Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Monday, 24 August 2020

Manual Penyakit Anthrax

 Sinonim: Splenic fever, Charbon, Milztbrand, Radang Limpa, Wool Sorter’s disease


A. PENDAHULUAN

Anthraks adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Bacillus anthracis, biasanya bersifat akut atau perakut pada berbagai jenis ternak (pemamah biak, kuda, babi dan sebagainya). Ditandai dengan demam tinggi yang disertai dengan perubahan jaringan bersifat septisemia, infi ltrasi serohemoragi pada jaringan subkutan dan subserosa, serta pembengkakan akut limpa. Berbagai jenis hewan liar (rusa, kelinci, babi hutan dan sebagainya) dapat pula terserang. Di Indonesia Anthraks menyebabkan banyak kematian pada ternak, kehilangan tenaga kerja di sawah dan tenaga tarik, serta kehilangan daging dan kulit karena ternak tidak boleh dipotong. Kerugian ditaksir sebesar dua milyar rupiah per tahun.


B. ETIOLOGI

Penyebab anthraks adalah Bacillus anthracis. B.anthracis berbentuk batang lurus, dengan ujung siku, membentuk rantai panjang dalam biakan. Dalam jaringan tubuh tidak pernah terlihat rantai panjang, biasanya tersusun secara tunggal atau dalam rantai pendek dari 2-6 organisme, berselubung (berkapsul), kadang-kadang satu selubung melingkupi beberapa organisme. Selubung tersebut tampak jelas batasnya dan dengan pewarnaan gram tidak berwarna atau berwarna lebih pucat dari tubuhnya. Bakteri anthraks bersifat aerob, membentuk spora yang letaknya sentral bila cukup oksigen. Tidak cukupnya oksigen di dalam tubuh penderita atau di dalam bangkai yang tidak dibuka (diseksi), baik dalam darah maupun dalam jeroan, maka spora tidak pernah dijumpai. Bakteri bersifat Gram-positif, dan mudah diwarnai dengan zat-zat warna biasa.


Pada media agar, bakteri anthraks membentuk koloni yang suram, tepinya tidak teratur, pada pembesaran lemah menyerupai jalinan rambut bergelombang, yang sering kali disebut caput medusa. Pada media cair mula- mula terjadi pertumbuhan di permukaan, yang kemudian turun ke dasar tabung sebagai jonjot kapas, cairannya tetap jernih. Spora tahan terhadap kekeringan untuk jangka waktu yang lama, bahkan dalam tanah dengan kondisi tertentu dapat tahan sampai berpuluh-puluh tahun, lain halnya dengan bentuk vegetatif B.anthracis mudah mati oleh suhu pasteurisasi, desinfektan atau oleh proses pembusukan. Pemusnahan spora B.anthracis dapat dilakukan dengan : uap basah bersuhu 90°C selama 45 menit, air mendidih atau uap basah bersuhu 100°C selama 10 menit, dan panas kering pada suhu 120°C selama satu jam. Meskipun anthraks tersebar di seluruh dunia namun pada umumnya penyakit ini terdapat pada beberapa wilayah saja. Biasanya penyakit ini timbul secara enzootik pada saat tertentu saja sepanjang tahun.


C. EPIDEMIOLOGI

1. Spesies Rentan

Menurut penelitian, kerentanan hewan terhadap antraks dapat dibagi dalam beberapa kelompok sebagai berikut: a. Hewan pemamah biak, terutama sapi dan domba, kemudian kuda, rusa, kerbau dan pemamah biak liar lain, marmut dan mencit (mouse) sangat rentan. b. Babi tidak begitu rentan. c. Anjing, kucing, tikus (rat) dan sebagian besar bangsa burung, relatif tidak rentan tetapi dapat diinfeksi secara buatan. d. Hewan berdarah dingin (jenis reptilia), sama sekali tidak rentan (not affected).


2. Pengaruh Lingkungan

Anthraks banyak terdapat di daerah pertanian, daerah tertentu yang basah dan lembab, serta daerah banjir. Di daerah-daerah tersebut anthraks timbul secara enzootik hampir setiap tahun dengan derajat yang berbedabeda. Daerah yang terserang anthraks biasanya memiliki tanah berkapur dan kaya akan bahan-bahan organik. Di daerah iklim panas lalat pengisap darah antara lain jenis Tabanus sp. dapat bertindak sebagai pemindah penyakit. Wabah anthraks pada umumnya ada hubungannya dengan tanah netral atau berkapur yang alkalis yang menjadi daerah inkubator bakteri tersebut. Di daerah-daerah tersebut spora tumbuh menjadi bentuk vegetatif bila keadaan lingkungan serasi bagi pertumbuhannya.


3. Sifat Penyakit

Enzootik hampir setiap tahun dengan derajat yang berbeda-beda di daerah-daerah tertentu. Derajat sakit (morbidity rate) tiap 10.000 populasi hewan dalam ancaman, tiap propinsi dalam tahun 1975 menunjukan derajat yang paling tinggi di Jambi (53 tiap 10.000) dan terendah di Jawa Barat (1 tiap 10.000). Dari laporan itupun dapat diketahui bahwa 5 (lima) daerah mempunyai derajat sakit lebih rendah dari 50 tiap 10.000 populasi dalam ancaman dan hanya Jambi yang mempunyai angka ekstrim.


4. Cara penularan

Pada hakekatnya anthraks adalah “penyakit tanah” yang berarti bahwa penyebabnya terdapat didalam tanah, kemudian bersama makanan atau minuman masuk ke dalam tubuh hewan. Pada manusia infeksi dapat terjadi lewat kulit, mulut atau pernafasan. Anthraks tidak lazim ditularkan dari hewan yang satu kepada yang lain secara langsung. Bakteri anthraks bergerombol di dalam jaringan hewan penderita, yang dikeluarkan melalui sekresi dan ekskresi menjelang kematiannya. Bila penderita anthraks mati kemudian diseksi atau termakan burung atau hewan pemakan bangkai, maka spora dengan cepat akan terbentuk dan mencemari tanah sekitarnya. Bila terjadi demikian maka menjadi sulit untuk memusnahkannya. Hal tersebut menjadi lebih sulit lagi, bila spora tersebut tersebar oleh adanya angin, air, pengolahan tanah, rumput makanan ternak dan sebagainya. Di daerah iklim panas lalat pengisap darah antara lain jenis Tabanus sp. dapat bertindak sebagai pemindah penyakit. Masa tunas anthraks berkisar antar 1-3 hari, kadang-kadang ada yang sampai 14 hari.


Infeksi alami terjadi melalui : a. Saluran pencernaan b. Saluran pernafasan dan c. Permukaan kulit yang terluka. Infeksi melalui saluran pencernaan lazim ditemui pada hewanhewan dengan tertelannya spora, meskipun demikian cara infeksi yang lain dapat saja terjadi. Pada manusia, biasanya infeksi berasal dari hewan melalui permukaan kulit yang terluka, terutama pada manusia yang banyak berhubungan dengan hewan. Infeksi melalui pernafasan mungkin terjadi pada pekerja penyortir bulu domba (wool-sorter’s disease), sedangkan infeksi melalui saluran pencernaan terjadi pada manusia yang makan daging asal hewan penderita anthraks.


5. Faktor Predisposisi

Anthraks merupakan penyakit yang menyerang pada mamalia. Faktor predisposisi terjadinya anthraks antara lain hewan dalam kondisi kedinginan, kekurangan makanan, dan juga keletihan terutama pada hewanhewan yang mengandung spora yang bersifat laten.


6. Distribusi Penyakit

Di Indonesia berita tentang suatu penyakit yang sangat menyerupai anthraks pada kerbau di daerah Teluk Betung dimuat dalam ”Javasche Courant” tahun 1884. Kemudian berita yang lebih jelas tentang berjangkitnya anthraks di beberapa daerah di Indonesia di beritakan oleh”Kolonial Verslag” antara tahun 1885 dan 1886. Kemudian antara tahun 1899 dan 1900 sampai 1914, tahun 1927 sampai 1928, tahun 1930 tercatat kejadian-kejadian anthraks di berbagai tempat di Jawa dan di luar Jawa.


Insidensi kasus di Indonesia menurut Bulletin Veteriner tahun 1975 di Jabar, Sultra, NTT dan NTB; tahun 1996 di Jambi, Sultra, Sulsel, NTB, NTT dan Jabar; 1977 di NTB ;1981 di DKI Jakarta, Jabar, NTT dan NTB; 1982 di NTB, Jatim dan Sulsel; 1983 di DKI Jakarta, NTB, NTT dan Sulsel; 1986 di NTB, Jabar dan Sumbar, 1988 -1993 di NTB;1991 di Jogya, Bali dan NTB dan 1992 -1994 di NTB.


Kasus anthraks di Jawa Tengah tahun 1990 tercatat 97 kasus pada manusia di kabupaten Semarang dan Boyolali, di Jawa Barat pada tahun 1975 -1974 tercatat 36 kasus di kabupaten Karawang, 30 kasus di kabupaten Purwakarta, di kabupaten Bekasi 22 kasus pada tahun 1983 dan 25 kasus pada tahun 1985.


Laporan kasus anthraks pada Januari tahun 2000 yang diduga telah terjadi tiga bulan sebelumnya, menyatakan kasus terjadi pada penduduk desa Ciparungsari kecamatan Cempaka, kabupaten Purwakarta, Jabar yang menjarah burung unta. (Struthio Camelus) milik P.T. Cisada Kema Suri yang dimusnahkan karena tertular penyakit anthraks.


Laporan kasus anthraks terakhir terjadi pada tahun 2012 di Kab. Boyolali dan Kab. Sragen (Jawa Tengah), Kab. Maros dan Kab. Takalar (Sulawesi Selatan), yang menyerang sapi potong dan sapi perah milik peternak.


D. PENGENALAN PENYAKIT


1. Gejala Klinis


Dikenal beberapa bentuk anthraks, yaitu bentuk perakut, akut dan kronis.

Anthraks bentuk perakut gejala penyakitnya sangat mendadak dan segera terjadi kematian karena ada perdarahan otak. Gejala tersebut berupa sesak nafas, gemetar kemudian hewan rebah. Pada beberapa kasus menunjukkan gejala kejang pada sapi, domba dan kambing, mungkin terjadi kematian tanpa menunjukkan gejala-gejala penyakit sebelumnya.


Antraks bentuk akut pada sapi, kuda dan domba. Gejala penyakitnya mula-mula demam, penderita gelisah, depresi, susah bernafas, detak jantung frekuen dan lemah, kejang, dan kemudian penderita segera mati. Selama sakit berlangsung, demamnya dapat mencapai 41,5oC, ruminasi berhenti, produksi susu berkurang, pada ternak yang sedang bunting mungkin terjadi keguguran. Dari lubang-lubang alami mungkin terjadi ekskreta berdarah.


Gejala anthraks pada kuda dapat berupa demam, kedinginan, kolik yang berat, tidak ada nafsu makan, depresi hebat, otot-otot lemah, diare berdarah, bengkak di daerah leher, dada, perut bagian bawah, dan di bagian kelamin luar. Kematian pada kuda biasanya terjadi sehari atau lebih lama bila dibandingkan dengan anthraks pada ruminansia.


Antraks bentuk kronis biasanya terdapat pada babi, tetapi kadangkadang terdapat juga pada sapi, kuda dan anjing dengan lesi lokal yang terbatas pada lidah dan tenggorokan. Pada satu kelompok babi yang terinfeksi, beberapa babi diantaranya mungkin mati karena antraks akut tanpa menunjukan gejala penyakit sebelumnya. Beberapa babi yang lain menunjukan pembengkakan yang cepat pada tenggorokan, yang pada beberapa kasus menyebabkan kematian karena lemas. Kebanyakan babi dalam kelompok itu mati karena anthraks kronis. Sedangkan babi dengan infeksi ringan, berangsur-angsur akan sembuh. Bila babi tersebut disembelih, pada kelenjar limfe servikal dan tonsil terdapat bakteri anthraks.


Pada kuda anthraks menyebabkan kolik, mungkin karena torsi intestinal atau invaginasi, dengan tidak disertai akumulasi feses dan gas. Sering juga disertai busung di daerah leher, dada, bahu, dan faring. Busung tersebut berbeda dengan pembengkakan yang disebabkan oleh purpura hemoragika, karena pembengkakannya cepat, ada rasa nyeri, ada demam tinggi dan perbedaan lokalisasinya. Gejala gelisah jarang terjadi tetapi selalu mengalami sesak nafas dan kebiruan. Penyakit tersebut biasanya berakhir 8-36 jam, atau kadang-kadang sampai 3-8 hari.


Pada sapi, gejala permulaan kurang jelas kecuali demam tinggi sampai 42oC. Biasanya sapi-sapi tersebut terus digembalakan atau dipekerjakan. Dalam keadaan seperti itu sapi dapat mendadak mati di kandang, di padang gembalaan atau saat sedang dipekerjakan. Penyakit ini ditandai dengan gelisah pada saat mengunyah, menanduk benda keras di sekitarnya, kemudian dapat diikuti dengan gejala -gejala penyakit umum seperti hewan menjadi lemah, panas tubuh tidak merata, paha gemetar. Nafsu makan hilang sama sekali, sekresi susu menurun atau terhenti, tidak ada ruminasi, dan perut nampak agak kembung. Pada puncak penyakit darah keluar melalui dubur, mulut, lubang hidung, dan urin bercampur darah. Pada beberapa kasus terdapat bungkul-bungkul keras berisi cairan jernih atau nanah, pada mukosa mulut terdapat bercak -bercak, lidah bengkak dan kebiruan, serta nampak lidah keluar dari mulut.


Gejala-gejala umum anthraks berupa pembengkakan di daerah leher, dada, sisi lambung, pinggang, dan alat kelamin luar. Pembengkakan tersebut berkembang cepat dan meluas, bila diraba panas konsistensinya lembek atau keras, sedang kulit di daerah tersebut normal atau terdapat luka yang mengeluarkan eksudat cair yang berwarna kuning muda. Pembengkakan pada leher sering berlanjut menyebabkan paryngitis dan busung glottis, menyebabkan sesak nafas yang memberatkan penyakit. Pada selaput lendir rektum terdapat pembengkakan berupa bungkul-bungkul. Pembengkakan seperti itu juga dapat terjadi karena infeksi pada waktu eksplorasi rektal atau pengosongan isi usus.


Pada beberapa kasus sulit buang air, feses bercampur darah yang berwarna merah hitam dan jaringan nekrotik yang mengelupas. Kadangkadang terdapat penyembulan rektum. Daerah perineum bengkak, selaput lendir panas, pada selaput lendir vagina sering terdapat busung gelatin.


Pada domba dan kambing, biasanya bentuk perakut dengan perubahan apopleksi sereberal, terlihat berputar-putar, gigi gemeretak dan mati hanya beberapa menit setelah darah keluar dari lubang-lubang alami tubuh.


Pada kasus akut, penyakit tersebut hanya berlangsung beberapa jam, dengan tanda-tanda seperti gelisah, berputar-putar, respirasi berat dan cepat, frekuensi jantung meningkat, feses dan urin bercampur darah, hipersalivasi, busung dan enteritis jarang ditemukan.


Pada babi, gejala penyakit berupa demam dan pharyngitis dengan kebengkakan pada daerah subparotidea dan larynx yang berlangsung dengan cepat (anthraks angina). Pembengkakan tersebut dapat meluas dari leher sampai ke dahi, muka dan dada, menyebabkan kesulitan makan dan bernafas. Selaput lendir kebiruan, pada kulit terdapat bercak merah, diare, disfagia (paralisis otot pipi), muntah dan sesak nafas menyebabkan hewan mati lemas.


Pada kasus tanpa pembengkakan leher, gejala penyakitnya mungkin hanya berupa lemah, tidak ada nafsu makan dan menyendiri. Pada antraks lokal atau kronis hewan sering tampak normal.


Pada anjing dan pemakan daging (carnivora) lainnya, gejala penyakit berupa gastroenteritis dan pharyngitis, tetapi kadang-kadang hanya demam. Setelah makan daging yang mengandung bakteri anthraks, bibir dan lidah menjadi bengkak, atau timbul bungkul-bungkul pada rahang atas. Kadang-kadang dapat terjadi infeksi umum melalui erosi pada mukosa kerongkongan.


Pada manusia, sering ditemukan bentuk (kutan). Karena serangannya bersifat lokal, dapat juga disebut anthraks lokal. Pada luka tersebut terjadi rasa nyeri, yang diikuti dengan pembentukan bungkul merah pucat (karbungkel) yang berkembang menjadi kehitaman dengan cairan bening berwarna merah. Bila pecah akan meninggalkan jaringan nekrotik. Bungkul berikutnya muncul berdekatan. Jaringan sekitarnya tegang, bengkak dengan warna merah tua pada kulit sekitarnya. Bila dalam waktu bersamaan gejala demam muncul, infeksi menjadi umum (generalis) dan pasien mati karena septisemi.


Anthraks bentuk kutan (kulit) ditandai dengan adanya pembengkakan di berbagai tempat di bagian tubuh. Biasanya pada sapi dan kuda yang terdapat luka atau lecet di daerah kulit yang kemudian tercemar oleh bakteri anthraks, maka hewan tersebut akan terinfeksi anthraks. Manifestasi gambaran klinis anthraks sebagaimana tersebut di atas ada kalanya berbeda-beda tergantung pada perluasan penyakit dan jenis hewan yang terkena. Anthraks kulit primer maupun sekunder jarang ditemukan. Penyakit ini biasanya berakhir setelah 10-36 jam, kadang-kadang sampai 2-5 hari. Anthraks kulit yang kronis dapat pula terjadi pada sapi yang berlangsung selama 2-3 bulan. Hewan -hewan yang menderita penyakit akan menjadi kurus dengan cepat. Anthraks bentuk usus (intestinal) sering disertai haemoragik, kenyerian yang sangat didaerah perut (kolik), muntah-muntah, kaku dan berakhir dengan kolaps dan kematian. Anthraks bentuk pernafasan, terjadi pleuritis dan bronchopneumonia. Bentuk gabungan juga bisa terjadi. Setelah infeksi usus, kemudian muncul kebengkakan bersifat busung di bagian tubuh yang lain.


2. Patologi Bangkai hewan yang mati karena anthraks dilarang untuk dibedah

Bangkai tersebut cepat membusuk karena sepsis, dan terlihat sangat membengkak. Kekakuan bangkai (rigor mortis) biasanya tidak ada atau tidak sempurna. Darah yang berwarna hitam seperti aspal mungkin keluar dari lubang alami seperti hidung, mulut, telinga, anus tampak bengkak, dan bangkai cepat membusuk. Mukosa warna kebiruan, sering terdapat penyembulan rektum yang disertai perdarahan.


3. Diagnosa

a. Pemeriksaan mikroskopik langsung

Hewan yang masih dalam keadan sakit atau baru saja mati, selama belum terjadi pembusukan, dilakukan pemeriksaan mikroskopik sediaan ulas darah perifer dengan cara yang sederhana dan tepat. Bakteri berbentuk batang besar, Gram positif, biasanya tersusun tunggal, berpasangan atau berantai pendek. Tidak terdapat spora. Dengan pewarnaan yang baik dapat dilihat adanya selubung (kapsul) Jika hewan sudah mengalami pembusukan maka dari pemeriksaan mikroskopik sediaan ulas darah perifer, agak sulit untuk membuat diagnosa yang tepat. Sejumlah bakteri pembusuk memiliki bentuk yang mirip dengan anthraks (bakteri anthrakoid). Biasanya bakteri-bakteri pembusuk itu agak panjang dan tersusun dalam rantai yang lebih panjang.


b. Pemeriksaan dengan pemupukan

Bahan mengandung anthraks berupa darah atau jaringan lain yang berasal dari hewan sakit atau baru saja mati, dengan mudah dapat dipupuk pada media buatan. Jika bahan sampel berasal dari jaringan yang telah busuk, maka akan timbul berbagai kesulitan karena (a) bakteri anthraks mudah mati oleh pembusukan, (b) bakteri-bakteri anthrakoid akan ikut nampak dan tumbuh dengan baik.


c. Pemeriksaan biologis

Hewan percobaan yang terbaik adalah marmut. Meskipun mencit cukup baik, tetapi mencit sangat rentan terhadap kontaminan lain. Setelah disuntik secara subkutan, marmut biasanya mati dalam waktu 36-48 jam, paling lama pada hari kelima. Jaringan marmut tersebut penuh dengan bakteri anthraks dan di bawah kulit tempat suntikan terjadi infi ltrasi gelatin. Penyuntikan hewan percobaan adalah cara yang paling tepat untuk membedakan bakteri anthraks dari bakteri anthrakoid.


d. Pemeriksaan serologis

Pemeriksaan serologis dapat dilakukan dengan Uji Ascoli dan Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) Uji Ascoli Uji termopresipitasi Ascoli sangat berguna untuk menentukan jaringan tercemar anthraks. Untuk uji Ascoli diperlukan serum presipitasi bertiter tinggi. Jaringan tersangka dilakukan ekstraksi dengan air dengan cara perebusan, atau dengan penambahan kloroform. Cairan jernih yang diperoleh disebut presipitinogen mengandung protein anthraks, ditemukan secara perlahan-lahan dengan serum presipitasi (presipitin) dalam tabung reaksi kecil. Reaksi positif akan ditandai dengan terbentuknya cincin putih pada batas pertemuan antara kedua cairan tersebut.


4. Diagnosa Banding

Anthraks harus dibedakan dari kematian mendadak oleh sebab lain. Pada sapi dan babi, terutama oleh pasteurellosis yang disertai pembengkakan pada leher. Pada sapi dan domba infeksi dengan Clostridia dapat menyebabkan kematian mendadak. Pada sapi perlu diperhatikan pula penyakit-penyakit Ieptospirosis akut, anaplasmosis, bacillary, hemoglobinuria, dan keracunan-keracunan oleh tanaman, timah atau fosfor yang akut. Pada kuda, anemia infeksiosa yang akut, purpura haemorrhagica, macam-macam kolik, keracunan timah, dan sun stroke, mempunyai gejala-gejala serupa dengan anthraks. Pada babi, hog cholera akut, malignant oedema bentuk pharyngeal mempunyai gejala-gejala serupa dengan anthraks. Pada sapi dan kerbau dapat dikacaukan dengan keracunan, radang otak, penyakit pencernaan bentuk jahat Aphtae Epizootica, Septicaemia Epizootica, Surra, Piroplasmosis akut, Rinderpest, dan penyakit Jembrana. Pada kuda dapat dikacaukan dengan Surra, terutama jika dilihat dari timbulnya busung.


5. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen


Larangan bedah bangkai terhadap hewan yang mati tersangka anthraks dengan dasar:

a. Tidak memberi peluang terbentuknya spora bakteri anthraks yang mungkin menyulitkan pemberantasan penyakit.

b. Sangat berbahaya bagi manusia yang melakukan seksi dan pembantu - pembantunya. Bahan pemeriksaan yang perlu dikirimkan ke laboratorium diagnostik adalah sebagai berikut:


Hewan pemanah biak :

a. Sediaan ulas darah diambil dari pembuluh darah tepi (vena pada telinga, pada metakarpal, atau metatarsal). Dibuat tipis dan lebih dari satu kemudian dilakukan fi ksasi.

b. Olesan darah tepi dari hewan yang sama pada kapas bergagang (cotton swab), sepotong kapur tulis, atau sepotong kertas saring yang kemudian dimasukan ke dalam tabung reaksi. Alat pengambilan bahan harus dalam keadaan steril sebelum dipakai dan pengambilan dilakukan secara aseptik.

Bahan pemeriksaan tersebut harus ditaruh dalam wadah yang kuat dan tertutup rapat untuk mencegah kemungkinan pencemaran dalam perjalanan.


Pada babi, kuda hewan lainnya

a. Sediaan ulas dari jaringan tubuh dengan lesi yang jelas (dari kelenjar limfe submaxillaris dan daerah kebengkakan)

b. Sediaan ulas darah dari pembuluh darah tepi (dari kuda dan babi tidak dapat diharapkan ditemuinya B.anthracis dalam sediaan ulas darah).

c. Khusus untuk babi jika perlu bisa dikirimkan kelenjar limfa cervicalis yang diawetkan dalam asam borax (4%).


Bagi anthraks bentuk kutan dapat dikirimkan :

a. Sediaan ulas dari luka yang bersangkutan.

b. Olesan pada luka yang sama memakai kapas bergagang atau yang lainnya (seperti yang telah dijelaskan sebelumnya).


Bila pengiriman bahan-bahan tersebut diatas tidak memungkinkan maka pengiriman bahan berupa sisa-sisa bagian tubuh hewan yang masih ditemukan tanpa bahan pengawet apapun masih dapat dianjurkan, antara lain sepotong kulit, tulang, daging kering dan dendeng.


Bahan-bahan tersebut dimaksudkan untuk pemeriksaan serologi. Bahan pemeriksaan tersebut diatas dikirimkan ke laboratorium veteriner setempat (kecuali ada ketentuan khusus) disertai surat pengantar berisi informasi selengkap mungkin. Hasil pengujian ditembuskan kepada Kepala Dinas yang membidangi fungsi Peternakan dan Kesehatan Hewan, dan Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan.


E. PENGENDALIAN

1. Pengobatan

Pengobatan pada hewan sakit diberikan suntikan antiserum dengan dosis kuratif 100-150 ml untuk hewan besar dan 50-100 ml untuk hewan kecil. Penyuntikan antiserum homolog adalah IV atau SC, sedang yang heterolog SC. Jika perlu penyuntikan pengobatan dapat diulangi secukupnya. Antiserum yang diberikan lebih dini sesudah timbul gejala sakit, kemungkinan untuk diperoleh hasil yang baik akan lebih besar. Hewan tersangka sakit atau yang sekandang dengan hewan sakit, diberi suntikan pencegahan dengan antiserum. Kekebalan pasif timbul seketika, akan tetapi berlangsung tidak lebih lama dari 2 minggu. Pemberian antiserum untuk tujuan pengobatan dapat dikombinasikan dengan pemberian antibiotik. Jika antiserum tidak tersedia, dapat dicoba dengan obat-obatan tersebut di bawah ini.


Anthraks stadium awal pada kuda dan sapi diobati dengan procain penicillin G dilarutkan dalam aquades steril dengan dosis untuk hewan besar 6.000-20.000 IU/kg berat badan, IM tiap hari. Streptomycin sebanyak 10 gram (untuk hewan besar dengan berat badan 400- 600 kg) setiap hari yang diberikan dalam dua dosis secara intramuskuler dianggap lebih efektif dari penicillin, akan tetapi lebih baik dipakai kombinasi penicillin - streptomycin.


Selain penicillin dapat pula dipakai oxytetracycline. Untuk sapi dan kuda mula -mula 2 gm IV atau IM, kemudian 1 g tiap hari selama 3-4 hari atau sampai sembuh. Oxytertracyclin dapat diberikan dalam kombinasi dengan penicillin.


Antibiotika lain yang dapat dipakai antara lain : chloramphanicol, erythromycin, atau sulfonamide (sulfamethazine, sulfanilamide, sulfapyridine, sulfathiazole), tetapi obat-obatan tersebut kurang ampuh dibandingkan dari penicillin atau tetracycline.


2. Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan

a. Pencegahan

Perlakuan terhadap hewan yang dinyatakan berpenyakit anthraks dilarang untuk dipotong. Bagi daerah bebas anthraks, tindakan pencegahan didasarkan pada pengaturan yang ketat terhadap pemasukan hewan kedaerah tersebut. Anthraks pada hewan ternak dapat dicegah dengan vaksinasi. Vaksinasi dilakukan pada semua hewan ternak di daerah enzootik anthraks setiap tahun sekali, disertai cara-cara pengawasan dan pengendalian yang ketat.


b. Pengendalian dan Pemberantasan

Disamping pengobatan dan pencegahan, diperlukan cara pengendalian khusus untuk mencegah perluasan penyakit. Tindakan-tindakan tersebut adalah sebagai berikut :


(1) Hewan yang menderita anthraks harus diisolasi sehingga tidak dapat kontak dengan hewan-hewan lain

(2) Pengisolasian tersebut dilakukan di kandang atau di tempat dimana hewan tersebut ditemukan sakit. Didekat tempat itu digali lubang sedalam 2 -2,5 meter, untuk menampung sisa makanan dan feses dari kandang hewan yang sakit

(3) Setelah hewan mati, sembuh atau setelah lubang itu terisi sampai 60 cm, lubang itu dipenuhi dengan tanah yang segar

(4) Dilarang menyembelih hewan yang sakit

(5) Hewan tersangka tidak boleh meninggalkan halaman dimana ia berdiam sedangkan hewan yang lain tidak boleh dibawa ketempat itu

(6) Jika diantara hewan yang tersangka tersebut timbul gejala penyakit, maka hewan yang sakit tersebut diasingkan menurut cara seperti ditentukan dalam poin 1 (7). Jika diantara hewan yang tersangka dalam waktu 14 hari tidak ada yang sakit, hewan tersebut dibebaskan kembali

(8) Di pintu-pintu yang menuju halaman, dimana hewan yang sakit atau tersangka sakit diasingkan dipasang papan bertuliskan ”Penyakit Hewan Menular Anthraks” disertai nama penyakit yang dimengerti di daerah itu

(9) Bangkai hewan yang mati karena anthraks harus segera dimusnahkan dengan dibakar habis atau dikubur (poin 3 dan 4)

(10) Setelah penderita mati atau sembuh, kandang dan semua perlengkapan yang tercemar harus dilakukan disinfeksi

(11) Kandang dari bambu atau alang-alang dan semua alat-alat yang tidak dapat didisinfeksi, harus dibakar

(12) Dalam satu daerah, penyakit dianggap telah berlalu setelah lewat masa 14 hari sejak matinya atau sembuhnya penderita terakhir

(13) Untuk mencegah perluasan penyakit melalui serangga, dipakai obat-obat pembunuh serangga

(14) Hewan yang mati karena anthraks dicegah agar tidak dimakan oleh hewan pemakan bangkai

(15) Tindakan sanitasi umum terhadap manusia yang kontak dengan hewan penderita penyakit dan untuk mencegah perluasan penyakit.


3. Pelaporan

Laporan kejadian penyakit anthraks berisi informasi selengkap mungkin, disampaikan kepada Kepala Dinas yang membidangi fungsi Peternakan dan Kesehatan Hewan dan Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, yang dilengkapi dengan pengisian formulir yang telah ditentukan, seperti:

(1) Laporan Dinas yang membidangi fungsi Peternakan dan Kesehatan Hewan ke Pemerintah Daerah, dan ke Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian RI, mengenai terdapatnya kejadian anthraks

(2) Mengirim bahan-bahan pemeriksaan penyakit ke laboratorium veteriner setempat untuk peneguhan adanya penyakit (3) Pernyataan tentang terdapatnya/bebasnya suatu daerah terhadap Anthraks oleh Kepala Pemerintah Daerah setelah adanya peneguhan teknis.


F. DAFTAR PUSTAKA


Anonim 2011. The Merck Veterinary Manual 11th Edition, Merek & CO, Inc Rahway, New Jersey, USA.


Anonim 2008. Office International des Epizooties (OIE). Manual of Standards for Diagnostic Test and Vaccines. List A and B. diseases of mammals, birds and bees. 6th Ed


Anonim 2004. Bovine Medicine Diseases and Husbandry of Cattle 2nd Edition. Andrews AH, Blowey RW, Boyd H, Eddy RG Ed. Blackwell Science Ltd. Blackwell Publishing Company Australia.


Direktur Kesehatan Hewan, 2012. Indeks Obat Hewan Indonesia Edisi VIII. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian RI, Jakarta Indonesia.


Plumb DC 1999. Veterinary Drug Handbook. 3rd Edition. Iowa State University Press Ames.


Quinn PJ, Markey BK, Carter ME, Donnelly WJC, Leonard FC and Maghire D 2002. Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Blackwell Science Ltd. Blackwell Publishing Company Australia.


Radostids OM and Blood DC 2007. Veterinary Medicine A Text Book of the Disease of Cattle, Sheep, Pigs, Goats and Horses. 10th Edition. Bailiere Tindall. London England.


Smith BP 2002. Large Animal Internal Medicine. Mosby An Affi liate of Elsevier Science, St Louis London Philadelphia Sydney Toronto.


Subronto dan Tjahajati 2008. Ilmu Penyakit Ternak III (Mamalia) Farmakologi Veteriner: Farmakodinami dan Farmakokinesis Farmakologi Klinis. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Indonesia.


Subronto 2008. Ilmu Penyakit Ternak I-b (Mamalia) Penyakit Kulit (Integumentum) Penyakit-penyakit Bakterial, Viral, Klamidial, dan Prion. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Indonesia.


SUMBER

Manual Penyakit Hewan Mamalia. 2014. Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Kementerian Pertanian.

Sunday, 16 August 2020

Kandidat Vaksin BBIBP-CorV Cegah COVID-19


Pengembangan Kandidat Vaksin Inaktif BBIBP-CorV Yang Berpotensi Mencegah Infeksi SARS-CoV-2

 

LATAR BELAKANG


Penyakit Coronavirus 2019 (COVID-19), yang disebabkan oleh sindrom pernafasan akut parah coronavirus 2 (SARS-CoV-2), baru-baru ini muncul di seluruh dunia, mengakibatkan 5,2 juta infeksi dan lebih dari 337 ribu kematian di seluruh dunia pada Mei 2020 seperti yang dilaporan oleh WHO (https://covid19.who.int/) dan para peneliti Chan et al., 2020, Chen et al., 2020, Li et al., 2020, Wang et al., 2020, dan Zhu et al. al., 2020. SARS-CoV-2 adalah anggota dari genus Betacoronavirus, terkait erat dengan severe acute respiratory syndrome coronavirus (SARS-CoV) dan beberapa virus korona kelelawar (Lu et al., 2020, Tan et al., 2020, Zhou et al. , 2020). Dibandingkan dengan severe acute respiratory syndrome coronavirus (SARS-CoV) dan middle east respiratory coronavirus (MERS-CoV), SARS-CoV-2 tampaknya mengalami penularan yang lebih cepat (Chan et al., 2020, Chen et al., 2020), yang mengarah pada permintaan vaksin yang mendesak. Sampai saat ini, tiga kandidat vaksin (termasuk vaksin yang tidak aktif, vaksin vektor adenovirus, dan vaksin DNA) dilaporkan melindungi kera rhesus dari SARS-CoV-2 dengan kemanjuran yang berbeda (Gao et al., 2020, Lurie et al. , 2020, van Doremalen et al., 2020, Yu et al., 2020a). Vaksin inaktif banyak digunakan untuk pencegahan penyakit menular yang baru muncul (Stern, 2020), dan kecepatan pengembangan vaksin jenis ini yang relatif tinggi menjadikannya strategi yang menjanjikan untuk pengembangan vaksin COVID-19. Perlu dicatat bahwa bukti yang muncul telah menunjukkan peningkatan ketergantungan antibodi atau antibody-dependent enhancement (ADE) pada infeksi SARS-CoV (Wang et al., 2016, Yang et al., 2005), yang menunjukkan bahwa perhatian khusus harus diberikan pada evaluasi keamanan di pengembangan vaksin melawan virus corona.


Di sini disampaikan hasil penelitian Hui Wang at al. (2020) yang melaporkan produksi skala percontohan dari kandidat vaksin SARS-CoV-2 inaktif (BBIBP-CorV) yang menginduksi titer antibodi penawar tingkat tinggi pada tikus, tikus, marmut, kelinci, dan primata bukan manusia (monyet cynomolgus dan kera Makaka rhesus) untuk memberikan perlindungan terhadap SARS-CoV-2. Imunisasi dua dosis menggunakan 2 μg / dosis BBIBP-CorV memberikan perlindungan yang sangat efisien terhadap tantangan virus SARS-CoV-2 secara intratrakeal pada kera Makaka rhesus, tanpa peningkatan infeksi yang bergantung pada antibodi yang terdeteksi. Selain itu, BBIBP-CorV menunjukkan produktivitas yang efisien dan stabilitas genetik yang baik untuk pembuatan vaksin. Hasil studi kandidat vaksin SARS-CoV-2 inaktif (BBIBP-CorV) ini mendukung untuk dilakukan evaluasi lebih lanjut dari BBIBP-CorV dalam uji klinis.


DESAIN DAN PRODUKSI VAKSIN


Hui Wang et al. (2020) telah mengisolasi tiga strain SARS-CoV-2 dari sampel usapan tenggorokan dari tiga pasien yang dirawat di rumah sakit dari wabah COVID-19 baru-baru ini untuk: (a) mengembangkan uji netralisasi in vitro praklinis dan (b) mengembangkan model tantangan untuk kandidat vaksin SARS-CoV-2 inaktif (Lu et al., 2020, Zhu et al., 2020).  Ketiga strain tersebut adalah 19nCoV-CDC-Tan-HB02 (HB02), 19nCoV-CDC-Tan-Strain03 (CQ01), dan 19nCoV-CDC-Tan-Strain04 (QD01), yang tersebar di pohon filogenetik yang dibangun dari semua urutan yang tersedia, menunjukkan cakupan populasi SARS-CoV-2 utama. Khususnya, semua strain ini diisolasi dari sel Vero, yang telah disertifikasi oleh WHO untuk produksi vaksin. Sel Vero, tetapi tidak pada garis sel lain, terinfeksi melalui usap tenggorokan pasien untuk mencegah kemungkinan mutasi selama kultur dan isolasi virus.


Isolat SARS-CoV-2 yang digunakan dalam penelitian ini diberi label. Strain virus diisolasi dari pasien yang terinfeksi yang melakukan perjalanan dari benua / area yang ditunjukkan.


Proliferasi yang sangat efisien dan stabilitas genetik yang tinggi adalah ciri-ciri utama untuk pengembangan vaksin yang tidak aktif.  Hui Wang dkk, 2020 pertama kali menemukan bahwa galur HB02 menunjukkan replikasi paling optimal dan menghasilkan hasil virus tertinggi dalam sel Vero di antara tiga galur virus. Oleh karena itu kami memilih strain HB02 untuk pengembangan lebih lanjut dari vaksin SARS-CoV-2 yang tidak aktif (BBIBP-CorV). Perbandingan sekuens seluruh genom dari galur HB02 dan galur SARS-CoV-2 lainnya dari sumber domestik dan internasional menunjukkan bahwa galur HB02 homolog dengan galur virus lain dan menunjukkan bahwa antigen pelindung utama (protein lonjakan) memiliki 100 % homologi, menunjukkan potensi perlindungan luas terhadap berbagai strain SARS-CoV-2.


Netralisasi Strain SARS-CoV-2 HB02, CQ01, dan QD01 dengan menggunakan sera mencit yang divaksinasi dengan BBIBP-CorV.  Mencit diinjeksi secara intraperitoneal dengan 8 μg / dosis BBIBP-CorV sekaligus, dan diuji kemampuan serumnya untuk menetralkan tiga strain SARS-CoV-2 (n = 5) 14 hari setelah inokulasi.


Parameter Biokimia Serum pada Kera Rhesus setelah Vaksinasi dan Tantangan dengan Virus Hidup


Kera Makaka rhesus diimunisasi dua kali secara intramuskuler pada hari ke 0 dan 14, dan dilakukan uji tantang dengan virus hidup pada hari ke 24. Darah dikumpulkan, dan parameter biokimia serum dipantau pada titik waktu yang berbeda. Glu (glukosa), T-Bil (bilirubin total), ALT (alanine aminotransferase), AST (aspartate aminotransferase), ALP (alkaline phosphatase), γ-GT (γ-glutamyl transpeptidase), TP (protein total), Alb (albumin), TG (trigliserida), TC (kolesterol total), CREA (kreatinin), UA (asam urat), UREA (urea darah), CK (kreatin kinase), LDH (laktat dehidrogenase).


Untuk mendapatkan stok virus yang disesuaikan untuk produktivitas tinggi, strain HB02 dimurnikan dan diinululasikan ke dalam sel Vero untuk menghasilkan stok P1.  Stok P1 dikultur secara adaptif, dipasase, dan diperbanyak pada sel Vero. Strain setelah adaptasi selama tujuh generasi (BJ-P-0207) digunakan sebagai benih asli (BJ-P1) untuk meproduksi vaksin.  Untuk mengevaluasi stabilitas genetik, tiga bagian lagi dilakukan untuk mendapatkan stok P10.  Kemudian diurutkan seluruh genom strain HB02 dan stok P10 dengan analisis sekuensing mendalam, dan hasilnya menunjukkan bahwa homologi sekuensnya lebih dari 99,95%. Lebih lanjut, tidak ada variasi asam amino yang ditemukan dalam sekuens lengkap, termasuk posisi di dekat lokasi pembelahan furin, dalam stok P10. Hasil ini menunjukkan stabilitas genetik yang tinggi dari strain HB02, yang bermanfaat untuk perkembangan selanjutnya.


Untuk pembuatan yang sangat efisien, telah ditetapkan strategi untuk produksi stok BBIBP-CorV berdasarkan carrier (pembawa) baru dalam tabung reaktor.  Analisis kinetik pertumbuhan stok P7 dalam sel Vero menunjukkan bahwa virus stok dapat bereplikasi secara efisien dan mencapai titer puncak lebih dari 7,0 log10 CCID50 dalam 48-72 jam pasca infeksi atau hour post-infection (hpi) pada multiplikasi infeksi atau multiplicities of infection (MOI) 0,01-0,3. Untuk menonaktifkan produksi virus, β-propionolakton dicampur secara menyeluruh dengan larutan virus yang dipanen dengan perbandingan 1: 4.000 pada 2 °C - 8 °C. Inaktivasi tiga batch virus menghilangkan infektivitas virus, memvalidasi stabilitas yang baik, dan pengulangan proses inaktivasi.  Pada analisis Western blot menunjukkan bahwa stok vaksin mengandung protein struktural virus (antigen pelindung).


IMMUNOGENISITAS BBIBP-CorV


Untuk menilai imunogenisitas BBIBP-CorV, mencit BALB / c disuntik dengan program imunisasi yang berbeda dan berbagai dosis (2, 4, atau 8 μg / dosis) vaksin yang dicampur dengan bahan adjuvan aluminium hidroksida. Pada kelompok imunisasi satu dosis, tikus diberikan secara intraperitoneal dosis tinggi (8 μg / dosis), sedang (4 μg / dosis), atau rendah (2 μg / dosis) dosis BBIBP-CorV pada hari 0 (D0), dan tingkat antibodi netralisasi (NAb) pada 7, 14, 21, dan 28 hari setelah injeksi dievaluasi. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa tingkat serokonversi pada kelompok dosis tinggi, menengah, dan rendah mencapai 100% pada 7 hari setelah imunisasi, dan efek imunisasi tergantung pada waktu. Kadar NAb pada hari ke-7, 14, dan 21 pada kelompok dosis rendah dan sedang menunjukkan variasi yang signifikan, sedangkan tidak ada variasi yang signifikan antara 21 dan 28 hari yang diamati. Pada kelompok dosis tinggi, variasi yang signifikan hanya diamati antara 7 dan 14 hari.


Imunisasi BBIBP-CorV Menghasilkan Respons Antibodi yang Menetralkan pada Hewan Berbeda dengan Dosis dan Program Imunisasi Berbeda


Titer antibodi netralisasi mencit atau neutralization antibody (NAb) dengan imunisasi satu dosis (D0). Mencit diinjeksi secara intraperitoneal dengan dosis tinggi (8 μg / dosis), sedang (4 μg / dosis), atau rendah (2 μg / dosis) vaksin, dan kadar NAb pada 7 hari, 14 hari, 21 hari, dan 28 hari. setelah imunisasi pertama diuji dengan metode mikrotitrasi (n = 10).


Titer NAb dengan program interval imunisasi yang berbeda melalui imunisasi dua dosis. Mencit diinjeksi secara intraperitoneal dengan imunisasi dua kali (D0 / D7; D0 / D14; D0 / D21), dan kadar NAb 7 hari setelah imunisasi kedua diuji dengan metode mikrotitrasi (n = 10).


Titer antibodi netralisasi mencit dengan imunisasi tiga dosis (D0 / D7 / D14). Mencit diinokulasi secara intraperitoneal dengan dosis vaksin tinggi (8 μg / dosis), sedang (4 μg / dosis), atau rendah (2 μg / dosis) pada hari ke 0, 7, dan 14, dan kadar NAb pada 7, 14, 21, dan 28 hari setelah imunisasi pertama diuji dengan metode mikrotitrasi (n = 10).


Tingkat antibodi netralisasi mencit dengan program imunisasi yang berbeda. Mencit diinjeksi secara intraperitoneal dengan dosis tinggi (8 μg / dosis), sedang (4 μg / dosis), atau rendah (2 μg / dosis) vaksin dengan menggunakan satu dosis (D0), dua dosis (D0 / D21), dan program imunisasi tiga dosis (D0 / D7 / D14), dan kadar NAb pada 28 hari setelah imunisasi pertama diperiksa dengan metode mikrotitrasi (n = 10).


Kelinci (n = 5), marmot (n = 10), tikus (n = 10), dan mencit (n = 10) diimunisasi dengan dosis tinggi (8 μg / dosis), dosis sedang (4 μg / dosis) , atau dosis rendah (2 μg / dosis) vaksin dengan imunisasi satu dosis (D0), dan kadar NAb pada 21 hari setelah imunisasi pertama diuji dengan metode mikrotitrasi.


Monyet Cynomolgus (n = 10), kelinci (n = 5), marmot (n = 10), tikus (n = 10), dan mencit (n = 10) diimunisasi dengan tinggi (8 μg / tidak) , vaksin dosis menengah (4 μg / dosis), dan rendah (2 μg / dosis) dengan imunisasi tiga dosis (D0 / D7 / D14), dan kadar NAb pada 21 hari setelah imunisasi pertama diuji dengan metode mikrotitrasi.


Pada kelompok imunisasi dua dosis, dilakukan program imunisasi yang berbeda (interval D0 / D7, D0 / D14, dan D0 / D21) di mana dua imunisasi masing-masing pada hari 0/7, hari 0/14, dan hari 0/21.  Seropositif kelompok dosis tinggi, sedang, dan rendah dari ketiga program imunisasi mencapai 100% pada 7 hari setelah imunisasi kedua.  Imunogenisitas program imunisasi dua dosis secara signifikan lebih tinggi daripada program imunisasi satu dosis pada kelompok dosis tinggi dan menengah. Selain itu, penggunaan interval D0 / D21 memperoleh kadar NAb tertinggi pada 7 hari setelah imunisasi kedua.


Pengujian imunogenisitas dari program imunisasi tiga dosis, di mana tikus diberikan secara intraperitoneal dosis tinggi (8 μg / dosis), sedang (4 μg / dosis), atau rendah (2 μg / dosis) vaksin pada hari ke 0 , 7, dan 14. Kadar NAb untuk semua kelompok ditentukan pada hari ke 7, 14, 21, dan 28, dan tingkat serokonversi pada ketiga kelompok mencapai 100% pada hari ke 7 setelah imunisasi pertama (Gambar 2C; Tabel S1). Hasil penelitian menunjukkan bahwa program imunisasi tiga dosis (D0 / D7 / D14) menghasilkan kadar NAb yang lebih tinggi daripada program satu dosis (D0) pada ketiga kelompok pada hari ke 28. Selain itu, telah dianalisis kadar NAb pada tikus dengan vaksin dosis tinggi, sedang, dan rendah setelah program imunisasi satu dosis (D0), dua dosis (D0 / D21), dan tiga dosis (D0 / D7 / D14). dan memeriksa kadar NAb pada 28 hari setelah imunisasi pertama untuk mempertahankan titik awal dan akhir yang sama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa imunogenisitas program imunisasi tiga dosis (D0 / D7 / D14) lebih tinggi dibandingkan dengan program imunisasi satu dan dua dosis.


Selanjutnya dilakukan pengukuran imunogenisitas BBIBP-CorV pada model hewan yang berbeda: kelinci, marmut, tikus, dan mencit. Hewan diimunisasi dengan vaksin dosis tinggi (8 μg / dosis), sedang (4 μg / dosis), atau rendah (2 μg / dosis) dengan program imunisasi satu dosis (D0), dan kadar NAb ditentukan pada 21 hari setelah imunisasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa BBIBP-CorV memiliki imunogenisitas yang baik, dan angka serokonversi mencapai 100% pada hari ke 21 setelah imunisasi pada semua model hewan. Pada kelompok imunisasi tiga dosis (D0 / D7 / D14), monyet cynomolgus, kelinci, marmot, tikus, dan mencit diimunisasi dengan tinggi (8 μg / dosis), sedang (4 μg / dosis), atau rendah (2 μg / dosis) dosis vaksin. Angka serokonversi mencapai 100% pada 21 hari setelah imunisasi pada semua model hewan, dan kadar NAb pada 21 hari setelah imunisasi pertama menunjukkan bahwa imunogenisitas program tiga dosis (D0 / D7 / D14) dengan tinggi, sedang, dan dosis rendah lebih tinggi dari pada program satu dosis (D0) pada model kelinci dan marmot.


PERLINDUNGAN PADA HEWAN MODEL PRIMATA BUKAN MANUSIA 


Studi terbaru menunjukkan bahwa kera rhesus yang terinfeksi SARS-CoV-2 mengembangkan infiltrat paru dan lesi histologis (Munster et al., 2020, Shan et al., 2020, Yu et al., 2020b).

Hui Wang et el. (2020) dalam penelitiannya mengevaluasi imunogenisitas dan kemanjuran perlindungan dari BBIBP-CorV pada kera rhesus.  Semua kera diimunisasi dua kali pada hari 0 (D0) dan 14 (D14). Kelompok plasebo diberikan garam fisiologis intramuskular, dan dua kelompok eksperimen disuntik secara intramuskular dengan dosis rendah (2 μg / dosis) atau dosis tinggi (8 μg / dosis) BBIBP-CorV (Gambar 3A). Sebelum tantangan virus pada D24, titer rata-rata geometrik NAb pada kelompok dosis rendah dan dosis tinggi masing-masing mencapai 215 dan 256. Pada D24 (10 hari setelah imunisasi kedua), semua kera ditantang secara intratracheal dengan l06 TCID50 SARS-CoV-2 per monyet dengan anestesi. Suhu tubuh dari kelompok yang divaksinasi dan kelompok plasebo berfluktuasi dalam kisaran normal setelah tantangan virus dari 0 sampai 7 hari postinokulasi (dpi). Selain itu, parameter biokimia serum pada kera rhesus setelah divaksinasi dan ditantang dengan virus hidup tetap konstan. Karena penelitian terbaru menunjukkan bahwa infeksi SARS-CoV-2 tidak mempengaruhi kimiawi darah inang /host (Munster et al., 2020), hasil ini menunjukkan bahwa inokulasi dengan BBIBP-CorV tidak mengakibatkan efek samping pada parameter biokimia serum.


Imunogenisitas dan Khasiat Perlindungan BBIBP-CorV pada Primata Bukan Manusia

Strategi eksperimental.


Kera diimunisasi dua kali dengan 2 μg / dosis (n = 4) atau 8 μg / dosis (n = 4) dari BBIBP-CorV atau plasebo (n = 2). Titer NAb diukur.

Pada efikasi perlindungan dari BBIBP-CorV ditantang dengan SARS-CoV-2 pada 10 hari setelah imunisasi kedua dievaluasi pada kera. Perubahan tanda klinis (suhu, oC) dicatat. Ditemukannya virus pada usap tenggorokan dan anal yang diperoleh dari kera pada hari ke 3, 5, dan 7 pasca inokulasi.

Ditemukannya virus dalam ketujuh lobus paru yang dikumpulkan dari semua kera pada hari ke 7 pasca inokulasi ditentukan dengan menggunakan metoda RT-PCR. Semua data disajikan sebagai rata-rata ± SEM dari empat percobaan independen untuk kelompok BBIBP-CorV dan dua percobaan independen untuk kelompok placebo..

Ktika diamati perubahan histopatologi paru-paru kera pada hari ke 7 pasca inokulasi, semua kera yang mendapat vaksinasi menunjukkan paru normal dengan pneumonia interstisial ringan fokal pada beberapa lobus.


Data Individu untuk Suhu, Ditemukannya virus, dan Berat Badan Hewan dalam Evaluasi Khasiat dan Keamanan


Dilakukan pengumpulan data suhu individu, adanya virus dalam tenggorokan dan usap dubur yang digunakan dalam evaluasi efikasi primata bukan manusia. Berat badan individu tikus (n = 5) dan monyet cynomolgus (n = 10) dalam evaluasi keamanan.


Hui Wang et al. (2020) selanjutnya menguji adanya virus di tenggorokan dan sampel dari dubur kera dengan menggunakan RT-PCR.  Semua kera plasebo menunjukkan dan mempertahankan adanya virus yang tinggi selama seluruh periode evaluasi setelah tantangan virus pada sampel usapan tenggorokan dan dubur. Sebaliknya, adanya virus di usapan tenggorokan dari kelompok dosis rendah memuncak (5,33 log10 salinan / mL) pada 5 dpi dan kemudian menurun menjadi 1,12 log10 salinan / mL pada 7 dpi, yang secara signifikan lebih rendah dibandingkan kelompok plasebo. Secara khusus, di antara empat kera dalam kelompok dosis rendah, tiga menunjukkan tidak terdeteksi adanya virus pada 7 dpi. Usap tenggorokan dari keempat kera dalam kelompok dosis tinggi tidak terdeteksi adanya virus. Lebih lanjut, tidak terdeteksi adanya virus pada usapan dubur dari dua (dari empat) kera dalam kelompok dosis tinggi.


Pada 7 dpi, semua hewan disuntik mati untuk menentukan adanya virus pada jaringan paru dan untuk pemeriksaan patologis. Tidak ada kera dalam kelompok dosis rendah dan dosis tinggi adanya virus pada lobus paru, yang berbeda signifikan dengan hasil pada kelompok plasebo. Pada kelompok plasebo, terdeteksi adanya virus yang tinggi di paru kiri bawah, paru kanan bawah, dan paru aksesori kanan, dan hasil analisis histologi patologis menunjukkan adanya pneumonia interstisial yang parah. Yang perlu diperhatikan, hanya 3 dari 7 bagian lobus paru yang terdeteksi mengalami infeksi pada kelompok plasebo, kemungkinan karena infeksi virus pada lobus paru berubah secara dinamis.  Lebih lanjut, semua kera yang mendapat vaksinasi menunjukkan paru-paru normal dengan perubahan histopatologi fokal ringan pada beberapa lobus, yang menunjukkan vaksinasi BBIBP-CorV secara efisien dapat memblokir infeksi penyakit SARS-CoV-2 dan COVID-19 pada monyet. Pada 7 dpi, kera yang ditretmen dengan plasebo menghasilkan titer antibodi netralisasi tingkat rendah dengan titer 1:16, sedangkan kadar NAb kera yang divaksinasi paling tinggi pada 1: 2.048 (rata-rata 1: 860) pada kelompok dosis tinggi dan 1 : 1.024 pada kelompok dosis rendah (rata-rata 1: 512).  Secara keseluruhan, semua hasil ini menunjukkan bahwa BBIBP-CorV dosis rendah dan dosis tinggi memberikan perlindungan yang sangat efisien terhadap SARS-CoV-2 pada kera tanpa terlihat terjadi peningkatan infeksi yang bergantung pada antibodi.


UJI KEAMANAN


Pertama dilakukan percobaan injeksi intramuskular tunggal pada tikus Sprague-Dawley untuk mengevaluasi toksisitas akut BBIBP-CorV. Dalam penelitian ini, 20 ekor tikus dibagi menjadi dua kelompok (n = 10, 5 / jenis kelamin) dan diinjeksi secara intramuskular dengan BBIBP-CorV dosis 3x (8 μg / dosis, 24 μg / tikus) dan larutan garam fisiologis sebagai kontrol. Setelah inokulasi, semua tikus diamati secara kontinyu selama 14 hari dan dilakukan eutanasia pada hari ke 15 untuk menilai anatomi sistematik dan untuk pengamatan umum. Tidak ada kasus kematian atau kematian yang akan datang atau tanda-tanda klinis yang jelas terlihat pada empat kelompok selama 14 hari berturut-turut setelah inokulasi vaksin. Selain itu, tidak ada perbedaan yang signifikan dalam berat badan atau keadaan makan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Tidak ada perubahan histopatologi yang diamati setelah eutanasia. Khususnya, dosis maksimum yang dapat ditoleransi atau maximum tolerated dose (MTD) yang digunakan untuk injeksi intramuskular tunggal pada tikus adalah 24 μg / tikus, yang setara dengan 900 kali dosis pada manusia, menunjukkan potensi keamanan yang baik dari BBIBP-CorV pada manusia.


EVALUASI KEAMANAN BBIBP-CORV PADA TIKUS, MARMUT, DAN PRIMATA BUKAN MANUSIA


Pada analisis bobot badan tikus kelompok eksperimen dan kelompok kontrol (n = 5). Rerata bobot tikus jantan dan betina digunakan dalam plot ini.

Pada analisis berat badan marmot pada kelompok eksperimen (0,1 x dosis / marmot, 1 x dosis / marmot) dan kontrol negatif dan kelompok kontrol positif (n = 9).

Pada monyet Cynomolgus disuntik secara intramuskular empat kali pada hari ke-1, 8, 15, dan 22 dengan BBIBP-CorV dosis rendah (2 μg / dosis), sedang (4 μg / dosis), dan tinggi (8 μg / dosis). atau plasebo. Analisis bobot badan monyet cynomolgus (n = 10) pada keempat kelompok. Rata-rata bobot monyet cynomolgus jantan dan betina digunakan dalam plot ini.

Pada analisis hematologi monyet cynomolgus pada keempat kelompok (n = 10). Persentase subset limfosit CD3 +, CD3 + CD4 + (berlabel CD4 +), CD3 + CD8 + (berlabel CD8 +), CD20 +, dan CD3 + CD4 + / CD3 + CD8 + (berlabel CD4 + / CD8 +) dipantau pada hari ke-1 (1 hari sebelumnya). vaksinasi), hari ke 25 (3 hari setelah vaksinasi ketiga), dan hari ke 36 (14 hari setelah vaksinasi keempat).

Pada Sitokin kunci TNF-α, IFN-γ, IL-2, IL-4, IL-5, dan IL-6 diperiksa pada hari ke-1, 1 (hari untuk vaksinasi pertama), 4, 15 , 22, 25, dan 36.


Anafilaksis sistemik akibat BBIBP-CorV kemudian dievaluasi dengan suntikan intramuskular dan intravena pada marmut. Tiga puluh enam ekor marmot jantan dibagi menjadi 4 kelompok (9 / kelompok), kelompok kontrol negatif (saline fisiologis), kelompok kontrol positif (albumin darah manusia, 20 mg / sensitisasi, 40 mg / stimulasi), dosis rendah kelompok (0,1 x dosis / sensitisasi, 0,2 x dosis / stimulasi), dan kelompok dosis tinggi (1 x dosis / sensitisasi, 2 x dosis / stimulasi). Sensitisasi dilakukan pada D1, D3, dan D5. Stimulasi pertama (eksitasi intravena melalui kaki) untuk 3 (dari 9) marmot dari masing-masing kelompok dilakukan pada D19, dan stimulasi sekunder dari hewan yang tersisa dari setiap kelompok (6/9) dilakukan pada D26. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada reaksi abnormal selama periode sensitisasi melalui observasi klinis dan pengukuran berat badan marmot. Tidak ada gejala reaksi alergi yang ditemukan pada kelompok kontrol negatif atau kelompok eksperimen pada D19 atau D26.  Anafilaksis kelompok kontrol positif sangat positif (1/6 hewan positif, 3/6 hewan sangat positif, dan 2/6 hewan sangat positif). Sebaliknya, pada kelompok dosis rendah dan tinggi, tidak ditemukan reaksi alergi pada D19 dan D26, dan reaksi alerginya negatif.


Toksisitas jangka panjang BBIBP-CorV diuji menggunakan monyet cynomolgus

Empat puluh monyet cynomolgus (20 / jenis kelamin) dibagi menjadi 4 kelompok (5 / jenis kelamin / kelompok) dan disuntik secara intramuskular dengan larutan kontrol (injeksi garam fisiologis, kelompok 1) atau 2, 4, atau 8 μg BBIBP-CorV (kelompok 2 ke 4) dalam volume 0,5 mL. Hewan-hewan tersebut disuntik sekali seminggu selama 3 minggu terus menerus (total empat kali). Sebanyak 3/5 hewan dari masing-masing jenis kelamin di setiap kelompok dibedah dengan D25, dan sisanya 2/5 hewan dari setiap jenis kelamin di setiap kelompok dibedah dengan D36. Anatomi kasar dievaluasi, dan pemeriksaan histopatologi dilakukan. Tidak ada kasus kematian atau kematian yang akan datang atau kelainan yang signifikan pada indikator fisiologis dan patologis klinis, distribusi subkelompok limfosit (CD3 +, CD3 + CD4 +, CD3 + CD8 +, CD20 +, CD3 + CD4 + / CD3 + CD8 +), sitokin (tumor necrosis factor alpha [TNF -α], interferon [IFN] -γ, interleukin [IL] -2, IL-4, IL-5, dan IL-6), protein c-reaktif, komplemen, atau berat badan diamati pada 2, 4, dan 8 μg / kelompok dosis. Tidak ada kelainan pada anatomi hewan yang dieutanasia pada setiap kelompok yang diberi dosis pada D25 dan D36 yang diamati. Inflamasi granulomatosa diamati pada kelompok 2, 4, dan 8 μg / dosis pada D25 dan tetap pada akhir periode pemulihan (D36), dengan sedikit perbaikan dibandingkan dengan yang diamati pada D25. Hewan hanya menunjukkan iritasi lokal yang ditandai dengan peradangan granulomatosa ringan hingga parah akibat injeksi, tetapi reaksi ini tidak ada pada 2 minggu setelah injeksi. Tingkat efek samping yang tidak diamati ditemukan menjadi 8 μg / dosis dalam percobaan ini.


DISKUSI


Pengembangan vaksin dengan imunogenisitas dan keamanan yang tinggi sangat penting untuk mengendalikan pandemi COVID-19 global dan pencegahan penyakit dan kematian lebih lanjut.  Hui Wang et al. (2020) melaporkan pengembangan kandidat vaksin inaktif SARS-CoV-2, BBIBP-CorV, dan menunjukkan bahwa vaksin tersebut menginduksi antibodi netralisasi tingkat tinggi pada enam spesies mamalia, termasuk tikus, mencit, marmut, kelinci, monyet cynomolgus, dan kera makaka rhesus.  Vaksin BBIBP-CorV bisa melindungi enam spesies hewan itu dari infeksi SARS-CoV-2. Imunisasi dua dosis menggunakan BBIBP-CorV 2 μg / dosis memberikan perlindungan yang sangat efisien terhadap SARS-CoV-2 pada kera makaka rhesus tanpa terlihat adanya ADE atau perburukan imunopatologis.


Sebelum pelaporan hasil studi BBIBP-CorV ini, telah dilaporkan tiga kandidat vaksin melawan SARS-CoV-2, termasuk vaksin vektor adenovirus (ChAdOx1 nCoV-19), vaksin DNA, dan vaksin inaktif (PiCoVacc) (Gao et al., 2020, Lurie et al., 2020, van Doremalen et al., 2020, Yu et al., 2020a). Dalam studi perlindungan, ChAdOx1 nCoV-19 dan vaksin DNA ditantang dengan virus pada saluran pernapasan bagian bawah dan atas, sedangkan PiCoVacc dan BBIBP-CorV diuji secara intratracheal. Terlepas dari cara uji tantang tantang yang berbeda tersebut, perubahan patologis pada jaringan paru-paru diamati di semua kelompok model, dan RNA virus terdeteksi pada usap tenggorokan atau usap hidung, ini menunjukkan bahwa penetapan model uji tantang virus pada hewan telah berhasil dengan baik.  Vaksin vektor adenovirus rekombinan mudah dimanipulasi untuk modifikasi genetik dan mampu mendorong respons imun spesifik antigen yang kuat; tetapi antibodi netralisasi terhadap vektor pembawa virus masih menjadi tantangan (Zhang dan Zhou, 2016).  Vaksin DNA mudah diproduksi dan stabil untuk penyimpanan dengan pemulihan terbatas atau sisa toksisitas; Namun, kekhawatiran tentang imunogenisitas dan keamanannya masih tetap ada (Gary dan Weiner, 2020). Untuk ChAdOx1 nCoV-19, 5 dari 6 lobus paru pada kelompok yang divaksinasi menunjukkan terdeteksi adanya virus (van Doremalen et al., 2020); tetapi untuk BBIBP-CorV, semua kera dalam kelompok dosis rendah dan tinggi tidak menunjukkan terdeteksi adanya virus di lobus paru pada 7 hari setelah inokulasi. Namun demikian, baik BBIBP-CorV dan ChAdOx1 nCoV-19 memberikan perlindungan yang efektif dan mencegah semua kera yang divaksinasi dari pneumonia interstitial virus. Dibandingkan dengan vaksin vektor adenovirus dan vaksin DNA, strategi untuk pengembangan dan produksi vaksin inaktif adalah teknologi konvensional dan matang.  Dalam pengembangan BBIBP-CorV, strain HB02 menghasilkan hasil virus tertinggi dalam sel Vero di antara tiga strain virus kandidat dan tidak memiliki variasi asam amino dalam 10 bagian, menunjukkan stabilitas genetik yang baik. Selain itu, telah ditetapkan strategi untuk produksi stok BBIBP-CorV berdasarkan karier baru dalam tabung reaktor untuk dapat memproduksi dengan sangat efisien. Yang terpenting, imunisasi dua dosis menggunakan BBIBP-CorV dosis rendah (2 μg / dosis) memberikan perlindungan yang sangat efisien terhadap SARS-CoV-2 pada kera Makaka rhesus, yang mungkin bermanfaat bagi penggunaan klinis lebih lanjut dari vaksin inaktif ini dengan efek samping yang lebih sedikit.  Sebagai catatan, efek perlindungan pada saluran pernapasan bagian atas tidak dinilai dalam penelitian ini dan memerlukan evaluasi lebih lanjut.


Jika tidak ada obat antivirus yang efektif untuk melawan SARS-CoV-2, vaksin dengan potensi dan keamanan yang baik akan dibutuhkan untuk menimbulkan kekebalan populasi secara efektif. Pengembangan BBIBP-CorV memberikan solusi potensial untuk pandemi COVID-19.  Saluran tahapan yang digunakan untuk produksi skala pilot BBIBP-CorV juga memperjelas pengembangan vaksin yang cepat untuk melawan virus corona lainnya.  Berdasarkan hasil yang telah disajikan, uji klinis Fase I BBIBP-CorV saat ini sedang berlangsung dan uji klinis Fase II baru-baru ini telah dimulai. Uji klinis ini telah dirancang menggunakan formulasi adjuvan aluminium yang sama dengan yang dijelaskan di sini, dengan tiga kelompok berbeda yaitu kelompok dosis tinggi, sedang, dan rendah untuk mengevaluasi dosis yang sesuai untuk aplikasi klinis lebih lanjut.


REFERENSI


Hui Wang, Yuntao Zhang, Baoying Huang, Wei Deng, Yaru Quan, Wenling Wang, Wenbo Xu, Yuxiu Zhao, Na Li, Jin Zhang, Hongyang Liang, Linlin Bao, Yanfeng Xu, Ling Ding, Weimin Zhou, Hong Gao, Jianing Liu, Peihua Niu, Xioming Yang. 2020. Development of an Inactivated Vaccine Candidate, BBIBP-CorV, with Potent Protection against SARS-CoV-2. 2020. Aug 6. Cell,182 (3). pp.713-721.e9.


Lu, R., X. Zhao, J. Li, P. Niu, B. Yang, H. Wu, W. Wang, H. Song, B. Huang, N. Zhu, et al. Genomic characterisation and epidemiology of 2019 novel coronavirus: implications for virus origins and receptor binding.  Lancet, 395 (2020), pp. 565-574.


Lurie, N., M. Saville, R. Hatchett, J. Halton. Developing Covid-19 Vaccines at Pandemic Speed

N Engl J Med, 382 (2020), pp. 1969-1973.


Q. Gao, L. Bao, H. Mao, L. Wang, K. Xu, M. Yang, Y. Li, L. Zhu, N. Wang, Z. Lv, et al. Rapid development of an inactivated vaccine candidate for SARS-CoV-2. Science (2020), 10.1126/science.abc 1932.


Van Doremalen, T. Lambe, A. Spencer, S. Belij Rammerstorfer, J.N. Purushotham, J.R. Port, V. Avanzato, T. Bushmaker, A. Flaxman, M. Ulaszewska, et al. ChAdOx1 nCoV-19 vaccination prevents SARS-CoV-2 pneumonia in rhesus macaques bioRxiv (2020), 10.1101/2020.05.13.093195


Wang, Q., L. Zhang, K. Kuwahara, L. Li, Z. Liu, T. Li, H. Zhu, J. Liu, Y. Xu, J. Xie, et al. Immunodominant SARS Coronavirus Epitopes in Humans Elicited both Enhancing and Neutralizing Effects on Infection in Non-human Primates. ACS Infect. Dis., 2 (2016), pp. 361-376