat alami infeksi dan berbagai produk antimikroba yang tersedia harus diperhitungkan ketika membuat keputusan pengobatan antimikroba.

 

Antimikroba spektrum sempit harus selalu menjadi pilihan pertama kecuali kalau uji kepekaan dilakukan sebelumnya - jika tepat didukung data epidemiologis yang relevan yang menunjukkan bahwa antimikroba ini tidak akan efektif.

· Penggunaan antimikroba spektrum luas dan kombinasi antimikroba harus dihindari (dengan pengecualian kombinasi tetap yang sudah terkandung dalam produk obat hewan yang diotorisasi).

· Jika hewan atau kelompok hewan menderita infeksi berulang yang membutuhkan pengobatan antimikroba, upaya harus dilakukan untuk membasmi strain mikroorganisme dengan menentukan mengapa penyakit ini berulang, dan mengubah kondisi produksi, budidaya peternakan dan/atau manajemen.

 

Penggunaan antimikroba yang rentan menyebarkan resistensi yang dapat ditularkan harus diminimalkan.

·   Antimikroba yang tidak mendapatkan otorisasi pemasaran sebagai produk obat hewan untuk digunakan pada hewan penghasil pangan hanya bisa digunakan ‘off-label’ jika mengandung senyawa yang diperbolehkan.

· Penggunaan ‘off-label’ antimikroba yang dimaksud di atas untuk hewan bukan penghasil pangan (misalnya hewan peliharaan dan hewan untuk olahraga) harus dihindari dan sangat terbatas pada kasus yang luar biasa, misal ada alasan etik untuk melakukan itu, dan hanya jika uji kepekaan laboratorium telah mengonfirmasi bahwa tidak ada antimikroba lain yang akan efektif.

 

Pengobatan antimikroba harus diberikan kepada hewan mengikuti instruksi yang diberikan dalam resep dokter hewan.

· Kebutuhan untuk terapi antimikroba harus dinilai kembali secara reguler untuk menghindari pengobatan yang tidak perlu.

· Jika memungkinkan, strategi alternatif untuk mengendalikan penyakit yang telah terbukti sama efisien dan aman (misal vaksin) harus lebih disukai daripada pengobatan antimikroba.

· Sistim farmakovigilans harus digunakan untuk mendapatkan informasi dan umpan balik kegagalan terapeutik, sehingga dapat mengidentifikasi potensi masalah resistensi dalam kasus penggunaan opsi pengobatan yang ada, yang baru atau yang alternatif.

 

Antimikroba menurut WHO dan OIE

 

Kelas antimikroba yang digunakan hewan dan manusia βlactams Penicillin, amoxicillin; ceftiofur Macrolides dan lincosamides Tylosin; tilmicosin; tulathromycin, lincomycin Aminoglycosides Gentamicin; neomycin Fluroquinolones Enrofloxacin, danofloxacin Tetracyclines Tetracycline; oxytetracycline, chlortetracycline Sulfonamides Various Streptogramins Virginiamycin Polypeptides Bacitracin Phenicols Florfenicol Pleuromultilin Tiamulin

 

WHO menentukan 5 (lima) kelompok antimikroba sebagai “highest priority critically important antimicrobials” (HP-CIA) (cephalosporin generasi ke-3, 4, dan 5, fluoroquinolone, glycopeptide, macrolide, begitu juga polymyxin). Antimikroba ini dipertimbangkan esensial untuk pengobatan infeksi spesifik pada manusia, dan penggunaannya pada ternak harus dibatasi.

 

OIE mempertimbangkan 3 (tiga) dari kelompok antimikroba di atas (cephalosporin generasi ke-3 dan 4, fluoroquinolone, dan macrolide) sebagai “Veterinary Critically Important Antimicrobial Agents” (VCIA) harus tidak digunakan sebagai pengobatan preventif yang diberikan melalui pakan dan air minum pada keadaan tidak ada gejala klinis pada hewan.

 

Peresepan oleh dokter hewan

Dokter hewan perlu mempertimbangkan secara hati-hati ketika meresepkan antibiotik, terutama antibiotik yang penting untuk kedokteran manusia, untuk membantu melestarikan obat penyelamat jiwa ini ke masa depan.

· Dalam membuat keputusan terapeutik, dokter hewan juga perlu mempertimbangkan masalah lain, misalnya masa henti obat (withdrawal time) dan interval pemotongan pada kasus hewan penghasil pangan.

· Jika memungkinkan, pilihan harus didasarkan pada kultur dan uji kepekaan (susceptibility testing) dan spektrum antibiotik tersempit yang efektif melawan infeksi.

 

Pedoman peresepan antibiotik

Australian Veterinary Association (AVA) pada 2017 memulai proyek bersama dengan Animal Medicines Australia, untuk mengembangkan pedoman praktik peresepan yang baik untuk berbagai spesies ternak.

▪ Pedoman yang sudah diterbitkan adalah untuk babi dan unggas.

▪ Pedoman yang akan dibuat menyusul untuk domba, sapi perah, sapi potong dan feedlot, dan kuda.

 

Penggunaan antibiotik yang sangat penting untuk kesehatan manusia.  Antibiotik pilihan pertama (first line antibiotics): digunakan setelah diagnosa bersamaan dengan pendekatan pengobatan alternatif lainnya.

· Antibiotik pilihan kedua (second line antibiotics) digunakan secara terbatas ketika uji kepekaan atau hasil klinis sudah membuktikan bahwa antibiotik pilihan pertama tidak efektif.

· Antibiotik pilihan ketiga (third line antibiotics) digunakan sebagai upaya terakhir. Antibiotik harus digunakan hanya apabila opsi lain tidak tersedia dan sedapat mungkin diberikan hanya setelah uji kepekaan selesai.

 

Faktor lain yang harus diperhatikan

·     Pengobatan lokal individu (mis. injeksi ambing, tetes mata atau telinga).

·     Pengobatan parenteral individu (intravena, intramuskular, subkutan).

·     Pengobatan oral individu (seperti tablet, bolus oral).

·     Pengobatan injeksi kelompok (metafilaksis), hanya apabila telah dijustifikasi.

·  Pengobatan oral kelompok lewat air minum/susu pengganti (metafilaksis), hanya  apabila telah dijustifikasi.

·  Pengobatan oral kelompok lewat pakan atau premiks (metafilaksis), hanya apabila telah dijustifikasi.

 

REKOMENDASI

Dokter hewan harus menggunakan antimikroba secara bijak dan bertanggung jawab dalam upaya untuk memberikan layanan yang optimal bagi pasien hewan, mengurangi perkembangan resistensi antimikroba (AMR) dan melestarikan obat-obatan penting ini untuk masa depan.  


Dokter hewan melalui Pemerintah (Ditjen PKH) dan Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) harus menyusun “Pedoman Penggunaan Antimikroba yang Bijak dan Bertanggung jawab untuk Dokter Hewan” sebagai langkah nyata dari peran dokter hewan dalam mengatasi masalah AMR.

 

Sumber:

Drh Tri Satya Putri Naipospos MPhil Ph.D. 2020. Peran Dokter Hewan dalam Pengendalian Resistensi Antimikroba di Sektor Kesehatan Hewan.  Webinar “Risiko Resistensi Antimikroba dan Penggunaan Antimikroba yang Bijak dan Bertanggung Jawab” – 30 November 2020 World Antibiotic Awareness Week 2020.